• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2. Teori Religiusitas

Dalam penelitian Siti Mukofadhatun (2013) di kemukakan bahwa kata religiusitas merupakan bagian dari penciptaan suasana religi di dalam kehidupan. Dalam kamus Ilmiah Populer karangan A. Pius Partanto dan M. Dahlan Al-Barry (1994) mengemukakan bahwa

religiusitas diartikan sebagai “ketaatan kepada agama.”

Kata religiusitas muncul dari istilah agama. Seseorang yang dikatakan religius adalah mereka yang mencoba mengerti hidup dan kehidupan secara lebih dalam daripada batas lahiriah semata, yang bergerak dalam dimensi vertikal dari kehidupan dan mentransendensikan hidup ini Keberagamaan atau religiusitas menurut penganutnya adalah segala aktivitas yang tujuannya untuk mendalami ajarannya, memperkuat keyakinan dan melaksanakan perintah dengan kaidah-kaidah yang berlaku serta menjauhi larangan yang ada dalam ajaran agamanya (Syafiq dan Wahyuningsih (2009) dalam Sulistyo (2011: 254) dalam Baihaqi, 2014: 4 ).

Menurut Sahlan (2011: 39), secara bahasa (etimologi) nilai keberagamaan (religiusitas) berasal dari 2 (dua) kalimat yakni: nilai dan keberagamaan. Menurut Rokeach dan Bank dalam Madyo Ekosusilo (2003) dalam Sahlan (2011: 39), mengemukakan bahwasannya nilai merupakan suatu tipe kepercayaan di mana seseorang bertindak untuk menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang diaggap pantas atau tidak pantas. Ini berarti pemaknaan atau pemberian arti terhadap suatu objek. Sedangkan keberagamaan (religiusitas) merupakan suatu sikap atau kesadaran yang muncul yang didasarkan atas keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap suatu agama.

Menurut Djamaluddin Ancok dalam Sahlan (2011: 41) keberagamaan atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang di dorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.

Selain itu, keberagamaan (religiusitas) tidak selalu identik dengan agama. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan, baik dalam aspek resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum- hukumnya. Sedangkan keberagamaan (religiusitas) lebih melihat aspek yang ada di dalam lubuk hati nurani pribadi seseorang. Oleh karena itu, religiusitas lebih dalam pemaknaannya daripada agama yang hanya

tampak formal. Istilah nilai religiusitas merupakan istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak (Sahlan, 2011: 38-39).

Menurut Nurcholis Madjid dalam Sahlan (2011: 42), agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan membaca doa. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yan terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridho atau perkenan Allah. Agama dengan demikian meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian.

b. Sikap Religius

Menurut Gay Hendrick dan Kate Ludeman dalam Ary Ginanjar (2003: 249) dalam Sahlan (2011: 39-41), terdapat beberapa sikap religius yang tampak dalam diri seseorang dalam menjalankan tugasnya, diantaranya :

(1) Kejujuran

Rahasia untuk meraih sukses adalah dengan selalu berkata jujur. Mereka menyadari, justru ketidakjujuran kepada pelanggan, orang tua, pemerintah dan masyarakat pada akhirnya akan mengakibatkan diri mereka sendiri terjebak dalam kesulitan yang berlarut-larut. Total dalam kejujuran menjadi solusi, meskipun kenyataannya begitu pahit.

(2) Keadilan

Salah satu skill seseorang yang religius adalah mampu bersikap adil kepada semua pihak, bahkan saat ia tersedak sekalipun. Mereka

berkata: “Pada saat saya berlaku tidak adil, berarti saya mengganggu

keseimbangan dunia”.

(3) Bermanfaat Bagi Orang Lain

Hal ini merupakan salah satu bentuk sikap religius yang tampak dari

seseorang. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain”.

(4) Rendah Hati

Sikap rendah hati merupakan sikap tidak sombong mau mendengar pendapat orang lain dan tidak memaksakan gagasan atau kehendaknya. Dia tidak merasa bahwa dirinyalah yang selalu benar, mengingat kebenaran juga selalu ada pada diri orang lain.

(5) Bekerja Efisien

Mereka mampu memusatkan semua perhatian mereka pada pekerjaan saat itu dan begitu juga saat mengerjakan pekerjaan selanjutnya. Mereka menyelesaikan pekerjaannya dengan santai, namun mampu memusatkan perhatian mereka saat belajar dan bekerja.

(6) Visi ke Depan

Mereka mampu mengajak orang ke dalam angan-angannya. Kemudian menjabarkan begitu terperinci cara-cara untuk menuju ke sana. Tetapi pada saat yang sama ia dengan mantap menatap relitas masa kini.

(7) Disiplin Tinggi

Mereka sangatlah disiplin. Kedisiplinan mereka tumbuh dari semangat penuh gairah dan kesadaran, bukan berangkat dari keharusan dan keterpaksaan. Mereka beranggapan bahwa tindakan yang berpegang teguh pada komitmen untuk kesuksesan diri sendiri dan orang lain adalah hal yang dapat menumbuhkan energi tingkat tinggi.

