• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DESKRIPSI TEORITIS DAN KERANGKA PIKIR

A. Deskripsi Teoritis

3. Tes Diagnostik

a. Definisi Tes Diagnostik

Diagnosis merupakan suatu istilah yang diadopsi dari bidang medis. Menurut Thorndike dan Hagen, diagnosis dapat diartikan sebagai:35

35 Abin S. Makmun,

Psikologi Kependidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 307.

21

1) Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit (weakness, disease) apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi yang seksama mengenai gejala-gejalanya (symptons);

2) Studi yang seksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan karakteristik atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial;

3) Keputusan yang dicapai setelah dilakukan suatu studi yang seksama atas gejala-gejala atau fakta tentang suatu hal.

Diagnosis adalah proses yang kompleks dalam suatu usaha untuk menarik kesimpulan dari hasil-hasil pemeriksaan gejala-gejala, perkiraan penyebab, pengamatan dan penyesuaian dengan kategori secara baik.36 Dalam bidang pendidikan diagnosis merupakan keputusan yang diambil setelah dilakukan analisis dari suatu pengolahan data. Diagnosis dapat berupa keputusan mengenai kesulitan belajar yang dialami siswa, keputusan mengenai faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab kesulitan belajar siswa, dan keputusan mengenai faktor utama penyebab kesulitan belajar siswa.

Sedangkan tes diagnostik itu sendiri adalah tes yang digunakan untuk menilai pemahaman konsep yang dimiliki siswa, terutama kelemahan (miskonsepsi) yang dalami siswa terhadap suatu konsep tertentu dan mendapatkan masukan tentang respon siswa untuk memperbaiki kelemahannya tersebut. Tes diagnosis berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi siswa, termasuk kesalahan pemahaman konsep.37 Bagi guru tes diagnostik ini berfungsi untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi pada siswa. Sedangkan bagi siswa, berfungsi untuk memotivasi siswa untuk memperoleh jawaban yang benar setelah melakukan tes diagnostik tersebut.

b. Penaksiran Diagnosis

Menurut Nitko & Brookhart (2007: 296) ada enam pendekatan penaksiran diagnostik terkait dengan masalah pembelajaran, yaitu:38

36

Suwarto, Pengembangan Tes Diagnosis dalam Pembelajaran, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2013), h. 90.

37

Ibid., h. 94.

38

22

1) Pendekatan profil kekuatan dan kelemahan kemampuan pada suatu bidang Pada pendekatan ini, suatu mata pelajaran sekolah dbagi kedalam bagian-bagian, dimana masing-masing bagian dianggap sebagai cirri atau kemampuan yang terpisah. Hasil diagnosis dilaporkan sebagai suatu profil kekuatan dan kelemahan siswa. Langkah-langkah melakukan penaksiran diagnostik jenis ini, yatu: (a) kenali dua atau lebih bidang kemampuan yang diinginkan untuk membuat profil setiap siswa, (b) buatlah butir-butir untuk mengukur konsep-konsep dasar pada masing-masing bidang, (c) himpunlah soal-soal ke dalam sub-subtes yang terpisah, dan (d) kelola masing-masing subtes secara terpisah, dan gunakan petunjuk dan pemilihan waktu secara terpisah.

2) Pendekatan mengidentifikasi kekurangan pengetahuan prasyarat

Pendekatan ini mengeksplorasi apakah siswa-siswi tertinggal dikarenakan mereka tidak memiliki pengetahuan atau keahlian khusus yang dibutuhkan untuk memahami pelajaran yang akan datang. Langkah-langkah penaksiran diagnostik jenis ini, yaitu: membuat suatu hierarki dari suatu target pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa, melakukan analisis untuk mengidentifikasi prasyarat-prasyarat yang harus dipahami oleh siswa untuk mencapai target pembelajaran tersebut. Untuk masing-masing prasyarat yang diidentifikasi, kemudian dianalisis lagi sehingga diperoleh suatu hierarki prasyarat.

