Berbagai fenomena terkait dengan informasi dan ulasan ekonomi yang telah disinggung tadi, dipastikan akan berpengaruh pada tingkat partisipasi rakyat dalam pembangunan ekonomi dan politik. Jika rakyat kesulitan memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi dan meragukan arah kebijakan ekonomi pemerintah, bagaimana mungkin partisipasi aktif bisa digalang. Permasalahannya menjadi berbeda jika ternyata yang sedang berlangsung memang proses yang merugikan rakyat (bahkan dilakukan secara sengaja). Jika itu yang terjadi, maka sudah jelas bahwa segala “kebingungan” tersebut sengaja terus dipelihara. Kadang ada sedikit klarifikasi me- ngenai hal-hal tertentu, sehingga seolah-olah nasib rakyat masih dibela.
Buku ini adalah salah satu upaya meningkatkan pemahaman berbagai komponen masyarakat tentang kondisi dan dinamika per- ekonomian Indonesia. Penjelasannya terutama sekali ditujukan ke- pada tokoh-tokoh masyarakat di tingkat nasional dan daerah, ter-
Upaya pemulihan perekonomian dari krisis 1997 pada akhirnya berujung kepada harus (semakin) dijalankannya agenda neoliberalisme di Indonesia. Neoliberalisme adalah konsep paling mutakhir dari kapital- isme, dan dominasi agendanya harus difahami dalam konteks sejarah kapitalisme. Dalam kasus Indonesia, kapitalisme dahulu pernah mengambil bentuk penjajahan fisik (kolonialisme).
masuk para generasi mudanya. Termasuk dalam pengertian tokoh adalah elemen masyarakat yang bergiat dalam gerakan mahasiswa, gerakan sosial dan aktivitas pemberdayaan masyarakat lainnya. Diasumsikan bahwa dengan pengetahuan yang lebih baik tentang “logika dasar” perekonomian, maka upaya peningkatan partisipasi politik masyarakat akan seiring dengan capacity building dari negara kesatuan Republik Indonesia. Secara lebih khusus diharapkan agar konflik kepentingan yang telah dan masih akan terjadi, terutama kepentingan ekonomi, dapat dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengarah kepada konflik kekerasan. Akhirnya yang menjadi parameter atau tujuan utama adalah kemakmuran bersama seluruh rakyat Indonesia.
Dari banyak diskusi dengan berbagai kalangan aktivis gerakan, terkesan bahwa kebanyakan mereka menyadari ada suatu kesalahan besar dalam pengelolaan ekonomi negeri ini. Sebagiannya telah mengemukakan bahwa hal itu berhubungan erat dengan agenda neoliberalisme yang melanda seluruh dunia. Beberapa dari mereka menelusurinya pada jejak-jejak ide. Sebagian lainnya menyoroti bentuk-bentuk teknisnya, terutama yang berkaitan dengan dampak penyengsaraan terhadap rakyat Indonesia.
Kesadaran mengenai adanya ketidakberesan dalam dinamika perekonomian Indonesia sebenarnya juga mulai tumbuh pada banyak pengusaha, teutama yang berskala UMKM. Mereka memang tidak tertarik pada soal konseptual, atau tidak pernah menyinggung istilah neoliberalisme. Namun, sebagian besar dari mereka merasakan himpitan persaingan yang tidak seimbang antar pelaku bisnis yang jauh berbeda skalanya (termasuk pelaku asing), serta kerentanan mereka pada berbagai goncangan makroekonomi.
nya perubahan yang mendasar dalam pengelolaan perekonomian nasional juga diisyaratkan oleh beberapa tokoh politik dan masyarakat. Itu pula yang terjadi pada sebagian ahli ekonomi yang belakangan ini menjadi lebih kritis daripada sebelumnya.
Pada tataran lain, pembicaraan tentang perekonomian dapat di- lihat dari sudut pandang kepentingan (interest), politik dan atau ekonomi. Pengertian kepentingan disini bersifat umum, bisa berarti individu, kelompok orang, atau kelembagaan. Tidak pula diartikan secara negatif atau positif, melainkan netral. Artinya dianggap wajar bahwa kondisi yang ada mencerminkan suatu proses dinamik, be- rupa tawar menawar, konflik dan konsensus.
