• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Kultivas

Dalam dokumen MEDIA PEMERINTAH KOTA TEBING TINGGI (Halaman 52-55)

Teori Kultivasi: Dalam Sebuah Esa

III. Teori Kultivas

1. Awal Kelahirannya

Tak dipungkiri, setelah melakukan aktivitas lain, umat manusia kontemporer sangat membutuh- kan kehadiran televisi untuk mendapatkan informasi dan sebagai media untuk menghibur. Kenyataan inilah yang membuat Gerbner dan koleganya mel- akukan penelitian sehingga menghasilkan apa yang disebutnya dengan teori kultivasi. Hipotesis awalnya dikatakan, bahwa televisi telah menjadi anggota keluarga penting, anggota keluarga yang paling ban- yak dan sangat sering bercerita. Rata-rata pemirsa menonton televisi empat jam sehari. Saking ser- ingnya sebuah keluarga berinteraksi dengan televisi, maka dalam bahasa yang ekstrim televisi dapat dikatakan sebagai agama baru. Yang seolah-olah siap menjadi pemandu kehidupan ini.

Teori Kultivasi merupakan bagian dari teori komunikasi massa yang melakukan penelitian efek jangka panjang dari televisi pada khalayak. Teori ini dibangun dan dikembangkan oleh George Gerbner dan para koleganya dari Annenberg School of Com- munication di University of Pennsylvania. Tulisan pertama yang memperkenalkan teori ini adalah “Liv- ing with Television: The Violenceprofile”, Journal of Communication. Gerbner mengawali teori kultivasi

ini dari beberapa proyek penelitian skala besar ber- judul 'Indikator Budaya'.

Tujuan dari proyek ‘Indikator Budaya’ adalah untuk mengidentifikasi efek televisi pada pemirsa. Sejalan dengan itu, teori kultivasi muncul dalam situasi ketika terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull effects model) den- gan kelompok yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model), dan juga perdebatan antara kelompok yang menganggap efek media massa bersifat langsung dengan kelompok efek media massa bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul untuk meneguhkan keyakinan orang, bahwa efek media massa lebih besifat kumu- latif dan lebih berdampak pada tataran sosial-budaya dari pada individual.

Gerbner melakukan penelitian tentang “In- dikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi. Gerbner menyebut efek televisi ini sebagai kultivasi (cultivation), yang artinya ‘penana- man’, istilah yang pertama kali dikemukakan pada tahun 1969. Gerbner bersama beberapa rekannya kemudian melanjutkan penelitian media massa terse- but dengan memfokuskan pada dampak media massa dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation Analysis. Dari analisis tersebut diperoleh berbagai temuan yang menarik dan orisinal yang kemudian banyak mengubah keyakinan orang tentang relasi antara televisi dan khalayaknya berikut berbagai efek yang menyertainya. Karena konteks penelitian ini dilakukan dalam kaitan merebaknya acara kekerasan di televisi dan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat, maka temuan penelitian ini lebih terkait efek kekerasan di media televisi terhadap persepsi khalayaknya tentang dunia tempat mereka tinggal. Televisi dengan segala pesan dan gambar yang disajikannya merupakan proses atau upaya un- tuk ‘menanamkan’ cara pandang yang sama terhadap realitas dunia kepada khalayak. Televisi dipercaya sebagai instrumen atau agen yang mampu menjadi- kan masyarakat dan budaya bersifat homogen (ho- mogenizing agent). Jelasnya, inti dari teori ini ada- lah: Persepsi apa yang terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya yang sangat ditentu- kan televisi. Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang sesungguhnya dilakukan

SINERGI

Jurnal Ilmiah

lebih menekankan pada “pengaruh atau dampak”. Kata ‘cultivation’ sendiri merujuk pada proses ku- mulatif dimana televisi menanamkan suatu keyaki- nan tentang realitas sosial kepada khalayaknya.

Sedangkan, Kholil, menyebutnya dengan teori penyuburan. Sembari mengutip McQuail, ia mengatakan bahwa media massa modern terutama televisi lebih berperan untuk menyuburkan atau menguatkan pendapat dan tingkah laku khalayak sasaran. Dengan kata lain, teori kultivasi menekan- kan efek kuat televisi terhadap pembentukan persep- si audiens yang pada akhirnya melahirkan konstruksi sosial. Inilah yang disebut dengan realitas sebagai bentukan media massa. Pada titik ini, rela atau tidak, kita harus mengakui daya pengaruh terhadap cara pandang, perasaan bahkan perilaku melalui objek- tivitas semu yang dikonstruksi media massa tersebut.

