• Tidak ada hasil yang ditemukan

feed back

2.6 Temuan-temuan Penelitian terdahulu

Pentingnya pembangunan karakter (Character Building) untuk menjadi

main stream dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan suatu keniscayaan. Hal ini karena memiliki makna yang strategis dan dapat mempengaruhi perjalanan bangsa di masa depan. (Branson, 1998; Rachman, 2001; Reid, 2005).

Branson (1998:14) menyatakan bahwa di Amerika Serikat persoalan pendidikan karakter dan PKn telah menjadi diskusi yang cukup lama di kalangan para ahli pendidikan. Terdapat dua aspek penting terkait dengan

pembangunan karakter di Amerika Serikat, yaitu sifat-sifat karakter pribadi dan karakter publik. Ciri-ciri karakter pribadi meliputi tanggung jawab moral, disiplin pribadi, dan hormat kepada orang lain dan martabat manusia. Sedangkan ciri-ciri karakter publik meliputi public-spiritedness, civility, respect for law, critical-mindedness, and a willingness to negotiate and

compromise. (1998:16). Karakter publik ini sering dinamakan pula karakter kolektif atau karakter bangsa.

Lebih lanjut Branson mempertanyakan bagaimana Civic Education dapat memperkuat dan melengkapi perkembangan karakter sebagai berikut:

How can civic education strengthen and complement the development of character? Primary responsibility for the cultivation of ethical behavior and the development of private character, including moral character, lies with families, religious institutions, work settings, and the other pads of civil society. School, however, can and should play a major role in the overall development of the character of students. Effective civic education programs should provide students with many opportunities for the development of desii able traits of public and private character. (Branson, 1998:17)

Dengan tegas Branson menyatakan bahwa hasil penelitian mata pelajaran di sekolah seperti pemerintahan, kewarganegaraan, sejarah dan sastra bila diajarkan secara baik akan memberikan kerangka konseptual yang diperlukan untuk pendidikan karakter.

Selanjutnya Reid (2005:122-125) menemukan hasil dari penelitiannya tentang national building di Indonesia bahwa pembangunan karakter bangsa melalui PKn bagi Indonesia secara ontologis baik sebelum maupun pasca proklamasi kemerdekaan 1945 lebih diarahkan pada pembentukan persatuan nasional. Kaum nasionalis banyak berperan dalam membentuk persepsi

bangsa terhadap kaum penjajah yang telah ditanamkan sejak beberapa dekade sebelumnya. Menurut Reid, “The heroic ideals of the nationalist movement, sanctified during the revolutionary struggle of the 1940s, were about national

unity in opposition to Dutch oppresions”. Setelah Indonesia memasuki babak Orde Baru, peran pembangunan karakter bangsa banyak mendapat campur tangan dari kalangan militer. Tokoh militer intelektual yang berperan saat itu adalah sejarawan TNI, Brigadir Genderal Dr. Nugroho Notosusanto. Nugroho yakin bahwa “that history was the way to build an integral state with the army as its backbone. history is the most effective means to achieve the two

(principal) goals, that is the goal of strengthening the spirit of integration in

the Armed Forces, and the goal of perpetuating the precious values of the

1945 struggle ” (Reid, 2005:129). Atas dasar pandangan-pandangannya itulah kemudian dalam rangka membangun karakter bangsa, dilahirkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), “History of National Struggle” pada tahun 1985, yang diajarkan mulai jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA).

Satmoko (1983:247) dalam penelitiannya tentang pengaruh bimbingan kelompok pada perkembangan kepribadian Pancasila murid-murid sekolah lanjutan Kotamadya Semarang, menyimpulkan bahwa (1) ada perbedaan yang signifikan antara murid-murid sekolah lanjutan yang cerdas dan yang kurang cerdas dalam HPKP karena faktor pokok kecerdasan umum berpengaruh positif, (2) ada perbedaan yang signifikan antara murid-murid yang bersekolah di SMA I, SMEA II, SMPS, SPG, dan SMP V dalam HPKP mereka, karena

faktor pokok sekolah berpengaruh positif, (3) faktor pokok bimbingan baru berpengaruh positif pada HPKP murid-murid sekolah lanjutan bila interaksi dengan faktor lain (value clarification approach, kecerdasan umum, indeks sosiometri, sekolah), (4) faktor pokok indeks sosiometri baru berpengaruh positif pada HPKP apabila berinteraksi dengan faktor pokok lain (value clarification approach, kecerdasan umum, indeks sosiometri, sekolah), (5) murid-murid sekolah lanjutan yang mendapat bimbingan kelompok dengan

