• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA A.Landasan Teori

1. Teori Keagenan

Telah lama diketahui bahwa para manajer mungkin memiliki tujuan-tujuan pribadi yang bersaing dengan tujuan memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Para manajer diberi kekuasaan oleh para pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham, untuk membuat keputusan, di mana hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan (agency theory) (Brigham dan Houston, 2006 : 126).

Bagi perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas, lebih-lebih yang telah terdaftar di pasar modal, seringkali terjadi pemisahan antara pengelola perusahaan (pihak manajemen, disebut juga agent) dengan pemilik perusahaan atau pemegang saham (principal). Di samping itu, untuk perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas, tanggung jawab pemilik hanya terbatas pada modal yang disetorkan. Artinya, apabila perusahaan mengalami kebangkrutan, maka modal sendiri (ekuitas) yang telah disetorkan oleh para pemilik perusahaan mungkin sekali akan hilang, tetapi kekayaan pribadi pemilik tidak diikutsertakan untuk menutup kerugian tersebut (Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti, 2002 : 11).

Pada tahun 1976, Michael C. Jensen dan William H. Meckling menerbitkan paper mengenai penerapan teori keagenan dalam manajemen keuangan. Mereka mendefinisikan bahwa hubungan keagenan muncul ketika yang mana satu atau lebih principal (pemegang saham) menggunakan orang lain atau agent (manajer) untuk bertindak atas namanya dalam menjalankan aktivitas perusahaan.

Agency theory examines the relationship between the owners and the managers of the firm. Because of diversified ownership interest, conflicts between managers and shareholders can arise that impact the financial decision of the firm (Stanley Block dan A. Hirt, 2000: 10). .

Brigham dan Houston (2006 : 201), hubungan keagenan (agency relationship) terjadi ketika salah satu atau lebih individu yang disebut sebagai principal menyewa individu atau organisasi lain, yang disebut sebagai agent, untuk melaksanakan sejumlah jasa dan mendelegasikan kewenagan untuk membuat keputusan kepada agen tersebut. Dalam manajemen keuangan, hubungan keagenan utama terjadi di antara (1) pemegang saham dan manajer dan (2) manajer dan pemilik utang.

J.Fred Weston dan Thomas E. Copeland (2000 : 7) menyatakan bahwa pada perusahaan modern, kepemilikan perusahaan biasanya sangat menyebar. Kegiatan operasi perusahaan dijalankan oleh para manajer, yang biasanya tidak mempunyai kepemilikan saham yang besar. Dalam teori, para manajer merupakan agen atau wakil dari pemilik, akan tetapi

pada kenyataannya mereka mengendalikan perusahaan. Dengan demikian bisa terjadi konflik kepentingan antara pemilik perusahaan. Ini disebut “masalah keagenan”, yaitu divergensi kepentingan yang timbul antara pemilik perusahaan dengan agennya.

Agency problem also arise in creditors and equityholder having different objectives, thereby causing each party to want to monitor the others. Similarly, other stakeholders-employees, suppliyer, customer, and communities – may have different agendas and may want to monitor the behavior of equityholders and managements. Agency problem occur in

investment, financing, and dividend decisions bu a company (James C.

Van Horne, 2001 : 5).

Masalah keagenan muncul dalam dua bentuk, yaitu antara pemilik perusahaan (principal) dan dengan pihak manajemen (agent). Tujuan normatif pengambilan keputusan keuangan yang menyatakan bahwa keputusan diambil untuk memaksimumkan kemakmuran pemilik perusahaan, hanya benar apabila pengambil keputusan keuangan (agent) memang mengambil keputusan dengan maksud untuk kepentingan para pemilik perusahaan, (Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti, 2002 : 12).

Menurut Dermawan Sjahrial (2006: 6), masalah keagenan terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara pemilik (pemegang saham), manajer, dan karyawan. Ketiga kelompok tersebut menimbulkan pertentangan antara kepentingan individu dengan kepentingan perusahaan.

Ada kecenderungan manajer lebih mementingkan tujuan individu dari pada tujuan perusahaan. Tmbulnya pertentangan ini antara lain apabila perusahaan memiliki free cash flow yang sangat besar, selain itu juga apabila ada transaksi akuisisi atau pembelian sebuah perusahaan oleh perusahaan besar dengan menggunakan hutang yang biasa disebut sebagai

leveraged buy out (LBO).

