• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Pada dasarnya aktiva merupakan pembagian dari modal yang dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Pada dasarnya aktiva merupakan pembagian dari modal yang dapat"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Aktiva

Pada dasarnya aktiva merupakan pembagian dari modal yang dapat terlihat pada neraca sebuah perusahaan. Sisi kiri suatu neraca merupakan pembagian modal menurut bentuknya yang disebut dengan modal aktif. Jadi dapat dikatakan bahwa “modal aktif ialah modal yang tertera di sebelah debit dari neraca, yang menggambarkan bentuk-bentuk dalam mana seluruh dana yang diperoleh perusahaan ditanamkan.” (Riyanto, 1995: 19). Menurut Wild et.al. (2005:23) “aktiva merupakan sisi kiri dari persamaan akuntansi yang terkait dengan sumber daya yang dikendalikan oleh perusahaan.” Sedangkan aset menurut PSAK No. 18 paragraf 08 adalah “sumber daya yang: (1) dikendalikan oleh perusahaan sebagai akibat peristiwa masa lampau; dan (2) bagi perusahaan diharapkan akan menghasilkan manfaat ekonomis di masa depan.”

Sumber daya ini merupakan investasi yang diharapkan untuk menghasilkan laba di masa depan melalui aktivitas operasi. Aktiva tidak hanya terbatas pada kekayaan perusahaan yang berwujud saja, tetapi juga termasuk pengeluaran-pengeluaran yang belum dialokasikan atau biaya yang masih harus dialokasikan pada penghasilan yang akan datang serta aktiva tidak berwujud lainnya misalnya goodwill, hak paten, hak menerbitkan. Berdasarkan cara dan

(2)

lamanya perputaran, aktiva atau kekayaan perusahaan dapat dibedakan antara aktiva lancar dan aktiva tidak lancar.

2.1.1.1 Aktiva Lancar

Aktiva lancar adalah “aktiva yang habis dalam satu kali berputar dalam proses produksi, dan proses perputarannya adalah dalam jangka waktu yangpendek (umumnya kurang dari satu tahun).” (Riyanto, 1995:19). Menurut Wild et.al. (2005:24) “aktiva lancar (current asset) diharapkan untuk terkonversi menjadi kas atau digunakan pada operasi dalam waktu satu tahun atau dalam satu siklus operasi, yang mana yang lebih panjang.” Aktiva lancar menurut Munawir (2007: 14) adalah

uang kas dan aktiva lainnya yang dapat diharapkan untuk dicairkan atau ditukarkan menjadi uang tunai, dijual atau dikonsumer dalam periode berikutnya (paling lama satu tahun atau dalam perputaran kegiatan perusahaan yang normal).

Pos-pos aktiva lancar dalam neraca didasarkan pada urutan likuiditasnya, sehingga penyajiannya dimulai dari aktiva yang paling likuid sampai dengan aktiva yang paling tidak likuid.

Menurut Munawir (2007:14-16), jenis aktiva termasuk didalam kelompok aktiva lancar antara lain:

a. Kas, atau uang tunai yang dapat digunakan untuk membiayai operasi perusahaan. Termasuk dalam pengertian kas adalah cek yang diterima dari para langganan dan simpanan di Bank dalam bentuk giro atau demand deposit, yaitu simpanan di Bank yang dapat diambil kembali dengan menggunakan cek atau bilyet setiap saat diperlukan oleh perusahaan.

b. Investasi jangka pendek (surat-surat berharga atau marketable securities), yaitu investasi yang sifatnya sementara (jangka pendek) dengan maksud untuk memanfaatkan uang kas yang untuk sementara belum dibutuhkan dalam operasi.

(3)

c. Piutang wesel, adalah tagihan perusahaan kepada pihak lain yang dinyatakan dalam suatu wesel atau perjanjian yang diatur dalam undang-undang.

d. Piutang dagang, adalah tagihan kepada pihak lain (kreditor atau langganan) sebagai akibat adanya penjualan barang dagangan secara kredit.

e. Persediaan. Untuk perusahaan perdagangan, yang dimaksud persediaan adalah semua barang yang diperdagangkan yang sampai tanggal neraca masih di gudang/ belum laku dijual. Sedangkan untuk perusahaan manufaktur, persediaan meliputi persediaan bahan mentah, persediaan barang dalam proses, dan persediaan barang jadi.

f. Piutang penghasilan atau penghasilan yang masih harus diterima, adalah penghasilan yang sudah menjadi hak perusahaan karena perusahaan telah memberikan jasa/prestasinya, tetapi belum menerima pembayarannya sehingga merupakan tagihan.

g. Persekot atau biaya dibayar dimuka, adalah pengeluaran untuk memperoleh jasa/prestasi dari pihak lain, tetapi pengeluaran itu belum menjadi biaya, atau jasa/prestasi dari pihak lain itu belum dinikmati oleh perusahaan pada periode ini melainkan periode selanjutnya.

2.1.1.2 Aktiva Tidak Lancar

“Aktiva tidak lancar adalah aktiva yang memiliki umur kegunaan relatif permanen atau jangka panjang (mempunyai umur ekonomis lebih dari satu tahun atau tidak akan habis dalam satu kali putaran operasi perusahaan).” (Munawir, 2007:16). Riyanto (1995: 19) menyebutkan bahwa “aktiva tetap termasuk dalam aktiva tidak lancar, ialah aktiva-aktiva yang tahan lama yang tidak atau secara berangsur-angsur habis turut serta dalam proses produksi.”

Munawir (2007:16) membagi aktiva tidak lancar menjadi lima bagian, antara lain:

a. Investasi jangka panjang. Bagi perusahaan yang cukup besar dalam arti mempunyai kekayaan atau modal yang cukup, bahkan sering berlebih, maka perusahaan dapat menanamkan modalnya pada investasi di luar usaha pokoknya. Investasi ini dapat berupa saham dari perusahaan lain, aktiva tetap yang tidak ada hubungannya dengan usaha perusahaan, atau dalam bentuk dana yang sudah ada tujuannya tertentu.

b. Aktiva tetap, yaitu kekayaan yang dimiliki perusahaan yang fisiknya nampak (konkrit). Syarat lain untuk dapat diklasifikasikan sebagai aktiva

(4)

tetap selain aktiva itu dimiliki oleh perusahaan, juga harus digunakan dalam operasi yang bersifat permanen (aktiva tersebut mempunyai umur kegunaan jangka panjang atau tidak akan habis dipakai dalam satu periode kegiatan perusahaan). Yang dimaksud dalam aktiva tetap meliputi: (1) Tanah yang di atasnya didirikan bangunan atau digunakan operasi seperti lapangan, tempat parkir, dan lain sebagainya. (2) Bangunan, baik bangunan kantor, toko, maupun bangunan pabrik. (3) Mesin. (4) Inventaris. (5) Kendaraan dan perlengkapan atau alat lainnya.

c. Aktiva tetap tidak berwujud (intangible fixed assets), adalah kekayaan perusahaan yang secara fisik tidak nampak, tetapi merupakan suatu hak yang mempunyai nilai dan dimiliki oleh perusahaan untuk digunakan dalam kegiatan perusahaan. Yang termasuk ke dalam intangible fixed assets antara lain: hak cipta, merk dagang, biaya pendirian (organization cost), lisensi, goodwill, dan sebagainya.

d. Beban yang ditangguhkan (deferred charges), adalah menunjukkan adanya pengeluaran atau biaya yang mempunyai manfaat jangka panjang (lebih dari satu tahun), atau suatu pengeluaran yang akan dibebankan juga pada periode-periode berikutnya. Aktiva ini harus dihapuskan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan umur kegunaannya. Yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain: biaya pemasaran, diskonto obligasi, biaya pembukaan perusahaan, biaya penelitian, dan sebagainya.

e. Aktiva lain-lain, adalah menunjukkan kekayaan atau aktiva perusahaan yang tidak dapat atau belum dapat dimasukkan dalam klasifikasi-klasifikasi sebelumnya, misalnya gedung dalam proses, tanah dalam penyelesaian, piutang jangka panjang.

Wild et.al (2005:227) menyebutkan “aktiva tetap merupakan aktiva berwujud tak lancar yang digunakan dalam proses manufaktur, penjualan, atau jasa untuk menghasilkan pendapatan dan arus kas selama lebih dari satu periode.” Karenanya, aktiva ini memiliki periode manfaat yang diharapkan (masa manfaat) yang meliputi lebih dari satu periode. Aktiva ini diperoleh untuk digunakan dalam aktivitas operasi dan bukan untuk dijual pada aktivitas usaha biasa.

(5)

2.1.1.3 Pengakuan dan Perlakuan Aktiva Tidak Lancar a. Investasi Jangka Panjang

Investasi jangka panjang menurut Hery dibagi menjadi “investasi dalam available for sale securities dan held-to-maturity securities.” (Hery, 2009: 172). Investasi jangka panjang juga dapat berupa penyertaan atau kepemilikan saham biasa dalam perusahaan afiliasi atau anak perusahaan (investasi dalam equity method securities). Investasi dalam available for sale securities akan disajikan di neraca sebesar nilai pasar wajar. Sedangkan untuk investasi dalam held-to-maturity securities akan disajikan di dalam neraca sebesar biaya historis atau harga perolehan yang telah diamortisasi, bukan sebesar nilai pasar wajarnya. Biaya historis tersebut dihitung sebagai hasil penjumlahan antara harga perolehan investasi dengan diskonto yang telah diamortisasi. Perubahan harga pasar pada held-to-maturity securities tidak diakui, oleh karena itu sekuritas yang dimiliki hingga jatuh tempo tidak dilaporkan dalam neraca sebesar nilai pasar wajarnya. Sedangkan untuk investasi dalam trading securities dan available for sale securities, tidak ada amortisasi yang dilakukan atas diskonto atau premium yang timbul. Hal tersebut disebabkan oleh investasi yang dilakukan tidak untuk dimiliki hingga jatuh tempo.

