PENGEMBANGAN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA
DUA TINGKAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI
MISKONSEPSI PADA KONSEP GERAK DUA DIMENSI
(Penelitian Deskriptif pada Siswa Kelas XI di SMAN 2 Kabupaten Tangerang)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: Sri Rahayu NIM 1110016300014
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iv ABSTRAK
Sri Rahayu, “Pengembangan Tes Diagnostik Pilihan Ganda Dua Tingkat umtuk Mengidentifikasi Miskonsepsi pada Materi Gerak Dua Dimensi. Skripsi, Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Kegurua, Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis miskonsepsi fisika
siswa pada konsep gerak dua dimensi dengan menggunakan tes diagnostik pilihan
ganda dua tingkat. Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif
dengan instrumen tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat, yang terdiri dari tes
pilihan ganda beralasan terbuka dan tes pilihan ganda beralasan tertutup. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa persentase siswa yang mengalami miskonsespsi
sebesar 44,25% dari 40 siswa yang diteliti. Indikator atau sub pokok bahasan yang
mengalami miskonsepsi pada bahan kajian gerak dua dimensi (gerak parabola dan
gerak melingkar) terdapat pada indikator menganalisis vektor posisi, kecepatan
dan percepatan gerak parabola; dan indikator merumuskan hubungan posisi,
kecepatan dan percepatan gerak parabola.
v ABSTRACT
Sri Rahayu, “Development Two-Tiers Multiple-Choice Diagnostic Test for Identifying Student’s Misconception about Two-Dimensional Motion Concept.
Undergraduate Thesis, Physics Education Programm, Science Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training of Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta.
This study aims to identifying physics student misconceptions about two-dimensional motion concept with two-tiers multiple-choice diagnostic test. The method used is the method of the study’s descriptive with two-tiers multiple-choice diagnostic test which consists of multiple multiple-choice with open reasoning instrument and multiple choice close reasoning instrument. Based on the result analysis shows that the percentage of student who had misconceptions 44,25% of the number of participants 40 students. The indicator or sub subject who had misconceptions about two-dimensional motion concept is analysis of the position vector, velocity and acceleration parabolic motion: and indicator formulate relationships of position, velocity and acceleration parabolic motion.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alakum Wr.Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat,
iman dan Islam kepada hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi besar Muhammad saw yang telah membawa umatnya ke jalan yang
terang.
Penulis sangat menyadari bahwa selesainya penyusunan skripsi yang berjudul
“Pengembangan Tes Diagnostik Pilihan Ganda Dua Tingkat untuk
Mengidentifikasi Miskonsepsi pada Konsep Gerak Dua Dimensi” ini tidak
terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Orang tua penulis khususnya Bapak dan Ibu tercinta, Bapak Anim dan Ibu
Rakbiyah yang tak henti-hentinya mendoakan dan memberikan dukungannya baik
moril maupun materil kepada penulis. Kedua kakakku, Rakhman dan Khaeriah
yang telah memberikan doa dan dukungannya lahir dan batin selama penulis
menempuh pendidikan. Seluruh keluarga besar yang memberikan penulis
kekuatan untuk tetap semangat menyelesaikan pendidikan.
2. Ibu Baiq Hana Susanti, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPA Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Iwan Permana Suwarna, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Program Studi
Pendidikan Fisika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Kinkin Suartini, M.Pd, selaku dosen pembimbing I yang telah banyak
memberikan saran dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Ai Nurlaela, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang telah banyak
vii
6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan IPA Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang sudah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama
penulis menempuh perkuliahan, semoga ilmu yang Bapak/Ibu berikan mendapat
keberkahan dari Allah SWT.
7. Kepala SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang yang sudah memberikan izin kepada
penulis untuk melakukan penelitian.
8. Seluruh dewan guru SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang khususnya ibu Fatiah
selaku guru mata pelajaran fisika yang telah memberikan bimbingannya kepada
penulis selama penelitian.
9. Siswa dan siswi SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang khususnya kelas XI MIA.5.
10.Teman-teman fisika angkatan 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
semoga kita tetap menjadi keluarga sampai kapan pun, semangat untuk kita
semua.