Masalah keagenan tersebut bisa terjadi karena adanya asymmetric

information antara pemilik dan manajer. Manajer memiliki asimetri

informasi terhadap pihak eksternal perusahaan seperti investor dan kreditor. Asimetri informasi terjadi ketika manajer memiliki informasi internal perusahaan yang relatif lebih banyak dan mengetahui informasi tersebut relatif lebih cepat dibandingkan pihak eksternal. Kondisi ini memberikan kesempatan kepada manajer untuk menggunakan informasi yang diketahuinya untuk memanipulasi pelaporan keuangan sebagai usaha untuk memaksimalkan kemakmurannya (Harmono, 2009 : 3)

Teori Asymmetric information theory dikemukakan oleh Myers dan Majulf pada tahun 1984. Asymmetric information theory adalah situasi di mana manajer memiliki informasi yang berbeda (lebih baik) mengenai prospek perusahan dari pada yang dimiliki investor. Asimetris informasi ini terjadi karena pihak manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak dari pada pemodal. Akibatnya, ketika struktur modal perusahaan mengalami perubahan, hal itu dapat membawa informasi kepada

pemegang saham yang akan mengakibatkan nilai perusahaan berubah (Brigham dan Houston, 2006 : 127).

Menurut Mishkin (2008: 268),informasi asimetris mempunyai dua tipe. Tipe pertama, adverse selection. Pada tipe ini, pihak yang merasa memiliki informasi lebih sedikit dibandingkan pihak lain tidak akan mau untuk melakukan perjanjian dengan pihak lain tersebut apapun bentuknya, dan jika tetap melakukan perjanjian, dia akan membatasi dengan kondisi yang sangat ketat dan biaya yang sangat tinggi. Contohnya, adalah kemungkinan konflik yang terjadi antara orang dalam (manajer) dengan orang luar (investor potensial).

Berbagai cara dapat dilakukan oleh manajer untuk memperoleh informasi lebih dibandingkan investor, misalnya dengan menyembunyikan, menyamarkan, memanipulasi informasi yang diberikan kepada investor. Akibatnya, investor tidak yakin terhadap kualitas perusahaan, atau membeli saham perusahaan dengan harga sangat rendah. Contoh lain dari informasi asimetri adalah ketika kreditor dan pemegang saham minoritas memiliki informasi yang lebih sedikit dibandingkan manajer dan pemegang saham mayoritas.

Tipe kedua dari informasi asimetri Menurut Mishkin (2008 : 269) adalah moral hazard. Moral hazard terjadi ketika manajer melakukan tindakan tanpa sepengetahuan pemilik untuk keuntungan pribadinya dan menurunkan kesejahteraan pemilik. Contohnya, pada perusahaan yang relatif besar, dengan terpisahnya kepemilikan dan pengendalian

manajemen, maka sulit bagi pemegang saham dan kreditur untuk melihat sejauh mana kinerja manajer sejalan dengan tujuan yang diinginkan pemegang saham, manajer mungkin cendrung bekerja kurang optimal.

Moral hazard juga menghambat operasi perusahaan secara efisien.

Berdasarkan teori keagenan, laporan keuangan dipersiapkan oleh manajemen sebagai pertanggung-jawaban stewardship mereka kepada prinsipal. Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang menyediakan informasi keuangan dan secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, manajemen memiliki insentif untuk melaporkan segala sesuatu yang dapat memaksimumkan utilitas dirinya. Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan merekayasa laba (earnings) yang menjadi fokus utama perhatian pihak eksternal sesuai dengan motivasi yang melatarbelakanginya.

Brigham dan Houston (2006 : 179), masalah keagenan potensial terjadi bila proporsi kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari 100 persen, sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingan dirinya sendiri dan bukan memaksimumkan nilai perusahaan dalam pengambilan keputusan pendanaan. Kondisi ini terjadi karena adanya pemisahan antara fungsi pengambilan keputusan dan fungsi penanggung resiko. Menurut Fama dalam Masdupi (2005 : 3), para manajer yang bertanggung jawab atas keputusan pendanaan tidak mampu melakukan diversifikasi investasi pada human capital. Di pihak lain, pemegang saham pada umumnya hanya mempertimbangkan resiko

sitematis atas saham perusahaan. Hal ini terjadi karena pemegang saham melakukan investasi pada portofolio yang terdiversifikasi dengan baik sedangkan manajer lebih suka mempertimbangkan resiko perusahaan secara keseluruhan.

a. Hubungan Keagenan antara Pemegang Saham dan Manajer

Brigham dan Houston (2006 : 137), masalah keagenan potensial terjadi bila proporsi kepemilikan saham manajer kurang dari 100 persen di perusahaan tersebut. Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan perseorangan yang dikelola pemiliknya, manajer-pemilik diasumsikan akan mengoperasikannya sehingga akan memaksimalkan kekayaannya sendiri. Akan tetapi, jika manajer-pemilik menjual sebagian sahamnya kepada pihak luar sehingga perusahaannya tidak lagi dimilikinya sendiri. Sebuah potensi konflik kepentingan langsung akan terjadi. Manajer mungkin tidak akan memaksimumkan keuntungan pemegang saham, karena hanya sebagian dari keuntungan tersebut akan dibayarkan kepadanya.

