• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3.4. Teori Tentang Insentif

3.4.1. Pengertian dan Tujuan Pemberian Insentif

Untuk lebih mendorong produktivitas kerja pegawai lebih tinggi, banyak perusahaan yang telah menggunakan sistem insentif sebagai bagian dari sistem imbalan yang berlaku bagi para pegawai perusahaan.

Rivai (2006) menyatakan bahwa “Insentif merupakan imbalan langsung yang dibayarkan kepada pegawai, karena kinerjanya melebihi standar yang ditentukan. Insentif merupakan bentuk lain dari upah langsung di luar upah dan gaji”.

Menurut Terry dan Leslie (2003) bahwa “Incentive is an important actuating tool. Human being tend to strive more itensely when the reward for accomplishing satifies their personal demand”.

Artinya insentif adalah suatu alat penggerak yang penting. Manusia cenderung untuk berusaha lebih giat apabila balas jasa yang diterima memberikan kepuasan terhadap apa yang diminta.

Tujuan utama dari pemberian insentif adalah untuk memberikan tanggung jawab dan dorongan kepada pegawai dalam rangka meningkatkan kualitas dan kualitas hasil kerjanya. Sedangkan bagi perusahaan, pemberian insentif merupakan strategi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi perusahaan dalam

menghadapi persaingan yang semakin ketat, di mana produktivitas menjadi satu hal yang sangat penting (Rivai 2006).

Menurut Ranupandojo dan Husnan (2000), beberapa sifat dasar dari insentif yang harus dipenuhi agar sistem insentif dapat berhasil, yaitu:

a. Pembayarannya hendaknya sederhana, sehingga dapat dimengerti dan dihitung oleh pegawai sendiri.

b. Penghasilan yang diterima pegawai hendaknya langsung menaikkan output dan efisiensi.

c. Pembayarannya hendaknya dilakukan secepat mungkin.

d. Standar kerja hendaknya ditentukan dengan hati-hati. Standar kerja yang terlalu tinggi atau terlalu rendah sama tidak baiknya.

e. Besarnya upah normal dengan standar kerja per jam hendaknya cukup merangsang pegawai untuk bekerja lebih giat.

3.4.2. Bentuk-bentuk Insentif

Menurut Rivai (2006) bentuk-bentuk insentif yang diberikan perusahaan kepada para pegawai secara umum adalah sebagai berikut:

a. Piecework

Insentif yang diberikan berdasarkan jumlah output atau barang yang dihasilkan pekerja. Sistem ini bersifat individual, standarnya output per unit, dan sangat cocok digunakan untuk pekerjaan yang output-nya sangat jelas, dapat dengan

mudah diukur, dan umumnya terdapat pada level yang sangat operasional dalam organisasi.

b. Production Bonuses

Tambahan upah yang diterima karena hasil kerja melebihi standar yang ditentukan, di mana pekerja juga mendapatkan upah pokok. Bonus juga dapat dikarenakan pekerja menghemat waktu penyelesaian pekerjaan. Pada umumnya bonus dihitung berdasarkan tingkat tarif tertentu untuk masing-masing unit produksi.

c. Commissions

Insentif yang diberikan berdasarkan jumlah barang yang terjual. Sistem ini biasanya digunakan untuk tenaga penjual atau wiraniaga. Sistem ini bersifat individual, standarnya adalah hasil penjualan yang dapat diukur dengan jelas. d. Maturity Curves

Gaji dapat dikelompokkan dalam suatu kisaran dari minimal sampai maksimal. Ketika seseorang (biasanya pegawai ahli atau profesional) sudah mencapai tingkat gaji maksimal, maka untuk mendorong pegawai tersebut untuk terus berprestasi, organisasi mengembangkan apa yang disebut dengan maturity curves atau kurva kematangan yang merupakan kurva yang menunjukkan jumlah tambahan gaji yang dapat dicapai sesuai dengan prestasi kerja dan masa kerja, sehingga mereka diharapkan terus meningkatkan prestasi.

e. Merit Pay

Penerimaan kenaikan upah terjadi setelah suatu penilaian prestasi. Kenaikan ini diputuskan oleh penyelia pegawai, sering juga bersama atasan. Tetapi nilai kenaikan jarang ditentukan secara baku, karena kenaikan tersebut terjadi berdasarkan sasaran manajemen.