3) Pendekatan mengidentifikasi target-target pembelajaran yang tidak dikuasai Pendekatan ini memusatkan penaksiran pada target-target yang penting dan spesifik dari tujuan pembelajaran yang diharapkan. Tes-tes pendek dibuat untuk menngukur keberhasilan dari masing-masing target pembelajaran. Informasi diagnostik yang ingin diperoleh dari pendekatan ini adalah suatu daftar target pembelajaran yang sudah dikuasai atau tidak dikuasai oleh siswa. Langkah-langkah pendekatan jenis ini meliputi: (a) Mengenal dan menulis pernyataan-pernyataan target pembelajaran yang merupakan hasil pembelajaran. (b) Untuk setiap target pembelajaran, buatlah empat sampai delapan butir soal. (c) Jika memungkinkan, mintalah guru lain untuk mengulas setiap butir soal dan menaksir kecocokan butir soal dengan target

23

pembelajaran. (d) Kelompokkan butir-butir soal ke dalam suatu tes tunggal jika target pembelajaran relatif pendek (kurang dari enam). (e) Berikan label lulus untuk setiap target pembelajaran jika nilai siswa telah melebihi dari passing grade yang telah ditentukan. (f) Lakukan penaksiran pada setiap siswa. setelah melakukan penaksiran, nilailah target-target pembelajaran secara terpisah.

4) Pendekatan pengidentifikasian kesalahan siswa

Tujuan pendekatan ini adalah untuk mengidentifikasi kekeliruan-kekeliruan siswa. Ketika guru mengidentifikasi dan mengklasifikasi kekeliruan siswa, selanjutnya guru dapat memberikan pelajaran remedi. Mewawancarai siswa adalah cara terbaik untuk menemukan banyak kekeliruan pada siswa. guru dapat meminta siswa untuk menjelaskan bagaimana mereka menyelesaikan sebuah soal, menjelaskan mengapa mereka menjawab seperti itu, memberitahukan aturan untuk menyelesaikan suatu soal.

5) Pendekatan mengidentifikasi struktur pengetahuan siswa

Mengidentifikasi struktur pengetahuan siswa dapat dilakukan dengan menggunakan peta konsep. Peta konsep ini menunjukkan bahwa siswa tersebut memiliki pengetahuan yang benar-benar terorganisir dengan baik mengenai konsep-konsep pada unit pelajaran. Bagaimana seorang siswa berpikir mengenai konsep-konsep dan keterkaitan hubungan konsep-konsep tersebut. Bagaimana siswa melihat konsep tersebut diatur, dan bagaimana kemungkinan konsep-konsep tersebut dihubungkan dengan konsep-konsep lain yang telah dipelajari siswa. Hal ini bisa membantu guru menjelaskan mengapa siswa membuat kekeliruan, atau mengapa mereka memiliki kesulitan dalam menyelesaikan soal.

6) Pendekatan mengidentifikasi kompetensi untuk menyelesaikan soal cerita Pendekatan ini berpusat pada pendiagnosisan apakah siswa memahami komponen-komponen soal cerita. Diagnosis di dalam pendekatan ini adalah untuk mengidentifikasi siswa yang tidak dapat menyelesaikan soal cerita dan apakah kekurangan mereka terletak pada pengetahuan linguistik dan faktual, pengetahuan skematis, pengetahuan strategis, atau pengetahuan alogaritmis.

24

c. Fungsi Tes Diagnostik

Tes diagnostik memiliki dua fungsi utama, yaitu:39 1) mengidentifikasi masalah atau kesulitan yang dialami siswa.

