• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA BUDHA DI KOTAMADYA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA BUDHA DI KOTAMADYA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia,"

Copied!
338
0
0

Teks penuh

(1)

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA BUDHA

DI KOTAMADYA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia,

Oleh:

Yudha Hening Pinandhito 091224032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA BUDHA

DI KOTAMADYA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia,

Oleh:

Yudha Hening Pinandhito 091224032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada :

Kedua orang tuaku Bambang Haryanto dan Meta Santi Suprihandini yang tak pernah lelah memberiku semangat, kasih sayang dan doanya untuk

segera menuntaskan studi.

Adikku tercinta Agenda Yudha Samudra.

(6)

v

MOTTO

“Keep in mind that your own resolution to succeed is more important than anything else”

(Ingatlah selalu bahwa tekad anda untuk sukses adalah jauh lebih penting daripada hal-hal yang lain)

Abraham Lincoln

Hidup itu simple dan praktis yakni dengan melakukan suatu hal dengan keyakinan, dan tidak akan pernah menyesali apa yang telah terjadi

“Selama kau menemukan teman sejati. Kau juga akan menemukan

kedamaian dalam hatimu”

(7)
(8)
(9)

vii ABSTRAK

Pinandhito, Yudha Hening. 2014. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa dalam Ranah Agama Budha di Kotamadya Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta : PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penekitian ini mengkaji ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah agama Budha di Kotamadya Yogyakarta. Tujuan penelitian adalah (1) Mendeskripsikan wujud ketidaksantuan linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan pemuka agama Budha dengan umatnya dan antarumat agama Budha di wilayah Kotamadya Yogyakarta, (2) Mendeskripsikan wujud penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan pemuka agama Budha dengan umatnya dan antarumat agama Budha di wilayah Kotamadya Yogyakarta, dan (3) Mendeskripsikan maksud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik yang dimiliki oleh pemuka agama Budha dengan umatnya dan antarumat agama Budha dalam berkomunikasi di wilayah Kotamadya Yogyakarta.

Jenis penelitian ini ialah penelitian deskripsi kualitatif. Data penelitian berupa tuturan lisan antara pemuka agama dengan umat dan umat dengan umat dengan aktifitas keagamannya. Instrumen penelitian yang digunakan adalah petunjuk wawancara berupa daftar pertanyaan, pancingan, daftar kasus, dan blangko pengamatan dengan bekal teori ketidaksantunan berbahasa. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak, yakni berupa metode catat dan rekam. Analisis data yang dipakai adalah metoode kontekstual.

(10)

ix

Pinandhito, Yudha Hening. 2014. Impolite Utterance of Linguistic and Pragmatic Inside Budha Religion Around Yogyakarta Municipality Region. Skripsi. Yogyakarta : PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research discussing about the impolite utterance of linguistic and pragmatic inside Budha Religion around municipality region of Yogyakarta. The purposes of this research are: (1) describing the forms of linguistic and pragmatic impolite utterance , (2) describing the signal of linguistic and pragmatic impolite utterance, and (3) describing the intention of using impolite form of language that cause people using impolite language inside Budha Religion in municipality region of Yogyakarta.

This study applies descriptive and qualitative study. The source data of this study is the impolite conversations that used by the clergymen and the communities of Budhist around Yogyakarta region. The instruments that used in this study are interview guidelines, cross question, case list and an observation handout with the impoliteness in language theory. The method that used to collect the data is attentive method, gathering the data by taking note and record. The researcher use contextual method to analyze the data.

Based from the purpose of this research, the conclusions of this research are: first the linguistics impoliteness form can be seen from the spoken language, it is consisted of (1) face-aggravate where expectation, sick over, joking, luring, informing, and counseling as its subcategories. (2) Face-loss category where joking, expectation, reminding, informing, refusing, sick over, counseling and command as its subcategories. (3) Disobeying norms where confirming, mocking, and hurting others feeling as its subcategories. (4) Face-gratuitous where category joking, luring, prohibit, and counseling as its subcategories. (5) Face-threaten category where counseling, reminding, informing, joking, scolding, sick over, refusing, and offering as its subcategories. Second the sign of linguistic impoliteness can be observed based on tone, stress, intonation, and diction. The sign of pragmatic impoliteness can be observed based on the context consists of speaker, receiver, situation, condition, verbal act, perlocutionary act and purpose of speech. Third the intention of impoliteness are motivating, sick over, talk unwisely, disagreement, objection, countering the situation, accusing, boasting and suggesting.

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkah dan kehendak-Nya, skripsi yang berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Agama Budha di Kotamadya Yogyakarta dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dalam kurikulum Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Rishe Purnama Dewi, S.Pd, M,Pd., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 4. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing, menasehati, dan memotivasi penulis selama proses penyusunan skripsi ini hingga dapat terselesaikan secara baik.

5. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan pendampingan, memotivasi dan pengajaran yang bermanfaat bagi penulis selama proses awal perkuliahan sampai selesai.

6. R. Marsidiq, selaku karyawan Sekretariat Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang dengan ramah dan sabar memberikan informasi mengenai pelayanan administratif kepada penulis dalam menyelesaikan berbagi urusan admistrasi.

7. Bapak Solichun, selaku tokoh penting yang membantu penulis untuk mendapatkan data pada penulisan skripsi ini dan seluruh umat Budha beserta staf di Vihara Buddha Prabha dan Vihara Vidyaloka.

8. Bapak Bambang Haryanto dan Ibu Meta Santi Suprihandini, selaku orang tua penulis, serta Agenda Yudha Samudra, selaku adik penulis yang telah memberikan dukungan kepercayaan, sprititual, dan kasih sayang seutuhnya. 9. Yustina Cantika Advensia, Vinensia Wijati Rarasati Handayani, Yustinus

(12)

xi

10.Ambrosius Bambang Sumarwanto, S.Pd., Dedy Setyo Herutomo, S.Pd., Nuridang Fitra Nagara, S.Pd., Ade Henta Hermawan, Fabianus Angga Renato, Ignatius Satrio Nugroho, S.Pd., Jati Kurniawan, S.Pd., Reinardus Aldo Agassi, S.Pd., Yohanes Marwan, S.Pd., Prima Ibnu Wijaya, S.Pd., Rosalia Anik Setyorini, S.Pd., Valentina Tris Marwanti, S.Pd., Agatha Wahyu Wigati, S.Pd., Clara Dhika Ninda Natalia, S.Pd., Katarina Yulita Simanulang, S.Pd., Asteria Ekaristi, S.Pd., Martha Ria Hanesti, S.Pd., Elizabeth Ratih Handayani, S.Pd., Theresia Banik Putriana, S.Pd., dan semua sahabat yang telah memberikan berbagai bantuan, motivasi, senyuman dan semangat untuk penulis

11.Robertus Adi Hermawan Pradipta, S.Kom., Bernadus Purnawan, S.Pd., Eko Sularsono, S,Kom., selaku keluarga baru yang mampu memberikan berbagai inspirasi.

