• Tidak ada hasil yang ditemukan

Temuan Masalah Sosial dalam Novel BTDLA

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 28-49)

Sosiologi dalam karya sastra seperti novel dapat berupa cerminan peristiwa dan sejarah dalam waktu tertentu, hal tersebut juga berlaku pada novel BTDLA. Berikut beberapa masalah sosial dalam novel BTDLA yang merupakan cerminan keadaan sosial.

a. Peristiwa 11 September (9/11)

Lima belas tahun lalu tepatnya pada 11 September 2001 dunia digemparkan dengan peristiwa terorisme yang melanda Amerika. Sebuah tragedi besar bagi negara penguasa seperti Amerika Serikat (AS) yang gagal mengantisipasi terorisme hingga menewaskan 3000-an jiwa. Gedung tertinggi di pusat kota New York, menara kembar World Trade Center (WTC) luluh lantah setelah ditabrak pesawat yang dibajak oleh anggota ekstremis Islam Al Qaeda. Peristiwa itu terjadi pada pukul 08.46 saat pesawat komersil American Airlines penerbangan 11 menabrak WTC Utara diikuti United Airlines penerbangan 175 menabrak WTC Selatan dalam waktu kurang dari dua jam kedua gedung tersebut hancur.

commit to user

Dalam novel BTDLA pengarang dengan lugas menceritakan tragedi kelam tersebut, dalam hal ini novel dapat disebut sebagai dokumen sosial atau isi karya yang menceritakan keadaan suatu masyarakat pada masa tertentu dapat berupa cerminan atau fakta sosial. Pengarang BTDLA merekonstruksi peristiwa 9/11 ke dalam sebuah cerita dengan cukup detail, mulai dari pembajak berada di bandara, suasana pembajakan di dalam pesawat, sampai keadaan di dalam gedung setelah terjadi tabrakan, khususnya pembajakan pesawat American Airlines penerbangan 11 dan gedung WTC Utara yang merupakan kantor salah satu tokoh dalam cerita. Berikut kutipan kronologi peristiwa 9/11 dalam novel BTDLA.

Bandara Portland, 11 September 2001 04.55

Laki-laki berbulu tangan lebat itu resah. Dia bolak-balik melihat jam tangannya. Entah apa yang tengah dia nantikan. Hidung mancungnya bekas luka gigitan serangga tadi malam (BTDLA, 2014: 2).

BTDLA/ GSa/1

Satu pria dewasa berbicara dalam bahasa Inggris tanpa bisa menyembunyikan logat Timur Tengah-nya. Bicaranya tegas. Seperti telah dilatih berkali-kali agar tak bergetar. Petugas melirik sebentar name tag pria di konter itu. Keturunan Arab. Penuh selidik petugas mematut-matut ID foto calon penumpang bisnis itu dengan waja aslinya. Dia kemudian melihat jam tangan (BTDLA, 2014: 4).

BTDLA/ GSa/2

Dari kedua kutipan tersebut didapatkan bahwa dua orang pembajak berangkat dari bandara Portland merupakan orang keturunan Timur Tengah (Arab) sebagaimana teroris yang digambarkan sebagai orang muslim anggota Al Qaeda keturunan Arab. Selain ciri teroris keterangan lain juga jelaskan dalam novel BTDLA, yaitu mengenai jumlah teroris, kelas penumpang, serta jenis dan jalur penerbangan pesawat yang dibajak. Berikut kutipannya.

Seorang petugas laki-laki paruh baya menanti para penumpang kelas satu maskapai ini. Salah satu dari dua pria dewasa itu mengeluarkan tiket dan paspor dari dalam tas. “One way ticket to Los Angeles via Boston for two person, please.”

....

Air muka petugas paruh baya berubah setelah tersadar

BTDLA/ GSa/3

commit to user

harga tiket untuk dua orang di kelas bisnis ini mencapai US$2.500. Harga tiket super mahal untuk penerbangan jarak dekat dalam negeri (BTDLA, 2014:4).

Lima orang sekarang. Itu sangat sedikit dibandingkan jumlah penumpang pesawat American Airlines Flight 11 hari ini. Sembilan puluh dua orang termasuk awak pesawat.

Penerbangan dari Portland−Boston−Los Angeles bukan penerbangan coba-coba. Ini takdir yang mengubah peradaban zaman (BTDLA, 2014:7).

