• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan dan biaya modal. Dengan kata lain, “apabila perubahan struktur modal tidak mengubah nilai perusahaan, maka tidak terdapat struktur modal yang baik, dengan asumsi perusahaan tidak mengubah keputusan keuangan lainnya.” (Husnan, 2000:299). Teori mengenai struktur modal telah banyak dibicarakan oleh para peneliti. Teori tersebut antara lain: a. Pendekatan Tradisional

Pendekatan tradisional berpendapat bahwa dalam pasar modal yang sempurna dan tidak ada pajak, nilai perusahaan (biaya modal perusahaan) bisa dirubah dengan cara merubah struktur modalnya. Pendapat ini dominan hingga awal tahun 1950-an.

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa sampai dengan tingkat leverage tertentu, risiko perusahaan tidak mengalami perubahan, sehingga baik tingkat biaya utang (kd) maupun tingkat kapitalisasi atau biaya modal sendiri (ke) relatif konstan. (Sartono, 2008: 230).

Namun setelah mencapai rasio utang atau leverage tertentu, biaya utang dan biaya modal sendiri akan meningkat. Peningkatan biaya modal sendiri akan semakin besar, bahkan lebih besar dari penurunan biaya, karena penggunaan utang lebih murah. Akibatnya biaya modal rata-rata tertimbang awalnya akan menurun dan setelah leverage tertentu barulah meningkat. Oleh karena itu, nilai perusahaan mula-mula meningkat dan lambat laun menurun akibat dari

penggunaan utang yang semakin besar. Maka menurut pendekatan tradisional, terdapat struktur modal yang optimal untuk setiap perusahaan yang terjadi pada saat nilai perusahaan maksimum atau struktur modal yang mengakibatkan biaya modal rata-rata tertimbang minimum.

b. Pendekatan Modigliani-Miller

Teori mengenai struktur modal modern bermula pada tahun 1958, ketika Profesor Modigliani dan Profesor Merton Miller (yang selanjutnya disebut MM) mempublikasikan artikel keuangan yang berjudul “The Cost of Capital, Corporation Finance, and The Theory of Investment.” MM membuktikan bahwa nilai suatu perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur modalnya. (Brigham dan Houston, 1999:31). MM dalam Husnan (2004: 266) menunjukkan bahwa ‘pendapat pendekatan tradisional adalah tidak benar.’ MM menunjukkan kemungkinan adanya proses arbitase yang akan membuat harga saham (nilai perusahaan) yang tidak menggunakan utang maupun yang menggunakan utang akhirnya sama, dengan kata lain struktur modal tidak akan mempengaruhi nilai perusahaannya. Proses arbitase muncul karena investor lebih menyukai investasi dan memerlukan dana yang lebih sedikit tetapi memberikan penghasilan bersih yang sama dengan risiko yang sama pula. Namun hasil studi MM didasarkan pada sejumlah asumsi yang tidak realistis, diantaranya:

1. Tidak ada biaya broker (pialang) 2. Tidak ada pajak

3. Tidak ada biaya kebangkrutan

4. Para investor dapat meminjam dengan tingkat suku bunga yang sama dengan perseroan

5. Semua investor memiliki informasi yang sama seperti manajemen mengenai peluang investasi perusahaan di masa mendatang

6. EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang. (Brigham dan Houston, 1999: 31)

Dalam pendekatan MM tidak ada pajak, keputusan pendanaan tidak relevan, artinya penggunaan utang atau modal sendiri akan memberi dampak yang sama bagi kemakmuran pemilik perusahaan. Pada tahun 1963, MM menerbitkan makalah lanjutan yang melemahkan asumsi tidak ada pajak perseroan. Dalam keadaan ada pajak, MM dalam Husnan (2004: 269) berpendapat bahwa

Keputusan pendanaan menjadi relevan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya bunga yang dibayarkan (karena menggunakan utang) bisa dipergunakan untuk mengurangi penghasilan yang dikenakan pajak. Dengan kata lain, apabila terdapat dua perusahaan yang memperoleh laba operasi sama tetapi yang satu menggunakan utang dan membayar bunga sedangkan yang satunya tidak, maka perusahaan yang membayar bunga akan membayar pajak penghasilan yang lebih kecil.

Penghematan dalam membayar pajak merupakan manfaat bagi pemilik perusahaan, oleh karena itu nilai perusahaan yang menggunakan utang akan lebih besar daripada nilai perusahaan yang tidak menggunakan utang.

