• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

3. Teori Wewenang

Wewenang merupakan suatu istilah dalam sistem berjalannya suatu pemerintahan untuk menjalankan kekuasaannya yang bertujuan untuk kepentingan rakyat. Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi, karena pemerintahan (administrasi) baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak peme rintahan atas dasar wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (legalitiet beginselen). Istilah wewenang sebenarnya tidak dapat disejajarkan dan disamakan dengan istilah bevoegdheid dalam kepustakaan hukum Belanda, karena ke-dua istilah tersebut memiliki perbedaan yang mendasar, terutama berkaitan dengan karakter hukumnya. Berdasarkan karakternya bevoegdheid digunakan dalam konsep hukum publik dan konsep hukum privat, sedangkan wewenang hanya berlaku dalam konsep hukum publik saja.

Menurut S.F. Marbun,"wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hubungan hukum. Dengan demikian wewenang pemerintahan memiliki sifat-sifat, antara lain:

1) Express implied;

2) Jelas maksud dan tujuannya;

3) Terikat pada waktu tertentu;

4) Tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan tidak tertulis; dan 5) Isi wewenang dapat bersifat umum (abstrak) dan konkrit.

Wewenang merupakan konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi, sebab di dalam wewenang tersebut mengandung hak dan kewajiban, bahkan di dalam hukum tata negara wewenang dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtskracht), artinya hanya tindakan yang sah (berdasarkan wewenang) yang mendapat kekuasaan hukum (rechtskracht).

Berkaitan dengan kekuasaan hukum, ada dua hal yang perlu dideskripsikan, yakni berkaitan dengan keabsahan (sahnya) tindak pemerintahan dan kekuasaan hukum (rechtskracht), ke dua hal tersebut saling keterkaitan. "Sah", adalah pendapat atau pernyataan tentang sesuatu tindak pemerintahan, sedangkan "kekuasaan hukum", adalah sesuatu yang mengenai kerjanya (lingkungan dan pengaruhnya).

Suatu tindak pemerintahan sah, bilamana dapat diterima sebagai suatu bagian dari ketertiban hukum, dan suatu tindak pemerintahan mempunyai kekuasaan hukum bilamana dapat mempengaruhi pergaulan hukum.

Kesimpulannya, bahwa wewenang itu dapat mempengaruhi terhadap pergaulan hukum setelah dinyatakan dengan tegas wewenang tersebut sah, baru kemudian tindak pemerintahan tesebut mendapat kekuasaan hukum.

Di dalam hukum publik wewenang berkaitan erat dengan kekuasaan, namun tidak dapat diinterpretasikan sama.

Menurut Bagir Manan, di dalam bahasa hukum wewenang tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.21

Dalam membicarakan bagaimana kedudukan wewenang pemerintahahan terhadap jalannya pemerintahan tidak bisa dilepaskan dengan keterkaitannya penerapan asas legalitas dalam sebuah konsepsi negara hukum yang bukan berdasarkan atas kekuasaan dimana negara Indonesia seperti yang telah penulis bahwa negara Indonesia adalah demokratis atau negara yang berdasar atas hukum.

Menurut P. Nicolai, wewenang pemerintahan adalah ke mampuan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu yakni tindakan atau perbuatan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum (het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechshandelingen is handelingen die op rechtsgevolg gericht zijn en dus ertoe strekken dar bepaalde rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan).

Selanjutnya dikemukakan bahwa wewenang pemerintahan itu tersimpul adanya hak maupun kewajiban yang bersumber dari pemerintah

21 Sadjijono,”Bab-bak Pokok Hukum Administrasi”, Yogyakarta, LaksBang PRESSindo,2020, hal.61-63

dalam mengimplementasikan Tindakan atau perbuatan pemerintahan tersebut.

Menurut Bagir Manan antara tugas dan wewenang di satu pihak dengan hak dan kewajiban di pihak lain mempunyai hubungan yang bersifat fungsional satu sama lain. Sehingga penentuan tugas dan wewenang pemerintahan akan menjadi pengukur apakah hak dan kewajiban dijalankan sebagaimana mestinya atau telah terjadi tindakan atau per buatan pemerintahan yang melampaui batas kewenangan yang diberikan kepadanya (misbruik van recht), ataukah telah terjadi tindakan atau perbuatan pemerintahan berupa penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir).