BTDLA/ GSa/4

Kutipan tersebut merupakan penjelasan tokoh teroris dalam cerita BTDLA yang terinspirasi dari tokoh asli, yaitu pembajak American Airlines penerbangan 11 yang menabrak WTC Utara pada peristiwa 9/11. Dalam novel BTDLA teroris tersebut terdiri dari 5 orang keturunan Arab, 2 orang berangkat dari Portland dan 3 orang Boston sebagai penumpang kelas bisnis. Dua orang sempat tertahan di pos pengecekan bandara namun berhasil lolos dengan alasan yang memicu alarm berbunyi adalah sabuk, mereka terihat buru-buru dan petugas dengan mudah meloloskan mereka karena melihat tiket kelas bisnis yang super mahal.

Kejadian selanjutnya yaitu suasana di dalam pesawat saat terjadi pembajakan, salah seorang pramugari yang hendak menyiapkan sarapan untuk penumpang tergucang karena turbulensi pesawat dia mengurungkan niat dan kembali duduk di kursinya sembari menghubungi kokpit menanyakan penundaan penyajian makanan namun tidak ada balasan dari sang pilot. Karena penasaran seorang pramugari pergi ke ruang kokpit, dari situlah diketahui seorang pramugari di kelas bisnis telah ditusuk dan Betty Ong diminta temannya untuk menghubungi pihak maskapai mengenai pembajakan pesawat.

“Hello, Captain, apakah sebaiknya kami menunda melayani....”

“Belum sempat pramugari bermata sipit menyelesaikan pertanyaannya, pramugari pengeluh jadwal merampas gagang telepon dan menutupnya. Ia melihat drama tragis kolega lainnya di kabin bisnis.

“Panggil maskapai, Betty! Sekarang...sekarang!” seru

BTDLA/ GSa/5

commit to user

pramugari pengeluh tadi pada kolega bermata sipit dengan suara serak tersebut.

“Pesawat kita dibajak!” pekiknya lirih (BTDLA, 2014:910).

Drama tragis yang dilihat pramugari tersebut merupakan awal dari aksi pembajakkan pesawat yang kemudian menuntun Betty Ong mengabarkan pada Air Traffic Controller (ACT) di Boston bahwa pesawat telah dibajak.

“Halo, American Airlines Flight 11 di sini... melaporkan...pesawat ini dibajak...,” suara pramugari bermata sipit membetikkan kepanikan luar biasa. Dia menelpon ATC di Boston....

“Ini simulasi pembajakan, kan? Halo...halo...,” jawab suara di seberang sana. Orang di seberang seolah tak percaya dirinya mengeluarkan kata-kata itu....

Tiba-tiba suara dari ruang kemudi pesawat membuat semuanya menjadi jelas.

“Okay, nobody move. Don‟t make any stupid move....” Suara berat beraksen non-Amerika tiba-tiba menggaung dari kokpit. Semua penumpang di kabin bisa mendengarnya jelas. Sayang bukan suara John Ogonowski.

“We are returning to the airport. Again, stay calm and nobody moves. You‟ll be all right.” (BTDLA, 2014:12).

BTDLA/ GSa/6

Panggilan telepon yang dilakukan Betty Ong tersebut terekam dan transkripnya telah banyak dipublikasikan di internet seperti artikel berjudul „The 9/11 Tapes: The Story in the Air‟ dari The New York Times (2011) sehingga kemungkinan pengarang mengambil percakapan tersebut dari aslinya. Namun setelah ditelursuri ada sedikit perbedaan, yaitu petugas ACT yang tidak mempercayai adanya pembajakkan yang disampaikan Betty Ong. Yang sebenarnya Betty Ong menghubungi pihak maskapai American Airlines menyampaikan tentang pembajakan pesawat. Kurang lebih 20 menit sebelum tabrakan barulah ATC mendengar kabar pembajakan dan mendengar ucapan pembajak dari interkom American Airlines penerbangan 11. ACT kemudian menghubungi North American Aerospace Defense Command (Norad) meminta pesawat bantuan untuk American Airlines penerbangan 11 yang

commit to user

dibajak namun Norad mengira permintaan itu hanya simulasi (The New York Times, 2011) seperti yang ceritakan pada halaman selanjutnya berikut ini.

“Halo, NORAD. ATC Boston bicara.” “Ya.”

“Kirim pesawat buru sergap ke koordinat ini sekarang!” Angka-angka radar ditransformasikan ke pangkalan pertahanan militer Amerika Serikat di New York. Sepersekian detik angka-angka itu terbaca.

“Eh? Sebentar. Tidak ada simulasi seperti ini di latihan Vigiliant Guardian hari ini.”