Perolehan saham biasa perusahaan lain dilakukan untuk mengendalikan atau mempengaruhi kegiatan operasi investee. Perlakuan saham biasa tersebut menggunakan metode ekuitas (equity method) bukan dengan metode harga perolehan (cost method). “Investasi dalam equity method securities dilaporkan dalam neraca sebesar biaya historis atau harga perolehan setelah disesuaikan

(6)

dengan perubahan yang terjadi dalam aktiva bersih investee.” (Hery, 2009: 174). Saldo akun investasi dalam saham akan bertambah untuk memperlihatkan bagian proporsional atas laba bersih yang dilaporkan investee atau berkurang apabila investee melaporkan adanya kerugian. Pada saat dividen tunai diterima oleh investor, maka akun investasi akan berkurang. Dengan equity method, saldo akun investasi akan bertambah bila aktiva bersih investee bertambah, dan sebaliknya. Aktiva bersih investee tersebut bertambah dengan adanya laba bersih yang dihasilkan dan akan berkurang apabila dengan adanya rugi bersih yang dilaporkan atau dividen tunai yang dibayarkan.

Perlakuan akuntansi untuk mencatat investasi saham biasa di dalam pembukuan investor yaitu berdasarkan besarnya pengaruh yang dimiliki oleh investor atas aktivitas yang dijalankan investee. Apabila besarnya kepemilikan investor di perusahaan investee kurang dari 20% dan investor tidak memiliki pengaruh terhadap perusahaan investee, maka investor mencatat dalam pembukuan dengan metode harga pokok (cost method). Namun apabila kepemilikan di atas 50%, berarti investor mengendalikan perusahaan investee, dan investor mencatat dalam pembukuannya dengan metode ekuitas dan prosedur konsolidasi.

b. Aktiva Tetap

Aktiva tetap dalam neraca dilaporkan berdasarkan urutan masa manfaatnya yang paling lama, yaitu dimulai dari tanah, bangunan, dan seterusnya. Aktiva tetap harus dicatat sebesar biaya perolehannya atau historical cost, karena

(7)

merupakan dasar untuk akuntansi aktiva tersebut pada periode-periode selanjutnya. Biaya perolehan (cost) berdasarkan PSAK No. 16 par. 06 adalah

Jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar dari imbalan lain yang diserahkan untuk memperoleh suatu aset pada saat perolehan atau konstruksi atau, jika dapat diterapkan, jumlah yang diatribusikan ke aset pada saat pertama kali diakui sesuai persyaratan tertentu dalam PSAK lain. (IAI, 2007: 16.2)

Berdasarkan PSAK No. 16 par 07 mengenai pengakuan biaya perolehan aset tetap, “Biaya perolehan aset tetap harus diakui sebagai aset jika dan hanya jika : (a) besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan akan mengalir ke entitas; dan (b) biaya perolehan aset dapat diukur secara andal.” (IAI, 2007: 16.2). Sedangkan komponen biaya perolehan itu sendiri berdasarkan PSAK No. 16 par 15 meliputi:

a) harga perolehannya, termasuk bea impor dan pajak pembelian yang tidak boleh dikreditkan setelah dikurangi diskon pembelian dan potongan-potongan lain;

b) biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung untuk membawa aset ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen;

c) estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi aset. Kewajiban biaya yang timbul ketika aset tersebut diperoleh atau karena entitas menggunakan aset tersebut selama periode tertentu untuk tujuan selain untuk menghasilkan persediaan. (IAI, 2007: 16.4).

Setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan rugi penurunan nilai aset. Penyusutan merupakan “alokasi sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya.” (IAI, 2007: 16.2). Tujuan dari penyusutan adalah mencapai prinsip pengaitan (matching principle), yaitu mengaitkan pendapatan pada satu periode akuntansi dengan biaya dari barang dan jasa yang

(8)

dikonsumsi untuk menghasilkan pendapatan tersebut. Penyusutan pada setiap periode diakui sebagai beban untuk periode bersangkutan. Beban penyusutan (depreciation expense) adalah “biaya perolehan aktiva tetap yang diakui sudah dikonsumsi selama periode akuntansi/fiskal.” (Henry, 2000: 394). Sedangkan akumulasi penyusutan adalah bagian dari biaya perolehan aktiva tetap yang dialokasikan ke penyusutan sejak aktiva tersebut diperoleh. Akumulasi penyusutan merupakan rekening kontra aktiva, yang mengimbangi rekening aktiva dengan rekening yang berhubungan.

Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi komputasi penyusutan: biaya perolehan aktiva tetap; masa manfaatnya, yaitu periode waktu aset diharapkan akan digunakan oleh entitas atau jumlah produksi yang diharapkan akan diperoleh dari aset tersebut; dan nilai sisa/residu, yaitu jumlah yang diperkirakan akan diperoleh entitas saat ini pada akhir masa manfaat suatu aktiva dikurangi dengan taksiran biaya pelepasan. Metode yang digunakan dalam penyusutan antara lain: metode garis lurus (mengalokasikan beban penyusutan yang sama besarnya selama masa manfaat aktiva); metode satuan produksi (mengalokasikan penyusutan ke periode-periode waktu berdasarkan keluaran aktiva); metode saldo menurun (metode penyusutan dipercepat yang penyusutannya dihitung dengan mengalikan nilai buku aktiva pada awal periode dengan dua kali tarif garis lurus); dan metode jumlah angka tahun (mengalokasikan penyusutan dengan mengalikan biaya perolehan aktiva yang tersusutkan yaitu biaya perolehan-nilai residu dengan tarif penyusutan).

(9)

“Jumlah tercatat aset dihentikan pengakuannya pada saat dilepaskan; atau tidak ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaan atau pelepasannya.” (IAI, 2007: 16.11 par 69). Aktiva tetap bisa saja tidak lagi berguna bagi perusahaan karena beberapa sebab, misalnya karena kejadian yang tidak diduga sebelumnya seperti bencana alam, pencurian, atau kerusakan fatal. Ketidakbergunaan aktiva membuat perusahaan mengambil sikap untuk melepas aktiva tersebut. Aktiva lama bisa saja dijual, ditukar dengan aktiva lain, atau dibesituakan. Sedangkan pencatatan penyusutan harus tetap dilakukan hingga tanggal pelepasan aktiva. Pencatatan aktiva tetap harus tetap berada dalam buku besar menskipun aktiva tersebut telah disusutkan secara penuh guna menjaga pertanggungjawaban atas aktiva yang telah digunakan tersebut. Laba atau rugi yang timbul dari penghentian pengakuan suatu aset tetap harus ditentukan sebesar perbedaan antara jumlah neto hasil pelepasan dan jumlah tercatat atas aset tersebut. Sedangkan piutang atas pelepasan aset tetap diakui pada saat awal sebesar nilai wajarnya.

c. Aktiva Tetap Tidak Berwujud

Aktiva tetap tidak berwujud dimasukkan ke dalam catatan akuntansi pada biaya perolehan. “Biaya perolehan tersebut meliputi berbagai macam pengeluaran yang diperlukan untuk menempatkan aktiva tidak berwujud tersebut ke dalam kapasitas memberikan jasa.” (Henry, 2000: 320). Semua biaya dikapitalisasi karena membantu memberikan manfaat ekonomi untuk periode-periode di masa mendatang. Aktiva tetap tidak berwujud dibagi ke dalam dua kategori. Pertama

(10)

adalah aktiva tidak berwujud yang teridentifikasi secara spesifik, yaitu aktiva tidak berwujud yang biaya-biayanya dapat teridentifikasi dengan mudah sebagai bagian dari biaya perolehan aset dan masa manfaatnya ditentukan, misalnya hak paten, merk dagang, waralaba, dan hak cipta intelektual. Kedua yaitu aktiva tidak berwujud yang tidak teridentifikasi secara spesifik, adalah aktiva tetap tidak berwujud yang hak atau masa manfaatnya tidak dapat ditentukan dan biaya perolehannya inheren dalam kelangsungan usaha, contohnya yaitu goodwill.

“Aset tidak berwujud diakui jika dan hanya jika: (a) kemungkinan besar perusahaan akan memperoleh manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut; dan biaya perolehan aset dapat diukur secara andal.” (IAI, 2007: 19.5 par. 20). Pengakuan aset tidak berwujud sebagai beban dilakukan pada saat terjadinya, kecuali pos tersebut diperoleh melalui suatu penggabungan usaha yang berbentuk akuisisi dan tidak dapat diakui sebagai aset tidak berwujud.

