• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI-TEORI YANG MELANDASI INOVASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS

B. Contoh Aplikasi Teori Belajar Dalam Pembelajaran Sosial

1. Teori Kontruktivisme Vygotsky

Teori Konstruktivisme Vygotsky atau Pendekatan Kontruktivis Sosial adalah pendekatan yang menekankan pada konteks social dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksi secara bersama (mutual). Menurut Vygotsky, bahwa pengetahuan yang diperoleh individu dari interaksi social di pengaruhi oleh kultur; misalnya, kultur bisa menentukan keahlian apa yang penting (seperti keahlian computer, ketrampilan sosial dan soft skills) (Santrock, 2013, hlm. 406).

Teori pembelajaran konstruktivis adalah teori yang menyatakan bahwa masing-masing pembelajar harus menemukan dan mengubah informasi yang rumit, dengan memeriksa informasi yang baru terhadap aturan lama dan merevisi aturan apabila hal itu tidak berguna (Slavin, 2011, hlm. 4). Pandangan ini mempunyai implikasi yang sangat besar bagi pengajaran, karena itu

144

menyarankan hal yang lebih jauh lebih aktif bagi siswa dalam pembelajaran.

Vygotsky menyatakan bahwa lingkungan social sangat penting bagi pembelajaran dan berpikir bahwa interaksi-interaksi social mengubah dan mentransformasi pengalaman-pengalaman belajar (misalnya program magang, kolaborasi) akan menstimulasi proses-proses perkembangan dan mendorong pertumbuhan kognitif (Schunk, 2012, hlm. 339). Magang atau yang sekarang disebut Praktek Kerja Industri merupakan implementasi pembelajaran kontruktivisme sebagai wadah bagi peserta magang untuk mentransformasikan pengalaman-pengalama mereka berdasarkan pengetahuan dan karakteristik pengetahuan mereka, dan mereka mengorganisasi ulang elemen kognitif mereka lewat interaksi social.

Perkembangan kognitif tergantung pada pengembangan kapabilitas dalam menggunakan stimuli artificial atau isyarat untuk menguasai

145

pemikiran yang dipunyai oleh setiap individu. Factor-faktor individual atau keturunan mempengaruhi perkembangan. Tahapan dalam proses panjang ini adalah tahap alamiah, psikologi naïf, penggunaan lambang atau isyarat eksternal mengonstruksi stimuli verbal internal (penggunaan internal). Anak kecil, misalnya, tidak bias menggunakan gambar sebagai petunjuk untuk mengingat seperangkat kata. Akan tetapi orang dewassa mengonstruksi relasi verbal yang kompleks sebagai bantuan ingatan (Gredler, 2011, hlm. 392).

Vygotsky mengidentifikasi dua hukum yang berkaitan dengan penggunaan lambang. Hukum pertama menyatakan arti penting transmisi dari bentuk perilaku langsung atau alamiah ke penggunaan lambang dalam tugas kognitif. Hukum lainnya menekankan restrukturisasi pemikiran yang terjadi dalam transisi dari pengandalan lambing eksternal (stimuli bantuan) ke pemikiran verbal internal. Lambang-lambang adalah stimuli artificial

146

yang diperkenalkan ke dalam tugas psikologis yang mengubah hakikat dari aktivitas mental (Gredler, 2011, hlm. 384-385).

Vygotsky berpendapat bahwa, tidak seperti hewan yang hanya bereaksi terhadap lingkungan, manusia memiliki kapasitas untuk mengubah lingkungan sesuai dengan keperluan mereka. Kapasitas adaptif ini membedakan manusia dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah darinya. Vygotsky berupaya menjelaskan pikiran manusia dengan cara-cara baru. Ia menolak instropeksi dan memunculkan banyak lagi keberatan yang sama dengan keberatan para behavioris. Ia tidak ingin menjelaskan tentang kondisi-kondisi pikiran sadar dengan mengacu pada konsep kesadaran. Ia juga menolak penjelasan-penjelasan para behavioris tentang tindakan dalam kaitannyadengan tindakan-tindakan sebelumnya. Ia mencari jalan tengah yang memperhitungkan pengaruh lingkungan melalui

147

efeknya terhadap kesadaran (Schunk, 2011, hlm. 338-339).