12.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna secara seutuhnya karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan menjadi sumber pencerahan untuk menyusun skripsi selanjutnya.

Yogyakarta, 29 Agustus 2014

Penulis

(13)

xii

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR BAGAN ... xvii

DAFTAR TABEL ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 8

1.3Tujuan Penelitian ... 8

1.4Manfaat Penelitian ... 9

1.5Batasan Istilah ... 10

1.6Sistematika Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 13

2.1 Penelitian yang Relevan ... 13

2.2 Pragmatik ... 19

2.3 Objek Kajian Pragmatik ... 21

2.3.1 Praanggapan ... 21

(14)

xiii

2.3.3 Implikatur ... 24

2.3.4 Deiksis ... 26

2.3.5 Kesantunan ... 29

2.3.6 Ketidaksantunan ... 32

2.4 Teori-teori Ketidaksantunan ... 33

2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher ... 34

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield ... 35

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper... 37

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi ... 38

2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watt ... 40

2.5 Konteks ... 43

2.6 Unsur Segmental ... 50

2.6.1 Diksi ... 50

2.6.2 Kategori Fatis ... 57

2.7 Unsur Suprasegmental ... 59

2.7.1 Tekanan ... 59

2.7.2 Intonasi ... 60

2.7.3 Nada ... 60

2.8 Maksud Tuturan ... 61

2.9 Kerangka Berpikir ... 63

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 67

3.1 Jenis Penelitian ... 67

3.2 Subjek Penelitian ... 68

3.3 Sumber Data ... 68

(15)

xiv

3.5 Instrumen Penelitian... 71

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ... 72

3.6.1 Metode dan Teknis Analisis Data secara Linguistik ... 73

3.6.2 Metode dan Teknis Analisis Data secara Pragmatik ... 73

3.7 Sajian Hasil Analisis Data ... 74

3.8 Triangulasi Data ... 75

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 76

4.1 Deskripsi Data ... 76

4.2 Analisis Data ... 83

4.2.1 Wujud, Penanda, dan Maksud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik ... 83

4.2.1.1 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka ... 85

4.2.1.1.1 Subkategori Menyindir ... 85

4.2.1.1.2 Subkategori Menegaskan ... 97

4.2.1.1.3 Subkategori Mengejek ... 105

4.2.1.1.4 Subkategori Memperingatkan ... 114

4.2.1.1.5 Subkategori Menegur ... 116

4.2.1.1.6 Subkategori Menasehati ... 120

4.2.1.1.7 Subkategori Memerintah ... 124

4.2.1.1.8 Subkategori Berprasangka ... 128

4.2.1.2 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ... 131

4.2.1.2.1 Subkategori Mengejek ... 131

4.2.1.2.2 Subkategori Memperingatkan ... 135

4.2.1.2.3 Subkategori Menasehati ... 137

4.2.1.2.4 Subkategori Membantah ... 139

4.2.1.3 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma ... 142

4.2.1.3.1 Subkategori Menegaskan ... 142

4.2.1.3.2 Subkategori Mengejek ... 144

4.2.1.3.3 Subkategori Menyinggung ... 148

(16)

xv

4.2.1.4.1 Subkategori Memerintah ... 150

4.2.1.5 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak ... 154

4.2.1.5.1 Subkategori Mengejek ... 154

4.2.1.5.2 Subkategori Menyindir ... 160

4.2.1.5.3 Subkategori Menegaskan ... 168

4.2.1.5.4 Subkategori Menyinggung ... 172

4.3 Pembahasan ... 173

4.3.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik ... 174

4.3.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik ... 182

4.3.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka ... 182

4.3.2.2 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ... 197

4.3.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma ... 201

4.3.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik ... 207

4.3.2.5 Penanda Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak ... 210

4.3.3 Maksud Ketidaksantunan ... 216

4.3.3.1 Maksud Bercanda ... 216

4.3.3.2 Maksud Memotivasi ... 219

4.3.3.3 Maksud Kesal ... 220

4.3.3.4 Maksud Asal Bicara... 223

4.3.3.5 Maksud Ketidaksetujuan ... 225

4.3.3.6 Maksud Protes ... 227

4.3.3.7 Maksud Membalikkan Keadaan ... 229

4.3.3.8 Maksud Menuduh ... 230

4.3.3.9 Maksud Menyombongkan Diri ... 231

4.3.3.10 Maksud Menyarankan ... 232

(17)

xvi

BAB V PENUTUP ... 256

5.1 Simpulan ... 256

5.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik ... 256

5.1.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik ... 258

5.1.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur ... 262

5.2 Saran ... 263

5.2.1 Bagi Penelitian Lanjutan ... 263

5.2.2 Bagi Pemeluk Agama ... 264 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(18)

xvii

DAFTAR BAGAN

Hal.

(19)

xviii

DAFTAR TABEL

Hal. Tabel 1 Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori

Ketidaksantunan ... 76

Tabel 2 Kategori Melecehkan Muka ... 77

Tabel 3 Kategori Menghilangkan Muka ... 79

Tabel 4 Kategori Melanggar Norma ... 80

Tabel 5 Kategori Menimbulkan Konflik ... 81

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penyajian. Latar belakang masalah berisi tentang uraian yang menjadi masalah penelitian dan terkait dengan judul serta alasan mengenai penelitian perlu dilakukan. Rumusan masalah terdiri atas rumusan secara kongkrit tentang masalah yang terdapat dalam penelitian, serta disusun dalam bentuk pertanyaan yang dilandasi pemikiran teoritis yang kebenarannya perlu dibuktikan. Tujuan penelitian merupakan hasil yang akan dicapai dan merujuk pada hasil yang akan diperoleh dari maksud penelitian. Manfaat penelitian adalah nilai guna suatu penelitian untuk berbagai bidang sehingga dapat dijadikan menjadi acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya. Sistematika penyajian merupakan struktur atau kerangka suatu penelitian akan dipaparkan serta dibahas secara mendalam.

1.1 Latar Belakang Masalah

(21)

melalui bahasa memungkinkan setiap orang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya serta untuk mempelajari kebiasaan, kebudayaan, adat istiadat serta latar belakang masing – masing. Dalam berkomunikasi penggunaan bahasa diperlukan penyesuaian bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dengan faktor–faktor penentu tindak komunikatif yaitu (1) siapa yang

berbahasa dengan siapa, (2) untuk tujuan apa, (3) dalam situasi apa, (4) dalam konteks apa, (5) jalur mana, (6) media apa, (7) dan peristiwa apa. Adapun ilmu untuk mempelajari bahasa adalah linguistik. Linguistiklah yang mengkaji unsur-unsur bahasa serta hubungan-hubungan unsur itu dalam memenuhi fungsinya sebagai alat perhubungan antarmanusia (Nababan, 1984:1). Para linguis biasanya memberikan batasan tentang bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi serta mengidentifikasikan diri (Chaer, 1994:56). Di sisi lain setiap sistem dan lambang bahasa menyiratkan bahwa setiap lambang bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana selalu memiliki makna tertentu, yang bisa saja berubah pada saat dan situasi tertentu, maupun tidak berubah sama sekali. Sebagai ilmu bahasa linguistik yang memiliki beberapa bidang-bidang cabang ilmu diantaranya fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan, pragmatik. Secara universal, linguistik menganalisis bahasa mengenai aspek yang berhubungan dengan struktur kebahasaannya (fonologi, morfologi, sintaksis, semantik).

