• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.5. Teori tentang Profitabilitas dan Likuiditas

Profitabilitas merupakan tingkat keuntungan bersih atau laba bersih yang diperoleh perusahaan saat menjalankan kegiatan usahanya selama periode tertentu. Keuntungan yang diraih perusahaan ini merupakan hasil dari investasi yang ditanamkan oleh perusahaan dan merupakan pertimbangan utama bagi sebuah perusahaan dalam rangka pengembangan bisnisnya. Keuntungan yang layak dibagikan kepada pemegang saham adalah keuntungan setelah bunga dan pajak. Semakin besar keuntungan yang diperoleh perusahaan, semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayarkan devidennya dan hal ini berdampak pada kenaikan nilai perusahaan.

Semakin besar tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan menunjukkan semakin baik kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan. Penilaian prestasi suatu perusahaan dapat dilihat dari kemampuan perusahaan itu untuk menghasilkan laba. Laba perusahaan selain merupakan indikator kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban bagi para penyandang dananya juga merupakan elemen dalam penciptaan nilai perusahaan yang menunjukkan prospek perusahaan di masa yang akan datang.

Profitabilitas digunakan sebagai indikator untuk mengetahui tingkat pengembalian yang akan diberikan kepada pemegang saham. Jika tingkat pengembalian investasi yang dimiliki sebuah perusahaan tinggi akan memberikan sinyal positif bagi investor dalam melakukan penilaian. Semakin tinggi profitabilitas semakin tinggi pemaksimalan kesejahteraan pemegang

saham sehingga berdampak pada nilai perusahaan yang tercermin pada harga sahamnya.

Profit yang tinggi akan memberikan indikasi prospek perusahaan yang baik sehingga dapat memicu investor untuk ikut meningkatkan permintaan saham. Selanjutnya permintaan saham yang meningkat akan menyebabkan nilai perusahaan yang meningkat. Femonema tersebut menunjukkan bahwa tingkat profitabilitas merupakan insentif bagi peningkatan nilai perusahaan.

Likuiditas merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk membayar kewajiban-kewajiban jangka pendeknya pada saat jatuh tempo dengan menggunakan aktiva lancar yang tersedia. Likuiditas tidak hanya berhubungan dengan keadaan keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga berhubungan dengan kemampuan suatu perusahaan untuk mengubah aktiva lancar tertentu menjadi uang kas. Kas ini merupakan aktiva yang tidak dapat menghasilkan “laba”, dalam arti tidak bisa untuk mendapatkan laba secara langsung dalam operasi perusahaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha pengelolaannya (manajemen) kas yang efektif dan efisien sehingga pemanfaatan kas tersebut optiomal (Harjito dan Martono, 2005:116).

Perusahaan yang mampu memenuhi kewajiban keuangannnya tepat pada waktunya berarti perusahaan tersebut dalam keadaaan “likuid” karena perusahaan tersebut mempunyai alat pembayaran ataupun aktiva lancar yang lebih besar dari pada hutang lancar atau hutang jangka pendek dan sebaliknya. Kemampuan membayar atas kewajiban jangka pendek suatu perusahaan sangat tergantung dari alat pembayaran likuid (cair) yang dimiliki perusahaan.

Besarnya alat pembayaran likuid yang dimiliki perusahaan disebut sebagai daya bayar atau kekuatan bayar suatu perusahaan yang akan menjadikan perusahaan mempunyai kemampuan membayar kewajiban jangka pendeknya. Semakin tinggi tingkat likuiditas suatu perusahaan, maka semakin baik kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dan berdampak positif terhadap nilai perusahaaan.

Besarnya tingkat profitabilitas dan likuiditas menjadi penentu nilai perusahaan. Nilai perusahaan adalah sangat penting karena dengan nilai perusahaan yang tinggi akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang saham (Brigham dan Houston, 2001:210). Semakin tinggi harga saham semakin tinggi nilai perusahaan. Nilai perusahaan ditentukan oleh besarnya tingkat profitabilitas dan tingkat likuiditas yang dimiliki oleh perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Kekayaan pemegang saham dan perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi, pendanaan (financing), dan manajemen asset.