Menurut Vygotsky, dalam menguasai proses-proses eksternal dari transmisi perkembangan cultural dan berpikir yang paling berpengaruh adalah proses bahasa (komunikasi) disamping alat-alat psikologis yang lain seperti tanda-tanda dan symbol-simbol. Setelah proses bahasa, langkah selanjutnya adalah menggunakan symbol-simbol tersebut untuk mempengaruhi dan mengatur sendiri pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan. Jadi lingkungan social mempengaruhi kognisi melalui “alat-alat”nya – yaitu, obyek-obyek kulturalnya (misalnya; mobil, mesin) serta bahasa dan institusi-institusi sosialnya (misalnya; sekolah, gereja). Interaksi social-interaksi social membantu mengoordinasikan tiga pengaruh tersebut terhadap perkembangan (Schunk, 2011, hlm. 340).

Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat dan budaya dalam mendorong

148

pertumbuhan kognitif sehingga teorinya terkadang sering disebut sebagai perspektif sosiokultural (sociocultural perspective). Vygotsky mengemukakan tentang konstruksi makna secara social, yaitu bahwa orang dewasa membantu anak melekatkan makna ke berbagai objek dan peristiwa di sekeliling mereka. Interaksi semacam ini disebut pengalaman belajar yang dimediasi (mediated learning experience). Pengalaman-pengalaman anak umumnya terjadi di bagian-bagian aktivitas yang kurang penting; dan keterlibatan mereka seringkali dimediasi (dipandu), dibimbing secara bertahap dan disupervisi melalui partisipasi terbimbing (guided participation). Pemagangan atau yang sekarang disebut Praktek Kerja Industri adalah sebuah bentuk partisipasi terbimbing yang sangat intensif, yakni seorang pemula atau “anak bawang” bekerja bersama seorang pakar dalam rangka mempelajari cara-cara melakukan berbagai tugas yang kompleks dalam suatu ranah tertentu (Slavin, 2011, hlm. 61; 65-66).

149

Teori sosiokultural Vygotsky menjelaskan tentang pembelajaran manusia sebagai proses sosial dan asal mula kecerdasan manusia dalam masyarakat atau budaya. Tema utama teori Vygotsky dalam kerangka kerja adalah bahwa interaksi sosial memainkan peran mendasar dalam pengembangan kognisi. Menurut Vygotsky bahwa pengetahuan atau keterampilan dapat dipelajari pada dua tingkat. Pertama, melalui interaksi dengan orang lain, dan kemudian diintegrasikan ke dalam struktur mental individu. Setiap fungsi dalam perkembangan budaya anak muncul dua kali: pertama, pada tingkat sosial, dan kemudian, pada tingkat individu; pertama, antara orang (interpsikologis) lalu di dalam anak (Intrapsikologis). Hal ini berlaku juga untuk perhatian, memori logis, dan pembentukan konsep berasal dari hubungan aktual antar individu (Vygotsky, 1978, hlm.57). Aspek kedua teori Vygotsky adalah gagasan bahwa potensi perkembangan kognitif terbatas pada sebuah "Zone

150

Proximal Development" (ZPD). "Zona" ini adalah area eksplorasi dimana siswa tersebut berada dan disiapkan secara kognitif, namun membutuhkan pertolongan dan interaksi sosial untuk berkembang sepenuhnya. Seorang guru atau rekan yang lebih berpengalaman mampu memberi pembelajaran yang mendukung perkembangan siswa tentang pemahaman tentang domain pengetahuan atau pengembangan keterampilan yang kompleks. Pembelajaran kolaboratif, wacana, pemodelan, dan intervensi adalah strategi untuk mendukung pengetahuan dan keterampilan intelektual. Berikut gambar mengenai zona pengembangan proximal menurut Vygotsky.