Penyusutan untuk aktiva tidak berwujud disebut dengan amortisasi. Amortisasi adalah “lokasi sistematik biaya perolehan aktiva tanwujud selama masa manfaatnya.” (Henry, 2000: 323). Amortisasi dilakukan dengan mendebit rekening beban amortisasi dan mengkredit rekening aktiva tidak berwujud terkait. Pada dasarnya proses penyusutan aktiva tetap tidak berwujud sama dengan penyusutan aktiva tetap berwujud. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) menetapkan metode amortisasi aktiva tetap tidak berwujud adalah dengan metode garis lurus (straight line method), kecuali jika ada metode lain yang lebih sesuai dengan kondisi perusahan. Periode amortisasi tidak boleh melebihi 20 tahun berdasarkan pertimbangan bahwa dalam 20 tahun sudah banyak perkembangan

(11)

yang terjadi sehingga untuk tenggang waktu selebihnya aktiva tetap tidak berwujud diprediksi tidak lagi memiliki manfaat ekonomi.

Suatu aset tidak berwujud tidak boleh lagi diakui dan harus dihilangkan dari neraca pada saat aset terseut dilepas atau ketika tidak ada lagi manfaat masa depan yang diharapkan dari penggunaannya dan pelepasan yang telah dilakukannya. Keuntungan atau kerugian dari pelepasan atau penghentian aset tidak berwujud itu ditentukan dengan menghitung selisih antara jumlah penerimaan bersih dari pelepasan aset dan nilai tercatat aset tersebut, serta diakui sebagai keuntungan atau kerugian dalam laporan laba rugi.

2.1.1.4 Aktiva Dalam Neraca Perusahaan

Pos-pos yang berada dalam neraca umumnya diklasifikasikan sebagai pos lancar (jangka pendek) dan pos tidak lancar (jangka panjang). Untuk aktiva yang tergolong lancar, urutan penyajiannya di neraca haruslah berdasarkan pada urutan tingkat likuiditas. Kas merupakan aktiva yang paling likuid (lancar), lalu diikuti dengan investasi jangka pendek, piutang, persediaan, pendapatan yang masih harus diterima, dan biaya dibayar dimuka.

Setelah menyusun aktiva lancar, dilanjutkan dengan penyusunan aktiva tidak lancar. Aktiva tidak lancar yang dilaporkan dalam neraca sebesar harga perolehan (biaya historis). Namun banyak juga aktiva jangka panjang yang dilaporkan sebesar nilai pasar wajarnya.

Namun setelah diberlakukannya penyusunan laporan keuangan berdasarkan IFRS di Indonesia, urutan penyajian aktiva dalam neraca sedikit

(12)

berbeda. Penyajian aktiva di neraca tidak lagi berdasarkan urutan tingkat likuiditas yang paling likuid (lancar), melainkan sebaliknya yaitu disusun dari aktiva yang paling tidak likuid, mulai dari aktiva tidak lancar (tanah, mesin bangunan, lisensi, goodwill, dan lain sebagainya) lalu diikuti dengan aktiva lancar (piutang penghasilan, persediaan, piutang dagang, piutang wesel, investasi jangka pendek, hingga yang terakhir adalah kas)

2.1.1.5 Struktur Aktiva

“Struktur aktiva merupakan keseimbangan atau perbandingan baik dalam arti absolut maupun dalam arti relatif antara aktiva lancar dengan aktiva tetap.” (Irawati, 2006: 8). Sama halnya dengan yang disebutkan oleh Riyanto (2001: 22) mengenai struktur aktiva, yaitu disebut pula struktur kekayaan ialah “perimbangan atau perbandingan baik dalam arti absolut maupun dalam arti relatif antara aktiva lancar dengan aktiva tetap.” Sedangkan Husnan (2000: 7) menyebutkan bahwa “keputusan investasi akan tercermin pada sisi aktiva perusahaan, dengan demikian akan mempengaruhi struktur kekayaan perusahaan, yaitu perbandingan antara aktiva lancar dengan aktiva tetap.”

Aktiva yang harus disediakan untuk beroperasinya perusahaan adalah golongan aktiva tetap. Perusahaan-perusahaan industri diasumsikan akan memperoleh hasil yang lebih besar dari aktiva tetap dibandingkan dengan aktiva lancar, sehingga dapat dikatakan bahwa aktiva tetap menggambarkan aktiva yang benar-benar dapat memberikan hasil kepada perusahaan. Oleh karena itu besarnya aktiva tetap yang dapat dilihat dari perbandingannya antara aktiva tetap dengan

(13)

total aktiva menggambarkan seberapa besar perusahaan industri memiliki aktiva tetap dalam operasional perusahaan.

Jumlah aktiva tetap yang ada dalam perusahaan paling tidak dipengaruhi oleh sifat atau jenis dari proses produksi yang dilaksanakan. Input utama dalam proses produksi selain bahan mentah dan tenaga kerja adalah biaya-biaya produksi tidak langsung yang sebagian besar biaya overhead ini tergantung pada jumlah mesin dan peralatan yang akan digunakan. Ada perusahaan yang memiliki aktiva tetap dalam jumlah yang relatif besar daripada tenaga kerja yang diperlukan dalam proses produksi, sedangkan perusahaan lainnya memiliki keadaan sebaliknya.

Perusahaan yang memiliki aktiva tetap relatif jauh lebih besar daripada jumlah tenaga kerjanya disebut capital intensive, sedangkan perusahaan yang mempekerjakan jauh lebih banyak tenaga kerja daripada mesin-mesin disebut perusahaan labour intensive. (Syamsudin, 2007: 408).

“Semakin besar ratio aktiva tetap atas total aktiva, maka semakin capital intensive keadaan suatu perusahaan.” (Syamsudin, 2007: 409). Rumus dari struktur aktiva dapat digambarkan dari perbandingan antara aktiva tetap dengan total aktiva yang dimiliki perusahaan seperti seperti di bawah ini:

Syamsudin, 2007:9 Kebanyakan teori struktur modal menyatakan bahwa jenis aktiva yang dimiliki oleh suatu jenis perusahaan mempengaruhi pemilihan struktur modal. Riyanto (2001: 298) menyatakan bahwa

(14)

Perusahaan industri yang sebagian besar modalnya tertanam dalam aktiva tetap (fixed assets), akan mengutamakan pemenuhan kebutuhan modalnya dari modal yang permanen, yaitu modal sendiri, sedangkan modal asing sifatnya adalah sebagai pelengkap.

Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya struktur finansial konservatif yang horisontal yang menyatakan bahwa besarnya modal sendiri hendaknya paling sedikit dapat menutup jumlah aktiva tetap plus aktiva besi yang sifatnya permanen, dan perusahaan yang sebagian besar dari aktivanya terdiri atas aktiva lancar akan mengutamakan kebutuhan dananya dengan utang jangka pendek.

Seperti yang telah disebutkan oleh Riyanto, Harnanto (1991: 303) menyebutkan pula bahwa:

Modal sendiri merupakan sumber dana perusahaan yang paling tepat diinvestasikan pada aktiva tetap – yang bersifat permanen dan pada investasi-investasi yang menghadapi risiko kerugian/kegagalan yang relatif besar. Karena suatu kerugian/kegagalan investasi tersebut dengan alasan apapun, tidak akan membahayakan kontinuitas atau kelangsungan hidup perusahaan.

Berbeda halnya dengan Weston dan Copeland (1997: 175) yang menyatakan bahwa:

Perusahaan yang memiliki aktiva tetap jangka panjang lebih besar, maka perusahaan tersebut akan menggunakan utang hipotik jangka panjang, dengan harapan aktiva tersebut dapat digunakan untuk menutupi tagihannya. Sebaliknya, perusahaan yang sebagian besar aktiva yang dimilikinya berupa piutang dan persediaan barang yang nilainya sangat tergantung pada kelanggengan tingkat profitabilitas, perusahaan tidak begitu tergantung pada pembiayaan utang jangka panjang dan lebih tergantung pada pembiayaan jangka pendek.

.

Aktiva memberikan perlindungan (proteksi) kepada para kreditur, karena kemampuannya untuk menghasilkan laba dan dapat direalisasikan/dijual, sehingga merupakan sumber dana untuk membayar kembali utang beserta bunganya. Selain

(15)

itu aktiva pun merupakan suatu alat dasar bagi perusahaan untuk digunakan sebagai jaminan memperoleh pinjaman.

Dari pemaparan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilihan jenis aktiva akan mempengaruhi jenis struktur modal dalam suatu perusahaan.

2.1.2 Profitabilitas/Rentabilitas

Profitabilitas adalah “kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri.” (Sartono, 2008: 120). Profitabilitas yang sering disebut juga dengan rentabilitas merupakan “jumlah relatif laba yang dihasilkan dari sejumlah investasi/modal yang ditanamkan dalam suatu usaha.” (Harnanto, 1991: 354). Profitabilitas merupakan kriteria penilaian yang sangat luas dan dianggap paling valid untuk dipakai sebagai alat pengukur mengenai hasil pelaksanaan operasi. Dikatakan paling valid karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Merupakan alat pembanding pada berbagai alternatif investasi/penanaman modal sesuai dengan tingkat risikonya maisng-masing. Semakin besar risiko suatu penanaman modal, maka dituntut rentabilitas yang semakin tinggi pula.

b. Mampu menggambarkan tingkat laba yang dihasilkan menurut jumlah modal yang ditanamkan/investasinya, karena rentabilitas dinyatakan dalam angka relatif (%). (Harnanto, 1992: 354).