Teori tentang nilai perusahaan dikaitkan dengan Teori Stuktur Keuangan (Financial Structure Theory) yang dikembangkan pertama kali oleh David Duran pada tahun 1952 (Eugene dan Gapenski, 1987:151) Dalam mengembangkan pendekatan ini diasumsikan pajak perusahaan nol. Nilai perusahaan dapat dinilai dengan tiga pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan laba bersih (net income approach)

Pendekatan laba bersih mangasumsikan bahwa investor mengkapitalisasi atau menilai laba perusahaan dengan tingkat kapitalisasi yang konstan dan perusahaan dapat meningkatkan jumlah hutangnya dengan tingkat biaya hutang yang konstan pula. Karena tingkat kapitalisasi dan tingkat biaya hutang konstan maka semakin besar jumlah hutang yang digunakan perusahaan, biaya modal rata-rata tertimbang semakin kecil sebagai akibat penggunaan hutang yang semakin besar, nilai perusahaan akan meningkat.

2. Pendekatan laba operasi (net operating income approach)

Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata tertimbang konstan berapapun tingkat hutang yang digunakan oleh perusahaan. Pertama, diasumsikan bahwa biaya hutang konstan seperti halnya dalam pendekatan laba bersih. Kedua, penggunaan hutang yang semakin besar oleh pemilik modal sendiri dilihat sebagai peningkatan risiko perusahaan. Oleh karena itu tingkat keuntungan yang diisyaratkan oleh pemilik modal sendiri akan meningkat sebagai akibat meningkatnya risiko perusahaan. Konsekuensinya biaya modal rata-rata tertimbang tidak mengalami perubahan dan keputusan struktur modal menjadi tidak penting.

3. Pendekatan tradisional (traditional approach)

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa hingga leverage tertentu, risiko perusahaan tidak mengalami perubahan. Sehingga baik tingkat

bunga hutang maupun tingkat kapitalisasi relatif konstan. Namun demikian setelah leverage atau rasio hutang tertentu, biaya hutang dan biaya modal sendiri meningkat. Peningkatan biaya modal sendiri ini akan semakin besar dan bahkan akan lebih besar daripada penurunan biaya karena penggunaan hutang yang lebih murah. Akibatnya biaya modal rata-rata tertimbang pada awalnya menurun dan setelah leverage tertentu akan meningkat.

2.1.6. Pendanaan

2.1.6.1 Pengertian Pendanaan

Menurut Sudarmaji dan Sularto (2007:54), pendanaan merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan hutang yang berasal dari kreditur, bukan dari pemegang saham ataupun investor atau sejauh mana kita menggunakan utang sebagai sumber dana dibandingkan menggunakan dana yang berasal dari modal. Menurut Hanafi (2004:327), pendanaan dapat digunakan untuk meningkatkan tingkat keuntungan yang diharapkan sehingga keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada biaya aktiva dan sumber dananya.

Pendanaan merupakan salah satu keputusan keuangan yang harus ditetapkan oleh manajer keuangan dalam hal mendanai aset-asetnya yang berkaitan dengan jenis-jenis sumber dana jangka pendek dan sumber dana jangka panjang. Pendanaan juga merupakan komposisi dari tiap sumber dana tersebut dengan tujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan berdasarkan

dengan hutang, dan yang terakhir modal (ekuitas) (Myers dan Majluf, 1984:187).

Pendanaan ini merupakan salah satu keputusan keuangan yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk mencapai tujuannya. Keputusan keuangan perusahaan itu terdiri dari keputusan investasi, pendanaan, dan kebijakan dividen. Keputusan investasi ditujukan untuk menghasilkan kebijakan yang berhubungan dengan (a) kebijakan pengalokasian sumber dana secara optimal, (b) kebijakan modal kerja (c) kebijakan investasi yang berdampak pada strategi perusahaan yang lebih luas (merger dan akuisisi) (Damodaran, 1997:351).

Menurut Sutrisno (2005:10) untuk memenuhi kebutuhan dana, manajer keuangan dapat mengambil beberapa alternatif dalam memenuhi kebutuhan pendanaan perusahaan, yaitu:

1. Perusahaan akan mengambil sumber dana dari luar, berarti perusahaan bisa mengambil dana dari hutang atau modal sendiri. Keputusan ini dikenal sebagai keputusan pendanaan (financing decision).

2. Perusahaan mengambil sumber dana dari dalam, berupa pemanfaatan laba. Keputusan tersebut menyangkut kebijakan dividen (dividend policy).

Keputusan pendanaan difokuskan untuk mendapatkan usaha optimal dalam rangka mendapatkan dana atau dana tambahan untuk mendukung kebijakan investasi. Masalah utama dalam mengoptimalkan keputusan pendanaan adalah menetapkan struktur modal (utang dan ekuitas) yang optimal sebagai asumsi dasar dalam memutuskan berapa jumlah dana dan bagaimana komposisi jumlah dana pinjaman dan dana sendiri yang ditambahkan untuk mendukung kebijakan

investasi sehingga kinerja keuangan perusahaan dapat tumbuh secara sehat. Di samping itu, komposisi struktur modal harus pula dipertimbangkan hubungan antara perusahaan, kreditur, maupun pemegang saham sehingga tidak terjadi konflik (Saragih, et.al., 2005:152).

