• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

4. Deiksis Wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42)

2.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa

2.4.5 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts Watts

Locher and Watts (2008) via Rahardi (2012) berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior), lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Para ahli tersebut juga menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan hubungan antar sesama (a means to negotiate meaning). Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini, ‘…impolite behaviour and face -aggravating behaviour more generally is as much as this negation as polite

Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan menurut Locher and Watts.

Latar belakang situasi :

Sekumpulan remaja masjid yang sedang berbincang di serambi Masjid Wujud tuturan :

Darto dan kawannya (mereka sedang berbincang dengan seru mengenai final bola di Liga Champion).

Hj. Solihawah : “Mas-masnya semua mbok yo dihargai ada orang di dalam sedang pada dzikir, malah ribut-ribut gak jelas”

Darto : (kaget) “ Owh menganggu ya Bu, tapi kan kami ngobrolnya di serambi Masjid kan?” Hj. Solihawah : “Gimana sih kalian semua. Sudah sana pada

ambil air wudhu setelah itu sholat terawih berjamaah”

Tindakan yang dilakukan oleh Darto dan teman-temannya merupakan tindakan yang tidak santun yakni melanggar norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga membuat Hj. Solihawah marah. Percakapan di atas dapat diketahui bahwa Darto dan teman-temannya sebenarnya tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang tidak santun dengan melanggar norma-norma sosial yang berada dalam masyarakat. Selain itu, Darto menanggapi hal tersebut dengan tuturan yang bernada tanpa rasa bersalah. Hal ini terlihat dari tuturan yang dihasilkan oleh Darto “ Owh menganggu ya Bu, tapi kan kami

ngobrolnya di serambi Masjid kan?”. Tuturan tersebut merupakan tuturan yang tidak sopan karena telah mengacuhkan dan melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts (2008) ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang secara normatif dianggap negatif, karena dianggap melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu).

Sebagai rangkuman dari teori yang telah dikemukakan di atas, dapat ditegaskan bahwa, (1) dalam pandangan Miriam A. Locher, ketidaksantunan berbahasa adalah tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka mitra tutur atau bisa dikatakan menyinggung perasaan mitra tutur. (2) Ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield adalah perilaku berbahasa yang mengancam muka dilakukan secara sembrono, hingga mendatangkan konflik. (3) Ketidaksantunan menurut pandangan Culpeper adalah perilaku berbahasa untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka, atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka. (4) ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi adalah perilaku berbahasa yang bilamana mitra tutur merasakan ancaman terhadap kehilangan muka, dan penutur tidak mendapat maksud ancaman muka tersebut dari mitra tutur. (5) Ketidaksantunan menurut pandangan Locher and Watts adalah perilaku berbahasa yang secara normatif dianggap negatif, karena melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kelima teori ketidaksantunan tersebut akan digunakan sebagai landasan untuk melihat kenyataan berbahasa yang tidak santun dalam ranah agama, khususnya agama Budha di Kotamadya Yogyakarta.

2.5 Konteks

Kajian pragmatik tidak lepas dari konteks situasi dan lingkungan sosial tertentu untuk menyampaikan makna tertentu dari penutur ke mitra tutur. Levison (1983:21-24 via Nugroho 2009;199), “Pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the contexts in which they

would be appropriate”. Pengertian kedua dari tujuh tinjauan prgmatik ini lebih menekankan pada pentingnya kesesuaian antara kalimat-kalimat yang diujarkan oleh pengguna bahasa dengan konteks tuturannya. (Rahardi 2003:8) memaparkan bahwa konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun oleh mitra tutur, serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan.

Sejalan mengenai apa yang dipaparkan oleh Malinowsky (1923), Verschueren (1998) dalam Rahardi (2012) mengatakan bahwa ‘utterer’

(penutur) dan ‘interpreter’ (mitra tutur) menjadi titik utama dalam pragmatik. Verschueren (1998:76) via Rahardi (2012) menyebutkan empat dimensi konteks yang sangat mendasar dalam memahami makna sebuah tuturan.