Teori kultivasi atau analisis kultivasi adalah teori yang memperkirakan dan menjelaskan pemben- tukan persepsi, pengertian, dan kepercayaan men- genai dunia sebagai hasil dari mengonsumsi pesan media dalam jangka panjang. Dengan kata lain, realitas yang khalayak media terima adalah realitas yang diperantarai (mediated reality). Teori kultivasi tidak membahas efek dari suatu tayangan tertentu (apa yang akan dilakukan seseorang setelah menon- ton suatu tayangan), tetapi mengemukakan gagasan mengenai budaya secara keseluruhan.

2. Aplikasi Teori

Menurut teori kultivasi, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkun- gannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terban- gun di benak kita tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak kita dengan televisi, kita belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasannya. Inti dari penelitian mengenai kultivasi adalah siapa yang menghabiskan waktu lebih banyak menonton televisi mempunyai kemungkinan untuk memandang realitas dunia dalam cara yang mencer- minkan pesan yang secara umum disampaikan oleh televisi, dibandingkan dengan mereka yang lebih sedikit menonton televisi.

Penelitian awal dilakukan dengan memband- ingkan “penonton berat” dan “penonton ringan” televisi. Gerbner dan timnya mencatat setiap jawa- ban-jawaban yang diajukan dan jawaban berbeda

dari kedua jenis pemirsa televisi tersebut. Pada kategori aplikasi, teori kultivasi ini hanya dipantau dalam kaca mata kekerasan. Gerbner juga berpen- dapat bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan, alih-alih perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksi- kan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi, seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang terjadi sebenarnya juga demikian. Jadi, kekerasan yang ditayangkan di televisi diang- gap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang biasa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang diper- tontonkan di televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.

Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan dan memperkuat ide-ide dan nilai- nilai yang telah terbentuk sebelumnya di dalam masyarakat atau budaya yang telah terbentuk. Media mempertahankan dan menyebarluaskan nilai-nilai tersebut diantara anggota-anggota kebudayaan tersebut, dan mengikatnya menjadi sebuah kesatuan. Gerbner menyebutnya sebagai efek "mainstreaming" atau efek yang tendensius.

Gerbner dan kawan-kawan memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan resonance (Ger- bner, Gross, Morgan dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004). Mainstreaming diartikan sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (TV stabilize and homogenize views within a society). Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (bluring), kemudian membaurkan (blending) dan melenturkan (bending) perbedaan realitas yang beragam menjadi pandan- gan mainstream tersebut. Sedangkan resonance mengimplikasikan pengaruh pesan media dalam persepsi realitas dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.

Dalam teori kultivasi dijelaskan bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/berto- lak belakang, yaitu (1) para pecandu/penonton fana- tik (heavy viewers) adalah mereka yang menonton televisi lebih dari empat jam setiap harinya. Kelom- pok penonton ini sering juga disebut sebagai khalay- ak “the television type”; serta (2) adalah penonton

SINERGI

biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi dua jam atau kurang dalam setiap harinya. Dan teori kultivasi ini berlaku terhadap para pecandu (penonton) fanatik, karena mereka semua adalah orang-orang yang lebih cepat percaya dan mengang- gap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya.

Penonton berat televisi (heavy viewers) mem- berikan jawaban yang lebih dekat dengan dunia yang dideskripsikan televisi. Para pecandu berat televisi akan menganggap bahwa apa yang terjadi yang terja- di di televisi adalah dunia sebenarnya; misalnya ten- tang perilaku kekerasan, hamil di luar nikah, konflik antara anak dan orang tua. Padahal semua tampilan tersebut sudah diplot sedemikian rupa lewat skenario yang telah disiapkan. Mereka para pecandu berat televisi menganggap kemungkinan seseorang untuk menjadi korban kejahatan adalah 1 berbanding 10. Dalam kenyataannya, angkanya adalah 1 berband- ing 50. Pecandu berat mengira bahwa 20% dari total penduduk dunia berdiam di Amerika Serikat. Keny- ataannya hanya 6%. Pecandu berat percaya bahwa persentase karyawan dalam posisi manajerial atau professional adalah 25%, kenyataannya hanya 5%. Tiga asumi dasar teori kultivasi: Pertama, televisi adalah media yang sangat berbeda. Televisi merupakan media yang memiliki akses paling besar untuk menjangkau masyarakat. Televisi mampu menarik perhatian kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda namun sekaligus menun- jukkan kesamaannya. Televisi menggabungkan pesan yang bersifat audio dan visual (tidak seperti radio yang hanya audio atau koran yang hanya visual).

