• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI-TEORI UMUM YANG BERLAKU  DALAM HUKUM PERDATA

Dalam dokumen DIKTAT KULIAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL (Halaman 32-47)

A. Renvoi

Apabila sistem hukum perdata internasional suatu negara menunjuk berlakunya suatu sistem hukum asing, maka akan mengakibatkan timbulnya Renoi. Renvoi ini dapat terjadi terhadap peristiwa yang menyangkut status personil, dimana hal-hal yang menyangkut status personil tergantung pada prinsip kewarganegaraan atau domisili.

Renvoi merupakan penunjukan kembali sistem hukum yang harus berlaku bagi suatu peristiwa hukum, misalnya berdasarkan kaidah hukum perdata internasional negara X harus berlaku hukum negara Y (seluruh sistem negara Y termasuk kaidah-kaidah hukum perdata internasionalnya), apabila kaidah hukum perdata internasional negara Y ini menunjuk kembali hukum negara X maka terjadilah Renvoi dalam hal ini dinamakan partial or single renvoi

Kata penunjukkan dari penunjukkan kembali mempunyai pengertian:

1. Penunjukkan yang dimaksud ke arah kaidah-kaidah hukum intern (sachnormen) saja dari suatu sistem hukum tertentu disebut: sachnormverweisung. (Hukum intern saja-hukum asing).

2. Penunjukkan yang diarahkan ke sistem hukum asing, termasuk kaedah-kaedah HPIdari sistem hukum asing tersebut: gesamtverweisung. (Kaidah intern + HPI).

Macam-Macam Renvoi:

1. Penunjukkan kembali (simple renvoi/ remission renvoi). Yaitu penunjukkan oleh kaedah HPI asing kembali ke arah lex fori.

2. Penunjukkan lebih lanjut (minimal 3 hukum asing). Yaitu kaedah HPI asing yang telah ditunjuk oleh lex fori bisa menunjuk kembali ke arah lex fori tapi menunjuk lebih lanjut ke arah sistem hukum asing lain.

Dapat pula dikatakan bahwa suatu negara menerima renvoi apabila hukum perdata internasionalnya dalam menunjuk hukum asing mencakup pula kaidah-kaidah hukum perdata internasional negara asing tersebut. Sedangkan apabila kaidah hukum perdata internasional suatu negara dalam menunjuk hukum asing hanya terbatas menunjuk pada hukum intern nya, maka negara tersebut dikatakan menolak Renvoi.

Contoh Renvoi atau penunjukan kembali.

Apabila seorang warga Inggris yang berdomisili di Indonesia harus ditentukan apakah ia sudah dewasa atau belum, atau dia hendak menikah, maka menurut HPI Indonesia berdasarkan Pasal 16 AB harus dipakai hukum Inggris, dengan kata lain perkataan kaidah HPI Indonesia menunjuk kepada hukum Inggris dan hukum Inggris menunjuk kembali kepada hukum Indonesia, karena menurut HPI Inggris yang harus dipakai untuk status personil yaitu domisili dari seseorang. Oleh karena itu domisili orang Inggris bersangkutan adalah di Indonesia, maka hukum Indonesia lah yang harus diberlakukan Contoh Renvoi penunjukan lebih jauh

Seorang paman dan saudara sepupu perempuan yang keduanya berkewarganegaraan Swiss, tinggal di Moskow (Rusia) dan mereka menikah disana. Sebelum melangsungkan perkawinan tersebut mereka telah minta penjelasan baik dari instansi Rusia maupun dari instansi Swiss apakah perkawinan mereka diperbolehkan. Kedua instansi ini baik dari Rusia maupun dari Swiss, tidak melihat adanya suatu keberatan. Karena menurut HPI Rusia, perkawinan harus dilangsungkan menurut hukum Rusia (Rusia menganut prinsip territorial. Jadi berlaku lex loci celebrations). Sedangkan menurut ketentuan HPI (ekstern) Swiss, perkawinan ini dilangsungkan menurut hukum Rusia (bahwa suatu perkawinan yang dilakukan di luar negeri menurut hukum yang berlaku disana dianggap sah menurut hukum Swiss. Menurut hukum intern Swiss perkawinan antara seorang paman dan saudara sepupu perempuan dilarang, apabila dilangsungkan di negara Swiss, tetapi karena perkawinannya dilangsungkan di Rusia, maka perkawinan tidak dilarang.

