• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ANALISA DATA

ANALISIS DATA HUBUNGAN PATRON-KLIEN DALAM KELOMPOK PEMULUNG

A. Terbentuknya Hubungan Patron Klien

Pembahasan ini merupakan hasil penelitian, baik yang diperoleh dari wawancara maupun observasi. Untuk melihat proses terbentuknya hubungan patron-klien ini bermula dari individu-individu yang dahulunya tidak kenal satu sama lain atau dengan kata lain bahwa hubungan patron klien ini terjadi diantara para individu. Kemudian individu-individu tersebut menyatu dalam sebuah kelompok dan perlahan-lahan mereka saling berinteraksi satu sama lain, sehingga perlahan-lahan pula mereka saling mengenal satu sama lain. Sebagaimana yang dikutip Soerjono Soekanto mengenai terbentuknya sebuah kelompok:

“Bahwasanya suatu himpunan manusia dapat dikatakan sebagai kelompok

sosial bila memenuhi persyaratan diantaranya yaitu, setiap kelompok harus menyadari bahwa dia merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan, adanya hubungan timbal balik antar anggota yang satu dengan yang lain, adanya faktor kebersamaan (dalam bidang ekonomi, sosial dan lain-lain) guna dapat menjadi pengikat atau pemersatu sehingga

hubungan bisa lebih erat (Niniek Sri Wahyuni, 2004:72)”.

Menurut Barnes Setiap individu dapat memasuki kelompok-kelompok sosial yang ada di masyarakat dan menjalin tingkatan-tingkatan sosial berdasarkan unsur kekerabatan, ketetanggaan dan pertemanan dan ikatan-ikatan tersebut terjadi diantara mereka yang mempunyai status sosial ekonomi sepadan atau tidak

48

(Rahmat Rais 2009:130). Sehingga kekurangan-kekurangan yang ada didalamnya tidak terlihat lagi, baik di antara kelompok satu dengan kelompok lain, antar anggota maupun antar ketua kelompok dalam kedua lapak tersebut dan dapat menjadikan kelompok yang lebih baik dan lebih maju. Menurut Peter M. Blau, interaksi sosial pertama-tama muncul didalam kelompok sosial. Orang tertarik kepada kelompok tertentu, jika kelompok tersebut akan memberikan imbalan yang lebih banyak daripada bergabung dengan kelompok lain (Bernard Raho 2007:178).

Berdasarkan wawancara dari kedua ketua kelompok lapak di lapangan, terbentuknya hubungan patron-klien masing-masing kedua kelompok dalam penelitian ini diawali dari ajakan si patron kepada klien (anak buahnya) yang menganggur (tidak ada pekerjaan) di kampungnya. Ajakan tersebut dilakukan baik melalui mulut ke mulut, dari saudara-saudaranya, tetangga-tetangga sekampungnya yang terdekat maupun kerabat satu hingga yang lainnya untuk ikut kerja dengannya di lapaknya. Sehingga perlahan-lahan kemudian kedua kelompok lapak tersebut memiliki banyak anggota (Wawancara Pribadi Pak AN, 43 Tahun, 28 Agustus 2013). Anggota kedua lapak ini hampir sebagian besar berasal dari daerah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel I.H.1 (hal.24). Meskipun mereka berbeda tidak membuat mereka merasa adanya terasingkan atau terendahkan.

Kedudukan patron kedua lapak dalam penelitian ini yaitu orang yang memiliki lahan ataupun orang yang membangun gubuk-gubuk dalam suatu lapak, mengatur segalanya yang berhubungan dengan usaha di perlapakan tersebut, memberikan perlindungan bagi para kliennya dalam mengatasi masalah baik dengan orang lain maupun dengan sesama anggota dan memberikan bayaran

49

kepada anggota kelompok pemulung di tiap lapak. Sebagaimana penuturan oleh kedua ketua kelompok lapak tersebut (Pak KS, ketua kelompok lapak I):

“Ya, saya memberi perlindunganlah Mba, tapi bukan membela mereka

dari kebohongan yang mereka sampaikan. Saya hanya menjadi penengah bila mereka ada masalah sama orang lain (Wawancara Pribadi dengan Pak

KS, 31 Tahun, 24Agustus 2013).”