Suara di seberang lain menjawab. Antara bingung dan memastikan.

“Bukan simulasi! Ini benar-benar pembajakan. Sekarang, di atas Garden Massachusetts. Empat puluh lima mil dari Boston.”

Suara yang lain mendesak. Tersenggal. “Eh?” (BTDLA, 2014:14).

BTDLA/ GSa/7

Beberapa keterangan dan kronologi cerita dirancang dengan detail oleh pengarang, hal ini tentunya tidak lepas dari riset yang dilakukan pengarang mulai dari media online hingga video dokumenter. Seperti kutipan paragraf dalam novel BTDLA berikut ini.

Aku mempercepat video itu. Video itu lalu menggambarkan ilustrasi bagaimana dua pria tadi beraksi dalam pesawat bersama komplotannya. Diawali dengan suasana hangat dari para pramugari saat mempersiapkan sarapan, ketegangan setelah pramugari melihat aksi pembunuhan kolega pramugari dan seorang penumpang yang berusaha menyelamatkannya dari dua pembajak di American Airlines Flight 11, upaya para pramugari menelpon menara bandara pengawas berkali-kali, tergoleknya pilot dan kopilot pesawat berlumur darah, hingga akhirnya animasi pesawat menabrak gedung World Trade Center menara utara. Di ujung video bagian pertama itu, pesawat United Airlines Flight 175 menyusul menghantam menara selatan. Kali ini bukan animasi. Tapi live video (BTDLA, 2014:174-175).

BTDLA/ GSa/8

Paragraf tersebut membuktikan bahwa pengarang sebelumnya telah mengetahui adanya video dokumenter. Dengan data terebut ada kemungkinan pengarang menggunakan video dokumenter yang beredar di internet sebagai acuan untuk membuat cerita pada awal ketika menceritakan pembajak dan

commit to user

keadaan di dalam pesawat sebelum menabrak WTC. Hal ini juga ditegaskan pengarang lewat keterangan di halaman akhir novel BTDLA, berikut kutipannya.

Beberapa cerita yang dituangkan dalam buku ini berasal dari inspirasi kisah-kisah yang kami lihat di jaringan media, online news, atau bahkan Youtube (BTDLA, 2014:336-337).

BTDLA/ GSa/9

Cerita selanjutnya pengarang beralih pada menara WTC Utara dengan menceritakan suasana dalam gedung setelah dihujam pesawat.

Burung besi itu melesak menggempur beberapa lantai di atas kantor Morgan Stanway di menara utara; menghasilkan bunyi dentum memekakkan telinga. Ibrahim Hussein dan Joanna Jones merasakan getaran yang berdegum-degum dari atas. Mereka berdua berada hanya 18 lantai di bawah impak pesawat American Airlines Flight 11, pada lantai ke-74 dari permukaan tanah.

....

Bunyi menguing nyaring sontak membisingkan suasana. Alarm tanda bahaya menyala otomatis. Menara utara ini dilengkapi sistem pengaman yang sangat “pintar”. Suara rekaman perempuan dari cerobong berlubang strimin yang melekat di plafon-plafon dan eternit berkata hal yang sama. Tapi itu jelas mesin (BTDLA, 2014:282).

BTDLA/ GSa/10

Kutipan tersebut menggambarkan keadaan awal ketika WTC Utara digempur pesawat, yaitu adanya suara alarm yang menggema ketika sebuah gedung sedang terancam kebakaran. Setelah itu barulah orang-orang di dalam gedung berhamburan menuju pintu darurat ingin segera keluar menyelamatkan diri karena lift tidak dapat dipakai, seperti yang dialami Hussein, Joanna, dan Phillipus. Sayangnya asma Joanna kambuh karena asap yang mulai memenuhi gedung, dia tidak kuat dan memilih bunuh diri daripada mati berdesakan dengan para manusia di tangga darurat. Berikut kutipannya.

Bagai tertampar muka, mereka mendapati tangga darurat penuh sesak dengan manusia. Mereka berjubel saling sikut tak beraturan menuruni anak tangga. Mereka kemudian berlari menuju anak tangga darurat lainnya. Hasilnya setali tiga uang. Lebih berjejal.

BTDLA/ GSa/11

commit to user

Suara “bummm” menggelegar tiba-tiba. Persis seperti dentuman pertama ketika pesawat menabrak menara utara. Dentuman yang lebih biadab.

Menara selatan menyusul takdirnya (BTDLA, 2014:283).