(22)

sebagai akibatnya penutur sebuah bahasa sering mengalami kesalahpahaman dalam suasana dan konteks tuturannya. Salah satu cara untuk mengetahui tentang hal itu adalah melalui sudut pandang pragmatik. Pragmatik adalah studi bahasa tentang hubungan antara bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu (Yule 2006;5). Hal ini dipaparkan Levinson (1983) via Nugroho (2009;199) menjelaskan kurang lebih tujuh pengertian pragmatik. Salah satunya adalah “Pragmatics is the study of the relation between language and context that are basic to an account of language understanding”. Pengertian ini menunjukkan bahwa untuk memahami makna bahasa orang seorang penutur dituntut untuk tidak saja mengetahui makna kata dan hubungan gramatikal antarkata tersebut tetapi juga menarik kesimpulan yang akan menghubungkan apa yang dikatakan dengan apa yang diasumsikan, atau apa yang telah dikatakan sebelumnya.

(23)

Sejauh ini, pragmatik juga menelusuri lebih dalam mengenai kesantunan maupun ketidaksantunan. Pembahasan mengenai kesantunan dan ketidaksantunan memungkinkan antara penutur maupun mitra tutur dapat berinteraksi maupun berkomunikasi secara nyaman maupun tidak merugikan kedua belah pihak. Pada saat ini banyak peneliti yang sudah mengupas mengenai kesantunan berbahasa, namun untuk ketidaksantunan berbahasa masih sangat jarang peminatnya. Hal ini akan menimbulkan ketimpangan antara pembelajaran kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa ditunjukkan dari penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, teratur, sistematis, jelas dan lugas sehingga dapat mencerminkan pribadi yang baik dan mampu menempatkan konteks tuturan yang akan disampaikan oleh penuturnya. Ketidaksantunan harus dilihat sebagai penilaian perilaku seseorang dan bukan kualitas intrinsik tuturan (Mills 2003:122). Berdasarkan hal tersebut, baik kesantunan maupun ketidaksantunan dipertimbangkan oleh peran stereotip kelas, gender, dan ras atau etnik dalam menilai ketidaksantunan pada sebuah komunitas praktis tertentu.

(24)

antara manusia dan penggunaan bahasa (ketidaksantunan) dalam ranah agama memiliki skema korelasi yang saling berkaitan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai hubungan manusia dengan penggunaan bahasa, telah tersaji secara sekilas. Manusia tidak dapat terpisahkan dari moralitas yang dimiliki oleh agama. Hal tersebut yang menyebabkan agama memiliki peranan penting dalam membangun masyarakat untuk berinteraksi maupun berkomunikasi.

(25)

Bahasa juga digunakan salah satunya dalam lingkungan masyarakat beragama untuk saling berkomunikasi. Komunikasi tersebut dapat terjalin antara pemuka agama dengan sesama pemuka agama, antara pemuka agama dengan umatnya dan antara sesama umat beragama. Komunikasi pun dapat terlaksana saat acara ibadah keagamaan, diskusi, dialog maupun sarasehan sehubungan dengan kegiatan keagamaan.

Hal ini menjadi sesuatu yang ironis dalam kehidupan majemuk umat beragama di Indonesia. Dalam fenomena yang dihadapi, masih banyaknya seseorang yang kurang santun dalam konteks beragama, antara satu keyakinan maupun berbeda keyakinan. Ketidaksantunan tersebut terjadi karena berbagai alasan yaitu adanya kedekatan antar seseorang, kebiasaan berbahasa tidak santun, latar belakang keluarga, kurang adanya pengetahuan mengenai bahasa yang santun, bahkan bahasa tidak santun digunakan untuk bersosialisasi antar kelompok tertentu.

(26)

bahkan dari segi berbahasanya, seharusnya seorang pemuka agama memiliki kesantunan, karena pemuka agama akan menjadi sorotan perhatian dan simbol teladan umatnya. Tidak hanya menyoroti cara berbahasa seorang pemuka agama, tetapi sebagai umat beragama yang meyakini adanya nilai-nilai untuk tidak menyakiti orang lain, salah satunya melalui tuturan maka seorang umat yang beragama juga seharusnya memperhatikan cara bertutur dengan santun. Pada fenomena sesungguhnya ditemukan tuturan yang tidak santun oleh umat. Contoh tuturannya “opo yo betah dadi biksu ora tau mangan iwak-iwakan?”, “apa ya betah menjadi biksu tidak pernah makan daging-dagingan” tuturan

tersebut diucapkan oleh seorang umat dan hal tersebut terasa kurang santun dalam konteks berkomunikasi secara baik dan benar.

(27)

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah seperti di atas, maka permasalahan utama penelitian ini adalah bagaimana manifestasi ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa dalam ranah agama Budha di wilayah Kotamadya Yogyakarta. Selanjutnya secara terperinci masalah-masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi:

a. Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang digunakan antara pemuka agama Budha dengan umatnya, umat Budha dengan pemuka agama Budha, dan antarumat agama Budha di wilayah Kotamadya Yogyakarta?

b. Wujud penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa sajakah yang digunakan oleh pemuka agama Budha dengan umatnya, umat Budha dengan pemuka agama Budha, dan antarumat agama Budha di wilayah Kotamadya Yogyakarta?

c. Apa maksud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik yang dimiliki oleh pemuka agama Budha dengan umatnya, umat Budha dengan pemuka agama Budha, dan antarumat agama Budha dalam berkomunikasi di wilayah Kotamadya Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

(28)

Yogyakarta. Selanjutnya, tujuan penelitian ini secara rinci adalah sebagai berikut:

a. Mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan pemuka agama Budha dengan umatnya, umat Budha dengan pemuka agama Budha, dan dan antarumat agama Budha di wilayah Kotamadya Yogyakarta.

b. Mendeskripsikan wujud penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan pemuka agama Budha dengan umatnya, umat Budha dengan pemuka agama Budha, dan antarumat agama Budha di wilayah Kotamadya Yogyakarta.

c. Mendeskripsikan maksud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik yang dimiliki oleh pemuka agama Budha dengan umatnya, umat Budha dengan pemuka agama Budha, dan antarumat agama Budha dalam berkomunikasi di wilayah Kotamadya Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ketidaksantunan berbahasa dalam ranah agama ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang memerlukan. Terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian yaitu:

a. Manfaat Teoretis

(29)

Penelitian ini dapat dikatakan memiliki kegunaan teroretis karena dengan memahami teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan baru dan referensi untuk menghindari ketidaksantunan berbahasa dalam berkomunikasi.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ketidaksantunan berbahasa ini juga diharapkan dapat memberikan masukan khususnya bagi seseorang dalam berkomunikasi untuk menghindari penggunaan bahasa yang kurang santun. Demikian pula, penelitian ini akan memberikan masukan kepada para praktisi dalam bidang agama terutama bagi seluruh pemeluk agama, untuk mempertimbangkan adanya ketidaksantunan berbahasa dalam komunikasi yang harus dihindari.