Dengan demikian akan berlaku hukum Rusia yang tidak mengenal larangan perkawinan antara paman dengan saudara sepupunya Ini , maka perkawinan yang bersangkutan baik menurut hukum Rusia maupun menurut HPI Rusia dan HPI Swiss sah adanya. Kemudian para mempelai pindah ke Hamburg (Jerman), disini timbul percekcokan hingga perempuan mengajukan gugatan untuk perceraian. Sedangkan pihak paman mengajukan pembatalan perkawinan.

Forum yang berwenang

Pengadilan mana yang berwenang mengadili kasus ini? yaitu pengadilan Jerman karena sesuai dengan prinsip actor sequitor forum rei yaitu gugatan diajukan ke pengadilan, tempat dimana tergugat bertempat tinggal, karena tergugat bertenpat tinggal di Hamburg, maka forum yang berwenang harus di tempat tinggal tergugat

Titik taut primer yang menciptakan hubungan HPI dalam kasus ini yang merupakan titik taut primer harus dilihat/ditinjau dari pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa ini. Menurut pandangan PN Hamburg perkara ini adalah perkara

HPI karena ada unsur asingnya yaitu pihak penggugat dan tergugat berkewarganegaraan Swiss. Titik taut sekunder dan Renvoi, sesuai dengan prinsip Jerman yang kewarganegaraan maka hukum Jerman merenvoi ke hukum Swiis, ternyata Swiss yang menganut prinsip domisili merenvoi lagi ke penunjukan lebih jauh ke Rusia tempat dimana perkawinan itu dilangsungkan, dan menurut hukum Rusia perkawinan tersebut sah adanya (menjawab persoalan pendahuluan juga), kemudian Kualifikasi adalah penyalinan fakta sehari-hari kedalam istilah-istilah hukum, ini adalah permasalahan hukum tentang orang yaitu tentang gugat cerai, Vested right yakni seseorang yang sudah mendapatkan hak–hak nya yang diperoleh maka negara-negara harus menghormatinya/mengakui nya. Seperti status sebagai istri.

Asas-asas HPI

1. Lex Rei Sitae ( Lex Situs ) yakni hukum yang berlaku atas suatu benda adalah hukum dari tempat dimana benda itu terletak atau berada → bias benda bergerak, berwujud, atau tak berwujud.

2. Lex Loci Contractus yaitu terhadap perjanjian yang bersifat HPI berlaku kaidah hukum dari tempat pembuatan perjanjian/ tempat dimana perjanjian ditandatangani.

3. Lex Loci Solutionis yaitu hukum yang berlaku adalah tempat dimana isi perjanjian dilaksanakan.

4. Lex Loci Celebrationis yaitu hukum yang berlaku bagi sebuah perkawinan adalah sesuai dengan hukum tempat perkawinan itu dilangsungkan

5. Lex Domicile yakni hukum yang berlaku adalah tempat seseorang berkediaman tetap/permanent home.

6. Lex Patriae yaitu hukum yang berlaku adalah dari tempat seseorang berkewarganegaraan.

7. Lex Loci Forum yaitu hukum yang berlaku adalah tempat perbuatan resmi dilakukan. Perbuatan resmi adalah pendaftaran tanah, kapal dan gugatan perkara itu diajukan dan perbuatan hukum yang diajukan.