Kutipan di atas menggambarkan kekacauan di dalam gedung WTC Utara setelah ditabrak pesawat American Airlines penerbangan 11, tidak lama setelah itu pesawat United Airlines penerbangan 175 menabrak menara selatan.

“Tolong minggir... minggir... Ibu ini punya asma. Tolong kasih jalan, Tuan-Tuan dan Nyonya...,” Seru Ibrahim dalam kekalutan. Namun tak ada yang peduli. Tidak ada belas kasihan dalam keadaan krusial hidup dan mati seperti ini.

....

Menembus jejalan manusia, di luar perkiraan tiba-tiba Joanna membalikkan badan. Dia menghambur masuk lagi ke ruang di lantai 50. Ibrahim dan Phillipus terenyak dari kelunglaian perasaan. Mereka berlari menyusul Joanna sambil berteriak keras mencegah Joanna. Tanpa kuda-kuda dan rencana, Joanna berlari kencang dan membenturkan badannya yang sudah lemah sekencang mungkin pada kaca tipis ruangan yang terkuak sedikit, menghubungkan dirinya dengan udara luar. Dia sudah tak tahan lagi (BTDLA, 2014: 291).

BTDLA/ GSa/12

Kutipan di atas menggambarkan mengenai putus asanya seseorang dalam tragedi WTC, yaitu Joanna yang memutuskan bunuh diri dengan terjun dari lantai 50 gedung WTC. Diceritakan juga dalam novel BTDLA, bahwa tidak hanya satu orang saja yang bunuh diri dalam peristiwa tersebut.

Di detik itulah Phillipus dan Ibrahim menyaksikan manusia-manusia beterbangan dari atas menara melewati mata mereka.... Mereka menangis memilukan, menebak bagaimana ketika tubuh mereka beradu dengan landasan keras di bawah sana. Ada yang berubah pikiran, tangannya menggapai-gapai ke atas, seolah gravitasi dapat menarik balik. Pandangan mereka memohon tolong pada Phillipus dan Ibrahim. Tapi terlambat, mereka terus meluncur ke bawah (BTDLA, 2014:292).

BTDLA/ GSa/13

Novel BTDLA mengikatkan pembaca akan sejarah mengenai tragedi terorisme di Amerika. Tidak sampai di situ pengarang novel BTDLA

commit to user

memaparkan kronologi peristiwa pembajakan pesawat sampai runtuhnya gedung WTC namun diselipkan juga kontroversi atau hal-hal yang masih diperdebatkan, misalnya mengenai bom yang diduga menghancurkan kontruksi gedung WTC sehingga dapat luluh lantah setelah di hantam pesawat dan gedung WTC 7 yang tiba-tiba ambruk meskipun tidak tertabrak pesawat padahal letaknya jauh dari menara kembar. Berikut beberapa kutipan mengenai kejangalan tersebut.

Ibrahim tak menghiraukan kata-kata Phillipus. Dia menarik tangan Phillipus dan menyerahkan sebuah cincin berlian. Cincin yang diraihnya dari kelingking Joanna. Detik itu suara seperti bom bertubi-tubi bergantian menggelegak di lantai bawah. Orang-orang di tangga darurat semakin mendengking dengan lengkingan tak terjamah frekuensinya (BTDLA, 2014:303-304).

BTDLA/ GSa/14

“Para korban yang selamat, sebagian besar adalah mereka yang berada di bawah impak pesawat. Saat melewati bagian anak tangga di lantai bawah, mereka mendengar ledakan berkali-kali di lantai-lantai yang kuberi anak panah ini,” jelas Azima. Aku yakin semua yang dia tulis di catatan-catatan ini adalah hasil risetnya yang mendalam (BTDLA, 2014:166).

BTDLA/ GSa/15

Pernyataan mengenai bom juga dibahas oleh para ilmuan yang tidak percaya gedung WTC dapat luluh lantah sampai kontruksi bajanya meleleh hanya karena impak tabrakan pesawat. Mereka berasumsi bahwa ada oknum yang sengaja melemahkan konstruksi baja gedung WTC. Runtuhnya menara kembar saja masih terasa janggal oleh mereka apalagi kasus menara WTC 7 yang sama sekali tidak terkena dampak tabrakan pesawat. Meskipun National Institute of Standards and Technology (NIST) telah melaporkan bahwa gedung WTC 7 runtuh karena tidak kuat menahan panas yang diakibatkan tabrakan pesawat dari menara kembar namun ilmuan masih tidak percaya hanya karena panas yang tinggi dapat melelehkan kontruksi baja gedung WTC (Griffin, 2009). Berikut kutipannya dalam novel.