Dalam era reformasi terlihat jelas bahwa semua komponen masyarakat memiliki keinginan yang lebih kuat untuk menyampai- kan aspirasi, termasuk kepentingan ekonominya. Berbagai contoh dapat dikemukakan. Para pekerja tidak segan berdemonstrasi menuntut kenaikan upah. Kalangan dunia usaha sendiri selalu menyuarakan keberatannya atas kebijakan pemerintah yang di- anggap merugikan bisnisnya. Para mahasiswa dan sebagian elemen masyarakat tampak sangat peka dengan pengurangan subsidi BBM dan listrik, yang berujung pada kenaikan harga. Para guru menuntut anggaran pendidikan yang sesuai dengan UUD, yakni sebesar 20 persen dari total anggaran. Para korban bencana, atau simpatisannya, menghendaki bantuan pemerintah yang cukup memadai atau se- tidaknya dalam jumlah yang lebih besar daripada yang mereka terima saat itu.
Sementara itu pula, pemerintah tengah berkutat dengan ke- terbatasan anggaran. Mereka beralasan harus melakukan konsolidasi fiskal, artinya ada penentuan prioritas belanja yang ketat, sehingga keuangan pemerintah secara keseluruhan masih dapat dikelola. Pemerintah menjadi semakin sibuk mencari upaya menaikkan pe-
nerimaan, yang diantaranya dilakukan melalui optimalisasi pe- nerimaan pajak. Dengan kata lain, jika tidak dikelola dengan hati-hati, keuangan pemerintah pun bisa menjadi sangat buruk, serupa dengan pengertian “bangkrut” dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Memang tidak terbayangkan bagi masyarakat awam bahwa pe- merintah yang berskala begitu besar bisa terancam default (gagal membayar kewajiban)dalam keuangannya. Setidaknya begitulah ke- adaannya menurut pengakuan otoritas pembuat anggaran.
Dalam konteks ini, para aktivis gerakan seyogyanya berhati-hati pada kemungkinan kekeliruan dalam mendiagnosa suatu persoalan, yang secara tidak sengaja justeru menguntungkan pihak kapitalisme intenasional. Sebagai contoh adalah tema sentral gerakan di masa lalu seperti “state versus society” yang harus diterjemahkan secara lebih akurat saat ini. Sangat mungkin upaya pelemahan negara (state)tidak menguntungkan bagi rakyat, dan justeru menguntungkan pemodal besar. Pemberdayaan masyarakat (empowering society) harus di- posisikan secara lebih luas dan komprehensif, tidak vis a visnegara saja. Pengembangan kapabilitas rakyat untuk mengambil keputusan serta jaminan untuk memperoleh hak-hak ekonominya lebih di- kedepankan daripada upaya pelemahan negara atau aktivitas radikal sejenisnya. Kekuatan modal saat ini telah memungkinnya untuk secara cerdik, tidak selalu tampil sebagai bagian dari pemerintahan atau negara dalam arti yang konvensional seperti di masa lampau.
Sekali lagi ditegaskan bahwa buku kecil ini bermaksud meng- gambarkan dinamika perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dalam perspektif yang kritis. Tentu saja argumen yang dibangun tetap meliputi masa-masa yang lebih lama, karena tesis dasar yang diajukan adalah bahwa cengkeraman neoliberalisme ter- hadap perekonomian Indonesia saat ini adalah kelanjutan dari dominasi kapitalisme yang telah berlangsung selama beberapa abad.
Bab 2 dan 3 mendeskripsikan kondisi dan dinamika perekonomian Indonesia, dan agak bersifat teknis ekonomi.
Penjelasan secara cukup panjang lebar pada kedua bab itu (khususnya tentang berbagai indikator ekonomi)karena dua alasan. Pertama, indikator yang dibicarakan sering dipakai sebagai argumen pendukung pelaksanaan agenda neoliberalisme di Indonesia. Sehingga cara analisis yang berbeda terhadap angka-angkanya di- perlukan sebagai argumen bantahan. Kedua, agar para pembaca tidak langsung mendapatkan hasil analisis saja, melainkan juga memahami teknik atau metode analisisnya. Dengan demikian, jika ada perkembangan data baru maka analisis bisa dilakukan sendiri secara mudah.
Bab 4 menjelaskan ikhwal neoliberalisme (termasuk kapital- isme)sehingga detil-detil agenda neoliberalisme bisa lebih dimenger- ti. Bab 5 membicarakan kasus Indonesia hingga terjerat pada neo- liberalisme. Bab 6 berisi formulasi ulang alasan penolakan secara le- bih sistematis, serta rekomendasi bentuk-bentuk perlawanan. Sebagian rekomendasi bentuk perlawanan yang disampaikan penulis telah menjadi pemahaman umum para aktivis gerakan, dan sudah ada yang berwujud aksi nyata. Dalam sebagian hal itu, kami hanya menghimpun dan mensistematisasikannya menurut per- spektif penulis. Bab 7 adalah kesimpulan seluruh pembahasan.