8. Asas choice of law ( pilihan hukum ): hukum yang berlaku adalah hukum yang dipilih berdasarkan para pihak.

Masalah renvoi timbul karena adanya aneka warna sistem HPI yang berbeda pada masing-masing negara, terutama sekali berhubungan pada status personil seseorang berdasarkan prinsip domisili dan nasionalitas. Masalah renvoi juga memiliki hubungan yang erat dengan persoalan kwalifikasi. Adapun pertanyaan yang timbul kemudian adalah “Apakah HPI itu merupakan hukum yang sifatnya supra nasional atau yang

nasional?”. Jika dianggap sebagai hukum yang sifatnya supra nasional, maka renvoi tidak dapat digunakan karena kaidah HPI semacam itu memiliki kekuatan hukum yang tidak menghiraukan pembuat undang-undang untuk mengoper atau menolak renvoi. Jika kaidah-kaidah HPI semacam ini berasal dari tata tertib hukum yang lebih tinggi daripada tata tertib pembuat undang-undang nasional, maka HPI yang bersifat supra nasionalah yang berlaku.

Berkenaan dengan renvoi, tidak semua penulis setuju dengan adanya renvoi dengan beberapa alasan, yaitu:

1. Renvoi dianggap tidak logis, hal ini didasarkan pada suatu penunjukan kembali secara terus menerus, maka yang ada adalah suatu permasalahan yang menggantung karena tidak ada pihak yang mau menanganinya dan terus saling melakukan suatu penunjukkan kembali. Pendapat kalangan penulis yang menolak renvoi ini lantas dibantah oleh pihak yang pro renvoi dengan alasan bahwa baik yang menerima atau yang menolak dua-duanya secara selogis mungkin. Pada kenyataannya tidak akan ditemui adanya suatu penujukkan tiada akhir melainkan hanya ada satu kali renvoi/

penujukkan kembali.

2. Renvoi merupakan penyerahan kedaulatan legislatif. Menurut pandangan yang kontra dengan renvoi, menurut Cheshire dan Meyers, dengan adanya suatu renvoi, maka seolah-olah kaidah-kaidah hakim itu sendiri yang dikorbankan terhadap suatu hukum asing yang kemudian dianggap berlaku. Sementara itu, pendapat ini dibantah dengan alasan kaidah yang digunakan oleh hakim itu bukan dari sembarang kaidah negara asing, dengan arti hanya sebatas kaidah HPI saja dimana yang menunjuk penggunaannya adalah sang hakim itu sendiri sehingga secara tidak langsung, yang berlaku adalah HPI negaranya sendiri dan bukan HPI dari negara asing.

3. Renvoi membawa ketidak pastian hukum. Jika renvoi diterima, maka yang ada kemudian adalah penyelesaian HPI itu yang samar-samar, tidak kokoh dan tidak stabil sebagai hukum. Akan tetapi menurut kubu yang pro renvoi mangatakan bahwa justru jika tidak ada renvoi, maka yang ada adalah ketidakpastian itu sendiri.

Sementara itu, alasan-alasan yang digunakan oleh para penulis yang pro dengan adanya renvoi adalah sebagai berikut:

1. Renvoi memberikan keuntungan praktis. Jika sebuah renvoi itu diterima, maka hukum intern sendiri dari sang hakim yang akan digunakan dan tentunya hal ini akan memberikan keuntungan praktis bagi hakim.

2. Jangan bersifat lebih raja daripada raja itu sendiri. Justru dengan adanya renvoi, chauvinisme juridis dapat dihindari dan merupakan suatu penghormatan pada hukum asing yang bertautan dengan kasus yang ada.

3. Keputusan-keputusan yang berbeda. Untuk menghindari adanya ketidak pastian hukum dalam bentuk keputusan yang berbeda-beda atas perkara yang sama pada dua sistem hukum yang terkait. Dari hal-hal yang telah disampaikan sebelumnya di atas perihal pro dan kontra pada renvoi, kita mendapati bahwa yang digunakan dalam menilai masalah renvoi ini adalah logika. Kita harus dapat melihatnya berdasarkan pada hukum positif dimana renvoi dipandang sebagai suatu bentuk dari apa yang dinamakan dengan pelembutan hukum, meskipun tidak ditemukan dalam suatu peraturan tertulis di Indonesia, renvoi diterima dalam kaidah hukum positif Indonesia secara nyata yang tercantum secara tidak langsung dalam pasal 16 sampai 18 AB.