Sebaliknya, hak dan kewajiban memungkinkan para pejabat pemerintahan melakukan tindakan atau perbuatan baik berupa tindakan hukum maupun tindakan atau perbuatan konkret tertentu (rechts en feitelijkehandelingen). Tanpa adanya hak dan kewajiban yang dilekatkan pada tugas wewenang pejabat pemerintahan tersebut, maka tentunya segala tugas dan wewenang tidak dapat diwujudkan secara konkret dalam bentuk tindakan atau perbuatan pemerintahan.

Selanjutnya, dapat dikemukakan bahwa jabatan itu bersifat tetap, sementara pemegang atau pemangku jabatan atau pejabat pemerintahan itu (ambtsdrager) silih berganti. Dalam konsep hukum tata negara, hal itu menjadi kelaziman oleh karena memungkinkan fungsi-fungsi yang melekat atau dilekatkan pada jabatan itu dapat terlaksana. Apalagi dianut

prinsip, bahwa tidak ada jabatan seumur hidup atau terdapat pembatasan masa jabatan sehingga harus terjadi pergantian pemangku jabatan agar tidak terjadi kekosongan jabatan guna menjalankan fungsi-fungsi yang melekat pada jabatan pemerintahan tersebut.

Oleh karena itu, harus ada sebuah pranata yang dapat digunakan untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut dengan melakukan sebuah proses pengisian jabatan.

Sehingga dengan adanya wewenang para pemerintah namun wewenang tersebut juga memiliki sifat-sifat yang berdasarkan Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa pada dasarnya wewenang pemerintahan itu dapat dijabarkan ke dalam dua pengertian, yakni sebagai hak untuk menjalan kan suatu urusan pemerintahan (dalam arti sempit) dan sebagai hak un tuk dapat secara nyata memengaruhi keputusan yang akan diambil oleh instansi pemerintah lainnya (dalam arti luas).

Peter Leyland dan Terry Woods dengan tegas menya takan, bahwa kewenangan publik mempunyai dua ciri utama yakni:

1) setiap keputusan yang dibuat oleh pejabat pemerintahan mempu nyai kekuatan mengikat kepada seluruh anggota masyarakat, dalam arti harus dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat, dan

2) Setiap ke putusan yang dibuat oleh pejabat pemerintah mempunyai fungsi publik atau melakukan pelayanan publik.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa wewenang khusus nya wewenang pemerintahan adalah kekuasaan yang ada pada peme rintah

untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berdasar peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, wewenang merupakan kekuasaan yang mempunyai landasan untuk mengambil tindakan atau perbuatan hukum tidak timbul akibat hukum, yakni terwujudnya kesewenang agar wenangan (onwetmatig).

Wewenang adalah kekuasaan hukum untuk menjalankan atau melakukan suatu tindakan atau perbuatan berdasar hukum publik. Dalam konsep hukum perdata hal tersebut dikenal dengan istilah hak, yakni kemampuan seseorang untuk melakukan suatu tindak an atau perbuatan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam praktiknya, keseluruhan pelaksanaan dari wewenang peme rintahan itu dilakukan atau dilaksanakan oleh pemerintah. Tanpa adanya wewenang pemerintahan, maka tentunya pemerintah tidak akan dapat melakukan suatu tindakan atau perbuatan pemerintahan.

Dengan kata lain, pemerintah tidak akan mungkin melakukan suatu tindakan atau perbuatan berupa pengambilan suatu keputusan atau kebijakan tanpa di landasi atau disertai dengan wewenang pemerintahan.

Jika hal tersebut dilakukan, maka tindakan atau perbuatan pemerintahan yang dimaksud dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan atau perbuatan yang tanpa dasar alias perbuatan yang sewenang-wenang (cacat hukum).

Oleh karena itu, sifat dari wewenang pemerintahan perlu ditetapkan dan dite gaskan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang

pemerintahan dan/ atau tindakan atau perbuatan yang sewenang-wewenang.

Safri Nugraha dkk. mengemukakan, bahwa sifat wewe nang pemerintahan itu meliputi tiga aspek, yakni selalu terikat pada suatu masa tertentu, selalu tunduk pada batas yang ditentukan, dan pelaksanaan wewenang pemerintahan terikat pada hukum tertulis dan tidak tertulis (asas-asas umum pemerintahan yang baik). Lebih lanjut dikemukakan bahwa sifat wewenang yang selalu terikat pada suatu masa tertentu ditentukan secara jelas dan tegas melalui suatu peraturan perundang-undangan. Lama berlakunya wewenang tersebut juga disebutkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya. Sehingga bilamana wewenang pemerintahan itu digunakan dan tidak sesuai dengan sifat wewenang pemerintahan tersebut, maka tindakan atau perbuatan pemerintahan itu bisa dikatakan tidak sah atau batal demi hukum.