REALITA PEREKONOMIAN
INDONESIA(I): MAKROEKONOMI
S
ejak Soeharto berkuasa sampai dengan pertengahan tahun1997, perkembangan perekonomian Indonesia secara ke- seluruhan terlihat mengesankan. Secara umum, indikator makroekonomi menunjukkan perkembangan angka dan kondisi mutakhir yang sangat baik. Tidak ada pertanda yang membuat khawatir bagi banyak pihak, terutama bagi pemerintah dan otoritas moneter. Indikator makroekonomi yang dimaksud antara lain adalah: pertumbuhan ekonomi, angka inflasi, nilai tukar rupiah, cadangan devisa dan neraca pembayaran.
Keadaan itu kemudian berubah secara drastis hanya dalam waktu setahun, mulai pertengahan tahun 1997 hingga tahun 1998. Perkembangan indikator makroekonomi berbalik arah, menjadi amat buruk. Nilai tukar rupiah merosot sangat tajam, pertumbuhan ekonomi menjadi negatif, inflasi sangat tinggi, neraca pembayaran mengalami defisit yang besar, serta cadangan devisa terkuras hampir habis. Semua pihak baru menjadi sadar bahwa telah terjadi krisis, krisis moneter sekaligus krisis ekonomi. Krisis yang terjadi memenuhi hampir semua kriteria atau ciri suatu krisis yang dikenal dalam wacana ekonomi. Peristiwa tersebut bisa dikatakan sebagai krisis nilai tukar, krisis perbankan, krisis moneter, ataupun krisis ekonomi. Selain cakupannya yang sangat luas yang melanda hampir semua sektor ekonomi, kejadian dan kondisi buruk berlangsung dalam kurun waktu berkepanjangan.
Setelah satu dekade berlalu, rangkaian peristiwa yang begitu dramatis tersebut tetap menyisakan suatu persoalan teoritis. Masih
terdapat perbedaan pandangan mengenai penyebab utama dari krisis, terutama berkenaan dengan bobot dari masing-masing faktor yang diidentifikasi. Sebagai contoh, apakah goncangan eksternal, khususnya efek penularan dari krisis regional, yang menjadi faktor penyebab terpenting. Ataukah, soal lain yang lebih bersifat internal, yakni rapuhnya fundamental ekonomi. Jika keduanya di- kedepankan secara bersama, maka perdebatan mengarah pada se- berapa proporsi masing-masingnya. Kontroversi lain adalah me- ngenai upaya penanganan krisis yang tidak tepat. Mulai dari soal keterlambatan, kesalahan tindakan, sampai dengan biaya yang ter- lampau besar.
Kesepakatan umum hanya kepada hal yang telah jelas dengan sendirinya, yaitu urutan dan rangkaian peristiwa yang disebut krisis. Padahal, urutan peristiwa tidak selalu berarti kausalitas atau hubung- an sebab akibat. Sementara itu, dinamika berikutnya pun ber- langsung secara susul menyusul atau terjadi secara bersamaan. Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS secara amat tajam, memulai krisis moneter yang terjadi tak lama kemudian. Suku bunga menjadi tinggi dan laju inflasi semakin tak terkendali, diiringi dengan defisit neraca pembayaran yang semakin besar. Krisis moneter diikuti oleh krisis perbankan, hanya dalam hitungan bulan, oleh karena industri perbankan tidak mampu menanggung kondisi moneter dan ke- uangan yang sedemikian berat. Secara simultan, dan dalam waktu yang amat singkat, krisis tersebut membuat sektor riil terpukul hebat, sehingga secara keseluruhan menciptakan krisis ekonomi. Krisis ekonomi membawa kepada krisis politik, yang berujung pada jatuh- nya rezim Soeharto.