Pertama adalah ‘The utterer’ dan ‘The interpreter’ adalah dimensi yang paling signifikan dalam pragmatik. Jadi, penutur dan mitra tutur menjadi titik fokus dalam pragmatik. Penutur atau utterer memiliki banyak suara (many voice) atau memiliki banyak kemungkinan kata, sedangkan mitra tutur atau interpreter memiliki banyak peran. Bahkan seorang penutur atau utterer ada

kalanya berperan sebagai mitra tutur atau interpreter. Jadi, selain penutur berperan sebagai penutur atau pembicara, tetapi juga sekaligus sebagai pengintepretasi atas apa yang sedang diucapkannya. Hal lain yang juga harus diperhatikan dalam kaitan dengan penutur dan mitra tutur selain apa yang telah dipaparkan sebelumnya adalah jenis kelamin, adat-kebiasaan, dan semacamnya. Hal tersebut adalah mengenai ‘the influence of numbers’ alias ‘pengaruh dari jumlah’ orang yang hadir dalam sebuah pertutursapaan. Jadi, memang akan menjadi sangat berbeda makna kebahasaan yang muncul bilamana sebuah pertutursapaan dihadiri orang dalam jumlah banyak, dan bilamana hanya dihadiri dua pihak saja, yakni penutur (utterer) dan mitra tutur (interpreter). Seorang penutur tunggal akan sedikit banyak memiliki beban psikologis jika berhadapan dengan publik yang jumlahnya tidak sedikit. Sebaliknya, apabila mitra tutur hanya berjumlah satu, sedangkan penutur jumlahnya jauh lebih banyak, mitra tutur itu akan cenderung menginterpretasi dengan hasil yang berbeda daripada juka penutur itu hanya satu orang saja jumlahnya. Jadi, kehadiran penutur yang banyak, cenderung akan mempengaruhi proses interpretasi makna oleh mitra tutur. Demikian juga sebaliknya, jika jumlah penutur itu banyak, interpretasi kebahasaan yang akan dilakukan mitra tutur pasti sedikit banyak terpengaruh.

Dimensi kedua yang dipaparkan oleh Verschueren (1998) adalah mengenai aspek-aspek mental ‘language users’ (pengguna bahasa). Language users sesungguhnya dapat menunjuk dua pihak, yakni utterer (penutur) dan interpreter (mitra tutur). Selain hadirnya pihak ke-1 dan pihak ke-2 dalam

suatu pertuturan, kadang hadir juga pihak-pihak lain yang perlu sekali dicermati peran dan pengaruhnya terhadap bentuk kebahasaan yang muncul. Kehadiran mereka semua dalam pertutursapaan, akan berpengaruh besar pada dimensi ‘mental’ penutur atau ‘the utterer’. Dengan kata lain harus juga dinyatakan bahwa dimensi-dimensi mental ‘language users’ dalam peristiwa pertuturan itu berubah. Jadi jelas sekali, bahwa dimensi-dimensi mental penutur dan mitra tutur benar-benar sangat penting dalam kerangka perbincangan konteks pragmatik itu. Sehubungan dengan konteks pragmatik, aspek kepribadian atau ‘personality’ dari penutur dan mitra tutur, ‘utterer’ dan

‘interpreter’, ternyata mengambil peranan yang sangat dominan. Aspek lain yang harus diperhatikan dalam kaitan dengan komponen penutur dan mitra tutur ini adalah aspek warna emosinya (emotions). Selain dimensi ‘personality’

dan ‘emotions’, terdapat pula dimensi ‘desires’ atau ‘wishes’, dimensi

‘motivations’ atau ‘intentions’, serta dimensi kepercayaan atau ‘beliefs’ yang juga harus diperhatikan dalam kerangka perbicangan konteks pragmatik ini. Dimensi-dimensi mental ‘language users’ yang telah disebutkan sebelumnya, semuanya berpengaruh besar terhadap dimensi kognisi dan emosi penutur dan mitra tutur dalam pertuturan sebenarnya.