Di dalam akuntansi digunakan prosedur penentuan laba/rugi periodik, dengan didasarkan pada pengaruh transaksi–transaksi yang sesungguhnya terjadi mengakibatkan timbulnya pendapatan dan biaya–biaya sebagai elemen yang

(16)

membentuk laba/rugi tersebut dalam suatu periode. Penggunaan profitabilitas sebagai kriteria penilaian terhadap hasil pelaksanaan operasi perusahaan menitikberatkan pada aspek ekonomisnya. Tujuan pokok penggunaan rentabilitas sebagai kriteria penilaian hasil operasi perusahaan menurut Harnanto, (1992: 353) antara lain dapat dipakai sebagai:

a. Suatu indikator tentang efektivitas manajemen. Tinggi rendahnya rentabilitas yang dihasilkan perusahaan tergantung pada kapabilitas manajemen dan merupakan salah satu faktor yang menarik perhatian analis, karena mampu menggambarkan kriteria yang sangat diperlukan untuk menilai suksesnya perusahaan.

b. Suatu alat untuk membuat proyeksi laba perusahaan. Rentabilitas digunakan sebagai alat bantu membuat proyeksi laba, karena rentabilitas menggambarkan korelasi antara tingkat laba dan jumlah modal yang ditanamkan.

c. Suatu alat pengendali bagi manajemen. Rentabilitas digunakan sebagai alat untuk penyusunan rencana (target), budget, koordinasi, evaluasi hasil pelaksanaan operasi perusahaan, dan dasar pengambilan keputusan penanaman modal.

Cara untuk menilai profitabilitas suatu perusahaan adalah bermacam-macam tergantung pada laba dan aktiva atau modal mana yang akan diperbandingkan satu dengan yang lainnya. Apakah yang akan diperbandingkan itu laba yang berasal dari operasi atau usaha, atau laba neto sesudah pajak dengan aktiva operasi, atau laba neto sesudah pajak dibandingkan dengan keseluruhan aktiva “tangible” ataukah yang akan diperbandingkan itu laba neto sesudah pajak dengan jumlah modal sendiri. Tidak mengherankan apabila beberapa perusahaan berbeda dalam menghitung profitabilitas perusahaannya, namun yang terpenting adalah profitabilitas tersebut digunakan secara konsisten untuk mengukur efisiensi penggunaan modal bagi perusahaan tersebut.

(17)

Rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan aktiva perusahaan, atau merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu dan untuk melihat kemampuan perusahaan dalam beroperasi secara efisien. Rasio yang umumnya digunakan dalam penilaian profitabilitas atau sering pula disebut dengan rentabilitas dibagi menjadi dua cara: profitabilitas ekonomi dan profitabilitas modal sendiri.

2.1.2.1 Profitabilitas Ekonomi

“Profitabilitas ekonomi adalah perbandingan antara laba usaha dengan modal sendiri dan modal asing yang dipergunakan untuk menghasilkan laba tersebut dan dinyatakan dalam persentase.” (Riyanto, 2001: 36). Karena pengertian profitabilitas sering dipergunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan modal di dalam suatu perusahaan, maka profitabilitas ekonomi sering pula dimaksudkan sebagai kemampuan suatu perusahaan dengan seluruh modal yang bekerja di dalamnya untuk menghasilkan laba. “Modal yang diperhitungkan untuk menghitung profitabilitas ekonomi hanyalah modal yang bekerja di dalam perusahaan (operating capital/ assets).” (Riyanto, 2001: 36). Dengan demikian, maka modal yang ditanamkan dalam perusahaan lain atau modal yang ditanamkan dalam efek tidak diperhitungkan dalam profitabilitas ekonomi. Selain itu laba yang diperhitungkan untuk menghitung profitabilitas ekonomi hanyalah laba yang berasal dari operasi perusahaan yang disebut laba usaha (net operating income). “Profitabilitas ekonomi digunakan untuk mengukur kemampuan aktiva perusahaan memperoleh laba dari operasi perusahaan.” (Husnan, 2004:72).

(18)

Profitabilitas ekonomi dapat dirumuskan sebagai berikut:

Sartono, 2008: 124 Bagi perusahaan pada umumnya masalah profitabilitas adalah masalah yang lebih penting dari hanya sekedar masalah laba, karena laba yang besar saja belum tentu merupakan ukuran bahwa perusahaan itu telah bekerja dengan efisien. Efisiensi baru akan diketahui dengan membandingkan laba yang diperoleh itu dengan kekayaan atau modal yang menghasilkan laba tersebut atau dengan kata lain menghitung profitabilitasnya. Dengan demikian, “yang harus diperhatikan oleh perusahaan adalah bukan hanya bagaimana usaha untuk memperoleh laba, tetapi yang penting ialah usaha untuk mempertinggi profitabilitasnya.” (Riyanto, 2001:37).

2.1.2.2 Profitabilitas Modal Sendiri

Rasio profitabilitas kedua adalah profitabilitas modal sendiri. Profitabilitas modal sendiri yang sering juga disebut dengan profitabilitas usaha adalah “perbandingan antara jumlah laba yang tersedia bagi pemilik modal sendiri di satu pihak dengan jumlah modal sendiri yang menghasilkan laba tersebut di lain pihak.” (Riyanto, 2001: 44). Profitabilitas modal sendiri dapat dikatakan sebagai kemampuan suatu perusahaan dengan modal sendiri yang bekerja di dalamnya untuk menghasilkan keuntungan atau mengukur seberapa banyak keuntungan yang menjadi hak pemilik modal sendiri.

(19)

Laba yang diperhitungkan untuk menghitung profitabilitas modal sendiri adalah laba usaha setelah dikurangi dengan bunga modal asing dan pajak perseroan atau earning after tax (EAT), sedangkan modal yang diperhitungkan adalah modal sendiri yang bekerja dalam perusahaan. Profitabilitas modal sendiri dapat dirumuskan sebagai berikut:

Sartono, 2008: 124 Penambahan antara modal asing atau modal sendiri tentunya akan menimbulkan pengaruh terhadap profitabilitas perusahaan. Apabila ditinjau dari kepentingan modal sendiri atau pemilik perusahaan, penambahan modal asing hanya dibenarkan apabila penambahan tersebut memiliki efek finansial yang menguntungkan terhadap modal sendiri. Penambahan modal asing hanya akan memberikan efek yang menguntungkan terhadap modal sendiri jika rate of return dari tambahan modal asing tersebut lebih besar dari biaya modalnya atau bunganya. Atau dengan kata lain, tambahan modal asing itu hanya dibenarkan apabila profitabilitas modal sendiri dengan tambahan modal asing lebih besar dari profitabilitas modal sendiri dengan tambahan modal sendiri. Sebaliknya, penambahan modal asing akan memberikan efek finansial yang merugikan terhadap modal sendiri apabila rate of return dari tambahan modal asing tersebut lebih kecil dari bunganya. Atau dengan kata lain, tambahan modal asing tidak dibenarkan apabila profitabilitas modal sendiri dengan tambahan modal asing lebih kecil daripada profitabilitas modal sendiri dengan tambahan modal sendiri.

(20)

Penelitian mengenai profitabilitas yang dilakukan oleh Hasa Nurrohim menyebutkan bahwa profitabilitas berpengaruh pada struktur modal secara parsial dengan pengaruh yang paling dominan, Ali Kesuma menyimpulkan bahwa profitabilitas memiliki pengaruh yang berlawanan arah dengan struktur modal sebesar 4,1%, sedangkan Bram Hadianto menyebutkan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap struktur modal pada sektor telekomunikasi yang tercatat di Bursa Efek Jakarta.

2.1.3 Modal

Modal merupakan hak atau bagian yang dimiliki oleh pemilik perusahaan yang ditunjukkan dalam pos modal (modal saham), surplus, dan laba yang ditahan. Atau kelebihan nilai aktiva yang dimiliki oleh perusahaan terhadap seluruh hutang-hutangnya. (Munawir, 2007: 19).

Prof. Polak (dalam Riyanto, 1995: 18) menyebutkan bahwa ‘modal ialah sebagai kekuasaan untuk mengunakan barang-barang modal, terdapat di neraca sebelah kredit’. Barang-barang modal itu sendiri yaitu barang-barang yang ada dalam perusahaan yang belum digunakan, jadi yang terdapat di sebelah debit. Sedangkan Prof. Bakker (dalam Riyanto, 1995: 18) mengartikan modal adalah ‘baik yang berupa barang-barang kongkret yang masih ada dalam rumah tangga perusahaan yang terdapat di neraca sebelah debit, maupun berupa daya beli atau nilai tukar dari barang-barang itu yang tercatat di sebelah kredit.’

Jadi modal dapat terlihat di dalam neraca sebuah perusahaan. Modal yang tercatat di sebelah debit termasuk ke dalam modal kongkret, yaitu modal yang menunjukkan bentuk modal tersebut yang disebut pula modal aktif, sedangkan

(21)

modal yang tercatat di sebelah kredit termasuk ke dalam modal abstrak, yaitu modal yang menunjukkan darimana modal tersebut berasal, yang disebut juga modal pasif.

“Modal pasif itu dapat dibedakan antara modal sendiri dan modal asing, atau modal badan usaha dan modal kreditur/utang.” (Riyanto, 1995: 21).