151

Sumber : Vygotsky (1978, hlm.57)

Gambar : Zone Proximal Development

Inti teori pembelajaran konstruktivis adalah bahwa siswa harus membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri dengan menemukan atau menerapkan sendiri dan .yang ada dalam dirinya melalui interaksi social dengan memperhatikan alat-alat psikologis yang tersedia (tanda-tanda, symbol-simbol dan lambing-lambang) untuk memperoleh pengetahuan atau

152

keterampilan yang diinginkan (Slavin, 2011; Santrock, 2013; Schunk, 2011; Gredler, 2011).

Konsep bahwa pelajar membangun pengetahuan mereka sendiri dari pengalaman disebut dengan teori konstruktivistik. (Fosnot, 1996; Martin, 2009, hlm. 196). Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Konstruktivistik adalah suatu teori belajar yang mempunyai akar dalam psikologi dan filsafat. Inti dari konstruktivistik yang penting adalah pelajar dengan aktif membangun pemikiran dan pengetahuan mereka sendiri dari pengalaman mereka. (Fosnot, 1996; Steffe & Gale, 1995).

Suatu pendekatan konstruktivistik dalam ilmu pendidikan lebih difokuskan pada bagaimana peserta didik berpikir dan berinteraksi dengan lingkungan fisik dan lingkungan alami. (Chaile dan Britain, 2003, hlm. 15). Konstruktivistik percaya bahwa masing-masing pelajar harus membangun

153

pengetahuan mereka sendiri dan hanya belajar yang berlangsung dengan lingkungan dapat dikaitkan pada perolehan pengetahuan individu, pengalaman, atau pengetahuan konseptual. Apa yang anak-anak pelajari bukanlah suatu salinan dari apa yang mereka amati dalam lingkungan, melainkan hasil dari berpikir dan proses belajar mereka sendiri. (Martin, 2009, hlm. 199).

Konstruktivistik berarti bahwa pengalaman yang baru diinternalisasikan dengan menghubungkannya dengan pengalaman masa lalu dan bagian-bagian dari pengetahuan. (Rockmore, 2005, hlm. 30). Konstruktivistik mengakui adanya peran aktif pelajar di dalam penciptaan pengetahuan pribadi, pentingnya pengalaman (individu dan sosial) di dalam proses penciptaan pengetahuan tersebut, dan perwujudan bahwa pengetahuan yang diciptakan akan bervariasi dalam derajat kebenaran sebagai gambaran dari suatu kenyataan yang akurat. (Doolittle dan Camp, 1999).

154

Desain lingkungan belajar yang efektif terus memberikan arti penting dengan ketidakpuasan yang tumbuh pada sistem pendidikan di tingkat sekolah dasar dan menengah. Telah terjadi fluktuasi dalam strategi pada kedua tingkatan tersebut, tetapi selama dua dekade terakhir dapat dibantah dengan pendekatan yang dominan dalam merancang pembelajaran yaitu kerangka konseptual yang disebut "konstruktivistik." (Tobias dan Duffy, 2009, hlm. 3). Glasersfeld (1995, hlm. 5) percaya bahwa pendekatan konstruktivistik sosial dalam pengembangan konseptual dapat membantu memperbaiki hubungan antara guru dengan siswa dan antar siswa, penciptaan materi sangat diutamakan melalui tugas dimana guru dapat memiliki banyak pengalaman daripada teori.

Pada praktik kerja industri, konstruktivistik sosial menyiratkan suatu format pembelajaran di mana para siswa secara penuh dilibatkan, menemukan proses yang menyenangkan, dan

155

menghubungkan gagasan mereka dengan dunia nyata sebagai suatu yang pantas untuk dipertimbangkan. Hanya dengan cara ini mereka dapat berpartisipasi dalam membangun pengetahuan mereka dan memperoleh kebiasaan yang membuat mereka belajar sepanjang hayat. (Beck dan Kosnik, 2006, hlm. 2).

Dokumen terkait