Kedua, televisi membentuk cara mayarakat berpikir dan berinteraksi. Gagasan ini menyatakan bahwa jumlah kekerasan di televisi jauh lebh ban- yak dibandingkan dengan realitas yang sebenarnya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh penelitian Kurtz (1998), yang mengemukakan angka statistik men- unjukkan penurunan jumlah kejahatan pembunuhan sebesar 20% dalam periode 1993-1996, walaupun pada saat yang sama jumlah film yang bercerita soal pembunuhan melonjak sebesar 721%. Dan, ketiga, pengaruh Televisi bersifat terbatas. Berdasarkan observai yang terukur dan independen, pengaruh televisi terhadap individu dan budaya ternyata relatif kecil. Meski begitu, pengaruh itu etap ada dan signifikan. Gerbner menyatakan bahwa menonton televisi pada umumnya akan menghasilkan pengaruh yang berifat kumulatif dan luas dalam hal bagaimana kita memandang dunia.

Dengan begitu, asumsi dari Teori Kultivasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Televisi merupakan media yang unik. Asumsi pertama menyatakan bahwa televisi merupakan media yang unik. Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang bersifat: 1. Perva- sive (menyebar dan hampir dimiliki seluruh kelu- arga), 2. Assesible (dapat diakses tanpa memerlu- kan kemampuan literasi atau keahlian lain), dan 3. Coherent (mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu).

b. Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecend- erungan orang tersebut menyamakan realitas tel- evisi dengan realitas sosial. Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) dalam pandangan penonton televisi dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya.

Namun, sekali lagi, teori ini tidak menggen- eralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat). Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner dan kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer mempersepsi dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan mena- kutkan daripada kenyataan sebenarnya. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai sindrom dunia kejam, yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat dimana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat dimana banyak orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri. Un- tuk itu orang harus berhati-hati menjaga diri. Pem- bedaan dan pembandingan antara heavy dan light viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara mereka.

Kemudian dari titik ini, Gerbner, berpendapat media telah menanamkan sikap dan nilai tertentu dan kemudian memelihara dan menyebarkannya sikap dan nilai itu antar anggota masyarakat serta mengikatnya bersama-sama pula. Dengan kata lain, media mempengaruhi penonton dan masing-masing pemirsa meyakininya. Jadi, para pecandu televisi akan memiliki kecenderungan sikap yang sama pula satu sama lain.

SINERGI

Jurnal Ilmiah

Lebih lanjut Gerbner menganalisa, sesung- guhnya media massa merupakan agen sosialisasi. Memang Gerbner dan timnya mengakui bahwa film drama yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh, tetapi sangat signifikan dalam mengubah sikap, kepercayaan, atau pandangan pemirsa yang berhubungan dengan lingkungan sosial. Dari lanskap inilah, Kholil, menjelaskan apabila media massa se- cara berulang-ulang menyampaikan pesan-psan yang sesuai dengan pendapat dan tingkah laku seseorang, maka pendapat dan tingkah laku seseorang akan se- makin kuat dan semakin subur akibat terpaan pesan- pesan media massa yang terus menerus. Walhasil, menurut perspektif teori kultivasi (penyuburan), komunikasi akan efektif apabila pesan-pesan yang diinginkan untuk difahami dan diamalkan individu atau masyarakat, disampaikan secara berulang-ul- ang.

Uniknya, teori kultivasi (teori penyuburan) ini, dalam pandangan Kholil

-sembari menyitir pendapat Syekh Ali Mahfuz- mampu membuat nilai-nilai Islam tetap bisa eksis di permukaan bumi karena dakwah yang dilakukan secara terus menerus (disuburkan?). Dengan de- mikian, menurut perspektif teori penyuburan, nilai- nilai Islam dapat diyakini dan diamalkan oleh umat manusia apabila penyampaiannya dilakukan secara terus menerus dengan menggunakan berbagai jenis mendia massa cetak serta media massa elektronik. Sehingga nilai-nilai Islam yang dianut oleh sese- orang akan semakian subur baik dan tatanan peng- etahuan maupun pada tatanan pengamalan.

Dalam dokumen MEDIA PEMERINTAH KOTA TEBING TINGGI (Halaman 52-55)

Dokumen terkait