11.Para sahabat tercinta, Anaa Shalihah, Eka Safitri, Yani Astuti, Siti Qurrotu Uyun,
Yessi Fauzia Rahmi, dan Redha Rara Amelia yang selalu memberikan dukungan
dan selalu ada untuk penulis disaat paling terpuruk sekalipun.
12.Teman-teman satu kamar, Caca, Nia, Okta, dan Tia yang sudah memberikan
dukungan dan doa serta selalu setia mendengarkan curahan hati penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Meskipun
demikian penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam mengerjakannya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca
pada umumnya.
Jakarta, Februari 2015
Penulis
viii DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ………...i
LEMBAR PENGESAHAN MUNAQASAH ………...ii
LEMBAR PENGESAHAN KARYA SENDIRI ………iii
ABSTRAK …...………...iv
ABSTRACT ……….v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ………..……….………… ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Pembatasan Masalah ... 5
D. Rumusan Masalah ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 6
F. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II DESKRIPSI TEORITIS DAN KERANGKA PIKIR ... 7
A.Deskripsi Teoritis ... 7
1. Konsep Fisika ... 7
a. Definisi Konsep ... 7
b. Perolehan Konsep ... 9
c. Pencapaian Konsep ... 10
ix
a. Definisi Miskonsepsi ... 12
b. Penyebab Miskonsepsi ... 14
c. Teknik Mendeteksi Miskonsepsi ... 16
d. Cara Mendorong Konstruksi Pengetahuan Dan Perubahan Konseptual ... 18
3. Tes Diagnostik ... 20
a. Definisi Tes Diagnostik ... 20
b. Penaksiran Diagnosis ... 21
c. Fungsi Tes Diagnostik ... 24
d. Karakateristik Tes Diagnostik ... 24
e. Langkah-langkah Pengembangan Tes Diagnostik ... 24
f. Penskoran dan Penafsiran Tes Diagnostik ... 27
g. Menindaklanjuti Hasil Tes Diagnostik ... 28
4. Tes Diagnostik Plihan Ganda Dua Tingkat ... 29
5. Gerak Dua Dimensi ... 30
a. Kompetensi Dasar ... 30
b. Karakteristik Konsep ... 30
c. Peta Konsep ... 31
d. Uraian Materi ... 31
6. Penelitian Relevan ... 35
B. Kerangka Pikir ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 40
A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 40
B. Metode Penelitian ... 40
C. Desain Penelitian ... 40
D. Variabel Penelitian ... 40
E. Prosedur Penelitian ... 41
x
G. Teknik Analisis Data ... 45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47
A. Hasil penelitian ... 47
1. Hasil Tes Tertulis ... 47
2. Hasil Wawancara ... 55
B. Pembahasan ... 59
1. Analisis Data Hasil Tes Tertulis ... 59
2. Analisis Dimensi Konsep ..……….. 65
3. Jenis Miskonsepsi Ditinjau dari Dimensi Konsep ………....69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 71
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Persamaan-Persamaan Umum Gerak Kinematika untuk Percepatan
Konstan Dalam Dua Dimensi ……… 32
Tabel 2.2 Persamaan-Persamaan Gerak Kinematika Untuk Gerak Parabola (y positif arah ke atas; ax = 0, ay = -g = -9,8 m/s2) ……… 33
Tabel 3.1 Pedoman Penafsiran Validitas dan Reliabilitas ……… 44
Tabel 3.2 Indeks Kesukaran Butir Soal ……… 44
Tabel 3.3 Indeks Daya Pembeda ………... 45
Tabel 4.1 data jumlah jawaban benar yang diperoleh siswa ……… 47
Tabel 4.2 data skor jawaban siswa berdasarkan kriteria penskoran ………. 49
Tabel 4.3 keterkaitan kriteria paham konsep, miskonsepsi dan tidak paham konsep dengan kriteria jawaban siswa ………... 51
Tabel 4.4 persentase paham konsep, miskonsepsi dan tidak paham konsep berdasarkan nomor soal ………. 52