2) merencanakan tindak lanjut berupa upaya-upaya pemecahan sesuai masalah atau kesulitan yang telah teridentifikasi.

d. Karakateristik Tes Diagnostik

Tes diagnostik memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:40

1) dirancang untuk mendeteksi kesulitan belajar siswa, karena itu format dan respons yang dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik

2) dikembangkan berdasar analisis terhadap sumber-sumber kesalahan atau kesulitan yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah (penyakit) siswa

3) menggunakan soal-soal bentuk supply response (bentuk uraian atau jawaban singkat), sehingga mampu menangkap informasi secara lengkap. Bila ada alasan tertentu sehingga mengunakan bentuk selected response (misalnya bentuk pilihan ganda), harus disertakan penjelasan mengapa memilih jawaban tertentu sehingga dapat meminimalisir jawaban tebakan, dan dapat ditentukan tipe kesalahan atau masalahnya

4) disertai rancangan tindak lanjut (pengobatan) sesuai dengan kesulitan (penyakit) yang teridentifikasi.

e. Langkah-langkah Pengembangan Tes Diagnostik

Di bawah ini diuraikan secara garis besar langkah-langkah pengembangan tes diagnostik berangkat dari kompetensi dasar yang bermasalah.41

1) Mengidentifikasi kompetensi dasar yang belum tercapai ketuntasannya. Tes diagnostik dilakukan untuk mendiagnosis kesulitan atau masalah belajar yang dialami oleh siswa. Kesulitan belajar tersebut mengacu pada kesulitan

39

DEPDIKNAS, Tes diagnostik, (Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah-Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, 2007).

40 Ibid. 41

25

untuk mencapai kompetensi dasar, karena itu sebelum menyusun tes diagnostik harus diidentifikasi terlebih dahulu kompetensi dasar-kompetensi dasar manakah yang tidak tercapai tersebut. Untuk mengetahui tercapainya suatu kompetensi dasar dapat dilihat dari munculnya sejumlah indikator, karena itu bila suatu kompetensi dasar tidak tercapai, perlu didiagnosis indikator-indikator mana saja yang tidak mampu dimunculkan. Mungkin saja masalah hanya terjadi pada indikator-indikator tertentu, maka cukup pada indikator-indikator itu saja disusun tes diagnostik yang sesuai.

2) Menentukan kemungkinan sumber masalah

Setelah kompetensi dasar atau indikator yang bermasalah teridentifikasi, mulai ditemukan (dilokalisasi) kemungkinan sumber masalahnya. Dalam pembelajaran sains, terdapat tiga sumber utama yang sering menimbulkan masalah, yaitu: a) tidak terpenuhinya kemampuan prasyarat; b) terjadinya miskonsepsi; dan c) rendahnya kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Di samping itu juga harus diperhatikan hakikat sains yang memiliki dimensi sikap, proses, dan produk. Sumber masalah bisa terjadi pada masing-masing dimensi tersebut.

3) Menentukan bentuk dan jumlah soal yang sesuai

Perlu dipilih alat diagnosis yang tepat berupa butir-butir tes diagnostik yang sesuai. Butir tes tersebut dapat berupa tes pilihan, esai (uraian), maupun kinerja (performa) sesuai dengan sumber masalah yang diduga dan pada dimensi mana masalah tersebut terjadi.

4) Menyusun kisi-kisi soal

Sebelum menulis butir soal dalam tes diagnostik harus disusun terlebih dahulu kisi-kisinya. Kisi-kisi tersebut setidaknya memuat: a) kompetensi dasar beserta indikator yang diduga bermasalah; b) materi pokok yang terkait; c) dugaan sumber masalah; d) bentuk dan jumlah soal; dan e) indikator soal. 5) Menulis soal

Sesuai kisi-kisi soal yang telah disusun kemudian ditulis butir-butir soal. Soal tes diagnostik tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan butir soal tes yang lain. Jawaban atau respons yang diberikan oleh siswa harus memberikan

26

informasi yang cukup untuk menduga masalah atau kesulitan yang dialaminya (memiliki fungsi diagnosis). Pada soal uraian, logika berpikir siswa dapat diketahui guru dari jawaban yang ia tulis, tetapi pada soal pilihan siswa perlu menyertakan alasan atau penjelasan ketika memilih option (alternatif jawaban) tertentu.