Pada hakikatnya, sumber pendanaan yang berasal dari luar perusahaan yang berasal dari hutang (modal asing) diperoleh melalui pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya maupun dengan mengeluarkan surat hutang sehingga perusahaan harus memberikan kompensasi berupa bunga yang menjadi beban tetap bagi perusahaan. Sumber pendanaan yang berasal dari hutang dapat dikelompokkan menjadi hutang terencana (intended debt) dan hutang spontan

(spontaneous debt). Hutang terencana (intended debt) merupakan hutang yang timbul karena keinginan manajemen perusahaan dengan cara meminta bantuan kepada pihak ketiga seperti bank dan lembaga pemberi pinjaman atau publik dengan menerbitkan obligasi. Biasanya hutang terencana mempunyai kewajiban balas jasa yang dikenal dengan bunga dan untuk obligasi disebut kupon. Hutang spontan (spontaneous debt) merupakan hutang kepada pihak penyedia (supplier)

yang timbul akibat kegiatan bisnis antarpihak dimana para pihak tidak menuntut balas jasa terjadinya hutang-piutang tersebut.

Sumber dana yang berasal dari modal sendiri (equity) merupakan modal yang berasal dari saham preferen dan saham biasa. Saham preferen merupakan sumber dana dimana perusahaan mempunyai kewajiban membayar dividen walaupun posisi perusahaan mengalami kerugian. Perusahaan membayar dividen pada tahun berikutnya setelah profit dan kewajiban dividen dianggap sebagai

hutang sebelum dibayar. Saham biasa merupakan sumber pendanaan perusahaan dimana perusahaan tidak mempunyai kewajiban untuk membayar dividen. Kedua sumber dana ekuitas ini dianggap perusahaan menjadi sumber dana yang berisiko rendah dibandingkan dengan sumber dana melalui hutang. Sumber pendanaan dari modal inilah yang digunakan sebagai tanggungan atas keseluruhan risiko yang dihadapi oleh perusahaan dan menjadi jaminan bagi pihak yang memberikan pinjaman.

Sumber pendanaan yang berasal dari dalam perusahaan hanya diperoleh dari laba ditahan. Setiap tahun perusahaan mempunyai kemungkinan laba bersih yang dipergunakan untuk pengembangan perusahaan. Sebahagian dari laba bersih perusahaan dipergunakan untuk dibagikan sebagai dividen dan sebahagian lagi ditahan untuk pengembangan investasi perusahaan. Keputusan dividen ditentukan dari jumlah keuntungan perusahaan setelah pajak (earning after tax). Oleh karena itu tujuan memaksimumkan keuntungan yang akan dibagikan kepada pemegang saham (dividen) memiliki kendala dalam memaksimumkan laba ditahan untuk diinvestasikan kembali sebagai sumber dana internal, dengan kata lain semakin banyak jumlah laba ditahan berarti semakin sedikit uang yang tersedia bagi pembayaran dividen.

Hubunganpendanaandengan kebijakan dividen dipengaruhi oleh rasio leverage yaitu Debt to Equity Ratio (DER). Artinya kebijakan dividen dilakukan, apabila perusahaan tersebut dapat mengelola kebutuhan pembayaran hutang pada periode yang akan datang. Pembiayaan dividen hanya dapat dilakukan ketika seorang manajer menyetujui bahwa mereka

dapat mengelola kebijakan dividen yang baru di masa yang akan datang sehingga semakin tinggi hutang maka semakin kecil dividen yang dibayarkan karena pembiayaan eksternal atau hutang cenderung memiliki risiko yang tinggi dibandingkan dengan pembiayaan internal.

Pendanaan ini sama dengan penentuan struktur modal perusahaan dan untuk mengukurnya digunakan rasio leverage (Debt to Equity Ratio). Debt to Equity Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat

leverage (penggunaan utang) terhadap total shareholders’ equity yang dimiliki perusahaan (Ang, 1997:18). Faktor ini mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Semakin besar rasio ini menunjukkan semakin besar kewajibannya dan rasio yang semakin rendah akan menunjukkan semakin tinggi kemampuan perusahaan memenuhi kewajibannya.

Apabila perusahaan menentukan bahwa pelunasan utangnya akan diambilkan dari laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan tersebut, hal ini berarti hanya sebagian kecil saja pendapatan yang dapat dibayarkan sebagai dividen (Riyanto, 2001:267). Peningkatan utang ini akan mempengaruhi tingkat pendapatan bersih yang tersedia bagi pemegang saham, artinya semakin tinggi kewajiban perusahaan, akan semakin menurunkan kemampuan perusahaan membayar dividen (Sudarsi, 2002:80).