2.1.3.1 Modal Sendiri

Modal sendiri menurut Harnanto (1991: 302) yaitu “merupakan modal dalam suatu perusahaan yang dipertaruhkan untuk segala risiko, baik risiko usaha maupun risiko kerugian-kerugian lainnya.” Riyanto (2001: 240) menyebutkan bahwa “modal sendiri pada dasarnya adalah modal yang berasal dari pemilik perusahaan yang tertanam di dalam perusahaan dalam waktu yang tidak tentu lamanya.” Modal sendiri dapat berasal dari sumber intern yang bentuknya adalah keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan, juga berasal dari sumber ekstern yaitu pemilik perusahaan dalam bentuk saham biasa dan saham preferen.

Harnanto (1991: 302) menyatakan bahwa karakteristik utama modal sendiri terletak pada:

a.Tidak adanya jaminan atau keharusan untuk pembayarannya kembali dalam setiap keadaan.

b. Tidak adanya kepastian tentang jangka waktu pembayaran kembali modal yang disetor.

Modal sendiri yang bersifat permanen akan tetap tertanam dalam perusahaan dan dapat diperhitungkan pada setiap saat untuk memelihara kelangsungan hidup dan melindungi perusahaan dari risiko kebangkrutan. “Modal sendiri merupakan sumber dana perusahaan yang paling tepat diinvestasikan pada

(22)

aktiva tetap yang bersifat permanen dan pada investasi yang menghadapi risiko kerugian yang relatif besar.” (Harnanto, 1991: 303). Modal yang berasal dari pemilik perusahaan berbagai macam bentuknya menurut bentuk hukum dari masing-masing perusahaan. Komponen dari modal sendiri tersebut terdiri dari: 1) Laba Ditahan

Keuntungan yang diperoleh oleh suatu perusahaan dapat sebagian dibayarkan sebagai dividen dan sebagian ditahan oleh perusahaan. Keuntungan yang sudah memiliki tujuan akan masuk ke dalam cadangan perusahaan, sedangkan apabila keuntungan yang belum memiliki tujuan akan menjadi keuntungan yang ditahan (retained earning). Adanya keuntungan akan memperbesar retained earning yang berarti akan memperbesar modal sendiri. Sebaliknya, adanya kerugian maka akan memperkecil retaned earning yang berarti memperkecil modal sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa adanya saldo laba akan memperbesar modal sendiri, dan adanya saldo kerugian akan memperkecil modal sendiri.

Modal sendiri merupakan komponen yang tetap akan berada di dalam struktur pendanaan perusahaan. Komponen dari modal sendiri merupakan modal yang dipertaruhkan oleh perusahaan dalam menghadapi bebagai risiko yang akan dihadapi oleh perusahaan. Modal sendiri tidak memiliki jaminan harus membayar dalam kurun waktu tertentu, oleh karena itu perusahaan yang memiliki modal sendiri lebih besar daripada modal asing merupakan perusahaan yang siap untuk menghadapi tantangan bisnis tanpa terlalu memperhitungkan risiko membayar modal asing yang tertanam di perusahaan.

(23)

2) Modal Saham

Saham adalah tanda bukti penyertaan dalam suatu Perseroan Terbatas. “Saham menunjukkan bukti kepemilikan yang diterbitkan oleh perusahaan.” (Husnan, 2000:276). Bagi perusahaan yang bersangkutan, yang diterima dari hasil penjualan sahamnya akan tetap tertanam dalam perusahaan tersebut selama hidupnya, meskipun pemegang saham itu sendiri bukan merupakan penanaman yang permanen, karena setiap waktu pemegang saham dapat menjual sahamnya. Modal saham tersebut terdiri dari saham biasa (common stock) dan saham preferen (preferred stock).

Sartono (2008: 330) menyatakan bahwa:

Pemegang saham biasa merupakan pemilik perusahaan yang sebenarnya. Pendapatan yang diterima oleh pemegang saham biasa merupakan kelebihan pendapatan atas biaya-biaya atau laba setelah dikurangi pajak dan dividen atas saham preferen.

Pada pemegang saham biasa, dividen akan dibagikan pada akhir tahun pembukuan dan hanya apabila perusahaan mendapatkan keuntungan, namun apabila perusahaan tidak mendapatkan keuntungan atau mendapatkan kerugian, maka pemegang saham tidak mendapatkan dividen. Mengenai pembagian dividen ada ketentuan hukumnya, yaitu bahwa “suatu perusahaan yang menderita kerugian, selama kerugian itu belum dapat ditutup, maka perusahaan tidak boleh membayarkan dividen.” (Riyanto, 2001: 241). Saham biasa merupakan sumber dana yang permanen, karena akan tertanam dalam perusahaan untuk jangka waktu

(24)

yang tidak terbatas selama perusahaan masih melakukan kegiatan operasi. Fungsi dari saham biasa di dalam perusahaan menurut Riyanto (2001: 241) antara lain:

a. Sebagai alat untuk membelanjai perusahaan dan terutama sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan akan modal permanen.

b. Sebagai alat untuk menentukan pembagian laba.

c. Sebagai alat untuk mengadakan fungsi atau kombinasi perusahaan-perusahaan.

d. Sebagai alat untuk menguasai perusahaan.

Secara teoritis, hak-hak pemegang saham biasa dalam Sartono (2008: 331) adalah:

a. Hak suara dalam rapat umum pemegang saham. Dengan hak tersebut, pemegang saham memiliki hak untuk memilih direksi untuk mengendalikan perusahaan.

b. Hak memperoleh pembayaran dividen per lembar saham yang dimiliki. c. Hak untuk membeli tambahan saham baru yang dikeluarkan perusahaan

secara proporsional.

d. Hak atas aktiva setelah pembayaran hak yang lebih senior dalam likuidasi. Sedangkan saham preferen merupakan sumber modal jangka panjang perusahaan yang posisinya berada diantara utang jangka panjang dengan saham biasa. “Saham preferen sebenarnya merupakan kombinasi antara bentuk utang dengan modal sendiri.” (Husnan, 2001: 280). Pemegang saham preferen mempunyai prioritas dalam pembayaran dividen. Pemegang saham preferen berhak atas dividen yang tetap besarnya, berapapun keuntungan perusahaan. Dalam peristiwa likuidasi (pembubaran perusahaan), pemegang saham preferen memiliki hak setelah kreditor namun sebelum pemegang saham biasa.

Saham preferen memberikan pendapatan yang relatif konstan, di samping itu biaya modal saham preferen cenderung lebih tinggi dari biaya utang, karena

(25)

risiko yang dihadapi pemegang saham preferen lebih besar dari risiko pemegang obligasi.

Saham preferen memiliki ciri tertentu, diantaranya pertama, saham preferen selalu dijual dengan harga pari. Kedua, saham preferen memberikan hak suara kepada pemegang saham preferen untuk memilih manajer perusahaan jika pada waktu tertentu perusahaan tidak membagikan dividen. Dengan demikian manajer terpaksa untuk berusaha selalu membayar dividen kepada pemegang saham preferen. (Sartono, 2008: 330).

Terdapat dua jenis saham preferen, yaitu saham preferen yang komulatif dan tidak komulatif. Sartono (2008: 329) menyebutkan bahwa “saham preferen yang komulatif selalu diperhitungkan kewajiban membayar dividen sebelum membayar dividen kepada pemegang saham biasa.” Dengan demikian pemegang saham preferen komulatif apabila tidak menerima dividen selama beberapa waktu karena besarnya laba tidak memungkinkan atau karena ada kerugian, maka pemegang saham ini dapat menuntut dividen-dividen yang tidak dibayarkan pada waktu yang telah lampau di kemudian hari.

2.1.3.2 Modal Asing

“Modal asing adalah modal yang berasal dari luar perusahaan yang sifatnya sementara bekerja dalam perusahaan, dan bagi perusahaan modal tersebut merupakan utang yang pada saatnya harus dibayarkan kembali.” (Riyanto, 1995: 227). Pada dasarnya modal asing/utang dalam perusahaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu utang jangka pendek (yaitu kurang dari satu tahun) dan utang jangka panjang (yaitu lebih dari satu tahun).

Suatu kewajiban diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek jika: (a) diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi perusahaan atau (b) jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari

(26)

tanggal neraca. Semua kewajiban lainnya harus diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang. (IAI, 2007: 1.8 par 44).

Utang jangka pendek dapat diklasifikasikan serupa dengan aktiva lancar. Beberapa utang jangka pendek seperti utang dagang dan biaya pegawai serta biaya operasional lainnya akan membentuk sebagian modal kerja yang digunakan dalam siklus operasi normal perusahaan. Sedangkan utang berbunga jangka panjang yang digunakan untuk membiayai modal kerja dan tidak jatuh tempo dalam waktu dua belas bulan termasuk ke dalam utang jangka panjang. Standar Akuntansi Keuangan menetapkan bahwa utang yang akan jatuh tempo pada siklus akuntansi periode berikutnya diharapkan dapat dibiayai kembali atau diperpanjang kembali sehingga tidak diharapkan adanya penggunaan modal kerja lancar. Utang seperti itu merupakan pembiayaan jangka panjang yang tergolong ke dalam utang jangka panjang.