Adapun beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan renvoi di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Perkara orang Armenia Nasrani tahun 1928

2. Perkara palisemen seorang British India tahun 1925

Renvoi juga diatur dalam konvensi-konvensi internasional meliputi :

1. Persetujuan Den Haag tentang HPI tahun 1951, 1955. Diterima suatu konsep untuk mengatur “perselisihan” antara prinsip nasionalitas dan domisili yang lantas ditindak lanjuti pada tanggal 15 Juni 1955 dengan ditetapkannya konvensi yang bersangkutan. Pasal 1 mengatur bahwa apabila suatu negara di mana orang yang dipersoalkan menganut sistem domisili, memakai sistem nasionalitas sementara negara asal orang itu memakai sistem domisili, maka tiap negara peserta menggunakan Sachornen daripada domisili.

2. Persetujuan hukum uniform HPI negara-negara Benelux 1951. Persetujuan itu dilakukan antara negara Belgia, Belanda dan Luxemburg. Dalam pasal 1-nya ditentukan bahwa renvoi tidak dapat diterima. Jika tidak ditentukan berlainan, maka dalam persetujuan tersebut diartikan dengan istilah hukum intern daripadanya dan bukan HPI-nya.

B. Kualifikasi 1. Pengertian

Kualifkasi yaitu tindakan translasi atau penterjemahan dari fakta-fakta sehari-hari kedalam istilah-istilah hukum.

Kulifikasi disini merupakan suatu cara mentafsirkan suatu perbuatan yang sering dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain ke dalam istilah hukum.

Metode ini sering digunakan untuk menyelesaikan suatu persoalan Hatah Ekstern.

Selanjutnya kualifikasi ini merupakan salah satu aspek dalam Hatah yang termasuk dalam HPI Ajektif atau merupakan salah satu bagian dari hukum formil Hatah.

Contoh; Apabila si A karena kesehatannya terganggu sehingga ia tidak dapat pergi ke kantor untuk mengambil gajinya. Kemudian ia meminta tolong kepada teman sekantornya untuk mengambilkan gajinya tersebut dengan menuliskan surat yang isinya agar gajinya diberikan kepada pembawa surat tersebut. Perbuatan ini dikualifikasikan sebagai perbuatan pemberian kuasa (pasal 1972 BW), bukan sebagai perjanjian memberikan jasa tertentu (pasal 1601 BW).

Hal-hal yang menyebabkan rumitnya Kualifikasi dalam HPI adalah:

a. Berbagai sistim hukum yang ada didunia ini mengunakan istilah (terminology) yang sama tetapi untuk menyatakan hal yang berbeda.

Contoh; Istilah domisilii berdasarkan hukum Indonesia artinya tempat kediaman tetap, tetapi domisili dalam pengertian hukum inggris berarti tempat kelahiran atau tanah air.

b. Berbagai sistim hukum mengenal lembaga hukum tertentu tetapi tidak dikenal pada sistem hukum lain secara ringkas contoh adopsi.

Dalam perdata hukum berat tidak dikenal yang mengenal adopsi adalah orang Tiongha, alasan karena bagi orang Tiongha adalah kalau menyembah dewanya yang akan diterima adalah doa anak laki-laki sehingga kalau orang tidak mempunyai anak laki-laki maka mengadopsi anak.

Contoh; Lembaga pengangkatan anak yang dikenal atau yang terdapat dalam hukum Tiongha tetapi dalam BW tidak ada.

c. Berbagai sistim hukum menyelesaikan perkara-perkara hukum yang secara faktual pada dasarnya sama tetapi dengan mengunakan kelompok hukum yang berbeda beda.