1.5 Batasan Istilah

a. Ketidaksantunan berbahasa

Penggunaan bahasa penutur yang dianggap tidak berkenan oleh mitra tutur.

b. Linguistik

Ilmu tentang bahasa; telaah bahasa secara ilmiah (Depdiknas, 2008:832). c. Pragmatik

(30)

d. Ketidaksantunan linguistik

Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari aspek-aspek linguistik suatu tuturan.

e. Ketidaksantunan pragmatik

Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari konteks situasi yang menyertai suatu tuturan.

f. Ranah

Lingkungan yg memungkinkan terjadinya percakapan, merupakan kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat misal keluarga, pendidikan, tempat kerja, keagamaan, dan sebagainya (Depdiknas 2008:1139).

g. Agama

Ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan lingkungannya (Depdiknas, 2008:15)

h. Buddha

Agama yg diajarkan oleh Sidharta Gautama (Depdiknas, 2008:170)

1.6 Sistematika Penyajian

(31)
(32)

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini memamparkan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan meliputi tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori meliputi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, fenomena pragmatik, teori ketidaksantunan, konteks, unsur segmental, dan unsur suprasegmental. Kerangka pikir meliputi acuan teori yang digunakan dalam penelitian ini atas dasar penelitian terdahulu dan teori terdahulu yang relevan yang akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah.

2.1 Penelitian Yang Relevan

(33)

penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang ketidaksantunan berbahasa sebagai penelitian yang relevan.

(34)

penanda ketidaksantunan melecehkan muka adalah penutur menyindir, menghina, dan mengejek mitra tutur sehingga dapat melukai hati mitra tutur, (2) makna penanda ketidaksantunan memainkan muka adalah penutur membuat kesal dan jengkel mitra tutur dengan tingkah laku penutur yang tidak seperti biasanya, (3) makna penanda ketidaksantunan kesembronoan yang disengaja adalah penutur bermaksud untuk bercanda sehingga membuat mitra tutur terhibur, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa candaannya tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) makna penanda ketidaksantunan menghilangkan muka adalah penutur membuat mitra tutur benar-benar malu di hadapan banyak orang, dan (5) makna penanda ketidaksantunan mengancam muka adalah penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok dan tidak memberikan pilihan bagi mitra tutur.

Penelitian yang dilakukan oleh Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) dengan mengambil judul penelitian “Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan

2009—2011 Universitas Sanata Dharma”. Penelitian ini merupakan penelitian

(35)

dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka (2013), yakni terdapat tiga hasil penelitian ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Pertama, dari aspek wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat melalui

tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka, sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Pada aspek wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur). Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur. Ketiga, makna ketidaksantunan berbahasa yaitu: (1) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan dapat melukai hati, (2) memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan itu menjengkelkan, (3) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, (4) menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan (5) mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.

Penelitian yang dilaksanakan oleh Valentina Tris Marwani (2013) dengan judul “Ketidaksantunan Lingusitik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga di Lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.” Penelitian ini

(36)

yang disampaikan oleh penutur. Data penelitian ini diambil dari berbagai macam cuplikan tuturan yang semuanya diambil secara natural dalam praktik-praktik perbincangan dalam ranah keluarga. Metode pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik dasar berupa teknik rekam dan teknik catat, serta metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Hasil penelitian ini adalah pertama, wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan tidak santun yang termasuk dalam (1) kategori melanggar norma dengan subkategori subkategori menjanjikan, menolak, dan kesal; (2) kategori mengancam muka sepihak dengan subkategori menyindir, memerintah, menjanjikan, kesal, dan mengejek; (3) kategori melecehkan muka dengan subkategori kesal, memerintah, menyindir, mengejek, dan mengancam; (4) kategori menghilangkan muka dengan subkategori menyindir, mengejek, menyalahkan, dan memerintah; dan (5) kategori menimbulkan konflik dengan subkategori melarang, mengancam, memerintah, mengejek, menolak, dan kesal, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik diketahui berdasarkan cara penyampaian penutur yang menyebabkan suatu tuturan menjadi tidak santun. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik diketahui dari diksi, kata fatis,

(37)

mengejek, kesal, meminta tolong, menegur, memerintah, melarang, menyalahkan, membandingkan, meremehkan, dan menakut-nakuti.

Penelitian berkenaan dengan ketidaksatunan berbahasa berikutnya dilakukan oleh Katarina Yulita Simanulang (2013) dengan judul “Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Pedagang

yang Berdagang di Pasar Besar Beringharjo, Yogyakarta”. Penelitian ini

(38)

santun, (2) penanda ketidaksantunan linguistik berupa penggunaan diksi, kata fatis, nada, tekanan, dan intonasi; penanda ketidaksantunan pragmatik berupa konteks yang menyertai setiap tuturan, serta (3) maksud ketidaksantunan penutur dalam kategori melanggar norma adalah menunda, protes, dan kesal; mengancam muka sepihak bermaksud kesal, protes, mengusir, basa-basi, memperingatkan, dan bercanda; melecehkan muka bermaksud memerintah, mengelak, kesal, mengomentari, menakut-nakuti, mengejek, basa-basi, menyindir, memperingatkan, dan melarang; menghilangkan muka bermaksud menanggapi, bercanda, melarang, memperingatkan, menyindir, basa-basi, mengomentari, mengusir, kesal, dan protes; serta menimbulkan konflik maksudnya menakut-nakuti, mengejek, protes, melarang, memperingatkan, dan kesal.

Keempat penelitian di atas merupakan penelitian yang menelaah mengenai kajian pengunaan ketidaksantunan berbahasa di mana ranah yang diteliti adalah ranah pendidikan. Dalam hasil penelitian tersebut ditemukan pula bentuk penyimpangan kesantunan berbahasa. Hal itulah yang menjadi dasar pijakan dalam mengkaji fenomena ketidaksantunan berbahasa khususnya dalam ranah agama yang selama ini.

2.2 Pragmatik

(39)

dengan cara berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Komunikasi tidak lepas dari suasana maupun konteks. Untuk mengkaji mengenai hal tersebut salah satu caranya adalah melalui sudut pandang pragmatik.