Namun dalam pembelanjaan, utang dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: 1) Utang jangka pendek / short term debt

Utang jangka pendek merupakan modal asing yang jangka waktunya paling lama satu tahun yang sebagian besar terdiri dari kredit perdagangan, yaitu kredit yang diperlukan untuk dapat menyelenggarakan usahanya. Husnan (1995: 228-231) mengelompokkan utang jangka pendek tersebut ke dalam empat bagian, yaitu:

a. Kredit rekening koran, adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada perusahaan dengan batas plafond tertentu dengan pengambilan oleh perusahaan tidak dilakukan sekaligus melainkan sesuai dengan kebutuhannya, dan bunga yang dibayar hanya untuk jumlah yang diambil saja, meskipun sebenarnya perusahaan meminjamnya lebih dari jumlah tersebut.

(27)

b. Kredit dari penjual, merupakan kredit perniagaan (trade-credit) dan kredit ini terjadi apabila penjualan produk dilakukan secara kredit.

c. Kredit dari pembeli, adalah kredit yang diberikan oleh perusahaan sebagai pembeli kepada pemasok (supplier) dari bahan mentahnya atau barang-barang lainnya.

d. Kredit wesel, terjadi apabila suatu perusahaan mengeluarkan “surat pengakuan utang” yang berisikan kesanggupan untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak tertentu dan pada saat tertentu (surat Promes/ Notes Payable), dan setelah ditandatangani surat tersebut dapat dijual atau diuangkan kepada Bank.

2) Utang jangka menengah / intermediate term debt

Utang jangka menengah adalah utang yang jangka waktu umumnya adalah lebih dari satu tahun dan kurang dari sepuluh tahun. Kebutuhan untuk berbelanja dengan jenis kredit ini dirasakan apabila di satu pihak kebutuhan pembelanjaan tidak dapat dipenuhi dengan kredit jangka pendek, namun di pihak lain sulit untuk dipenuhi oleh utang jangka panjang. Pada utang jangka menengah, pengurusan pembelanjaannya lebih mudah dengan mengadakan kontak langsung dengan kreditur, dan cara seperti ini merupakan ciri khas dari pembelanjaan dengan utang jangka menengah.

Utang jangka menengah terdiri dari term loan dan leasing. “Term Loan, yaitu kredit usaha dengan umur lebih dari satu tahun dan kurang dari sepuluh tahun.” (Husnan, 1995: 232). Pada umumnya term loan dibayar kembali dengan angsuran tetap selama suatu periode tertentu, misalkan pembayaran angsuran dilakukan setiap bulan, setiap kuartal, atau setiap tahun. Term loan ini biasanya diberikan oleh Bank Dagang, perusahaan asuransi, suppliers atau manufactures. “Dilihat dari biaya modalnya, term loan memiliki biaya lebih rendah daripada modal saham ataupun obligasi, maka harus membayar emisi, pendaftaran, dan

(28)

biaya lain yang berkaitan dengan pengeluaran saham dan obligasi.” (Sartono, 2008: 301). Dengan demikian keperluan dana yang tidak terlalu besar tidak perlu menggunakan saham dan obligasi, karena biayanya terlalu mahal. Dibandingkan dengan utang jangka pendek, term loan lebih baik karena tidak segera jatuh tempo dan peminjam memberikan jaminan pembayaran secara periodik yang mencakup bunga dan pokok pinjaman. “Besarnya tingkat bunga term loan ditentukan oleh beberapa faktor, seperti bunga umum, besar kecilnya pinjaman, jatuh tempo, jumlah utang yang telah dimiliki sebelumnya, dan faktor lainnya.” (Sartono, 2008: 302).

Pada umumnya tingkat bunga term loan lebih besar dibandingkan dengan tingkat bunga jangka pendek, karena pemberian term loan dianggap lebih berisiko dibandingkan dengan utang jangka pendek. Salah satu risiko dari term loan adalah interest rate risk yaitu risiko akibat perubahan tingkat bunga, selain itu risiko lain adalah default risk yaitu risiko tidak terbayarnya term loan oleh peminjam.

Jenis pembiayaan jangka menengah lainnya yaitu leasing. Apabila perusahaan tidak ingin memiliki aktiva tetapi hanya menginginkan service dari aktiva tersebut, perusahaan dapat memperoleh hak penggunaan atas suatu aktiva tersebut tanpa disertai dengan hak milik dengan cara mengadakan kontrak leasing untuk aktiva tersebut. Oleh karena itu, leasing dapat diartikan sebagai suatu alat atau cara untuk mendapatkan services dari suatu aktiva tetap yang pada dasarnya adalah sama halnya dengan menjual obligasi untuk mendapatkan services dan hak milik atas aktiva tersebut, namun perbedaannya ialah pada leasing tidak disertai oleh hak milik.

(29)

Menurut Sartono (2008: 304), “leasing adalah suatu kontrak antara pemilik aktiva yang disebut lessor dan pihak lain yang memanfaatkan aktiva tersebut yang disebut lesee untuk jangka waktu tertentu.” Lesee dapat memanfaatkan aktiva tersebut tanpa harus memilikinya, namun sebagai kompensasinya lesee mempunyai kewajiban untuk membayar secara periodik sebagai sewa aktiva yang digunakan, namun lesee tidak perlu menanggung biaya perawatan, pajak, dan asuransi.

Husnan (1995: 235) menyatakan bahwa “ada tiga bentuk utama leasing, yaitu: sale and leaseback, operating leases, dan financial atau capital leases.” Maksud dari bentuk yang pertama yaitu sale and leaseback adalah pemilik aktiva berupa tanah, bangunan, dan peralatan pabrik menjual aktivanya kepada perusahaan lain sekaligus menyewa kembali aktiva yang telah dijualnya tersebut. Pembeli dari aktiva itu dapat berupa sebuah bank, perusahaan asuransi, perusahaan leasing, pegadaian, atau investor individu. Biasanya aktiva tersebut dijual dengan nilai pasar.

Manfaat dari sale and leaseback ini adalah bahwa penjual atau lesee menerima pembayaran segera sebagai tambahan dana yang dapat diinvestasikan ke investasi lain, dan bersamaan dengan itu lesee masih menggunakan aktiva yang dijualnya selama jangka waktu perjanjian leasing. (Sartono, 2008: 304)

Pada jenis leasing yang kedua yaitu operating leases, atau sering disebut juga dengan services leases, pihak lessor menyediakan pendanaan sekaligus biaya perawatan yang keseluruhannya tercakup dalam pembayaran leasing. Ciri utama dari bentuk ini adalah bahwa harga perolehan aktiva sebagai objek leasing tidak diamortisasikan secara penuh, dengan kata lain pembayaran yang disyaratkan

(30)

tidak cukup untuk menutup keseluruhan harga perolehan dan biaya perawatan aktiva. Namun demikian, jangka waktu operating leases ini biasanya lebih pendek daripada usia ekonomis yang diharapkan, sehingga lessor berharap dapat menyewakan kembali kepada pihak lain atau menjual aktiva tersebut untuk menutup harga perolehan, biaya perawatan dan tingkat keuntungan yang disyaratkan.

“Karakteristik operating leases adalah sering dicantumkannya klausul pembatalan yang memberikan hak kepada lesee untuk membatalkan leasing dan mengembalikan aktiva sebelum periode leasing berakhir.” (Sartono, 2008: 305). Klausula sangat penting terutama bagi aktiva yang melibatkan teknologi tinggi, karena dengan adanya klausula ini jika lesee memandang bahwa aktiva yang digunakannya sudah usang, maka lesee dapat membatalkan perjanjian sewa guna usaha tersebut dan membuat perjaniajn leasing yang baru.

Jenis leasing yang terakhir yaitu financial leases, ialah “bentuk leasing yang tidak memberikan maintanance services, tidak dapat dibatalkan, dan harus penuh diangsur.” (Riyanto, 1995: 236). Pada jenis leasing ini, lessor menerima pembayaran sewa dari lesee yang meliputi harga penuh dari leased equipment tersebut plus harga bunga yang diinginkan. Lessor dalam hal ini biasanya adalah perusahaan-perusahaan asuransi atau bank dagang.

3) Utang jangka panjang / long term debt

Utang jangka panjang adalah utang atau modal asing yang jangka waktunya panjang, yaitu lebih dari 10 tahun.

(31)

Utang jangka panjang (long term loan) adalah satu bentuk perjanjian antara peminjam dengan kreditur dimana kreditur bersedia memberikan pinjaman sejumlah tertentu dan peminjam bersedia untuk membayar secara periodik yang mencakup bunga dan pokok pinjaman. (Sartono, 2008: 324)

“Utang jangka panjang ini pada umumnya digunakan untuk membelanjai perluasan perusahaan (ekspansi) atau modernisasi dari perusahaan, karena kebutuhan modal untuk keperluan tersebut meliputi jumlah yang besar.” (Riyanto, 1995: 238).

Menurut Riyanto (1995: 238) “utang jangka panjang terbagi menjadi dua bagian, yaitu pinjaman obligasi (bonds-payable) pinjaman hipotik (mortgage)”, sedangkan menurut Husnan (2000: 282) “utang jangka panjang terdiri atas obligasi, kredit investasi, dan hipotek.”