“Gedung ini runtuh tiba-tiba beberapa jam kemudian, setelah menara utara dan selatan kolaps. Padahal, gedung ini tak ditabrak. Jangankan ditabrak, gedung ini

BTDLA/ GSa/16

commit to user

dipisahkan sebuah blok jalan yang cukup jauh. Gedung lainnya yang di dekatnya hanya mengalami kerusakan fisik seperti kaca pecah, tapi tidak sampai ambruk,” Azima menunjuk gedung WTC 7 dengan fase-fasenya sebelum runtuh (BTDLA, 2014:165).

“Arsitek dan insinyur termasyhur sekalipun, para ahli pembuat gedung pencakar langit,” Julia menunjuk beberapa nama dalam catatan-catatan di kertas, “mereka tak percaya gedung itu bisa meleleh habis. Gedung itu dirancang untuk tetap tegar dengan tahanan paling berat sekalipun. Bahkan jika hantaman pesawat itu jatuh menukik vertikal dan membelahnya.”(BTDLA, 2014:166).

BTDLA/ GSa/17

Hal tersebut coba dibuktikan oleh para ilmuan, namun pada kejadian tersebut pihak AS tidak mengizinkan ilmuan meneliti reruntuhan banguan, hanya pemerintah saja lewat NIST yang melakukan penyelidikan. Namun para ilmuan berinisiatif mengambil sampel debu dari bekas reruntuhan dan mendapatkan hasil bahwa debu tersebut mengandung thermite. Yaitu senyawa yang diduga bisa melelehkan baja. Dalam novel BTDLA pelemahan baja tersebut disampaikan dalam paragraf berikut.

“Hanum, hanya ada satu penjelasan yang masuk akal mengapa kedua gedung itu bisa runtuh seketika dan demikian serempak. Satu alasan: struktur bajanya sengaja dilemahkan hingga tak kuat menerima beban. Sesederhana itu,” Azima menatapku dengan pandangan tajam. Seolah sebuah keyakinan menancap di hatinya terlalu lama, namun tak ada satu pun yang mengiakannya (BTDLA, 2014:166).

BTDLA/ GSa/18

Peristiwa 9/11 merupakan pembajakan terbesar di Amerika, yaitu tepatnya pada tanggal 11 September 2001 terjadi empat pembajakkan pesawat, dua di antaranya menabrak gedung kembar WTC, satu menabrak markas militer Amerika di Pentagon, terakhir digagalkan dan mendarat di sebuah lapangan di Pennsylvania. Penabrakan pesawat pada sisi barat Pentagon juga mengundang kejanggalan, pasalnya hanya ada foto puing pesawat pasca tabrakan saja yang disiarkan oleh pangkalan militer Amerika.

“Bagiku, 11 September adalah tanggal yang tak pernah melangkah, Hanum. Aku tak akan mengatakan bahwa

BTDLA/ GSa/19

commit to user

sebuah konspirasi laknat dengan sempurna berlaku dalam kejadian itu. Tapi mengapa tanggal itu merangkum banyak kejadian janggal dan aneh? Pangkalan militer yang mengira pembajakan itu hanya simulasi latihan, badan pesawat yang hilang setelah menabrak gedung Pentagon, dan CCTV saat itu mati, hingga paspor seorang muslim, milik si “pembajak”, yang ditemukan utuh di tengah puing pesawat yang berkeping-keping....” (BTDLA, 2014:167).

Segala bentuk kejanggalan yang mengundang konspirasi dalam novel ini bukan semata-mata untuk menjelek-jelekan pihak tertentu, pengarang menyampaikan dalam halaman-halaman terakhir dari novel BTDLA bahwa mereka sengaja memaparkan sejarah dan fakta ilmiah yang bersifat “debatable” sehingga pembaca mendapat keseimbangan infomasi, serta mengasah cara berpikir yang tidak linear atau out of the box (BTDLA, 2014:337).

b. Islamophobia

Semenjak terjadi peristiwa 9/11 hubungan Islam dengan Amerika menjadi tidak baik. Banyak orang Islam yang diperlakukan tidak adil, dihina, bahkan tidak jarang dikucilkan di Amerika. Ketakutan atau kebencian/keengganan terhadap Islam dan muslim, gejala inilah yang disebut sebagai Islamophobia (Helbling, 2012: 4). Islamophobia sendiri muncul akibat rasa benci dari orang Barat tidak hanya Amerika saja namun juga sebagian besar Eropa atas orang muslim. Bahkan menurut Allen fenomena Islamophobia atau anti-Islam ini muncul pada awal tahun 1920 kemudian menjadi populer tahun 1990 di Eropa (dalam Helbling, 2014:4).