Pragmatik merupakan ilmu yang mempelajari tentang penggunaan bahasa dan selalu terikat dengan konteks (siapa yang diajak berbicara, kapan, di mana, apa, dan dalam keadaan yang bagaimana). Pragmatik umum senntiasa mengupas hal-hal yang bersifat lokal dan situasional serta dapat diatur dalam sosiopragmatik (sociopragmatics). Sosiopragmatik memiliki kesamaan dengan istilah ketepatan isi (appropriateness in meaning), yaitu sejauh mana fungsi komunikasi tertentu, sikap dan gagasan dianggap tepat sesuai dengan situasi yang berlaku. Hal ini berhubungan erat dengan aspek sosiologi. Hal ini dilakukan dalam rangka membangun prinsip-prinsip kerja sama dan sopan santun dalam proses komunikasi, sehingga tujuan komunikasi dapat dicapai secara efektif dan menghindari kesalahpahaman antara penutur dan lawan tutur.

Levinson (1983:21-24) menjelaskan kurang lebih tujuh pengertian pragmatik, antara lain “pragmatics is the study of the relation between language and context that are basic to an account of language understanding”.

(40)

menjabarkan “pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the contexts in which they would be appropriate”. Pengertian

ini lebih menekankan pada pentingnya kesesuaian antara kalimat-kalimat yang diujarkan oleh pengguna bahasa dengan konteks tuturannya.

Yule (2006:3) menelaah tentang 4 definsi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang mengkaji tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan, dan (4) bidang yang mengkaji tentang ungkapan dari jarak hubungan.

Berdasarkan beberapa ahli di atas, disimpulkan bahwa pragmatik merupakan ilmu kebahasaan yan menelaah maksud sebuah penggunaan bahasa yang didasari oleh keterikatan sebuah konteks.

2.3 Objek Kajian Pragmatik

Pragmatik membagi objek kajian ke dalam lima fenomena, yakni praanggapan, tindak tutur, implikatur, deiksis dan kesantunan. Kelima fenomena itu akan dijelaskan sebagai berikut.

2.3.1 Praanggapan

(41)

dinyatakan dan dan akibatnya akan menjadi bagian dari apa yang disampaikan tetapi tidak dikatakan. Hal ini didukung oleh pendapat Harimurti (2001:176), yang menyatakan bahwa praanggapan atau presuposisi merupakan syarat yang yang diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat.

Yule (2006:46) membagikan presupposisi menjadi enam jenis, yakni presupposisi eksistensial, presupposisi faktif, presupposisi nonfaktif, presupposisi leksikal, presupposisi struktural, presupposisi faktual tandingan. Presuposisi juga lekat dibicarakan dengan entailment. Entailment merupakan makna yang timbul sebagai akibat yang ada dalam suatu bentuk Harimurti (2001:163), dengan kata lain entailment merupakan penanda dengan penekanan untuk mengintegrasikan secara logis dan tegas suatu tuturan. Jadi, praanggapan atau presuposisi merupakan sesuatu yang dianggap (oleh penutur) sudah diketahui oleh lawan tutur.

2.3.2 Tindak Tutur

(42)

yang mengandung tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.

Searle (1983, dalam Rahardi: Ibid dan Rahardi: 2005:36-37) menbagi tindak tutur menjadi lima bentuk tuturan, yakni:

1. Asertif (assertive) atau representatif, yaitu bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran presposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (statting), menyarankan (susgeting), membual (boasting), mengeluh

(complaining), dan mengklaim (claiming).

2. Direktif (direcitives) yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitar tutur melakukan tindakan, misalnya memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending).

3. Ekspresif (expressive) yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thinking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (paroning), menyalahkan (blaming),

memuji (praisting), dan berbelasungkawa (condoling).

4. Komisif (commissives) yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promosing), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).

(43)

mengangkat (appointing), mengucilkan (excommuningcating), dan menghukum (sentencing).

2.3.3 Implikatur

Implikatur menerangkan apa yang dimaksudkan penutur, berbeda dengan apa yang dikatakan sebenarnya oleh penutur. Dalam rangka memahami apa yang dimaksudkan oleh penutur lawan tutur harus selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya (Nadar, 2009:60). Pemahaman terhadap implikatur percakapan tidak lepas dari asas kerja sama (cooperative principle) (Grice dalam Yule, 1996:31-32). Grice via Yule (1996) menjabarkan prinsip kerja sama tersebut ke dalam empat maksim percakapan, yakni pertama, maksim kuantitas. Maksim kuantitas menjelaskan mengenai percakapan yang singkat tetapi maknanya padat, tepat dan tidak berbelit-belit. Kedua, maksim kualitas yang menjelaskan mengenai percakapan yang sesuai dengan kenyataan dan fakta yang terjadi. Ketiga, maksim relevansi merupakan suatu hubungan antara penutur dan mitra tutur yang terjalin secara baik dan membicarakan sesuai permasalahan. Terakhir adalah maksim cara yakni antara penutur dan mitra tutur menghindari tuturan yang tidak jelas, ketakburan ujaran, ketaksaan dan menungkapkan tuturan secara sistematis.

(44)

umum dan konvensial. Berbeda dengan implikatur percakapan, yakni implikatur memiliki variasi karena makna dan pengertian yang dimaksudkan bergantung pada konteks pembicaraan. Implikatur percakapan terjadi karena adanya kenyataan bahwa sebuah ujaran yang mempunyai implikasi berupa proposisi yang sebenarnya bukan bagian dari tuturan tersebut dan tidak pula merupakan konsekuensi yang harus ada dari tuturan itu.

Yule (2006:69–80) membedakan implikatur menjadi lima macam: 1. Implikatur percakapan

Penutur yang menyampaikan makna lewat implikatur dan pendengarlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi. Kesimpulan yang sudah dipilih ialah kesimpulan yang mempertahankan asumsi kerja sama.

2. Implikatur percakapan umum

Jika pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, hal ini disebut implikatur percakapan umum.

3. Implikatur berskala

(45)

bahwa semua bentuk negatif dari skala yang lebih tinggi dilibatkan apabila bentuk apapun dalam skala itu dinyatakan.

4. Implikatur percakapan khusus

Percakapan sering terjadi dalam konteks yang sangat khusus di mana kita mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara lokal. Inferensi-inferensi yang sedemikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang disampaikan menghasilkan amplikatur percakapan khusus.

5. Implikatur konvensional

Kebalikan dari seluruh implikatur percakapan yang dibahas sejauh ini, implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan, dan tidak bergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Seperti halnya presupposisi leksikal, implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata tersebut digunakan.

Kata yang memiliki implikatur konvensional adalah kata ‘bahkan’ dan

‘tetapi’.