Bentuk pertama yaitu obligasi, adalah “surat tanda utang yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam jumlah tertentu dan akan jatuh tempo pada waktu tertentu serta memberikan pendapatan sejumlah bunga tertentu.” (Sartono, 2008: 324). Riyanto (1995: 238) mendefinisikan pinjaman obligasi adalah “pinjaman uang untuk jangka waktu yang panjang, dengan debitur mengeluarkan surat pengakuan utang yang mempunyai nominal tertentu”, sedangkan menurut Husnan (2000: 282) “obligasi merupakan surat tanda utang dan umumnya tidak dijamin dengan aktiva tertentu.”

Jangka waktu peminjaman obligasi harus melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu, antara lain:

1. Jangka waktu pinjaman kredit hendaknya disesuaikan dengan jangka waktu penggunaannya dalam perusahaan

2. Jumlah angsuran harus disesuaikan dengan jumlah penyusutan dari aktiva tetap yang akan dibelanjai dengan kredit obligasi tersebut (Riyanto, 2001: 238)

(32)

Terdapat dua jenis obligasi atau bond, yaitu (a) mortgage bond dan (b) debenture bond. Mortgage bond adalah utang jangka panjang yang dijamin oleh sekelompok aset (Sartono, 2008: 324). Dengan demikian, apabila seandainya debitur tidak dapat membayar kembali utang dan bunganya, maka kreditur dapat memaksa perusahaan untuk menjual asset yang dijadikan jaminan.

Jenis obligasi kedua adalah debenture bond, yaitu utang jangka panjang tanpa jaminan. Jenis obligasi ini hampir mirip dengan utang jangka panjang yang diperoleh melalui bank maupun perusahaan asuransi. Namun yang membedakan adalah bunga debenture biasanya lebih tinggi daripada bunga motgage bond karena risiko yang ditanggung oleh pemegang debenture bond lebih tinggi daripada risiko yang dihadapi pemegang mortgage bond.

Bentuk utang jangka panjang yang kedua yaitu kredit investasi. Jenis pendanaan ini disediakan oleh perbankan, dan masih banyak dimanfaatkan oleh kalangan pengusaha. Utang yang diperoleh melalui bank atau perusahaan asuransi yang memiliki tiga karakteristik yaitu cepat, fleksibel, dan biaya rendah yang disebabkan karena pinjaman tersebut dinegosiasikan langsung antara peminjam dengan kreditur. Biaya administrasi menjadi semakin kecil, dan tidak diperlukan adanya persetujuan dengan pengawas pasar modal seperti halnya perusahaan mengeluarkan obligasi. Sedangkan mengenai tingkat bunga yang disetujui dapat berupa bunga tetap atau variabel.

Jika digunakan tingkat bunga tetap, maka biasanya ditentukan setinggi tingkat bunga obligasi yang memiliki jatuh tempo yang sama dan risiko yang sama. Jika tingkat bunga ditentukan bersifat variabel, maka kreditur dapat menentukan sebesar persentase tertentu di atas tingkat bunga surat berharga yang dikeluarkan oleh pemerintah atau obligasi pemerintah. (Sartono, 2008: 324)

(33)

Bentuk utang jangka panjang terakhir adalah hipotik. Pinjaman hipotik merupakan “bentuk utang jangka panjang dengan agunan aktiva tidak bergerak (tanah, bangunan).” (Husnan, 2000: 287). Hal serupa dikemukakan oleh Riyanto (1995: 239) mengenai utang hipotik yaitu

Pinjaman jangka panjang dengan pemberi uang (kreditur) diberi hak hipotik terhadap suatu barang tidak bergerak, agar apabila pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya, barang itu dapat dijual dan dari hasil penjualan tersebut dapat digunakan untuk menutup tagihannya.

Dalam perjanjian kredit pada hipotik, disebutkan secara jelas aktiva apa yang dipergunakan sebagai agunan. Dalam peristiwa likuidasi, kreditur akan dibayar terlebih dahulu dari hasil penjualan aktiva tetap yang dipergunakan sebagai agunan. Apabila hasil penjualan aktiva yang diagunkan tersebut belum cukup, maka sisanya menjadi kreditur umum, sama halnya dengan pemilik obligasi.

Modal asing merupakan pembiayaan dalam bentuk utang yang dalam jangka waktu tertentu harus kembali dibayarkan sejumlah utang beserta bunganya. Semakin lama jangka waktu dari pembayaran utang dan semakin mudah persyaratan penggunaan modal asing tersebut, maka akan semakin leluasa perusahaan dalam menggunakan sumber dananya. Namun pembayaran utang tidak boleh diabaikan, utang harus tetap dibayar sebagaimanapun keadaan finansial perusahaan. Dengan demikian, seandainya perusahaan tidak dapat membayar utangnya, maka kreditur memiliki hak untuk menyita asset yang dimiliki oleh perusahaan. Oleh sebab itu, pertimbangan menggunakan modal asing harus benar-benar dilakukan secara efisien dalam pendanaan perusahaan.

(34)

Penggunaan modal asing akan menimbulkan beban yang tetap, dan penggunaan modal asing ini tergantung oleh besarnya leverage perusahaan. Semakin besar penggunaan modal asing, maka semakin besar kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan dalam hal pembayaran utang/ modal asing tersebut beserta bunga yang telah ditetapkan pada saat jatuh tempo. Bagi para kreditur, hal tersebut berarti bahwa kemungkinan turut sertanya dana yang mereka tanamkan di dalam perusahaan untuk dipertaruhkan pada resiko kerugian juga semakin besar.

2.1.3.3 Pasiva Dalam Neraca Perusahaan

Dalam neraca sebuah perusahaan, pasiva terbagi ke dalam dua bagian, yaitu kewajiban (utang) dan modal. Utang terdiri dari utang lancar dan utang tidak lancar yang pada neraca disajikan berdasarkan urutan jatuh temponya.

Pasiva dalam neraca perusahaan disusun mulai dari utang lancar, utang tidak lancar dan berikutnya adalah modal perusahaan. Berdasarkan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan, informasi yang disajikan dalam neraca minimal mencakup utang usaha dan utang lainnya, kewajiban yang diestimasi, kewajiban berbunga jangka panjang, hak minoritas, dan modal saham dan pos ekuitas lainnya.

Namun sejak diberlakukannya IFRS, penyusunan pasiva perusahaan berubah, tidak lagi disusun dari utang lancar, utang tidak lancar, lalu modal sendiri, tetapi penyusunan pasiva dilakukan mulai dari modal perusahaan dan diikuti oleh utang-utang perusahaan.

(35)

2.1.3.4 Struktur Modal

Struktur modal adalah merupakan perimbangan jumlah utang jangka pendek yang bersifat permanen, utang jangka panjang, saham preferen, dan saham biasa (Sartono, 2008: 225). Sedangkan Riyanto (2001: 282) menyebutkan bahwa “Struktur modal adalah perimbangan atau perbandingan antara jumlah utang jangka panjang dengan modal sendiri.” Sementara itu Sartono (2008: 225) juga menyebutkan bahwa “struktur keuangan adalah perimbangan antara total utang dengan modal sendiri.” Dalam struktur keuangan atau financial strucrure adalah kombinasi seluruh sumber pembiayaan antara utang jangka pendek, utang jangka panjang, saham preferen, dan saham biasa atau kombinasi antara sumber pembiayaan jangka pendek dan jangka panjang. Sedangkan dalam struktur modal atau capital structure adalah kombinasi atau bauran sumber dana jangka panjang. Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa struktur modal merupakan bagian dari struktur keuangan. Berikut gambar untuk membedakan kedua istilah tersebut:

Struktur Keuangan

Gambar 2.1 Balance Sheet

Current Current Liabilities

Fixed Asset

Debt and Preferred

(36)

Financial Structure (Struktur Keuangan) Sumber : Kamaludin (2011: 305)

Struktur Modal

Gambar 2.2

Capital Structure (Struktur Modal) Sumber: Kamaludin (2011: 306)

Rasio hutang jangka panjang terhadap modal sendiri (long-term debt to equity ratio) menggambarkan struktur modal perusahaan dan rasio hutang terhadap modal ini akan menentukan besarnya leverage keuangan yang digunakan perusahaan (Weston dan Copeland, 1997:22).

Masalah struktur modal merupakan masalah yang penting yang dihadapi oleh seluruh perusahaan disaat perusahaan harus menetapkan pembebanan struktur finansial dan struktur modal perusahaan secara efektif, karena baik atau buruknya struktur modal yang ditetapkan akan berpengaruh kepada struktur finansial perusahaan.

Suatu perusahaan yang memiliki struktur modal tidak baik, yang memiliki utang sangat besar akan memberikan beban yang berat bagi perusahaan yang

Balance Sheet

Current Current Liabilities

Fixed Asset

Debt and Preferred

(37)

bersangkutan. Struktur modal mencerminkan kebijakan dari perusahaan dalam menentukan jenis sekuritas yang dikeluarkan. Struktur dari modal perusahaan harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat tercapai struktur finansial perusahaan yang efektif meskipun berbeda-beda kebijakan dari setiap perusahaan tergantung dengan apa yang dibutuhkan oleh perusahaan.

Analisa struktur modal dalam setiap perusahaan merupakan salah satu indikator untuk menilai risiko finansial yang dihadapi oleh perusahaannya.