2.1.6.2. Teori tentang Pendanaan

Perusahaan yang ingin berkembang atau bertumbuh akan melakukan peningkatan penjualan perusahaan atau melakukan investasi. Peningkatan penjualan membutuhkan modal kerja dan investasi membutuhkan dana untuk melakukan investasi tersebut. Perusahaan telah mempunyai ukuran untuk mendapatkan dana tersebut agar inivestasi yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Pendanaan investasi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut berasal dari sumber internal dan sumber ekternal perusahaan. Teori yang membahas tentang pendanaan investasi ini dikenal dengan nama Teori Urutan Pendanaan (Pecking Order Theory).

Teori Urutan Pendanaan (Pecking Order Theory) diperkenalkan oleh Gordon Donaldson pada tahun 1961. Pecking order theory mengasumsikan bahwa perusahaan bertujuan untuk memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham. Menurut Donaldson (1961:101), perusahaan mempunyai urutan dalam melakukan pendanaan yang dimulai dengan urutan laba ditahan, utang kepada pihak ketiga baik dengan loan atau menjual obligasi dan terakhir mengeluarkan saham baru. Urutan pendanaan tersebut merupakan urutan berdasarkan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan dan biaya ekuitas yang merupakan biaya tertinggi. Perusahaan yang membayar dividen yang tinggi pada masa lalu mempunyai kecenderungan untuk meminjam lebih banyak sehingga perusahaan cenderung menggunakan dana dari dalam perusahaan dan meminjam dari pihak luar serta kemudian mengeluarkan saham. Pecking order theory memprediksi bahwa pendanaan utang eksternal didasarkan pada

defisit pendanaan internal. Adapun urutan pendanaan perusahaan menurut survei Donaldson (1961:110) adalah sebagai berikut:

1. Laba ditahan;

2. Mencairkan surat-surat berharga seperti deposito, menjual obligasi, dan menjual saham;

3. Menerbitkan surat utang;

4. Paling akhir (the only last resort) menerbitkan saham.

Selanjutnya Myers dan Majluf (1984:198) mengemukakan teori urutan pendanaan yang tergugah atas penelitian Black dan Scholes (1976:72) mengenai dividen puzzle yang menyatakan bahwa semakin kuat kita memperhatikan gambaran tentang dividen, maka semakin nyata hal itu terlihat seperti suatu teka-teki, dengan pecahan-pecahan yang berantakan dan yang tidak saling berkesesuaian.

Menurut Myers dan Majluf (1984:201) dalam Pecking Order Theory

menjelaskan sebuah hirarki dalam pemenuhan kebutuhan dana perusahaan. Manajer perusahaan akan lebih memilih menggunakan internal equity yang diperoleh dari laba ditahan dan cadangan depresiasi. Apabila perusahaan membutuhkan dana eksternal, maka akan memilih hutang sebelum external equity. Sumber dana yang paling disukai oleh perusahaan adalah sumber pendanaan yang memiliki risiko yang paling kecil dimana perusahaan akan memilih sumber dana berdasarkan preferensi biaya yang harus dikeluarkan atas sumber dana tersebut. Dalam hal ini, perusahaan mempunyai pilihan untuk memenuhi modalnya lebih dulu dari sumber internal, kemudian memenuhi

kekurangannya dari sumber eksternal. Perusahaan lebih menyukai menggunakan dana yang bersumber dari internal perusahaan sehingga dengan adanya dana dari internal membuat perusahaan tidak memiliki beban untuk membayar dividen pada akhir periode. Penurunan pembayaran dividen akan menyebabkan perusahaan memiliki sumber dana internal untuk investasi. Namun demikian, ketika manajemen dilibatkan dalam bentuk kepemilikan

insider, maka kepentingan pemegang saham lebih sesuai dengan kepentingan manajer. Kesesuaian kepentingan ini terjadi karena manajer juga akan memperoleh kembali atas kepemilikannya dalam bentuk dividen sehingga konflik dalam perusahaan dapat dikurangi.