(8) Keseimbangan

Seseorang yang memiliki sifat religius sangat menjaga keseimbangan hidupnya, khususnya empat aspek inti dalam kehidupannya, yaitu : keintiman, pekerjaan, komunitas dan spiritualitas.

c. Dalil Mengenai Religiusitas

Budaya religius merupakan cara berpikir dan cara bertindak yang didasarkan atas nilai religius (keberagamaan). Religius menurut Islam adalah menjalankan ajaran agama secara menyeluruh. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah : 208 yang berbunyi (Sahlan, 2011: 49) :

































Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut dalam langkah-langkah

syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. d. Dimensi-Dimensi Religiusitas

Menurut Glock dan Stark (1966) dalam Muhaimin (1999) dalam Sahlan (2011: 49-50), ada lima macam dimensi keberagamaan (religiusitas), yaitu :

(1) Dimensi Keyakinan (Religious Belief/The Ideological Dimension)

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius akan berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui keberadaan doktrin tersebut.

(2) Dimensi Praktik Agama (Religious Practice/The Ritualistic Dimension)

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatang dan hal-hal yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

(3) Dimensi Pengalaman atau Penghayatan (Religious Feeling/The Experiment Dimension)

Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu.

(4) Dimensi Pengetahuan Agama (Religious Knowledge/The Intelectual Dimension)

Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi. (5) Dimensi Pengamalan Atau Konsekuensi (Religious Effect/

Consequential Dimension)

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.

Menurut Ancok dan Suroso (2008: 80-81) dalam Bawono (2014: 289), dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah, dimensi praktik agama dapat disejajarkan dengan syariah, dimensi pengamalan atau penghayatan dapat disejajarkan dengan ihsan, dimensi pengetahuan agama dapat disejajarkan dengan ilmu dan dimensi pengamalan dapat disejajarkan dengan akhlak seseorang. Kelima dimensi religiusitas setiap individu kemungkinan besar memiliki tingkatan yang berbeda, sehingga wujudnya dalam berbagai sisi kehidupan setiap individu juga berbeda. e. Pengertian Spiritualitas

Seringkali istilah religiusitas selalu dikaitkan dengan istilah spiritualitas. Padahal, pada hakikatnya istilah religiusitas tersebut memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan istilah spiritualitas. Yang membedakan dalam hal ini adalah aspek religiusitas merupakan cara atau sarana untuk mencapai tingkat spiritualitas tertentu. Sedangkan, aspek spiritualitas merupakan tujuan seseorang dalam melaksanakan rutinitas atau kegiatan religiusnya.

Menurut Griffin (2005: 15) dalam Pratama (2014: 417), istilah spiritualitas merujuk pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup seseorang, baik dari aspek duniawi maupun aspek ukhrawi. Entah secara sadar maupun tidak akan meningkatkan komitmen seseorang tersebut terhadap nilai-nilai dan makna dasar yang melandasi hidupnya. Istilah spiritualitas memang memiliki konotasi dan nilai-nilai religius dalam arti bahwa nilai dan makna dasar yang dimiliki seseorang mencerminkan hal-

hal yang dianggapnya suci dan memiliki kepentingan yang paling mendasar.

f. Dimensi-Dimensi Spiritualitas

Di dalam pembahasan mengenai spiritualitas dikenal pula beberapa dimensi spiritualitas sebagai berikut (Pratama, 2014: 417-418) :

(1) Dimensi Transenden (Transcendent Dimension)

Intinya adalah kepercayaan terhadap Tuhan atau apapun yang diper- sepsikan oleh individu sebagai sosok transenden ataupun sesuatu yan lebih besar dari diri seorang individu tersebut (Santosa, 2011).

(2) Makna dan Tujuan dalam Hidup (Meaning and Purpose in Life) Memahami proses pencarian akan makna dan tujuan hidup yang memunculkan hidup yang lebih bermakna dan mencapai tujuan (Santosa, 2011).

(3) Misi Hidup (Mision in Life)

Adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada kehidupan, panggilan untuk menjawab, menyelesaikan misi, atau dibeberapa kasus dalam memenuhi takdir (Santosa, 2011).

(4) Kesakralan Hidup (Sacredness of Life)

Pandangan hidup tidak lagi dikotomi seperti pemisahan antara yang sakral dan yang sekuler. Namun, percaya bahwa semua aspek kehidupan itu bersifat suci dan sakral (Santosa, 2011).

Kepuasan dalam hidup datang bukan dari seberapa banyak kekayaan yan dimiliki, namun dari aspek spiritual (Santosa, 2011).

(6) Altruisme (Altruism)

Adanya tanggung jawab bersama dari setiap orang untuk saling menjaga sesama, baik dari rasa sakit dan penderitaan (Santosa, 2011).

(7) Idealisme (Idealism)

Orang yang spiritual berkomitmen terhadap sikap ideal yang tinggi dan mengaktualisasikannya melalui potensi positif dalam semua aspek kehidupannya (Santosa, 2011).

(8) Kesadaran akan Peristiwa Tragis (Awareness of the Tragic)

Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa tragedi terjadi dalam eksistensi manusia yang peduli terhadap rasa sakit, penderitaan, atau kematian (Mulyana, 2006).

(9) Manfaat (Beneficial Manifestation)

Seseorang atau individu menilai bahwa spiritualitas merupakan buah dari kehidupan (Mulyana, 2006).

Dokumen terkait