• Tidak ada hasil yang ditemukan

feed back

2.4 Teori yang Mendasari Pembelajaran sebagai pembangunan

2.4.1 Teori Gestalt

Teori belajar Gestalt berada pada rumpun aliran kognitivisme. Aliran ini telah memberikan kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respons, aliran kognitif memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respons yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Karena itu, menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya.

Bahkan teori Gestalt melakukan pengkajian fungsi motor-visual untuk pengamatan perilaku. ”Assessment of visual-motor functions is an important of a comprehensive psychological evaluation. The Bender-Gestalt test has

provided insight into such problems as mental retardation, learning

Kendati pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, namun ia tidak selalu menafikan pandangan-pandangan kaum behavioristik. Reinforcement, misalnya yang menjadi prinsip belajar behavioristik, juga terdapat dalam pandangan kognitif tentang belajar. Namun bedanya behavioristik memandang reinforcement sebagai elemen yang penting untuk menjaga dan menguatkan perilaku, sedangkan menurut pandangan kognitif reinforcement sebagai sebuah sumber feedback apakah kemungkinan yang terjadi jika sebuah perilaku diulang lagi.

Psikologi kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi Gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh Gestalt tersebut belum merasa puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang menyatakan belajar sebagai proses stimulus dan respons serta manusia bersifat mekanistik. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh Gestalt lebih menekankan pada persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah sekedar mahluk yang hanya bisa bereaksi jika ada stimulus yang memengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia adalah mahluk individu yang utuh antara rohani dan jasmaninya. Dengan demikian, pada saat manusia bereaksi dengan lingkungannya, manusia tidak sekadar merespons, tetapi juga melibatkan unsur subyektivitasnya yang antara masing-masing individu bisa berlainan.

Berbeda dengan teori-teori yang dikemukakan oleh para tokoh behavoirisme, terutama Thorndike, yang menganggap bahwa belajar sebagai proses trial and error, teori Gestalt ini memandang belajar adalah proses yang

didasarkan pada pemahaman (insight). Karena pada dasarnya setiap tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku tersebut terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan seseorang secara langsung dalam situasi belajar tersebut akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu individu tersebut memecahkan masalah. Dengan kata lain, teori Gestalt ini menyatakan bahwa yang paling penting dalam proses belajar individu adalah dimengertinya apa yang dipelajari oleh individu tersebut. Oleh karena itu, teori belajar Gestalt ini disebut teori belajar insight.

Seperti pada eksperimen yang dilakukan kaum behavioristik, Wolfgang Kohler pun menjelaskan teori Gestalt ini melalui percobaan dengan seekor simpanse yang diberi nama Sultan. Dalam eksperimennya, Kohler ingin mengetahui bagaimana fungsi insight dapat membantu memecahkan masalah, dan membuktikan bahwa perilaku simpanse dalam memecahkan masalah yang dihadapinya tidak hanya didasarkan stimulus dan respons atau trial dan error

saja, tapi juga karena ada pemahaman terhadap masalah dan bagaimana memecahkan masalah tersebut (Fudyartanto, 2002:82).

Eksperimen yang dilakukan oleh Kohler menunjukkan pentingnya pembentukan insight dalam proses belajar. Pembentukan insight dalam individu belajar terjadi karena ada persepsi terhadap lingkungan atau medan dan menstrukturnya sehingga membentuk menjadi suatu susunan yang bermakna, yaitu terbentuknya insight.

Proses belajar yang menggunakan insight (insightfull learning) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Suryabrata, 1990:73): (1) Insight

tergantung pada kemampuan dasar. Kemampuan dasar yang dimiliki individu masing-masing berbeda-beda satu dengan yang lain. Biasanya perbedaan tersebut terletak pada usia, biasanya usia yang muda lebih sukar belajar dengan insight. (2) Insight tergantung kepada pengalaman masa lampau yang relevan. Latar belakang turut membantu terbentuknya insight, tetapi tidak menjamin terbentuknya insight. (3) Insight tergantung kepada pengaturan situasi yang dihadapi. Belajar insight hanya mungkin terjadi jika situasi belajar diatur sedemikian rupa, sehingga semua aspek yang dibutuhkan dapat diobservasi. (4) Insight didahului dengan periode mencari dan mencoba-coba. Individu sebelum memecahkan masalah mungkin melakukan respons-respons yang kurang relevan terhadap penyelesaian problemnya. (5) Solusi problem dengan menggunakan insight dapat diulangi dengan mudah, dan akan berlaku secara langsung. (6) Jika insight telah terbentuk, maka problem pada situasi-situasi yang lain akan dapat dipecahkan. Insight mempunyai kemampuan untuk ditransfer dari satu masalah ke satu masalah lain, walaupun situasi-situasi yang menimbulkan insight berbeda dengan situasi-situasi dan materi hal yang baru, namun realisasi-realisasi dan generalisasinya sama.

Selain insight, teori Gestalt juga menekankan pentingnya organisasi pengamatan terhadap stimuli di dalam lingkungan dan faktor-faktor yang memengaruhi pengamatan. Melalui penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt, disusunlah hukum-hukum Gestalt yang berhubungan

dengan pengamatan (Fudyartanto, 2002:89) sebagai berikut. (1) Hukum Pragnanz, yang merupakan hukum umum dalam psikologi Gestalt. Hukum ini menyatakan bahwa organisasi psikologis selalu cenderung untuk bergerak kearah penuh arti (pragnanz). Menurut hukum ini, jika seseorang mengamati sebuah atau sekelompok obyek, maka orang tersebut akan cenderung memberi arti terhadap obyek yang diamatinya, dengan memberikan kesan sedemikian rupa terhadap obyek tersebut. Kesan yang memberikan arti terhadap obyek mungkin didasarkan pada warna, bentuk, ukuran, dan sebagainya. (2)Hukum Kesamaan (the law of similarity), yang menyatakan bahwa hal-hal yang sama cenderung membentuk kesatuan. (3) Hukum Keterdekatan (the law of proximity), yang menyatakan bahwa hal-hal yang saling berdekatan cenderung membentuk kesatuan. (4) Hukum ketertutupan (the law of closure), yang menyatakan bahwa hal-hal yang tertutup cenderung membentuk keseluruhan. (5) Hukum Kontinuitas yang menyatakan bahwa hal-hal yang kontinu atau yang merupakan kesinambungan (kontinuitas) yang baik akan mempunyai tendensi untuk membentuk kesatuan.