Contoh; Seorang janda yang menuntut hasil sebidang tanah warisan suaminya, dari sistim hukum Perancis hal ini dikategorikan kedalam masalah warisan tetapi menurut sistim hukum Inggris hal ini termasuk kedalam persoalan hak janda menuntut bagiannya dari harta perkawinan.

d. Berbagai sistim hukum mensyaratkan sekumpulan fakta yang berbeda untuk menetapkan adanya suatu peristiwa hukum yang pada dasarnya sama.

Contoh; Masalah peralihan hak milik menurut hukum Perancis misalnya hak milik telah dianggap beralih setelah adanya kata sepakat sedangkan menurut hukum belanda hak milik baru beralih setelah benda diterima oleh pembeli.

e. Berbagai sistim hukum menempuh prosedur yang berbeda untuk menentukan hasil atau status hukum yang pada dasarnya sama.

Contoh; Suatu perjanjian baru mengikat bila perjanjian itu dibuat secara bilateral sedangkan menurut hukum Belanda / Indonesia perjanjian itu adalah juga sah kalau perjanjian tersebut adalah perjanjian sepihak atau tidak bilateral.

Dari kelima hal tersebut diatas kalau disimpulkan dapat dijadikan 2 masalah uatam yaitu:

a. Kualifikasi dalam HPI masalahnya adalah kesulitan untuk menentukan kedalam kategori apa sekumpulan fakta dalam perkara harus digolongkan

b. Apa yang harus dilakukan bila dalam suatu perkara tersangkut lebih dari satu sistim hukum & masing2 menetapkan cara kualifikasi yang berbeda ( konflik kualifikasi )

Masalah utama yang dihadapi oleh HPI adalah berdasarkan sistim hukum apa kualifikasi dalam suatau perkara HPI harus dilakukan.

Contoh Sistim kasus perkawinan dimalta (the maltese matriabe case) th 1889. Yang dikenal dengan kasus Anton VS Bartolo Kasus posisi/pokok perkara sbb : Sepasang suami istri yang menikah sebelum tahun 1870 yang berdomosili di malta (Jajahan Inggris), Setelah pernikahan mereka pindah ke Aljazair (jajahan Perancis) &

memperoleh Perancis lalu suami membeli sebidang tanah di Perancis, dan setelah suami meninggal si istri menuntut ¼ bagian dari hasil tanah (usufruct right), Perkara diajukan dipengadilan Perancis (Aljasair). Dari fakta tersebut diatas terlihat titik taut (connecting factors) antara lain;

a. Inggris (Malta) adalah Locus Celebrationis (tempat diresmikannya perkawinan dengan demikian hukum yang berlaku adalah hukum dimana perkawinan itu diresmikan) sehingga hukum inggris relevan sebagai lex loci celebrationis (menjadi hukum dari tempat diresmikanya suatu perkawinan)

b. Perancis (Aljasair) adalah hukumnya relevan sebagai

- Domisilli (lex domicilli) adalah hukum dari tempat kediaman seseorang

- Nasionalitas (lex patriae) pasal 16 AB Hukum dari tempat seseorang menjadi warga negara

- Situs benda (lex situs) pasal 17 AB Hukum dari tempta dimana suatu benda berada

- Locus Forum (Lex Fori) Hukum dari tempat kejadian yang menyelesaikan perkara

Cara Penyelesaian Perkara Kasus anton vs bartolo melibatkan 2 sistim hukum yaitu Ketentuan HPI Perancis & ketentuan HPI Inggris. Sedangkan kedua ketentuan ini terdapat kesamaan sikap yakni sbb:

a. Masalah pewarisan tanah harus diatur oleh hukum dari tempat dimana tanah berada atau terletak ( pasal 17 AB ) asas lex rei sitae Pasal 16, 17 AB berlaku didunia

a. Hak-hak seorang janda yang timbul/lahir karena perkawinan (matrimonial right = hukum janda) harus diatur berdasarkan hukum dari tempat para pihak berdomisili pada saat perkawinan diresmikan (asa lex loci celebrationis)

Antara kaidah hukum perdata Inggris dan Perancis terdapat kesamaan sifat yaitu masalah pewarisan tanah harus diatur oleh hukum dari tempat dimana tanah itu terletak atau berada. Hak-hak seorang janda yang timbul/lahir karena perkawinan harus diatur berdasarkan hukum dari tempat para pihak bertempat tinggal (domisili) pada saat perkawinan diresmikan (asa lex loci selebritionis).