Untuk mengatasi konlik kepentingan tersebut, masih menurut Brigham dan Houston (2006 : 146), yaitu dengan mendorong manajer untuk bertindak sesuai kepentingan utama dari pemegang saham melalui insentif-insentif yang memberikan imbalan atas setiap kinerja yang baik atau hukuman atas kinerja yang buruk. Beberapa mekanisme

spesifik yang digunakan untuk memotivasi para manajer untuk bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham antara lain : 1. Kompensasi Manajerial

Para manajer sudah harus diberi kompensasi yang bertujuan untuk menarik dan mempertahankan manajer-manajer yang cakap serta untuk menyelaraskan tindakan manajer sedekat mungkin dengan kepentingan pemegang saham yang umumnya berkepentingan dengan memaksimalkan harga saham. seringkali, perusahan memberikan saham kinerja (performance share), di aman eksekutif menerima sejumlah saham tergantung dari kinerja actual perusahaan dan jasa-jasa yang berkelanjutan dari eksekutif tersebut. Perusahaan juga memberikan opsi saham eksekutif

(executive stock option), yang memungkinkan manajer membeli

saham di waktu ke depan dengan harga tertentu (Brigham dan Houston, 2006 : 147).

2. Intervensi Langsung Pemegang Saham

Bertahun-tahun yang lalu kebanyakan saham dimiliki oleh perorangan. Tetapi saat ini mayoritas dimiliki oleh investor-investor institusi seperti perusahaan asuransi, dana pension, dan reksadana. Oleh karena itu, para manajer institusional memiliki kekuatan, jika mereka memilih untuk menggunakannya, untuk menerapkan pengaruh yang cukup besar atas operasi sebagian besar perusahaan. Pertama, mereka dapat berbicara dengan

manajemen perusahaan dan membuat saran mengenai bagaimana bisnis perusahaan dijalankan. Kedua, setiap pemegang saham dapat memberikan usulan yang harus diputuskan dalam rapat umum tahunan pemegang saham (Brigham dan Houston, 2006 : 147). 3. Ancaman Pemecatan

Hingga saat ini, penyingkiran manajemen dari sebuah perusahaan besaroleh pemegang sahamnya hanya mempunyai kemungkunan kecil, sehingga hanya memberikan sedikit ancaman. Situasi ini terjadi karena saham dari sebagian besar perusahaan telah terdistribusi dengan begitu luasnya, disertai dengan pengendalian manajemen atas mekanisme voting yang begitu kuat, sehingga hamper tidak mungkin bagi para pemegang saham yang tidak setuju mendapatkan suara yang dibutuhkan untuk menggulingkan suatu tim manajemen (Brigham dan Houston, 2006 : 148).

4. Ancaman Pengambilalihan

Pengambilalihan tidak bersahabat (hostile takeover) (ketika manajemen tidak menginginkan perusahaan diambil alih) kemungkinan besar akan terjadi ketika saham sebuah perusahaan dinilai terlalu rendah relatif terhadap potensinya akibat manajemen yang buruk. Dalam pengambil alihan yang tidak bersahabat, para manajer dari perusahaan yang diakuisisi biasanya dipecat dan jika ada yang bisa tinggal akan mendapat status dan wewenang yang

tidak pasti. Jadi, para manajer memiliki insentif yang kuat untuk mengambil tindakan-tindakan yang dirancang untuk memaksimumkan harga saham (Brigham dan Houston, 2006 : 149).

.

b. Hubungan Keagenan antara Pemegang Saham (melalui Manajer) dan Kreditor

Konflik juga bisa terjadi antara kreditor dan pemegang saham (melalui manajer). Kreditor memiliki klaim atas sebagian dari laba perusahaan untuk pembayaran bunga dan pokok utang, dan mereka memiliki klaim atas asset perusahaan di waktu terjadi kebangkrutan. Akan tetapi, pemegang saham memiliki kendali (melalui manajernya) atas keputusan-keputusan yang mempengaruhu profitabilitas dan resiko keuangan.