Selain itu, sifat wewenang yang berkaitan dengan batas wilayah we wenang pemerintahan itu atau wewenang itu selalu tunduk pada batas yang telah ditentukan berkaitan erat dengan batas wilayah kewenangan dan batas cakupan dari materi kewenangannya. Batas wilayah kewenangan berkait erat dengan ruang lingkup kompetensi absolut dari wewenang pemerintahan tersebut.

Wewenang dari seorang menteri dalam negeri jelas akan berbeda batas wilayah kewenangannya dengan wewenang menteri kehutanan. Adapun, batas cakupan materi kewenangan nya pada dasarnya sesuai dengan yang

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemberian kewenangan tersebut. Misalnya, seorang menteri dalam negeri telah diberikan wewenang pemerintahan untuk melaksanakan fungsi dan tugas pemerintahan dalam negeri sehingga menteri dalam negeri tidak dapat mencampuri urusan lain di luar dari bidang yang telah ditentukan tersebut, seperti membuat kebijakan (policy) di bidang kehutanan.

Selanjutnya, dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat pem bagian mengenai sifat wewenang pemerintahan, yakni terdapat wewe nang pemerintahan yang bersifat terikat, fakultatif, dan bebas, terutama dalam kaitannya dengan kewenangan untuk membuat dan menerbitkan keputusan yang bersifat mengatur (besluiten) dan keputusan yang bersifat menetapkan (beschikkingen) oleh organ pemerintahan.

Oleh Indroharto dikemukakan, bahwa wewenang pemerintahan yang bersifat terikat terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan, atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus diambil. Dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar yang menentukan isi dari keputusan yang harus diambil secara terperinci, maka wewenang pemerintahan semacam ini merupakan wewenang yang bersifat terikat.

Adapun, wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan/ atau pejabat pemerintah yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat

dilakukan dalam hal-hal atau keadaan tertentu saja sebagai mana ditentukan dalam peraturan dasarnya. Wewenang pemerintahan yang bersifat bebas, terjadi ketika peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada badan/atau pejabat pemerintah untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat pemerintah untuk mengambil suatu tindakan atau perbuatan pemerintahan.

Philipus M. Hadjon dengan mengutip pendapat dari N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, membagi kewenangan bebas pemerintah an dalam dua kategori, yakni kebebasan dalam kebijaksanaan (beleidsu rijheid) dan kebebasan dalam penilaian (beoordelingsvrijheid).

Adapun yang dimaksud dengan kebebasan dalam kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit) bila peraturan perundang-undangan memberi kan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Adapun kebebasan dalam melakukan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguh nya), menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah dipenuhi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Philipus M. Hadjon menetapkan adanya dua jenis kekuasaan bebas atau diskresi, yakni: pertama, kewenangan untuk memutus secara mandiri; dan yang kedua, kewenangan

interpretasi terhadap norma-norma tersamar dalam pera turan perundang-undangan (vagenormen). Dengan kata lain, kewenangan untuk memutus atau menetapkan secara mandiri terhadap tindakan atau perbuatan seperti apa yang akan dilakukan atau diambil dan kewenangan untuk melakukan penafsiran atau interpretasi terhadap norma hukum yang samar-samar (vagenormen), seperti izin usaha dapat dibe rikan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pertanyaannya ialah seperti apakah syarat-syarat tersebut yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga pemerintahlah yang berwenang untuk menafsirkan syarat-syarat tersebut dalam pemberian izin usaha yang dimaksud.22.

Setelah dielaborasikan oleh para ahli diatas mengenai wewenang sehingga penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa suatu wewenang merupakan segala aspek kekuasaan oleh pemerintah terhadap pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan serta aktualisasinya terhadap masyarakat, namun wewenang juga tidak memberikan kekuasaan secara mutlak melainkan wewenang harus dijalankan haruslah berdasarkan system peraturan perundang-undangan yang berlaku agar setiap wewenang para pemerintah tidak dapat disalahgunakan oleh pemerintah itu sendiri, peran pemerintah sangatlah esensial dalam hal kemaslahatan melalui kinerja yang berprinsip dari hati nurani.

22 Aminuddin Ilmar, ”Hukum Tata Pemerintahan” , Jakarta, Prenadamedia Group, 2018, hal. 78-84.

Dokumen terkait