• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Teori Pertumbuhan Berimbang dan Tidak Berimbang

Pertumbuhan ekonomi merupakan keseimbangan antara sisi agregat permintaan dan sisi agregat penawaran yang menghasilkan suatu jumlah agregat keluaran (PDRB) tertentu pada tingkat harga umum yang tertentu pula. Agregat keluaran ini kemudian akan membentuk pendapatan regional/nasional (Tambunan, 2000). Daryanto (2010) menjelaskan bahwa dampak suatu kebijakan ekonomi daerah lebih tepat dianalisis berdasarkan teori keseimbangan umum (general

equilibrium) dibandingkan dengan teori keseimbangan parsial (partial equilibrium

2.4.1. Teori Pertumbuhan Berimbang

). Teori keseimbangan umum menjelaskan bahwa pasar sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa macam pasar (pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja dan pasar modal) yang saling terkait. Sebaliknya, teori keseimbangan parsial biasanya hanya mengarahkan perhatiannya pada keseimbangan disatu sektor saja.

Berbagai argumentasi mengenai pertumbuhan ekonomi yang berimbang

(balanced growth) dan tidak berimbang (unbalanced growth) telah memberikan

kontribusi dalam pemikiran studi ilmu ekonomi pembangunan. Pendukung teori

balanced growth antara lain seperti; Rosenstein R (1943), Nurkse (1953), dan Lewis

(1954), adapun para pendukung unbalanced growth diantaranya adalah Hirschman (1958) dan Rostow (1960).

Dalam pandangan para penganut teori pertumbuhan berimbang (balanced

growth), negara harus membangun berbagai sentra industri secara simultan jika

menginginkan pertumbuhan yang simultan. Nafziger (1997) menegaskan sebagai cara untuk keluar dari lingkaran-setan kemiskinan, teori ini mengandaikan perlunya pengerahan modal secara serentak dalam berbagai industri.

Menurut Resenstein-Rodan (1943), pembangunan tidak bisa diserahkan ke pasar karena kurangnya informasi dan ketidaktepatan investasi (eksternalitas). Pemerintah perlu menjalankan dan mengkoordinasikan program big push atau

critical minimum effor. Program ini menuntut adanya intervensi pemerintah dalam

bentuk sebuah “investasi yang terkoordinasi” agar dapat mengatasi masalah. Caranya adalah dengan jalan; a). Mengkoordinasikan industri yang saling melengkapi; b). Melihat eksternalitas sebagai keuntungan, dan c). Mengumpulkan

informasi yang cukup untuk memperhitungkan risiko. Sehingga saat titik-imbang bagi industrialisasi tercapai, insentif swasta yang normal dapat berlangsung dengan baik dan pada akhirnya investasi dapat diambil-alih oleh swasta. Dengan demikian, sebuah dorongan besar ini akan dapat mengeluarkan ekonomi dari lingkaran-setan

(viciouscircle) keterbelakangan dan memungkinkan terciptanya lingkaran-malaikat

(virtuous-circle) pertumbuhan.

Sepaham dengan tesis Rosenstein-Rodan tentang teori big push, Nurkse (1953) menyarankan beberapa perbaikan, yaitu koordinasi juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta, misalnya oleh perbankan. Kontribusi teoretisnya ialah penekanan pada pentingnya mencapai keseimbangan diantara berbagai sektor di dalam ekonomi. Selain itu, diperlukan adanya perhatian terhadap jalur-jalur arah pembangunan dan pola investasi. Arah pembangunan perlu dibuat sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan diantara berbagai sektor dan tidak ada penghambat maupun ekses kapasitas, dan selain itu hal yang paling penting adalah proposisi sektor agraris dan sektor industri juga harus diseimbangkan.

Hukum dasar yang digunakan Nurkse (1953) adalah apa yang dikenal sebagai Hukum Say; supply creates its own demand. Dengan pijakan itu, ia merekomendasikan satu model pembangunan berimbang yang digerakkan oleh penanaman modal pada semua sektor sehingga terjadi perluasan pasar secara serentak dan menyeluruh. Logikanya, satu sektor yang memproduksi output tertentu dan bersifat komplementer dengan output sektor lain akan bekerja saling mendorong dan menciptakan daya beli.