2.3.4 Deiksis

(46)

yang termasuk dalam deiksis dekat penutur (proksimal) adalah di sini, ini, sekarang, sedangkan deiksis jauh dari penutur (distal) menggunakan ungkapan itu, di sana, pada saat itu. Istilah-istilah proksimal biasanya ditafsirkan sebagai

istilah ‘tempat pembicara’, atau ‘pusat deiksis’, sehingga ‘di sini’ umumnya

dipahami sebagai acuan terhadap titik atau keadaan pada saat tuturan penutur terjadi di tempatnya. Sementara itu, untuk istilah distal yang menunjukkan

‘jauh dari penutur’, tetapi dapat juga digunakan untuk membedakan antara

‘dekat dengan lawan tutur’ dan ‘jauh dari penutur maupun lawan tutur’ (Yule,

2006:14). Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri.

Deiksis terbagi lima macam yakni deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Hal tersebut akan dipaparkan sebagai berikut :

(47)

2. Deiksis Tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesia- membedakan

antara “yang dekat kepada pembicara” (di sini) dan “yang bukan dekat

kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41).

3. Deiksis Waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Deiksis waktu juga ditujukan pada partisipan dalam wacana. Dalam banyak bahasa, deiksis (rujukan)

waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense) (Nababan,

1987: 41).

4. Deiksis Wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, dan sebagainya.

(48)

diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-kata tertentu (Nababan, 1987: 42).

2.3.5 Kesantunan

Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh

perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut “tatakrama”.

Kesantunan tercermin antara kesantunan berperilaku dan kesantunan berbahasa. Kesantunan berperilaku merupakan tata cara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu. Kesantunan berbahasa dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang, yang berarti bahasa (yang digunakan) seseorang atau suatu bangsa dapat diketahui kepribadiaannya (Pranowo, 2009:3).

(49)

Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Ketika berkomunikasi, penggunaan bahasa dengan baik dan benar saja belum cukup. Agar dapat membentuk perilaku seseorang menjadi lebih baik hendaknya juga menerapkan penggunaan bahasa yang santun.

(50)

“sapa senyum” agar masyarakat semakin sadar untuk menggunakan bahasa

yang santun terus menerus (Pranowo, 2009:52).

Pemakaian bahasa, baik santun maupun tidak dapat dilihat dari dua hal, yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengefektifkan pesan dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Gaya bahasa digunakan untuk memperindah tuturan dan kehalusan budi pekerti penutur. Beberapa gaya bahasa yang dapat digunakan untuk melihat santun tidaknya pemakaian bahasa dalam bertutur, antara lain: majas hiperbola, majas perumpamaan, majas metafora, dan majas eufemisme. Selain hal tersebut, Pranowo (2009:76–79) menjelaskan adanya dua aspek penentu kesantunan, yaitu aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya masyarakat (misalnya aturan anak kecil yang harus selalu hormat kepada orang yang lebih tua, dan sebagainya), pranata adat (seperti jarak bicara antara penutur dengan mitra tutur, gaya bicara, dan sebagainya).

(51)

Pranowo (2009:100–101) menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya memerhatikan beberapa komponen tutur yang meliputi latar, peserta, tujuan komunikasi, pesan yang ingin disampaikan, bagaimana pesan itu disampaikan, segala ilustrasi yang ada di sekitar peristiwa penutur, pranata sosial kemasyarakatan, dan ragam bahasa yang digunakan. Grice (2000) dalam Pranowo (2009:102) lebih menekankan tata cara ketika berkomunikasi. Selanjutnya Leech (1983) via Pranowo (2009:102–103), memaparkan prisnsip kesantunannya sebagai indikator kesantunan berbahasa, yakni: maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, maksim simpati, dan maksim pertimbangan. Pranowo (2009:103– 105) juga mengemukakan indikator kesantunan berupa nilai-nilai luhur yang mendukung kesantunan, yaitu sikap rendah hati. Sikap rendah hati seseorang dapat tumbuh dan berkembang jika seseorang mampu memanifestasikan nilai-nilai lain, seperti tenggang rasa (angon rasa, adu rasa), angon wayah, mau berkorban, mawas diri, empan papan, dan sebagainya.

2.3.6 Ketidaksantunan

Ketidaksantunan berbahasa ini muncul dengan melihat realita di masyarakat dalam menggunakan bahasa atau berkomunikasi. Penggunaan bahasa yang santun dalam berkomunikasi masih jauh dari yang diharapkan.

(52)

ketidaksantunan berbahasa. Pranowo (2009:68-71) memaparkan gejala penutur yang bertutur secara tidak santun, yaitu penutur menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar, penutur didorong rasa emosi yang berlebihan ketika bertutur sehingga terkesan marah kepada mitra tutur, penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya (hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain), penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur, penutur terkesan menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur.

Atas dasar identifikasi di atas, Pranowo (2009:72-73) menyebutkan empat faktor yang menyebabkan ketidaksantunan pemakaian bahasa. Pertama, ada orang yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara. Kedua, faktor pemerolehan kesantunan. Ketiga, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam kebiasaan baru (interferensi bahasa Indonesia). Keempat, karena sifat bawaan “gawan bayi” memang suka berbicara tidak santun di hadapan mitra tutur.

2.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa

(53)

Power in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008)

dan telah dibahasakan oleh Rahardi (2012).

2.4.1 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher

Miriam A. Locher (2008) via Rahardi (2012) mempunyai gagasan bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘Impoliteness is behaviour that is face-aggravating in a particular context.’

Pernyataan menurut Locher tersebut menjelaskan bahwa ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar ‘mengancam’ muka (face-threaten), seperti yang ditawarkan dalam banyak definisi kesantunan klasik Leech (1983), Brown and Levinson (1987), atau sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka Erving Goffman (cf. Rahardi, 2009).

Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’. Jadi, ketidaksantunan berbahasa dalam pemahaman

Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan dengan kata

aggravate’ itu.

(54)

Latar belakang situasi:

Terdapat kedua anak kost yang tidur satu kamar. Mereka merupakan teman yang beragama berbeda

Wujud tuturan

Ambar : “ Ling, aku nyalain dupa itu buat ngusir nyamuk ya?”

Lingling : “Halah gak usah, baunya gak enak, Mbar. Kamu nih kayak

mau cari pesugihan aja!”

Berdasarkan contoh tersebut dapat dilihat Lingling melecehkan muka Ambar. Dari percakapan di atas dapat diketahui bahwa Lingling bermaksud untuk mengejek Ambar sebagai temannya. Hal tersebut terlihat dari tuturan Lingling ‘mau cari pesugihan aja’ kalimat tersebut menandakan bahwa terdapat tuturan yang tidak santun, walaupun penyampaian tuturan tersebut disampaikan dengan nada guyonan, tetapi tuturan tersebut seharusnya tidak disampaikan karena akan menyinggung perasaan mitra tutur.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk melecehkan dan menghina mitra tuturnya.