f. Pay-for-Knowledge/Pay-for-Skills

Pemberian insentif yang di dasarkan bukan pada apa yang dikerjakan oleh karyawan dalam menghasilkan produk, tetapi pada apa yang dapat dilakukan untuk organisasi melalui pengetahuan yang diperoleh, yang diasumsikan mempunyai pengaruh besar dan penting bagi organisasi. Dasar pemikirannya adalah seseorang yang mempunyai tambahan pengetahuan mempunyai kemungkinan tambahan tugas yang dapat dilakukan untuk organisasi.

g. Non-Monetary Incentives

Insentif umumnya berupa uang, tetapi insentif dapat pula dalam bentuk lain. Sebagai contoh dalam bentuk materi baru (seperti gantungan kunci hingga topi), sertifikat, liburan dan lain-lain. Hal ini dapat berarti sebagai pendorong untuk meningkatkan pencapaian usaha seseorang. Adapun insentif diberikan dalam bentuk usaha perubahan seperti rotasi kerja, perluasan jabatan, dan pengubahan gaya.

h. Executive Incentives

Bonus yang diberikan kepada para manajer atau eksekutif atas peran yang mereka berikan untuk menetapkan dan mencapai tingkat keuntungan tertentu bagi

organisasi. Insentif ini bisa dalam bentuk bonus tahunan yang biasanya disebut bonus jangka pendek atau kesempatan pemilikan perusahaan melalui pembelian saham perusahaan dengan harga tertentu yang biasanya disebut dengan bonus jangka panjang.

3.4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Insentif

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi besar/kecilnya insentif yang akan diterima pegawai. Hal ini diperlukan mendapat perhatian oleh pimpinan Universitas agar prinsip pembayaran insentif dapat dipahami dan dimengerti oleh seluruh pegawai, sehingga memberikan kepuasan bagi seluruh pegawai yang bekerja di perusahaan tersebut.

Menurut Hasibuan (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi besar/kecilnya pemberian insentif, antara lain sebagai berikut:

1. Kemampuan dan kesediaan Universitas

Apabila kemampuan dan kesediaan Universitas untuk membayar semakin baik, maka pembayaran insentif akan semakin besar. Sebaliknya, jika kemampuan dan kesediaan Universitas untuk membayar kurang, maka jumlah pembayaran insentif relatif kecil.

2. Produktivitas kerja pegawai

Jika produktivitas kerja pegawai baik, maka pembayaran insentif akan semakin besar. Sebaliknya kalau produktivitas kerja pegawai buruk, maka jumlah pembayaran insentif relatif kecil.

3. Posisi jabatan pegawai

Pegawai yang menduduki jabatan lebih tinggi akan menerima insentif yang lebih besar. Sebaliknya pegawai yang menduduki jabatan yang lebih rendah akan memperoleh insentif yang kecil. Hal ini wajar, karena pegawai yang memiliki posisi jabatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pegawai yang lebih rendah posisi jabatannya mendapatkan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar.

4. Pendidikan dan pengalaman pegawai

Jika pendidikan pegawai lebih tinggi dan pengalaman kerjanya lebih lama, maka pegawai tersebut akan memperoleh insentif yang lebih besar jika dibandingkan dengan pegawai yang dimiliki tingkat pendidikan yang rendah dan pengalaman kerja yang kurang memadai.

5. Jenis dan sifat pekerjaan

Jenis dan sifat pekerjaan yang sulit dan mempunyai risiko (finansial, keselamatan) yang besar, maka jumlah insentif yang diberikan kepada pegawai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan pegawai yang melakukan pekerjaaan yang jenis dan sifatnya mudah dan risikonya kecil.

3.4.4. Persyaratan Program Insentif yang Efektif

Sebuah sistem biasanya memiliki kesempatan sukses yang lebih besar seandainya semua pegawai di dalam organisasi diberi kesempatan untuk

berpartisipasi. Menurut Simamora (2004) ada beberapa persyaratan dasar bagi sebuah program insentif yang efektif, yaitu:

1. Aplikasi prosedur dan metode yang akurat untuk menilai kinerja pegawai. 2. Pekerjaan individu tidak boleh terlalu tergantung terhadap pekerjaan lainnya. 3. Basis yang kompetitif dan memadai untuk gaji pokok dan tunjangan yang

di atasnya insentif dapat memberikan penghasilan variabel (income variable). 4. Insentif harus berdasarkan pada kinerja setiap pegawai.