Seperti halnya Nurkse (1953), Lewis (1954) melihat pentingnya keseimbangan agraris-industri. Konsep teori Lewis menggunakan asumsi dasar bahwa negara berkembang kemudian menjadi negara maju ditentukan oleh dua sektor, yaitu sektor agraris dan sektor industri. Keberadaan kedua sektor tersebut mendorong terjadinya perpindahan tenaga kerja dari sektor agraris ke sektor industri, dan proses ini pada akhirnya akan meningkatkan permintaan akan tenaga kerja (tenaga kerja harus terus surplus). Disisi lain, keuntungan dari industri akan mendorong terjadinya saving dan investasi. Akan tetapi sektor industri dituntut untuk menjaga agar jumlah saving dan investasi senantiasa lebih besar dari jumlah inflasi dan upah.

Dengan demikian, teori pertumbuhan berimbang (balanced growth) yang dipromosikan oleh Rosenstein-Rodan, Nurkse maupun Arthur Lewis menggariskan

agar sektor modern tidak boleh terlalu jauh meninggalkan sektor tradisional. Jika semua kondisi yang diidealkan Nurkse terjadi, maka apa yang ia sebut sebagai

vicious circle of poverty tidak akan menjadi masalah lagi dalam proses capital

formation.

Teori balanced growth ternyata mendapatkan beberapa kritik, seperti dari Solow-Swan (1956) dengan menyatakan; a). Percepatan pertumbuhan bisa terjadi karena meningkatnya tabungan/investasi, b). Teori Lewis hanya berlaku untuk jangka pendek, dan c). Pertumbuhan jangka panjang akan kembali ke tingkat yang sebelumnya. Selain itu teori balanced growth juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain; a). Dorongan besar (big push) dalam praktik sulit dilakukan, b). Perencana harus berkonsentrasi pada sektor-sektor tertentu saja, c). Prioritas dapat dilakukan berdasarkan kaitan-kaitan antar industri (linkages), d). Kaitan antar industri itu yang sering tidak jelas di negara-negara berkembang, dan e). Pergeseran ke industrialisasi tetap bisa membantu.

2.4.2. Teori Pertumbuhan Tidak Berimbang

Dalam berbagai diskusi dan pembahasan mengenai pembangunan, sangat sulit menemukan bukti bahwa semua negara mengikuti pola yang sama dan tertentu. Kebijakan pembangunan di beberapa negara menunjukan fakta adanya pemberian tekanan pada beberapa sektor industri tertentu, dan sektor-sektor industri yang menjadi sasaran penekanan juga berbeda-beda satu negara dengan negara lain. Sehingga lahirlah beberapa pendukung teori unbalanced growth, seperti Hirschman (1958), Rostow (1960), dan Perkins et.al.(2001).

Terhadap gagasan teori balanced growth itu, Hirchman (1958) menilai banyak hal yang tidak masuk akal dan teori tersebut dianggap gagal sebagai sebuah teori pembangunan. Satu yang terpenting dari kritik Hirchman adalah; model perekonomian dualistik yang menjadi pijakan teori dorongan besar (big push) dipaksakan untuk sebuah proses pencangkokan sektor modern yang sama sekali baru dan lengkap (self-contained) di atas sektor tradisional yang lengkap namun macet. Bagi Hirchman, dorongan besar yang dimaksud para eksponennya tidak akan menciptakan pembangunan (development) yang berarti perkembangan (progress). Bertolak dari kritik terhadap model pertumbuhan berimbang (balanced growth),

Hirchman (1958) yang kemudian didukung juga oleh Rostow (1960), mengajukan argumen pertumbuhan tidak berimbang (unbalanced growth).