Kesimpulan ini diubah oleh Miller (kali ini tanpa Modigliani) ketika membahas efek pajak perseorangan. Miller dalam Brigham dan Houston (1999: 32) menyatakan ‘semua penghasilan dari obligasi pada umumnya adalah bunga yang dikenakan pajak penghasilan perorangan, sementara penghasilan dari saham biasanya sebagian berasal dari dividen dan sebagian dari keuntungan modal.’ Masalahnya adalah bahwa laba mungkin saja tidak seluruhnya dibagikan sebagai dividen, dan mungkin tarif pajak untuk capital gains lebih kecil daripada tarif pajak untuk dividen. Maka bila dua hal tersebut terjadi, preferensi atas utang tidak selalu berlaku. Jika pemegang saham akan mendapatkan penghasilan bersih lebih

besar dengan memiliki saham, maka mereka akan lebih menyukai membeli saham dibandingkan dengan obligasi, dan apabila hal ini terjadi maka perusahaan akan lebih mudah menerbitkan saham, bukan obligasi.

Hasil MM yang tidak relevan juga tergantung pada asumsi bahwa tidak adanya biaya kebangkrutan. Namun praktek kebangkrutan bisa sangat mahal. Ancaman kebangkrutan bukan hanya kebangkrutan itu sendiri, namun masalah yang ditimbulkannya beragam, seperti keluarnya karyawan yang berkompeten, pemasok menolak memberikan kredit, pelanggan mencari perusahaan lain yang lebih stabil, dan pemberi pinjaman meminta suku bunga yang lebih tinggi serta menetapkan syarat yang lebih ketat pada kontrak pinjaman. Masalah yang berkaitan dengan kebangkrutan cenderung muncul apabila suatu perusahaan lebih banyak menggunakan utang dalam struktur modalnya, oleh karena itu biaya kebangkrutan menghalangi perusahaan untuk menggunakan utang yang terlalu besar.

c. Teori Trade-Off dan Pecking Order Theory

Keputusan mengenai struktur modal tertentu mempertimbangkan berbagai faktor seperti pajak perusahaan, pajak perorangan, dan biaya kebangkrutan. Keseluruhan pertimbangan tersebut masuk ke dalam teori trade-off atau yang dinamakan juga balancing theories. “Esensi dari balancing theories adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul akibat penggunaan utang.” (Husnan, 2004: 275). Apabila manfaat masih lebih besar, maka utang

akan ditambah, namun apabila pengorbanan karena menggunakan utang sudah lebih besar, maka penggunaan utang tidak boleh ditambah.

Myers and Majluf (1984) dan Myers (1984) dalam Husnan (2004: 275) ‘merumuskan teori struktur modal yang disebut pecking order theory yang selanjutnya disebut POT.’ Teori ini menjelaskan mengenai alasan penentuan sumber dana yang paling disukai berdasarkan atas informasi asimetrik (asymmetric information), yang menunjukkan bahwa manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak (tentang prospek, risiko, dan nilai perusahaan) daripada pemodal publik. Tentu saja manajemen memiliki informasi yang lebih banyak daripada pemodal publik, karena manajemenlah yang bertugas mengambil keputusan keuangan dan menyusun berbagai rencana perusahaan.

Dengan adanya informasi asimetrik, perusahaan lebih suka menggunakan pendanaan internal daripada eksternal. Penggunaan dana internal tidak mengharuskan perusahaan mengungkapkan informasi baru kepada pemodal yang dapat menurunkan harga saham.

Braeley and Myers dalam Husnan (2004: 278) menyebutkan bahwa secara ringkas, POT tersebut menyatakan:

1. Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal.

2. Perusahaan akan berusaha menyesuaikan rasio pembagian dividen dengan kesempatan investasi yang dihadapi, dan berupaya untuk tidak melakukan perubahan pembayaran dividen yang terlalu besar.

3. Pembayaran dividen yang cenderung konstan dan fluktuasi laba yang diperoleh mengakibatkan dana internal kadang-kadang berlebih ataupun kurang untuk investasi

4. Apabila pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman dulu. Penerbitan sekuritas akan dimulai dari penerbitan obligasi, kemudian obligasi yang dapat dikonversikan menjadi modal sendiri, baru akhirnya menerbitkan saham baru.

Dokumen terkait