values clarification approach lebih unggul secara signifikan HPKP-nya dibanding dengan yang tidak mendapat, khususnya pada kelompok murid-murid yang cerdas, kurang cerdas, berindeks sosiometri tinggi dan yang berindeks sosiometri rendah, (6) murid SMA I yang mendapat bimbingan kelompok dengan values clarification approach paling unggul HPKP-nya disbanding dengan sekolah-sekolah yang lain.

Penelitian Purwanti (2001:278-279) yang berjudul Hubungan Ketahanan Mental dan Prestasi Belajar dengan Perilaku Beresiko pada Remaja di SMU Satrya Wacana Semarang, diperoleh kesimpulan bahwa antara prestasi belajar dan perilaku beresiko tidak ada hubungan yang signifikan. Selain itu, antara ketahanan mental, prestasi belajar, dan perilaku beresiko juga tidak ada hubungan yang signifikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran selama ini yang dilakukan di sekolah kurang peduli pada persoalan-persoalan pembangunan karakter peserta didik.

Terdapat kecenderungan umum bahwa pembangunan karakter belum memperoleh porsi secara proporsional dalam proses pembelajaran di sekolah.

Dari penelitian longitudinal generasi muda di Amerika Serikat sejak tahun 1988 tentang perilaku beresiko bersimpulan bahwa sebagian besar remaja tidak menggunakan sebagian waktunya untuk kegiatan yang membangun keterampilan dan pembentukan karakter (Purwanti, 2001:284). Remaja SMA kelas satu, misalnya, rata-rata menggunakan kru untuk mengerjakan pekerjaan rumah hanya sekitar satu setengah jam sehari, kegiatan keagamaan kurang dari sepertiga remaja yang melakukannya seminggu sekali atau kurang. Penggunaan waktu bebas bagi remaja dengan menonton televisi rata-rata dua setengah jam sehari, 60% remaja lainnya mengobrol dengan teman yang lain dengan telepon, 64% bertandang bersama teman ke mall atau ke rumah teman yang lain minimal 1-2 kali seminggu, kemudian untuk bekerja pocokan 60% pada kelas tiga dan 27% pada kelas satu.

Begitu juga dengan penelitian Cauffman (dalam Rachman, 2007:185) bersimpulan bahwa tingkat maturitas remaja berhubungan dengan umur yaitu pada kelas enam berkecenderungan menurun, sementara pada kelas I dan II SMA kemudian meningkat, dan akan meningkat lagi pada masa dewasa. Ditemukan kebiasaan bahwa pada wanita lebih matang dibandingkan dengan remaja laki-laki seusianya. Akan tetapi, tingkat maturitas dalam tanggung jawab merupakan prediktor yang paling baik dalam setiap umur. Seorang remaja usia 15 tahun yang matang dapat mengambil keputusan lebih baik dibandingkan usia remaja yang tidak matang, misal dalam keputusan tidak merokok dan tidak mencuri.

Nugroho (2001:136) yang meneliti model pencegahan tawuran pelajar melalui peningkatan kecerdasan dan kematangan emosi, menyimpulkan bahwa tawuran yang selama ini terjadi merupakan tali temali dari kondisi internal dan eksternal siswa. Kondisi internal yang kondusif terjadinya tawuran adalah kualitas proses belajar yang kurang bermakna, tingkat kecerdasan emosi yang rendah rendahnya ketahanmalangan para siswa. Sementara kondisi eksternal yang turut menyuburkan kecenderungan tawuran meliputi rendahnya disiplin sekolah, kurangnya sarana-prasarana bengkel kerja yang menjadikan mereka harus pinjam ke tempat lain sehingga di jalan sering terjadi ejek mengejek yang akhirnya terjadi tawuran, dan pengaruh provokasi dari para siswa senior, untuk penanggulangan tawur pelajar adalah melalui peningkatan ketahanmalangan dan kecerdasan emosi siswa, membangun kerjasama lintas sekolah, dan membuat jaringan informasi lintas pelaku sebagai peringatan dini (early warning) akan terjadi tawuran.