Dimensi yang ketiga adalah aspek-aspek sosial ‘language users’ adalah dimensi-dimensi yang berkaitan dengan keberadaannya sebagai warga masyarakat dan kultur atau budaya tertentu. Kajian pragmatik sama sekali tidak dapat lepas dari fakta-fakta sosial-kultural. Aspek-aspek sosial, atau dapat pula diistilahkan sebagai ‘social setting’ alias setting sosial atau oleh Verschueren

(1998) disebut ‘ingredient of the communicative context’ harus diperhatikan dengan benar-benar baik dalam analisis pragmatik. Aspek kultur juga merupakan satu hal yang sangat penting sebagai penentu makna dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan dengan aspek ‘norms and values of

culture’ dari masyarakat bersangkutan.

Dimensi keempat atau yang terakhir dijelaskan oleh Verschueren (1998) adalah mengenai aspek-aspek fisik ‘language users’. Fenomena deiksis (deixis phenomenon), baik yang berciri persona (personal deixis), deiksis perilaku (attitudinal deixis), deiksis waktu (temporal deixis), maupun deiksis tempat (spatial deixis) menjadi dimensi-dimensi fisik yang menarik perhatian para pakar linguistik dan pragmatik. Verschueren (1998) telah menegaskan,

‘…phenomena have exerted a strong fascination on linguists, from long before

‘pragmatics’ became a common notion’, yang artinya bahwa fenomena deiksis telah menjadi perhatian linguis, bahkan sejak jauh sebelum pragmatik terlahir. Deiksis persona, lazimnya menunjuk pada penggunaan kata ganti orang, misalnya penggunaan kata ‘saya’, ‘kami’, ‘kita’, dan sebagainya. Selanjutnya masih berkaitan dengan persoalan deiksis, tetapi yang sifatnya temporal, misalnya saja kapan harus digunakan ucapan ‘selamat pagi’ atau ‘pagi’ saja dalam bahasa Indonesia. Dalam konteks waktu pula, kapan orang harus berhati-hati, kapan harus menggunakan ‘event time’ seperti ‘pada Senin’ atau

‘pada 2012’, kapan harus menggunakan ‘time of utterence’ seperti ‘kemarin’,

‘sekarang’, ‘besok’, dan kapan pula harus menggunakan ‘reference time’

konteks lain di luar apa yang disebutkan di depan itu adalah ihwal jarak spasial atau ‘space distance’. Ketika orang sedang bertutur sapa, jarak spasial yang demikian ini sangat menentukan maksud, juga persepsi terhadap makna yang disampaikan oleh ‘interpreter’.

Leech (1983) via Rahardi (2012) menggunakan istilah ‘speech situations’ atau situasi tutur dalam pemahamannya tentang konteks. Sehubungan dengan bermacam-macamnya maksud yang dikomunikasikan oleh penuturan sebuah tuturan, Leech (1983) dalam Wijana (1996:10−13) mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut.

1) Penutur dan lawan tutur

Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

2) Konteks tuturan

Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.

3) Tujuan penutur

Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Ada perbedaan yang mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan pandangan gramatika yang bersifat formal. Di dalam pandangan yang bersifat formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu memiliki makna yang berbeda.

4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas

Bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dan sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini, pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.

5) Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai contoh, kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang? Dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini, dapat ditegaskan ada perbedaan yang mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.

Levinson (1983:22−23) via Nugroho (2009:119) menjelaskan bahwa untuk mengetahui konteks, seseorang harus membedakan antara situasi aktual sebuah tuturan dalam semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka, dan pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang berhubungan dengan produksi dan penafsiran tuturan.

Hymes melalui (Nugroho, 2009:119) mengatakan bahwa konteks terdiri dari latar fisik dan latar psikologis (setting dan scene), peserta tutur (participants), tujuan tutur (ends), urutan tindak (acts), nada tutur (keys), saluran tutur (instruments), norma tutur (norms), dan jenis tutur (genres). Berdasarkan penjelasan tersebut, dimasukkannya konteks dalam memahami dan menghasilkan ujaran dimaksudkan untuk membangun prinsip-prinsip kerjasama dan sopan santun dalam proses komunikasi, sehingga tujuan komunikasi dapat dicapai secara efektif. Konteks itu sendiri terkait erat dengan

budaya, yang berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Secara terperinci kehadiran konteks berhubungan dengan produksi dan penafsiran dari tuturan.