Alternatif lain untuk menilai struktur permodalan perusahaan adalah dengan memfokuskan perhatian hanya terhadap sumber-sumber permodalan yang bersifat jangka panjang/relatif permanen tanpa memperhatikan utang yang berasal dari kreditur jangka pendek. (Harnanto, 1991: 319).

Berdasarkan pada penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya yang secara ringkas disimpulkan bahwa struktur modal merupakan bagian dari struktur keuangan, sehingga untuk menilai struktur modal itu hanya dari sumber permodalan jangka panjang, serta mengacu pada penelitian sebelumnya, maka rumus dari struktur modal tersebut adalah:

Riyanto, 2001: 333 Long term debt to equity ratio mengukur kontribusi relatif dari modal sendiri dan utang jangka panjang dalam struktur permodalan perusahaan.

“Ratio di atas 100% menunjukkan bahwa partisipasi para pemilik lebih besar dibanding partisipasi para kreditur jangka panjang di dalam membentuk struktur permodalan perusahaan.” (Harnanto, 1991: 320).

(38)

2.1.3.5 Teori Struktur Modal

Teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan dan biaya modal. Dengan kata lain, “apabila perubahan struktur modal tidak mengubah nilai perusahaan, maka tidak terdapat struktur modal yang baik, dengan asumsi perusahaan tidak mengubah keputusan keuangan lainnya.” (Husnan, 2000:299). Teori mengenai struktur modal telah banyak dibicarakan oleh para peneliti. Teori tersebut antara lain: a. Pendekatan Tradisional

Pendekatan tradisional berpendapat bahwa dalam pasar modal yang sempurna dan tidak ada pajak, nilai perusahaan (biaya modal perusahaan) bisa dirubah dengan cara merubah struktur modalnya. Pendapat ini dominan hingga awal tahun 1950-an.

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa sampai dengan tingkat leverage tertentu, risiko perusahaan tidak mengalami perubahan, sehingga baik tingkat biaya utang (kd) maupun tingkat kapitalisasi atau biaya modal sendiri (ke) relatif konstan. (Sartono, 2008: 230).

Namun setelah mencapai rasio utang atau leverage tertentu, biaya utang dan biaya modal sendiri akan meningkat. Peningkatan biaya modal sendiri akan semakin besar, bahkan lebih besar dari penurunan biaya, karena penggunaan utang lebih murah. Akibatnya biaya modal rata-rata tertimbang awalnya akan menurun dan setelah leverage tertentu barulah meningkat. Oleh karena itu, nilai perusahaan mula-mula meningkat dan lambat laun menurun akibat dari

(39)

penggunaan utang yang semakin besar. Maka menurut pendekatan tradisional, terdapat struktur modal yang optimal untuk setiap perusahaan yang terjadi pada saat nilai perusahaan maksimum atau struktur modal yang mengakibatkan biaya modal rata-rata tertimbang minimum.

b. Pendekatan Modigliani-Miller

Teori mengenai struktur modal modern bermula pada tahun 1958, ketika Profesor Modigliani dan Profesor Merton Miller (yang selanjutnya disebut MM) mempublikasikan artikel keuangan yang berjudul “The Cost of Capital, Corporation Finance, and The Theory of Investment.” MM membuktikan bahwa nilai suatu perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur modalnya. (Brigham dan Houston, 1999:31). MM dalam Husnan (2004: 266) menunjukkan bahwa ‘pendapat pendekatan tradisional adalah tidak benar.’ MM menunjukkan kemungkinan adanya proses arbitase yang akan membuat harga saham (nilai perusahaan) yang tidak menggunakan utang maupun yang menggunakan utang akhirnya sama, dengan kata lain struktur modal tidak akan mempengaruhi nilai perusahaannya. Proses arbitase muncul karena investor lebih menyukai investasi dan memerlukan dana yang lebih sedikit tetapi memberikan penghasilan bersih yang sama dengan risiko yang sama pula. Namun hasil studi MM didasarkan pada sejumlah asumsi yang tidak realistis, diantaranya:

1. Tidak ada biaya broker (pialang) 2. Tidak ada pajak

3. Tidak ada biaya kebangkrutan

4. Para investor dapat meminjam dengan tingkat suku bunga yang sama dengan perseroan

(40)

5. Semua investor memiliki informasi yang sama seperti manajemen mengenai peluang investasi perusahaan di masa mendatang

6. EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang. (Brigham dan Houston, 1999: 31)

Dalam pendekatan MM tidak ada pajak, keputusan pendanaan tidak relevan, artinya penggunaan utang atau modal sendiri akan memberi dampak yang sama bagi kemakmuran pemilik perusahaan. Pada tahun 1963, MM menerbitkan makalah lanjutan yang melemahkan asumsi tidak ada pajak perseroan. Dalam keadaan ada pajak, MM dalam Husnan (2004: 269) berpendapat bahwa

Keputusan pendanaan menjadi relevan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya bunga yang dibayarkan (karena menggunakan utang) bisa dipergunakan untuk mengurangi penghasilan yang dikenakan pajak. Dengan kata lain, apabila terdapat dua perusahaan yang memperoleh laba operasi sama tetapi yang satu menggunakan utang dan membayar bunga sedangkan yang satunya tidak, maka perusahaan yang membayar bunga akan membayar pajak penghasilan yang lebih kecil.

Penghematan dalam membayar pajak merupakan manfaat bagi pemilik perusahaan, oleh karena itu nilai perusahaan yang menggunakan utang akan lebih besar daripada nilai perusahaan yang tidak menggunakan utang.

Kesimpulan ini diubah oleh Miller (kali ini tanpa Modigliani) ketika membahas efek pajak perseorangan. Miller dalam Brigham dan Houston (1999: 32) menyatakan ‘semua penghasilan dari obligasi pada umumnya adalah bunga yang dikenakan pajak penghasilan perorangan, sementara penghasilan dari saham biasanya sebagian berasal dari dividen dan sebagian dari keuntungan modal.’ Masalahnya adalah bahwa laba mungkin saja tidak seluruhnya dibagikan sebagai dividen, dan mungkin tarif pajak untuk capital gains lebih kecil daripada tarif pajak untuk dividen. Maka bila dua hal tersebut terjadi, preferensi atas utang tidak selalu berlaku. Jika pemegang saham akan mendapatkan penghasilan bersih lebih

(41)

besar dengan memiliki saham, maka mereka akan lebih menyukai membeli saham dibandingkan dengan obligasi, dan apabila hal ini terjadi maka perusahaan akan lebih mudah menerbitkan saham, bukan obligasi.

Hasil MM yang tidak relevan juga tergantung pada asumsi bahwa tidak adanya biaya kebangkrutan. Namun praktek kebangkrutan bisa sangat mahal. Ancaman kebangkrutan bukan hanya kebangkrutan itu sendiri, namun masalah yang ditimbulkannya beragam, seperti keluarnya karyawan yang berkompeten, pemasok menolak memberikan kredit, pelanggan mencari perusahaan lain yang lebih stabil, dan pemberi pinjaman meminta suku bunga yang lebih tinggi serta menetapkan syarat yang lebih ketat pada kontrak pinjaman. Masalah yang berkaitan dengan kebangkrutan cenderung muncul apabila suatu perusahaan lebih banyak menggunakan utang dalam struktur modalnya, oleh karena itu biaya kebangkrutan menghalangi perusahaan untuk menggunakan utang yang terlalu besar.

c. Teori Trade-Off dan Pecking Order Theory

Keputusan mengenai struktur modal tertentu mempertimbangkan berbagai faktor seperti pajak perusahaan, pajak perorangan, dan biaya kebangkrutan. Keseluruhan pertimbangan tersebut masuk ke dalam teori trade-off atau yang dinamakan juga balancing theories. “Esensi dari balancing theories adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul akibat penggunaan utang.” (Husnan, 2004: 275). Apabila manfaat masih lebih besar, maka utang

Gambar

Tabel 2.1  Penelitian Terdahulu  No.  Nama Peneliti

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini variabel yang diteliti adalah Struktur Modal, Ukuran Perusahaan, Margin Laba Bersih terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan Otomotif Yang

Walaupun kondisi pasar komoditi yang masih sulit, Adaro Energy tetap menghasilkan arus kas yang positif selama periode semester pertama 2009 (peningkatan kas dan setara kas

Serat kayu dengan nilai Muhlstep yang tinggi berarti serat tersebut memiliki dinding yang tebal dan lumen yang sempit sehingga luas area kontak antar serat menjadi kecil [5]..

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memetakan daerah yang rawan bencana tsunami wilayah Pesisir Kabupaten Kulon Progo.Metode penelitian yang

Muhammadiyah bergelayut antara memegang praktik (mitos) tersebut dan tetap percaya akan takdir tuhan. Ketiga, pemaknaan literal terhadap teks “jangan tidur di atas kasur”

NPM adalah ukuran profitabilitas perusahaan dari penjualan setelah memperhitungkan semua biaya dan pajak penghasilan, rasio ini berfungsi untuk mengukur tingkat

Oleh karena itu tujuan memaksimumkan keuntungan yang akan dibagikan kepada pemegang saham (dividen) memiliki kendala dalam memaksimumkan laba ditahan untuk

Seperti halnya pada bagian gudang, yang sangat memerlukan sebuah sistem yang mampu memberikan informasi persediaan material yang up-to-date sehingga mempermudah