Selanjutnya penuturan Pak AN, ketua kelompok lapak II mengenai kedudukan patron:

“Ya ia, saya lindungi tapi bukan berarti saya belain. Saya jadi

penengahnya, kalau mereka yang salah ya akui salah, kalau orang luar yang salah ya maafin aja (Wawancara Pribadi dengan Pak AN, 43 Tahun,

28 Agustus 2013).”

Sedangkan klien yaitu orang yang bekerja pada pemilik lapak maupun pemilik lahannya, berarti ada atasan yang membawahi pekerjaan, kekuasaan, pengaruh, mencari barang-barang bekas yang masih bisa di pakai (didaur ulang) seperti, botol-botol dan gelas-gelas minuman, kardus-kardus bekas, ember-ember bolong dan lain-lainnya dan memberikan loyalitas kepada seorang patron, mereka itulah yang dikenal sebagai anggota kelompok. Sehingga dalam hubungan patron klien ini terjadi hubungan yang timpang, karena patron berkedudukan lebih tinggi dari klien, patron yang lebih berkuasa dalam urusan apapun di dalam pekerjaan atau usahanya tersebut. Penjelasan tersebut sesuai dengan yang dikutip berdasarkan hasil penelitiannya Abdul Ghofur :

“Bahwa saya pemulung yang mengelandangan atau manusia gerobak ini

bentuk ketidaksetujuan atau penolakan terhadap hubungan patron-klien yang mereka nilai tidak menguntungkan (2009:23).”

Para klien, pada umumnya mengharapkan pemberian yang lebih besar dari seorang patron dibanding pemberian dari klien kepada patron, seperti; keuntungan selain upah (THR lebaran, pinjaman uang, bayaran hasil barang

50

ini sebagaimana yang diungkapkan dari salah seorang anggota kelompok dalam lapak I (Ibu MR):

“…. mengharapkan dapatin pinjaman di suatu saat mendesak, dapat THR

yang lebih banyak dari tahun ini (Wawancara Pribadi dengan Ibu MR, 48

Tahun, 25 Agustus 2013).”

Serta ungkapan dari salah seorang anggota lapak II (Pak AB):

“… semoga tahun besok di lapak Pak AN mau ngebayarin obat-obatan

hasil pulungan saya. Biar saya bisa nambah-nambah uang makan keluarga

(Wawancara Pribadi dengan Pak AB, 35 Tahun, 31 Agustus 2013).”

Hubungan patron-klien dalam penelitian ini terdapat dua bentuk yaitu, hubungan patron-klien yang terjadi di dalam kelompok pemulung lapak itu sendiri ataupun kelompok lapak lainnya dan hubungan patron-klien antara kedua ketua kelompok (ketua kelompok I dengan ketua kelompok II). Hubungan patron-klien ini berupa hubungan antara ketua dengan anggota kelompok pemulung, baik dalam kelompok lapak I maupun kelompok lapak II dalam menjalankan usaha perlapakan yang berlangsung lama dan lebih sering terjadi. Hal ini terlihat dari sikap saling menyapa (menegur) ataupun terkadang diantara kedua kelompok ini mengadakan perkumpulan di lapak kelompok II, sebagaimana yang diungkapkan oleh Pak AN (suami ketua kelompok lapak II) ketika penelitian menanyakan tentang hubungan kekerabatan (kebersamaan) yang terjalin antara Anda dengan kalangan bawahan Anda :

“…. semuanya mau ikut serta kalau ada cara ngumpul-ngumpul bareng

anak buah yang lain. Misalnya kaya mau lebaran kemarin, sebagian besar anak buah si Wat (Istri Pak KS, ketua kelompok lapak pertama) dan anak buah saya yang sekampung dengan saya itu berangkat bareng-bareng naik bisnya (Wawancara Pribadi dengan Pak AN, 43 Tahun, 28 Agustus

2013).”

Sedangkan hubungan patron-klien yang terbentuk diantara ketua kelompok I sebagai pemilik lahan lapak yang ditempati kelompok lapak II dengan ketua

51

kelompok II, sebagai penyewa lahan, berdasarkan observasi dalam penelitian ini, hubungan patron-klien yang terjadi diantara ketua kelompok lapak I dengan kelompok lapak II tidak secara terus-menerus dan berlangsung sangat cepat, ini berupa pembayaran sewaan lapak yang dilakukan oleh suami dari ketua kelompok II (Pak AN) sebesar Rp 200.000/bulan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Pak AN, ketika peneliti menyanyakan mengenai harapan yang diinginkan dari si pemilik lahan lapak yang ditempatinya:

“Jangan dinaikkin lagi harganya, Rp 200.000/bulan juga dah besar dan

harapan saya bisa membeli mobil bak terbuka untuk mengganti-mengganti mobil bak saya yang udah rusak untuk mengangkut barang-barang

pulungan yang udah siap dijual ke pabriknya.” (Wawancara Pribadi

dengan Pak AN, 43 Tahun, 28 Agustus 2013).”

Sehingga, berdasarkan uraian-uraian diatas hubungan patron-klien yang lebih sering terjadi di dalam penelitian ini adalah hubungan patron-klien dalam kelompok lapak pemulung itu sendiri, baik itu yang dilakukan oleh kelompok I maupun kelompok II.