Novel BTDLA memaparkan cerminan fenomena tersebut ke dalam sebuah konflik cerita yang mana tokoh utama, Hanum diminta bosnya di Heute ist Wunderbar untuk menulis artikel mengenai „akankah dunia lebih baik tanpa Islam‟. Awalnya tema artikel ini sangat menyudutkan Hanum sampai dia sempat menolak untuk menulisnya namun pada akhirnya Hanum sadar bahwa dengan artikel ini dia dapat membuktikan bahwa dunia tidak akan lebih baik tanpa Islam. Dari sinilah Hanum dikirim ke Amerika untuk

commit to user

meliput peringatan peristiwa 9/11 dan menemui beberapa narasumber sebagai data pendukung penulisan artikelnya.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa di Eropa pun dilanda fenomena Islamophobia. Pengarang juga sedikit menyinggungnya dalam novel BTDLA tentang Partai Neo Nazi di Wina yang membenci Islam bahkan sampai membuat aplikasi komputer, yaitu permainan menembak miniaret masjid saat muazinnya mengumandangkan azan. Berikut kutipannya.

“Partai Neo Nazi, kau tahu kan, yang berlindung di balik nama besar Freedom Party,” Gertrud menyebutkan nama partai yang sangat kukenal. Bulan lalu partai itu membuat aplikasi permaian komputer berjudul “Bang-Bang Ali!”. Permaian menembak miniaret masjid saat muazinnya menggaungkan azan. Siapa yang cepat dan paling banyak menjatuhkan muazin, dialah pemenangnya....” (BTDLA, 2014:242).

BTDLA/ GSb/1

Hanya sebatas penjabaran Islamophobia di Eropa, karena fokus novel BTDLA ini adalah menyoroti Islamophobia yang ada di AS, seperti dalam kutipan berikut ini.

“Hey man, do you think that Ninja is really a female?” si berandal putih bertanya nakal pada berandal hitam. Mengumpat perempuan bercadar sebagai ninja yang bisa saja bukan perempuan.

“No... no.... I think they are twins... hahahaha.” Si berandal hitam yang tampak lebih mabuk menjawab dengan kengawuran. Tiga pria tadi sontak tertawa-tawa mengekeh tak keruan. Menyisakan seluruh penumpang terdiam (BTDLA, 2014:127).

BTDLA/ GSb/2

Kutipan tersebut menggambarkan ejekan yang masih sering terlontar pada orang Islam yang berada di Amerika. Pria berjenggot panjang dengan gamis ala Pakistan bersama istrinya yang berkerudung dan bercadar merupakan gambaran orang Islam yang terpikir oleh ketiga beradal karena itu mereka mengejek kedua orang tersebut dan mempermalukkan mereka di depan umum.

“Kau tidak akan bisa membayangkan bagaimana setiap waktu sejak 11 September, kejadian seperti di metro tadi

BTDLA/ GSb/3

commit to user

sore hadir dalam hidupku. Mungkin kaupikir mereka hanya bercanda, tetapi kaulihat kan, bagaimana orang-orang di metro saling berbisik dan berkisik melihat pasangan Arab tadi.” (BTDLA, 2014:153).

Kutipan di atas merupakan lanjutan dari kutipan sebelumnya bahwa salah satu tokoh, yaitu Azima juga mengalami hal yang sama seperti yang terjadi di metro pada saat gelandangan mengejek orang Islam di depan umum. Meskipun hanya beberapa orang yang melakukan tindakan diskriminasi secara langsung namun kebanyakan orang “saling berbisik dan berkisik” itu artinya juga ikut andil melakukan tindakan dikriminasi. Karena kejadian-kejadian seperti itulah Azima sampai melepas hijabnya.

Pendemo mabuk itu tak menggubris kata-kata polisi itu. Bukannya menurunkan, dia makin garang saat menjumpai papan nama di dada salah satu polisi.

“Hey! Your name is also Mohammed, Officer! Are you a muslim? You don‟t belong to the United States of America! Go Away! Pergilah kembali ke negaramu Arab sana! Kau membuat ulah saja di sini. Lihat beberapa

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 28-49)

Dokumen terkait