2.4.2 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield Bousfield (2008) via Rahardi (2012), ketidaksantunan dalam berbahasa

dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive

(55)

konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu. Jadi apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan.

Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan menurut Bousfield.

Latar belakang situasi:

Bapak dan Ibu sedang melakukan perjalanan ke luar kota dengan mobil dan sedang berhenti di suatu perempatan lampu merah

Wujud tuturan :

Pengamen : “Permisi, Pak, Numpang ngamen” (sambil menyanyikan lagu dengan suara fals)

Bapak : (Memberikan sejumlah uang koin)

Ibu : “Masih muda kok udah minta-minta, mana suaranya fals lagi

Bapak : Bu, Kalo ngomong mbok yang santun ! Gak enak kalo didenger sama pengamen itu.

Berdasarkan contoh tersebut dapat dilihat bahwa Ibu menyampaikan tuturan secara ‘sembrono’, hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan ‘konflik’. Hal tersebut terlihat dari tuturan Ibu

Masih muda kok udah minta-minta, mana suaranya fals lagi”, kalimat

(56)

mungkin akan menimbulkan konflik. Kemungkinan timbulnya konflik telihat dalam tuturan yang dilontarkan oleh Bapak “Bu, Kalo ngomong mbok yang santun ! Gak enak kalo didenger sama pengamen itu”.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield (2008) ini lebih menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud mengancam muka yang dilakukan secara sembrono dan dapat memungkinkan terjadinya konflik antara penutur dan mitra tutur.

2.4.3 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper Pemahaman Culpeper (2008) via Rahardi (2012) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the

target to be so.’ Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’, kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan

konsep ‘kelangan rai’ (kehilangan muka).

(57)

Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan menurut Culpeper.

Latar belakang situasi:

Siang hari ketika ada suatu pengajian di rumah seorang Ulama. Wujud tuturan :

Om Sandi : “Dek, Mbok ikut pengajian sana !”

Jarot : Ah nanti aja, aku juga gak begitu lancar ngaji Om Om Sandi : “Wuu, anak haji kok gak bisa baca Arab!”

Jarot ; (Wajahnya merah)

Berdasarkan contoh di atas dapat dilihat bahwa Jarot merasa ‘kehilangan muka’ akibat tuturan yang dikeluarkan oleh Om Sandi. Tuturan yang

disampaikan Om Sandi yaitu “Wuu, anak haji kok gak bisa baca Arab!” sebenarnya merupakan suatu candaan atau bisa juga berupa sindiran. Candaan atau sindiran tersebut kurang pantas, karena tuturan itu disampaikan tanpa memperhatikan konteks situasinya. Dalam hal ini tuturan tersebut dapat dikatakan sebagai tuturan yang tidak santun.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper ini lebih menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk mempermalukan mitra tuturnya.

(58)

relative to the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no

face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi perilaku berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu

dari mitra tuturnya.

Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan menurut Terkourafi.

Latar belakang situasi :

Sekumpulan remaja mudika seusai diadakan misa di suatu Gereja. Wujud tuturan :

Bonar : “Aku pulang dulu ya, temen-temen”

Galang : “Wuuu. Mbok pulangnya dari tadi kenapa pulang baru

aja sekarang, Hahahaha”

Bonar : (Terus melakukan keinginannya untuk pulang dari gereja)

(59)

tidak merespon ancaman muka yang dilontarkan kepadanya, bahkan Bonar tidak menghiraukannya.

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi (2008) lebih menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan penutur yang membuat mitra tutur merasa mendapat ancaman terhadap kehilangan muka, tetapi penutur tidak menyadari bahwa tuturannya telah memberikan ancaman muka mitra tuturnya.

2.4.5 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts

Locher and Watts (2008) via Rahardi (2012) berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior), lantaran melanggar norma-norma sosial yang

berlaku dalam masyarakat. Para ahli tersebut juga menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan hubungan antar sesama (a means to negotiate meaning). Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini, ‘…impolite behaviour and face -aggravating behaviour more generally is as much as this negation as polite

(60)

Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan menurut Locher and Watts.

Latar belakang situasi :

Sekumpulan remaja masjid yang sedang berbincang di serambi Masjid Wujud tuturan :

Darto dan kawannya (mereka sedang berbincang dengan seru mengenai final bola di Liga Champion).

Hj. Solihawah : “Mas-masnya semua mbok yo dihargai ada orang di dalam sedang pada dzikir, malah ribut-ribut gak jelas”

Darto : (kaget) “ Owh menganggu ya Bu, tapi kan kami ngobrolnya di serambi Masjid kan?” Hj. Solihawah : “Gimana sih kalian semua. Sudah sana pada

ambil air wudhu setelah itu sholat terawih

berjamaah”

Tindakan yang dilakukan oleh Darto dan teman-temannya merupakan tindakan yang tidak santun yakni melanggar norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga membuat Hj. Solihawah marah. Percakapan di atas dapat diketahui bahwa Darto dan teman-temannya sebenarnya tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang tidak santun dengan melanggar norma-norma sosial yang berada dalam masyarakat. Selain itu, Darto menanggapi hal tersebut dengan tuturan yang bernada tanpa rasa bersalah. Hal ini terlihat dari tuturan yang dihasilkan oleh Darto “ Owh menganggu ya Bu, tapi kan kami ngobrolnya di serambi Masjid kan?”. Tuturan tersebut merupakan tuturan

(61)

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts (2008) ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang secara normatif dianggap negatif, karena dianggap melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu).

(62)

2.5 Konteks

Kajian pragmatik tidak lepas dari konteks situasi dan lingkungan sosial tertentu untuk menyampaikan makna tertentu dari penutur ke mitra tutur. Levison (1983:21-24 via Nugroho 2009;199), “Pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the contexts in which they

would be appropriate”. Pengertian kedua dari tujuh tinjauan prgmatik ini lebih

menekankan pada pentingnya kesesuaian antara kalimat-kalimat yang diujarkan oleh pengguna bahasa dengan konteks tuturannya. (Rahardi 2003:8) memaparkan bahwa konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun oleh mitra tutur, serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan.

Sejalan mengenai apa yang dipaparkan oleh Malinowsky (1923), Verschueren (1998) dalam Rahardi (2012) mengatakan bahwa ‘utterer’ (penutur) dan ‘interpreter’ (mitra tutur) menjadi titik utama dalam pragmatik. Verschueren (1998:76) via Rahardi (2012) menyebutkan empat dimensi konteks yang sangat mendasar dalam memahami makna sebuah tuturan.