Selanjutnya, berdasarkan temuan di lapangan, hubungan patron-klien yang terjadi di dalam masing-masing kelompok maupun diantara kedua kelompok didasarkan pada hubungan kekerabatan kekeluargaan, meskipun hubungan tersebut bukan hubungan se-darah (se-kandung) atau sekampung. Hal tersebut terlihat dari hasil pengamatan peneliti yang tidak pernah menemukan pertentangan maupun perkelahian diantara kedua kelompok lapak tersebut, yang sesuai dengan penuturan ketua kelompok lapak II (Pak AN), saat ketika ditanya mengenai pernahkah di lapak ini terjadi pertentangan, baik dengan masyarakat sini maupun kelompok lapak yang lain:

“Kalau perkelahian tonjok-tonjokkan sih gak pernah, tapi kalau

52

becanda (Wawancara Pribadi dengan Pak AN, 43 Tahun, 28 Agustus

2013).”

Selain itu, didalam hubungan patron-klien ini juga terdapat dua unsur yang terkandung didalam hubunganpatron-klien iniyaitu; unsur ketergantungan dan unsur pertukaran. Unsur ketergantungan itu terjadi karena satu sama lain saling membutuhkan dalam proses pertukaran dimana patron membutuhkan klien untuk menjalankan usahanya agar berjalan lancar. Pada saat yang bersamaan secara timbal balik klien yang mengharapkan pemberian bantuan dari seorang patron dalam memenuhi kebutuhannya. Unsur proses pertukaran.. Di dalam hubungan patron-klien ini terdapat perbedaan kedudukan, ini memungkinkan seorang patron memperoleh keuntungan lebih dengan menjual kembali barang-barang yang diperoleh dari pekerjaan klien mengumpulkan barang-barang bekas tersebut. Untuk mendapatkan keuntungan tersebut klien mendapatkan pembayaran jasa pengumpulan barang-barang lebih murah dibanding harga jual yang nantinya dilakukan oleh patron. Dengan kata lain ada dua jenis proses pertukaran. Pertama adalah Jual beli yang dilakukan oleh patron dengan klien. Kedua, adalah penjualan barang-barang yang telah didapat dengan klien dengan harga yang berbeda dengan transaksi yang dilakukan sebelumnya. Pada proses ini patron menjual barang yang didapat dari klien kepada pihak lain dengan harga yang lebih tinggi dari harga beli sebelumnya..

Seorang ketua (patron) akan mengeluarkan klien dari kelompoknya jika salah satu dari mereka melanggar perintahnya. Salah satu sebab adalah jika klien menjual barang yang telah dikumpulkannya kepada lapak lain. Patron (ketua kelompok ini) masih dapat bertahan hidup untuk beberapa waktu yang lama, karena ia telah banyak mengumpulkan keuntungannya sewaktu usahanya berjalan

53

(Franz Magis-Suseno 1999:114). Sebaliknya seorang klien akan mencari seorang patron baru, jika apa yang diharapkan atau diinginkan dari seorang patron tidak terwujud.

Kenyataan ini terlihat di lapangan, bahwa di dalam kelompok pemulung lapak II pernah terjadi pengusiran dan pemberhentian yang dilakukan ketua kelompok lapak II dengan anggota kelompoknya, disebabkan oleh tindakan ketidakpatuhannya dalam menjual barang-barang pulungan yang mereka peroleh (menjual barang pulungan ke lapak atau orang lain). Jadi, bahwasanya pihak klien ini melanggar kepercayaan yang telah diberikan oleh patron, sehingga secara tegas seorang patron memberikan hukuman pada klien berupa pengusiran secara halus dan pemberhentian anggota dari kelompoknya. Sebagaimana yang dituturkan oleh Pak AN, ketua kelompok pemulung lapak II:

“… tahun kemarin ada 3 orang keluar dari lapak ini. karena dia makan, tidur di lapak saya, tapi barang-barang hasil pulungan mereka, mereka jual ke lapak lain. seminggu setelah orang pertama dikeluarin, seminggunya lagi setelah itu ada yang saya keluarin lagi dan 2 minggu setelah orang kedua dikeluarin ada yang saya keluarin lagi, gara-gara masalah yang sama (Wawancara Pribadi dengan Pak AN, 43 Tahun, 28 Agustus 2013).”

Dengan kata lain, berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas mengenai hubungan patron-klien bahwasanya menurut Paloma dalam bukunya Bustam (2008) menyatakan bahwa hubungan patron-klien terjadi antar satu sama lain individu (pemulung) tersebut tertarik pada pertukaran yang mengharapkan balasan baik bersifat ekstrinsik berupa uang, barang-barang atau jasa (2003:82) dan intrinsik ( cinta, kasih sayang dan penghormatan) (George Ritzer and Douglas J. Goodman 2004:459).

54

B. Unsur-Unsur Yang Membentuk Hubungan Patron-Klien Dalam