5. Para pegawai harus memahami basis pembayaran insentif yang diterimanya. 6. Standar produksi yang menjadi basis program insentif harus disusun dan disimpan

secara cermat.

7. Iklim organisasi yang sehat dan positif di mana perjuangan terhadap keunggulan individu dan kelompok digalakkan.

3.5. Teori tentang Kepuasan Kerja

3.5.1. Pengertian dan Faktor-faktor Kepuasan Kerja

Dalam dunia usaha atau bisnis pada saat ini, kepuasan pegawai dikenal sebagai kunci penting bagi organisasi. Survei-survei tentang kepuasan pegawai menunjukkan bahwa betapa pentingnya sebuah organisasi mengetahui dengan benar lingkungan kerjanya, baik yang mempunyai nilai aspek-aspek positif maupun yang menghambat tercapainya tujuan dan sasaran organisasi. Informasi ini sangat berguna

dalam rangka meningkatkan kepuasan pegawai dan kualitas hidupnya, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja pegawai.

Kepuasan kerja adalah sikap umum seseorang dalam menghadapi pekerjaannya, seorang yang tinggi kepuasan kerjanya memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya, sedangkan seseorang yang tidak memperoleh kepuasan di dalam pekerjaannya memiliki sikap yang negatif terhadap pekerjaannya (Sofyandi dan Garniwa, 2007).

Greenberg dan Baron (2003) menyatakan bahwa “Kepuasan kerja sebagai sikap positif atau negatif yang dilakukan individual terhadap pekerjaan mereka”.

Sedangkan Vecchio (1995) menyatakan bahwa “Kepuasan kerja sebagai pemikiran, perasaan, dan kecenderungan tindakan seseorang yang merupakan sikap seseorang terhadap pekerjaan.

Robbins (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor penting dari kepuasan kerja pegawai antara lain adalah:

a. Mentally challenging work

Pegawai cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan pekerjaan mereka. Karakteristik seperti ini membuat kerja secara mental menantang.

Pegawai menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang dipersepsikan adil, tidak membingungkan dan sesuai dengan harapan pegawai.

c. Supportive working conditions

Pegawai peduli akan lingkungan kerja, baik untuk keamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik.

d. Supportive colleagues

Rekan kerja yang ramah dan mendukung dapat meningkatkan kepuasan dalam bekerja.

Dalam suatu organisasi di mana sebagian terbesar dari pegawai memperoleh kepuasan kerja, namun tidak tertutup kemungkinan sebagian kecil di antaranya merasakan ketidak puasan. Menurut Robbins (2003) ketidak puasan pegawai dapat ditunjukkan dalam 4 (empat) cara, yaitu:

a. Exit

Ketidak puasan ditunjukkan melalui perilaku di arahkan pada meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri.

b. Voice

Ketidak puasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan.

c. Loyalty

Ketidak puasan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik dengan menunggu kondisi untuk memperbaiki, termasuk dengan berbicara bagi organisasi

di hadapan kritik eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemen melakukan hal yang benar.

d. Neglect

Ketidak puasan ditunjukkan melalui tindakan secara pasif membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk kemangkiran atau keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan.

3.5.2. Mengukur Kepuasan Kerja

Penilaian tentang apakah seseorang pegawai menemukan kepuasan atau ketidak puasan dengan pekerjaan yang dihadapinya merupakan sesuatu hal yang paling kompleks dari sejumlah unsur pekerjaan. Menurut Sofyandi dan Garniwa (2007) ada 2 (dua) metode yang paling sering digunakan untuk mengukur kepuasan pegawai atas pekerjaannya, yaitu:

a. Single Global Rating Method

Metode ini dilakukan dengan cara meminta para pegawai untuk memberikan tanggapan/jawaban atas suatu pertanyaan, seperti misalnya, setelah mempertimbangkan segala sesuatu, sejauh manakah kepuasan anda dengan pekerjaan anda? Kemudian para pegawai menjawab pertanyaan dengan melingkari salah satu angka dari satu sampai lima, yang sesuai dengan jawaban mulai dari ”sangat merasa puas” sampai dengan ”sangat tidak puas”.