Yang menjadi permasalahan bagi hakim Perancis adalah sekumpulan fakta tersebut diatas bagi hukum Perancis (code sipil) digolongkan sebagai masalah pewarisan tanah sedangkan berdasarkan hukum inggris perkara akan dikualifikasikan sebagai masalah hak janda /harta perkawinan. Dari uraian diatas melahirkan pertanyaan fakta-fakta tersebut diatas harus dikualifikasikan sebagai perkaraa apa? Disinilah timbul persoalan konflik kualifikasi, berdasarkan hukum Perancis maka tuntutan janda akan ditolak sebab berdasarkan hukum Perancis seorang janda tidak berhak mewarisi harta peninggalan suaminya. Sedangkan kalau perkara tersebut di kualifikasikan berdasarkan hukum Inggris (lex loci celebritionis) maka tuntutan janda tersebut dapat dikabulkan karena berdasarkan hukum Inggris seorang janda berhak atas hasil tanah itu sebagai bagian dari harta perkawinan.

Hakim Perancis akhirnya memutuskan bahwa perkara tersebut harus dikualifikasikan sebagai masalah harta perkawinan dengan demikian ternyata

hakim Perancis menggolongkan perkara tersebut berdasarkan hukum Inggris dan hukum Inggris dalam perkara dimaksud dianggap sebagai hukum yang seharusnya berlaku lex causae. Sebagaimana telah diketahui kalau terjadi perkara HPI maka terjadi pula pembenturan atau lebih sistim hukum untuk menentukan sistim mana yang akan dipakai oleh hakim lex fori maka lahirlah berbagai teori tentang kualifikasi.

2. Macam-macam Kualifikasi

Kualifikasi terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Kualifikasi hukum

Yaitu penetapan tentang penggolongan atau pembagian seluruh kaidah hukum dalam sebuah sistem hukum kedalam pembidangan, pengelompokan dan kategori hukum tertentu.

b. Kualifikasi fakta

Yaitu penggolongan sekumpulan fakta-fakta menjadi satu atau beberapa peristiwa hukum, berdasarkan kaedah hukum yang bersangkutan.

Dalam kualifikasi dikenal beberapa bentuk teori, yaitu sebagai berikut:

a. Teori Lex Fori (Hukum sang Hakim)

Menurut Teori Lex Fori hukum intern yang digunakan adalah berdasarkan dari sistem hukum yang berlaku di wilayah pengadilan berada.

Jadi hukum sang Hakim adalah hukum intern di negara mana hakim/ pengadilan mengadili suatu perkara Hukum Perdata Internasional (HPI), dengan demikian apabila dalam suatu perkara HPI perlu dilakukan kualifikasi berdasarkan Teori Lex Fori hal berarti penafsiran terhadap suatu kejadian/fakta adalah dengan menggunakan sistem hukum dimana sengketa itu diadili.

Pengecualian Teori Lex Fori : 1) Kualifikasi kewarganegaraan

2) Kualifikasi benda bergerak/tetap, oleh Lex Rei Sitae/Lex Situs 3) Kualifikasi suatu kontrak, menurut para pihak

4) Kualifikasi perbuatan melawan hukum, memakai Lex Loci Delictie Commisi 5) Kualifikasi tehadap persetujuan dalam konvensi, semua pihak dalam

konvensi

6) Kualifikasi tentang pengertian dalam Mahkamah Internasional, menurut ketentuan umum yang berlaku untuk Mahkamah Internasional yang bersangkutan

Keunggulan dari Teori Lex Fori ini adalah bahwa suatu perkara menjadi lebih mudah diselesaikan, mengingat digunakannya konsep-konsep hukum Lex Fori yang paling dikenal oleh hakim. Kelemahan Teori Kualifikasi Lex Fori ini adalah dapat menimbulkan ketidakadilan karena, kualifikasi dijalankan menurut ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan, bahkan dengan ukuran yang sama sekali tidak dikenal oleh sistem hukum asing tersebut.