6) Mengulas soal

Butir soal yang baik tentu memenuhi validitas isi, untuk itu soal yang telah ditulis harus divalidasi oleh seorang pakar di bidang tersebut. Bila soal yang telah ditulis oleh guru tidak memungkinkan untuk divalidasi oleh seorang pakar, soal tersebut dapat direviu oleh guru-guru sejenis dalam MGMPS atau setidaknya oleh guru-guru mata pelajaran serumpun dalam satu sekolah. 7) Menyusun kriteria penilaian

Kriteria penilaian memuat rentang skor yang menggambarkan pada rentang berapa saja siswa didiagnosis sebagai mastery (tuntas) yaitu sudah menguasai kompetensi dasar atau belum mastery yaitu belum menguasai kompetensi dasar tertentu, atau berupa rambu-rambu bahwa dengan jumlah type error (jenis kesalahan) tertentu siswa yang bersangkutan dinyatakan ber”penyakit” sehingga harus diberikan perlakuan yang sesuai.

Menurut Nichols (1994) terdapat lima langkah pengembangan tes diagnostik yang bertujuan untuk penilaian kognitif, yaitu: (1) Berdasarkan konstruksi teori yang subtansif. Teori yang subtansif merupakan dasar dalam pengembangan tes berdasarkan penilaian atau ulasan penelitian; (2) seleksi desain. Desain pengukuran digunakan untuk membuat konstruk butir yang dapat direspons dengan baik oleh peserta tes berdasarkan pengetahuan, keterampilan yang spesifik atau karakteristik lain sesuai teori; (3) administrasi tes. Administrasi tes meliputi beberapa aspek yaitu format butir, teknologi yang digunakan untuk membuat alat tes, situasi lingkungan pada waktu pengetesan dan sebagainya; (4) skoring hasil tes yaitu penentuan nilai tes yang telah dilakukan; (5) revisi, proses

27

penyesuaian antara teori dan model, apakah tes yang dikembangkan mendukung teori atau tidak jika tidak maka harus drevisi.42

f. Penskoran dan Penafsiran Tes Diagnostik

Di bawah ini diuraikan beberapa hal yang harus diperhatikan ketika melakukan penskoran dan penafsiran hasil tes diagnostik.43

1) Selain memberikan hasil kuantitatif berupa skor tertinggi bila responsnya lengkap dan skor terendah bila responsnya paling minim, kegiatan penskoran juga harus mampu merekam jenis kesalahan (type error) yang ada dalam respons siswa. Siswa dengan skor sama, misalnya sama-sama 0 (berarti responsnya salah) belum tentu memiliki type error yang sama juga, karena itu mengidentifikasi penyebab terjadinya kesalahan jauh lebih bermakna dibandingkan dengan menentukan berapa jumlah kesalahannya atau berapa skor total yang dicapainya. Hasil identifikasi type error menjadi dasar interpretasi yang akurat.

2) Untuk memudahkan identifikasi dan analisis terhadap berbagai type error yang terjadi, setiap type error dapat diberi kode yang spesifik, sesuai selera guru asalkan konsisten, misalnya:

A = terjadi miskonsepsi

B = kesalahan mengubah satuan C = kesalahan menggunakan formula D = kesalahan perhitungan

dan seterusnya.

3) Bila tes diagnostik terhadap suatu indikator dibangun oleh sejumlah butir soal perlu ditentukan batas pencapaian untuk menentukan bahwa seorang siswa itu dinyatakan bermasalah. Juga perlu ditentukan batas toleransi untuk jumlah dan jenis type error yang boleh terjadi. Batas pencapaian ini dapat ditentukan sendiri oleh guru berdasar pengalamannya atau berdiskusi dengan guru-guru serumpun.

42 Suwarto,

Pengembangan Tes Diagnosis dalam Pembelajaran, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2013), h. 126.