Menurut metode ini elemen-elemen yang ada di dalam suatu pekerjaan diidentifikasi, kemudian ditanyakan kepada para pegawai, bagaimana perasaan mereka terhadap masing-masing elemen pekerjaan tersebut. Faktor-faktor khusus yang turut dilibatkan adalah sifat pekerjaan, pengawasan, upah, kesempatan promosi, serta hubungan-hubungan dengan rekan kerja. Faktor-faktor tersebut diberi nilai berdasarkan skala yang sudah distandarisasi, kemudian dijumlahkan untuk memperoleh angka secara keseluruhan.

Dari kedua metode mengukur kepuasan kerja di atas, secara intuisi tampaknya penjumlahan seluruh angka jawaban sebagai respons atas sejumlah faktor pekerjaan bisa memberikan hasil evaluasi kepuasan kerja yang lebih akurat. Namun dari beberapa penelitian ternyata tidak mendukung penilaian intuitif. Metode single global

rating dianggap lebih sederhana dan mudah untuk dilakukan, sehingga metode ini

sangat sering digunakan oleh perusahaan dalam mengevaluasi kepuasan kerja pegawai.

Sementara itu, Greenberg dan Baron (2003) menunjukkan adanya 3 (tiga) cara untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja, yaitu:

a. Rating scales dan kuesioner

Rating scales dan kuesioner merupakan pendekatan pengukuran kepuasan kerja

yang paling umum dipakai dengan menggunakan kuesioner di mana rating scales secara khusus disiapkan. Dengan menggunakan metode ini, orang menjawab pertanyaan yang memungkinkan mereka melaporkan reaksi mereka pada pekerjaan mereka.

b. Critical incidents

Di sini individu menjelaskan kejadian yang menghubungkan pekerjaan mereka yang mereka rasakan, terutama memuaskan atau tidak memuaskan. Jawaban mereka dipelajari untuk mengungkapkan tema yang mendasari. Sebagai contoh, misalnya: apabila banyak pekerja menyebutkan situasi di pekerjaan di mana mereka diperlakukan kasar oleh supervisor atau apabila pekerja memuji

supervisor atas sensitivitas yang ditunjukkan pada masa yang sulit, gaya

pengawasan memainkan peranan penting dalam kepuasan kerja mereka. c. Interviews

Interview merupakan prosedur pengukuran kepuasan kerja dengan melakukan

wawancara tatap muka dengan pekerja. Dengan menanyakan secara langsung tentang sikap mereka, sering mungkin mengembangkan lebih mendalam dengan menggunakan kuesioner yang sangat terstruktur. Dengan mengajukan pertanyaan secara berhati-hati kepada pekerja dan mencatat jawabannya secara sistematis, hubungan pekerjaan dengan sikap dapat dipelajari.

3.5.3. Pedoman Meningkatkan Kepuasan Kerja

Greenberg dan Baron (2003) memberikan saran untuk mencegah ketidak puasan dan meningkatkan kepuasan kerja pegawai dengan cara sebagai berikut:

Orang lebih puas dengan pekerjaan yang mereka senang kerjakan daripada yang membosankan. Meskipun beberapa pekerjaan secara intrinsik membosankan, pekerjaan tersebut masih mungkin meningkatkan tingkat kesenangan ke dalam setiap pekerjaan.

b. Orang dibayar dengan jujur

Orang yang percaya bahwa sistem pengupahan tidak jujur cenderung tidak puas dengan pekerjaannya. Hal ini diperlakukan tidak hanya untuk gaji dan upah per jam, tetapi juga fringe benefit. Konsisten dengan value theory, mereka merasa dibayar dengan jujur dan apabila orang diberi peluang memilih fringe benefit yang paling mereka inginkan, kepuasan kerjanya cenderung naik.

c. Mempertemukan orang dengan pekerjaan yang cocok dengan minatnya

Semakin banyak orang menemukan bahwa mereka dapat memenuhi kepentingannya sambil di tempat kerja, semakin puas mereka dengan pekerjaannya. Perusahaan dapat menawarkan counselling individu kepada pekerja, sehingga kepentingan pribadi dan profesional dapat diidentifikasi dan disesuaikan.

d. Menghindari kebosanan dan pekerjaan berulang-ulang

Kebanyakan orang cenderung mendapatkan sedikit kepuasan dalam melakukan pekerjaan yang sangat membosankan dan berulang. Sesuai dengan two-factor

theory, orang jauh lebih puas dengan pekerjaan yang meyakinkan mereka

memperoleh sukses dengan secara bebas melakukan kontrol atas bagaimana cara mereka melakukan sesuatu.

BAB III

Dokumen terkait