Tokoh Kualifikasi Lex Fori : 1) Franz Kahn (Jerman)

Franz Kahn mengatakan bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan Lex Fori karena :

a) Kesederhanaan (simplicity)

Pengertian, batasan dan konsep-konsep hukum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa adalah yang paling dikenal oleh hakim.

b) Kepastian (certainty)

Pihak-pihak yang berperkara mengetahui terlebih dahulu kualifikasi yang akan dilakukan oleh hakim beserta dengan konsekuensi yuridiknya.

2) Bartin (Perancis)

Bartin mengatakan bahwa kualifikasi harus dilakukan dengan Lex Fori karena :

a) Seorang hakim telah disumpah untuk menegakkan hukumnya sendiri dan bukan sistem hukum asing mana pun.

b) Pemberlakuan hukum asing hanya sebagai wujud kesukarelaan forum untuk membatasi kedaulatan hukumnya.

c) Jika hakim menghadapi lembaga hukum asing yang tidak dikenal dalam Lex Fori, ia harus menerapkan konsep hukumnya sendiri yang dianggap paling setara dengan konsep hukum asing itu.

Contoh Lex Fori Kasus Ogden Vs. Ogden (1908)

Philip, pria warga negara Perancis, berdomisili di Perancis, dan berusia 19 tahun. Philip menikah dengan Sarah (wanita) yang berkewarganegaraan Inggris. Pernikahan Philip dan Sarah dilangsungkan dan diresmikan di Inggris tahun 1898. Philip menikah dengan Sarah tanpa izin orang tua Philip. Izin ini diwajibkan oleh hukum Perancis (Pasal 148

Code Civil).Tahun 1901, Philip pulang ke Perancis dan mengajukan permohonan di pengadilan Perancis untuk pembatalan perkawinan dengan Sarah dengan alasan bahwa perkawinan itu dilangsungkan tanpa izin orang tua. Permohonan dikabulkan oleh pengadilan Perancis dan Philip kemudian menikah dengan seorang wanita Prancis di Perancis.

Sarah kemudian menggugat Philip di Inggris karena dianggap melakuan perzinahan dan meninggalkan istrinya terlantar. Gugatan ditolak karena alasan yurisdiksi. Kemudian tahun 1904, Sarah yang sudah merasa tidak terikat dalam perkawinan dengan Philip, kemudian menikah kembali dengan Ogden (WN Inggris), dan dilangsungkan di Inggris. Ditahun 1906, Ogden menganggap bahwa Sarah masih terikat dengan perkawinan dengan Philip karena berdasarkan hukum Inggris perkawinan Philip dan Sarah belum dianggap batal karena keputusan pengadilan Prancis tidak diakui di Inggris, Ogden kemudian mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dengan Sarah, dengan dasar hukum bahwa istrinya telah berpoligami.

Permohonan diajukan di pengadilan Inggris.

Proses Penyelesaian Sengketa:

Untuk menerima atau menolak permohonan Ogden, hakim harus menentukan terlebih dahulu apakah perkawinan Philip dan Sarah sah atau tidak. Pokok permasalahan dalam perkawinan Philip dan Sarah berkisar pada persoalan izin orang tua sebagai persyaratan perkawinan, terutama dalam menetapkan apakah Philip memang memiliki kemampuan hukum untuk menikah.

Untuk menerima atau menolak permohonan Ogden, hakim harus menentukan terlebih dahulu apakah perkawinan Philip dan Sarah sah atau tidak. Pokok permasalahan dalam perkawinan Philip dan Sarah berkisar pada persoalan izin orang tua sebagai persyaratan perkawinan, terutama dalam menetapkan apakah Philip memang memiliki kemampuan hukum untuk menikah.

Dalam dokumen DIKTAT KULIAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL (Halaman 32-47)

Dokumen terkait