Upaya memulihkan kondisi ekonomi kemudian dilakukan oleh pemerintahan pasca Soeharto, dengan bantuan dana dan “bantuan teknis” dari International Monetary Funds (IMF). Pemerintahan
pasca Soeharto, terutama era Habibie, menjalankan program stabil- isasi makroekonomi melalui kebijakan moneter dan fiskal. Program awal difokuskan untuk mengatasi permasalahan yang sangat men- desak pada saat krisis, yaitu: meredam tekanan laju inflasi dan gejolak nilai tukar. Mereka berupaya agar keadaan moneter menjadi stabil dengan pertanda suku bunga yang normal dan nilai tukar rupiah yang realistis, sehingga dapat membantu kebangkitan kembali dunia usaha. Secara bersamaan, pemerintah melakukan berbagai langkah konsolidasi di bidang fiskal yang berintikan upaya peningkatan disiplin anggaran. Upayanya antara lain : penghematan atas berbagai pengeluaran pemerintah, penjadwalan dan penyesuaian terhadap beberapa proyek pembangunan, serta pengurangan subsidi.
Sebenarnya, pemerintahan Soeharto sendiri telah dibantu oleh IMF untuk mengatasi keadaan perekonomian yang mulai memburuk pada masa awal krisis. Sebagian pihak yang kritis menilai bantuan, khususnya berupa advis IMF yang dituruti oleh pemerintah dalam menangani masalah perbankan, justeru menambah parah situasi pada waktu itu. Sebagai contoh, penutupan 16 bank pada tanggal 1 November 1997, yang dimaksudkan untuk mengembalikan ke- percayaan terhadap bank, mengakibatkan keadaan yang sebaliknya. Kepercayaan masyarakat kepada bank-bank nasional menjadi semakin rendah. Kekhawatiran akan terjadinya pencabutan ijin usaha bank, padahal belum ada program penjaminan simpanan, menyebabkan kepanikan masyarakat atas keamanan dananya di perbankan. Rentetan kejadian berikutnya adalah tekanan kepada industri perbankan hingga meningkatkan eskalasi krisis.
Bagaimanapun, pandangan yang kemudian dominan adalah yang melimpahkan kesalahan seluruhnya kepada pemerintahan Soeharto. Rekomendasi IMF masih dituruti oleh pemerintahan era berikutnya pun, secara sukarela maupun terpaksa karena
merupakan syarat dari bantuan finansial yang diberikan. Sejatinya, hubungan Indonesia dengan IMF adalah berkenaan dengan ke- sulitan neraca pembayaran yang sedang dialami, yang memang men- jadi hak Indonesia sebagai negara anggota. Oleh karena mekanisme dan persyaratan hubungan yang sedemikian rupa, Indonesia diharuskan mendapat bantuan teknis sebagai pendamping bantuan dana. Bantuan teknis tersebut berupa paket kebijakan yang di- sarankan untuk dijalankan, dimana tingkat keharusan menurutinya bergantung pada besarnya nilai dana yang akan dikucurkan. Indonesia sempat mencapai tingkat harus sepenuhnya menuruti melalui mekanisme perjanjian yang dikenal luas sebagai Letter of Intens(LoI).
Sebagian besar “saran IMF” tersebut bahkan masih dituruti sampai sekarang, sekalipun Indonesia sejak pertengahan tahun 2003 tidak wajib lagi menjalankan kesepakatan dalam LoI. Posisi Indonesia sebenarnya menjadi semakin kuat dan independen, ketika seluruh pinjaman kepada IMF dilunasi pada akhir tahun 2006. Akan tetapi dalam kenyataannya, pemerintah dan Bank Indonesia tampak masih setia menjalankan hampir semua saran tersebut. Kebijakan ekonomi pemerintah serta kebijakan moneter dan perbankan dari Bank Indonesia, masih secara cukup konsisten mendasarkan diri pada framework (kerangka kerja) yang disusun “bersama” dengan IMF. Mestinya pula bukan suatu kebetulan jika saran tersebut memang bersesuaian dengan mainstreams (arus utama) dalam pemikiran ekonomi Indonesia.
Para ekonom mainstreamstersebut juga menganggap sudah ada perbaikan yang “memadai” dalam beberapa tahun terakhir setelah berbagai program reformasi ekonomi dijalankan. Keadaan dinilai telah amat membaik, bahkan cenderung diklaim sebagai pulih seperti sedia kala. Yang dianggap sebagai pertanda utama adalah perkembang-
an indikator makroekonomi, yang memang terlihat membaik. Penalaran dengan mengedepankan indikator makroekonomi men- dasari semua penjelasan pemerintah tentang kebijakan apa yang tengah dan akan terus mereka jalankan. Bagi mereka, Indonesia sudah on the right track (di jalan yang benar) dalam upaya pemulihan keadaan, bahkan bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.