Bagi Hirchman, pembangunan pada dasarnya adalah rangkaian ketidakseimbangan (disequilibrium). Secara sederhana, doktrin perkembangan tidak berimbang ini menolak keharusan investasi secara besar besaran untuk memompa setiap sektor ekonomi yang memiliki pola hubungan komplementer. Dengan membuat skala prioritas investasi yang tepat, perekonomian akan berputar terus dan proyek-proyek baru yang ia sebut sebagai induced investment akan berjalan memanfaatkan eksternalitas ekonomi maupun social overhead capital dari proyek sebelumnya.

Hirschman (1958) menyadari perbedaan tersebut dan menggunakannya untuk mengusulkan pola pembangunan industrial yang berbeda, yaitu suatu negara dapat mengkonsentrasikan energinya hanya untuk beberapa sektor pada tahap awal pembangunannya. Hal ini disebabkan adanya beberapa alasan, yaitu:

a. Kendala sumberdaya di negara berkembang membutuhkan skala prioritas. Ke mana investasi harus dilakukan terlebih dahulu?

b. Big push harus ditujukan kepada beberapa industri saja, karena itu penting

merumuskan “pertumbuhan tak berimbang”.

c. Selalu ada kecenderungan tak berimbang. Misalnya, beberapa sektor yang didorong investasi mungkin mengalami overcapacity, yaitu outputnya menjadi makin murah karena economies of scale.

d. Akibat selanjutnya adalah peralihan investasi ke sektor hulu (upstream

investments). Misalnya, oversupply listrik; karena listrik makin murah, ada

kebutuhan pembangkit listrik di banyak sektor yang menyedot listrik dalam jumlah besar.

e. Sektor kunci (keysector) bagi investasi awal harus ditentukan berdasarkan kaitan industrial ke depan maupun ke belakang (backward dan forward linkages).

Dua tahun setelah Hirchman (1958) menerbitkan The Strategy of Economic

Development, Rostow (1960) menerbitkan The Stages of Economic Growth yang

bisa dikatakan sebagai pendukung doktrin pertumbuhan tidak berimbang. Seperti Hirchman, Rostow membuat sebuah idealisasi pembangunan yang bersifat

self-propelling dan bertumpu pada dua sektor; tradisional dan modern. Rostow sebagai

menunjukkan bahwa semua negara akan berkembang dalam sebuah rentetan fase yang sama. Bagian terpenting dari teori Rostow adalah bahwa perkembangan ekonomi berlangsung dalam lima tahap; tahap masyarakat tradisional, tahap prakondisi menuju lepas landas, tahap lepas landas, tahap dorongan menuju kematangan, dan terakhir adalah tahap konsumsi massa tinggi.

Rostow mengklaim bahwa teorinya tentang lima tahap perkembangan masyarakat tersebut lebih dari sebuah teori ekonomi dan sejarah masyarakat modern secara keseluruhan. Klaim tersebut berangkat dari argumen mengenai ciri masyarakat pada masing-masing tahap yang memiliki beberapa indikator ekonomi dan sosial serta budaya. Hal penting lainnya adalah sebuah kerangka besar pengganti marxisme seperti tercermin dari sub-judul bukunya; a noncommunist manifesto, sebagai tonggak baru pengganti manifesto komunis yang ditulis Marx dan Engels.

Pada bagian akhir The Stages of Economic Growth, Rostow mengakui sejumlah kesamaan antara analisis tahapan pertumbuhannya dengan argumentasi Marx mengenai tahapan menuju masyarakat komunis. Beberapa yang perlu diperhatikan adalah; Pertama, Marx dan Rostow mengakui bahwa perubahan ekonomi membawa dampak pada struktur sosial dan politik; mengubah budaya dan perilaku. Kedua, sama-sama mengakui realitas adanya kepentingan kelompok dan kelas dalam proses sosial politik yang berkait dengan keuntungan ekonomi. Ketiga, keduanya melihat adanya motif-motif ekonomi dibalik formasi konflik politik.

Keempat, meski memiliki struktur pemikiran yang berbeda, Marx maupun Rostow

mempercayai adanya satu tujuan akhir masyarakat yang benar-benar sejahtera (true affluence).

Dokumen terkait