Berdasarkan pecking order theory, maka: (1) Perusahaan akan memilih sumber pendanaan internal (internal financing) yaitu sumber dana yang paling disukai perusahaan yang berasal hasil operasi perusahaan dalam bentuk laba ditahan (retained earnings) daripada pendanaan eksternal. Perusahaan lebih memilih sumber pendanaan internal ini karena dana tersebut akan diperoleh tanpa mengakibatkan sinyal negatif yang bisa menurunkan harga saham dan perusahaan tidak perlu lagi ”membuka diri” dari sorotan dan publisitas pemodal luar akibat dari penerbitan saham baru. (2) Apabila dibutuhkan sumber pendanaan eksternal

(external financing), perusahaan pertama-tama akan menerbitkan pinjaman (debt) meliputi penundaan pembayaran utang, pinjaman jangka pendek sebagai tambahan modal kerja, dan pinjaman jangka panjang (obligasi) sebagai dana investasi, sedangkan penerbitan saham, baik dalam bentuk saham perdana (Initial Public Offer/IPO) maupun saham biasa baru sebagai sumber modal investasi

dalam rangka ekspansi perusahaan akan dilakukan sebagai langkah terakhir karena penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh para pemodal dan membuat harga saham akan turun. Hal ini disebabkan karena adanya informasi asimetrik antara pihak manajemen dengan pihak pemodal. (3) Dalam

Pecking order theory terdapat kebijakan dividen yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan jumlah pembayaran dividen yang konstan, tidak terpengaruh seberapa besarnya perusahaan tersebut untung atau rugi. (4) Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan dividen yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan bertumbuh, maka perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia.

Pecking order theory tidak mengindikasikan target struktur modal. Pecking order theory menjelaskan urut-urutan pendanaan. Manajer keuangan tidak memperhitungkan tingkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Pecking order theory ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat hutang yang kecil.

Model pecking order theory memfokuskan pada motivasi manajer korporat, bukan pada prinsip-prinsip penilaian pasar modal. Pecking order theory mencerminkan persoalan yang diciptakan oleh asimetrik informasi. Kalau bisa memperoleh sumber dana yang diperlukan tanpa memperoleh sorotan dan publisitas publik sebagai akibat penerbitan saham baru. Dasar

pemikirannya didasarkan pada penjelasan berikut ini (Myers dan Majluf, 1984:205) :

a. Para manajer mengetahui lebih banyak tentang perusahaan daripada investor luar, namun mereka enggan untuk menerbitkan saham ketika percaya saham mereka adalah undervalued.

b. Investor memahami bahwa para manajer mengetahui lebih banyak dan mereka mencoba menerbitkan sesuai waktu yang tepat.

c. Para manajer menginterpresentasikan keputusan untuk menerbitkan ekuitas sebagai bad news, dan perusahaan dapat menerbitkan ekuitas hanya pada harga discount.

d. Perusahaan yang bekerja berdasarkan filosofi pecking order theory dan membutuhkan ekuitas eksternal kemungkinan tidak akan memanfaatkan kesempatan bertumbuh yang baik, karena saham tidak dapat dijual pada “Fair Price”.

2.1.6.3. Rasio Pendanaan

Menurut Brigham dan Houston (2001:384) terdapat 4 (empat) rasio yang dapat digunakan dalam keputusan pendanaan suatu perusahaan, yaitu:

1. Longterm debt equity ratio (LtDER)

Rasio ini merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara utang jangka panjang dengan total modal sendiri.

Longterm debt equity ratio dihitung dengan menggunakan rumus: Utang jangka panjang

2. Market debt equity ratio (MDER)

Rasio ini menunjukkan perbandingan antara nilai buku hutang dengan nilai pasar ekuitas. Market debt equity ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Total hutang MDER =

Jumlah saham beredar x closing price

3. Debt to total asset ratio (DTAR)

Rasio ini mengukur persentase dana yang disesuaikan oleh kreditur dalam membiayai aktiva perusahaan. Debt to asset ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Total hutang (Total Debt) DTAR =

Total aktiva (Total Asset) 4. Debt to equty ratio (DER)

Menurut Horne dan Wachowicz (2005 : 200), debt to equity ratio adalah rasio utang dengan ekuitas menunjukan sejauh mana pendanaan dari utang digunakan jika dibandingkan dengan pendanaan equitas.

Rasio pendanaan yang diukur dengan indikator Debt to Equity Ratio (DER) mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Oleh karena itu, semakin rendah DER akan semakin tinggi kemampuan perusahaan

untuk membayar seluruh kewajibannya. Debt to Equity Ratio (DER) atau rasio hutang terhadap modal merupakan rasio antara modal pinjaman dengan modal sendiri yang pada gilirannya akan mempengaruhi pembagian dividen sebab semakin besar rasio DER, maka semakin cenderung perusahaan mengutamakan pelunasan kewajibannya daripada pembayaran dividen(Sartono, 2001:66). Rasio ini dihitung dengan rumus:

Total hutang (Total Debt) DER =

Modal sendiri (Equity)

Dokumen terkait