43 DEPDIKNAS, op. cit.

28

4) Penskoran terhadap butir soal pemecahan masalah (problem solving) hendaknya mampu merekam setiap kemampuan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah tersebut, meliputi: kemampuan menerjemahkan masalah ke dalam bahasa sains (linguistic knowledge); kemampuan mengiden-tifikasi skema penyelesaian masalah (schematic knowledge); kemampuan mengidentifikasi tahapan-tahapan penyelesaian masalah (strategy knowledge); dan kemampuan melakukan tahapan-tahapan penyelesaian masalah (algorithmic knowledge). Masing-masing komponen kemampuan di atas mendapat skor sesuai kompleksitas cakupannya dan dapat berbeda antara soal satu dengan lainnya.

5) Tes diagnostik menggunakan acuan kriteria (criterion- referenced), karena hasil tes diagnostik yang dicapai oleh seorang siswa tidak digunakan untuk membandingkan siswa tersebut dengan kelompoknya melainkan terhadap kriteria tertentu sehingga ia dapat diklasifikasikan “sakit dan membutuhkan terapi” ataukah “sehat” sehingga dapat mengikuti kegiatan pembelajaran berikutnya.

g. Menindaklanjuti Hasil Tes Diagnostik

Kegiatan guru menindaklanjuti hasil tes diagnostik siswanya, tindak lanjut tersebut berupa perlakuan-perlakuan yang sesuai dengan permasalahan atau kesulitan yang dihadapi siswa. Kegiatan tindak lanjut untuk menyelesaikan permasalahan siswa, tidak hanya tertuju kepada siswa itu sendiri, melainkan juga kepada semua pihak yang terkait dengan kegiatan pembelajaran dan berkontribusi menimbulkan permasalahan siswa.

Di bawah ini diuraikan beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat menindaklanjuti hasil tes diagnostik dengan baik.44

1) Kegiatan tindak lanjut dilakukan betul-betul berdasarkan hasil analisis tes diagnostik secara cermat. Tindak lanjut tidak selalu berupa kegiatan remidial di kelas, tetapi dapat juga berupa tugas rumah, observasi lingkungan, kegiatan tutor sebaya, dan lain-lain sesuai masalah atau kesulitan yang dihadapi siswa.

44 Ibid.

29

Kegiatan tidak lanjut juga tidak selalu dilakukan secara individu, tetapi dapat juga dilakukan secara kelompok bergantung pada karakteristik masalah yang dihadapi siswa.

2) Mengatasi permasalahan yang disebabkan oleh miskonsepsi membutuhkan kesabaran, keuletan, dan kecerdasan guru. Penelitian Berg (1991) menunjukkan bahwa miskonsepsi sulit bila hanya diatasi melalui informasi atau penjelasan, oleh karena itu perlu dirancang aktivitas atau pengamatan secara langsung untuk memperbaikinya.

3) Kegiatan tindak lanjut diberikan secara bertahap dan berkelanjutan. Tes diagnostik pada hakikatnya merupakan bagian dari ulangan harian, maka pelaksanaannya juga perlu diatur sehingga tidak tumpangtindih (overlapping) dan tidak memberatkan siswa maupun guru.

4) Perlu dirancang program sekolah yang mendukung dan memberikan kemudahan bagi guru untuk mengadministrasi, melaporkan, dan menindak-lanjuti hasil tes diagnostik, misalnya penyediaan sarana dan tenaga teknis, pemberian insentif atau penghargaan, dan program-program lain yang mendukung profesionalitas guru, misalnya lokakarya, workshop, dan penelitian yang mengangkat hasil-hasil tes diagnostik. Selain untuk evaluasi di sekolah, bila memungkinkan hasil analisis tes diagnostik juga dikirimkan atau dilaporkan kepada orang tua siswa, sehingga secara bersama-sama dapat membantu siswa dalam memecahkan masalahnya.

Dokumen terkait