Pertama adalah ‘The utterer’ dan ‘The interpreter’ adalah dimensi yang paling signifikan dalam pragmatik. Jadi, penutur dan mitra tutur menjadi titik fokus dalam pragmatik. Penutur atau utterer memiliki banyak suara (many voice) atau memiliki banyak kemungkinan kata, sedangkan mitra tutur atau

(63)

kalanya berperan sebagai mitra tutur atau interpreter. Jadi, selain penutur berperan sebagai penutur atau pembicara, tetapi juga sekaligus sebagai pengintepretasi atas apa yang sedang diucapkannya. Hal lain yang juga harus diperhatikan dalam kaitan dengan penutur dan mitra tutur selain apa yang telah dipaparkan sebelumnya adalah jenis kelamin, adat-kebiasaan, dan semacamnya. Hal tersebut adalah mengenai ‘the influence of numbers’ alias

pengaruh dari jumlah’ orang yang hadir dalam sebuah pertutursapaan. Jadi,

memang akan menjadi sangat berbeda makna kebahasaan yang muncul bilamana sebuah pertutursapaan dihadiri orang dalam jumlah banyak, dan bilamana hanya dihadiri dua pihak saja, yakni penutur (utterer) dan mitra tutur (interpreter). Seorang penutur tunggal akan sedikit banyak memiliki beban psikologis jika berhadapan dengan publik yang jumlahnya tidak sedikit. Sebaliknya, apabila mitra tutur hanya berjumlah satu, sedangkan penutur jumlahnya jauh lebih banyak, mitra tutur itu akan cenderung menginterpretasi dengan hasil yang berbeda daripada juka penutur itu hanya satu orang saja jumlahnya. Jadi, kehadiran penutur yang banyak, cenderung akan mempengaruhi proses interpretasi makna oleh mitra tutur. Demikian juga sebaliknya, jika jumlah penutur itu banyak, interpretasi kebahasaan yang akan dilakukan mitra tutur pasti sedikit banyak terpengaruh.

(64)

suatu pertuturan, kadang hadir juga pihak-pihak lain yang perlu sekali dicermati peran dan pengaruhnya terhadap bentuk kebahasaan yang muncul. Kehadiran mereka semua dalam pertutursapaan, akan berpengaruh besar pada dimensi ‘mental’ penutur atau ‘the utterer’. Dengan kata lain harus juga dinyatakan bahwa dimensi-dimensi mental ‘language users’ dalam peristiwa pertuturan itu berubah. Jadi jelas sekali, bahwa dimensi-dimensi mental penutur dan mitra tutur benar-benar sangat penting dalam kerangka perbincangan konteks pragmatik itu. Sehubungan dengan konteks pragmatik, aspek kepribadian atau ‘personality’ dari penutur dan mitra tutur, ‘utterer’ dan ‘interpreter’, ternyata mengambil peranan yang sangat dominan. Aspek lain

yang harus diperhatikan dalam kaitan dengan komponen penutur dan mitra tutur ini adalah aspek warna emosinya (emotions). Selain dimensi ‘personality’ dan ‘emotions’, terdapat pula dimensi ‘desires’ atau ‘wishes’, dimensi ‘motivations’ atau ‘intentions’, serta dimensi kepercayaan atau ‘beliefs’ yang

juga harus diperhatikan dalam kerangka perbicangan konteks pragmatik ini. Dimensi-dimensi mental ‘language users’ yang telah disebutkan sebelumnya, semuanya berpengaruh besar terhadap dimensi kognisi dan emosi penutur dan mitra tutur dalam pertuturan sebenarnya.

(65)

(1998) disebut ‘ingredient of the communicative context’ harus diperhatikan dengan benar-benar baik dalam analisis pragmatik. Aspek kultur juga merupakan satu hal yang sangat penting sebagai penentu makna dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan dengan aspek ‘norms and values of culture’ dari masyarakat bersangkutan.

Dimensi keempat atau yang terakhir dijelaskan oleh Verschueren (1998) adalah mengenai aspek-aspek fisik ‘language users’. Fenomena deiksis (deixis phenomenon), baik yang berciri persona (personal deixis), deiksis perilaku

(attitudinal deixis), deiksis waktu (temporal deixis), maupun deiksis tempat (spatial deixis) menjadi dimensi-dimensi fisik yang menarik perhatian para pakar linguistik dan pragmatik. Verschueren (1998) telah menegaskan, ‘…phenomena have exerted a strong fascination on linguists, from long before

‘pragmatics’ became a common notion’, yang artinya bahwa fenomena deiksis

telah menjadi perhatian linguis, bahkan sejak jauh sebelum pragmatik terlahir. Deiksis persona, lazimnya menunjuk pada penggunaan kata ganti orang, misalnya penggunaan kata ‘saya’, ‘kami’, ‘kita’, dan sebagainya. Selanjutnya masih berkaitan dengan persoalan deiksis, tetapi yang sifatnya temporal, misalnya saja kapan harus digunakan ucapan ‘selamat pagi’ atau ‘pagi’ saja dalam bahasa Indonesia. Dalam konteks waktu pula, kapan orang harus berhati-hati, kapan harus menggunakan ‘event time’ seperti ‘pada Senin’ atau ‘pada 2012’, kapan harus menggunakan ‘time of utterence’ seperti ‘kemarin’, ‘sekarang’, ‘besok’, dan kapan pula harus menggunakan ‘reference time’

(66)

konteks lain di luar apa yang disebutkan di depan itu adalah ihwal jarak spasial atau ‘space distance’. Ketika orang sedang bertutur sapa, jarak spasial yang demikian ini sangat menentukan maksud, juga persepsi terhadap makna yang disampaikan oleh ‘interpreter’.

Leech (1983) via Rahardi (2012) menggunakan istilah ‘speech situations’ atau situasi tutur dalam pemahamannya tentang konteks.

Sehubungan dengan bermacam-macamnya maksud yang dikomunikasikan oleh

penuturan sebuah tuturan, Leech (1983) dalam Wijana (1996:10−13)

mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut.

1) Penutur dan lawan tutur

Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

2) Konteks tuturan

(67)

3) Tujuan penutur

Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Ada perbedaan yang mendasar antara pandangan pragmatik

yang bersifat fungsional dengan pandangan gramatika yang bersifat formal. Di dalam pandangan yang bersifat formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu memiliki makna yang berbeda.

4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas

Bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dan sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini,

(68)

5) Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai contoh, kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang? Dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini, dapat ditegaskan ada perbedaan yang mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.

Levinson (1983:22−23) via Nugroho (2009:119) menjelaskan bahwa

untuk mengetahui konteks, seseorang harus membedakan antara situasi aktual sebuah tuturan dalam semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka, dan pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang berhubungan dengan produksi dan penafsiran tuturan.

Gambar

Tabel 1 Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori
Tabel 1: Jumlah Data Tuturan Berdasarkan Kategori Ketidaksantunan
Table 2: Data Tuturan Ketidaksantunan Kategori Melecehkan Muka
Tabel 3: Data Tuturan Ketidaksantunan Kategori Menghilangkan Muka
+2

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan penelitian ini ada tiga, yaitu bentuk campur kode dilihat dari asal bahasanya dan unsur kebahasaannya, faktor- faktor yang menimbulkan campur kode,