Jika pemegang saham bertindak melalui manajemennya, menyebabkan sebuah perusahaan menjalankan suatu proyek besar baru yang jauh beresiko dari pada yang diantisipasi oleh para kreditornya. Peningkatan resiko ini akan menyebabkan tingkat pengembalian yang diminta dari utang perusahaan ikut meningkat, dn hal ini akan menyebabkan jatuhnya nilai dari utang yang masih belum jatuh tempo (Brigham dan Houston, 2006 : 150).

Untuk mengatasi masalah keagenan, diperlukan mekanisme untuk mengawasi (monitoring) manajer agar perilaku oportunistik manajer dapat dicegah dan manajer bertindak sesuai dengan tujuan perusahaan. Namun munculnya mekanisme tersebut akan menimbulkan biaya keagenan (agency cost).

Menurut Jensen dan Meckling, biaya keagenan adalah jumlah dari pengeluaran untuk pengawasan (monitoring) yang dikeluarkan oleh pemegang saham.

Agency cost is cost associated with monitoring management to ensure that it behaves in ways consistent with the firm’s contractual

agreements with creditors and shareholders (Van Horne and Wachowicz,

2001 : 276).

Terdapat tiga macam biaya keagenan, yaitu : biaya pengawasan

yang dikeluarkan oleh pemegang saham untuk mengawasi aktifitas dan perilaku manajer antara lain membayar auditor untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan dan premi asuransi untuk melindungi asset perusahaan. Biaya bonding yang ditanggung manajer untuk memberikan jaminan kepada pemilik bahwa manajer tidak melakukan tindakan yang merugikan perusahaan. Sedangkan residual loss adalah biaya yang ditanggung pemegang saham untuk mempengaruhi keputusan manajer agar meningkatkan kesejahteraan pemegang saham (Slamet Haryono : 2005 : 13).

Biaya keagenan menurut J. Fred Weston dan Thomas E. Copeland (2000 : 7) adalah :

a. Sistem audit untuk membatasi perilaku manajemen.

b. Berbagai jenis perjanjian yang menyatakan bahwa para manajer tidak akan menyalahgunakan wewenangnya.

c. Dan perubahan pada sistem organisasi untuk membatasi para manajer menjalankan praktik-praktik yang tidak dikehendaki.

Dermawan Sjahrial (2006 : 6), dalam upaya untuk meminimumkan

agency problem, diperlukan biaya yang disebut agency cost yang

tercermin dalam empat alternatif : a. Pengeluaran untuk monitoring.

b. Pengeluaran insentif sebagai kompensasi untuk manajemen atas prestasi yang konsisten dalam memaksimumkan nilai perusahaan. c. Fidelity bond, yaitu kontrak antara perusahaan dengan pihak ketiga di

mana pihak ketiga (bonding company) setuju untuk membayar perusahaan jika manajer berbuat tidak jujur, cara kerjanya mirip dengan asuransi kerugian.

d. Golden parachutes, yaitu kontrak antara manajemen dan pemegang

saham yang menjamin bahwa manajemen akan mendapatkan

kompensasi sejumlah tertentu apabila perusahaan dibeli oleh perusahaan lain atau terjadi perubahan pengendalian perusahaan.

Dalam mengatasi masalah keagenan dan mengurangi biaya keagenan, maka dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut : pertama dengan meningkatkan kepemilikan manajerial. Menurut Jensen dan Meckling dengan pendekatan ini, masalah keagenan dapat dikurangi apabila manajer mempunyai kepemilikan saham dalam perusahaan. Dengan adanya kepemilikan saham oleh manajer, maka manajer akan merasakan langsung dampak keputusan yang telah diambilnya. Sehingga tidak mungkin manajer bertindak oportunistik lagi.

Kedua, pendekatan pengawasan internal. Pendekatan ini dilakukan melalui pendekatan hutang. Jensen menyatakan bahwa hutang dapat mengendalikan free cash flow secara berlebihan oleh manajer dan dapat menghindarkan perusahaan dari investasi yang sia-sia.

Ketiga adalah kepemilikan institusional dan kepemilikan publik sebagai monitoring agent. Moh’d, et. al menyatakan bahwa bentuk distribusi saham dari luar yaitu kepemilikan institusional, kepemilikan publik, dan penyebaran kepemilikan dapat mengurangi biaya keagenan. Hal ini disebabkan karena kepemilikan oleh institusional merupakan sumber kekuasaan yang didapat untuk mendukung atau menentang keberadaan manajemen. Maka konsentrasi atau penyebaran kepemilikan menjadi satu hal yang relevan.

Dokumen terkait