Tabel 4.5 perhitungan persentase miskonsepsi berdasarkan indikator atau sub pokok bahasan ……….. 54
Tabel 4.6 Analisis Dimensi Konsep Atribut ………...………...65
Tabel 4.7 Analisis Dimensi Konsep Struktur …………...……….66
Tabel 4.8 Analisis Dimensi Konsep Keabstrakan ………...………..67
Tabel 4.9 Analisis Dimensi Konsep Keinklusifan ……….67
Tabel 4.10 Analisis Dimensi Konsep Generalitas ………...………..68
Tabel 4.11 Analisis Dimensi Konsep Ketepatan …………...………...68
Tabel 4.12 Analisis Dimensi Konsep Kekuatan ………...……….69
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Peta Konsep ………31
Gambar 2.2 Lintasan Gerak Parabola ………32
Gambar 2.3 Gerak Melingkar Beraturan ………...34
Gambar 2.4 Gerak Melingkar Berubah Beraturan ………35
Gambar 2.5 Bagan Kerangka Pikir ………....39
Gambar 4.1 diagram persentase pemahaman siswa secara keseluruhan ………...51
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ………..75
Lampiran 2: Kisi Penulisan Instrumen Tes ………..96
Lampiran 3: Kisi Instrumen Tes ………...97
Lampiran 4: Instrumen Validitas ………115
Lampiran 5: Instrumen Tes Pilihan Ganda Beralasan Terbuka ………..121
Lampiran 6: Instrumen Tes Beralasan Tertutup ……….126
Lampiran 7: Analisis Hasil Uji Coba Instrumen Tes ………..133
Lampiran 8: Rekapitulasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes ………...139
Lampiran 9: Pemetaan Jawaban Siswa Berdasarkan Kriteria Jawaban ……...140
Lampiran 10: Perhitungan Persentase Pemahaman Konsep Secara Keseluruhan ………...142
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep adalah cara mengelompokkan dan mengkategorikan secara mental
berbagai objek atau peristiwa yang mirip dalam hal tertentu. Konsep merupakan
inti pemikiran seseorang. Konsep meningkatkan pemikiran seseorang dalam
beberapa cara, salah satunya konsep mengurangi kompleksitas dunia. Konsep juga
dapat mengklasifikasikan objek dan peristiwa yang sama sehingga menjadi lebih
sederhana, dan lebih mudah dipahami. Konsep membantu dalam menarik sebuah
kesimpulan pada situasi-situasi baru. Selain itu, konsep kadang-kadang
memadatkan berbagai macam informasi menjadi informasi tunggal.1
Siswa mempelajari konsep baru setiap harinya di sekolah. Siswa
mendapatkan beberapa konsep tertentu dengan cepat dan mudah. Konsep-konsep
lainnya mereka dapatkan secara perlahan-lahan dan terus dimodifikasi seiring
waktu. Sementara itu, mereka sudah memiliki sedikit pemahaman mengenai
konsep-konsep tersebut meskipun belum sepenuhnya. Di kelas, siswa
mengkonstruksi makna dan tafsiran mereka di setiap konsep atau materi pelajaran
yang sedang mereka pelajari. Siswa menghubungkan pengetahuan sebelumnya
dengan gagasan-gagasan baru yang mereka dapatkan kemudian menarik
kesimpulan. Ketika siswa mengkonstruksi pemahamannya tersebut, tentu tidak
ada jaminan bahwa mereka akan mengkonstruksi pemahaman dengan benar.
Kesalahan pemahaman konsep oleh siswa secara konsisten akan
mempengaruhi efektivitas proses belajar selanjutnya dari siswa yang
bersangkutan.2 Jika siswa secara terus-menerus memiliki konsep-konsep yang
tidak tepat, maka akan menimbulkan masalah belajar di masa yang akan datang.
Masalah yang timbul misalnya terjadinya miskonsepsi pada diri siswa.
1
Jeanne E. Ormrod, Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 327.
2 Tri Wahyuni, Trustho dan Dyah, Pembuatan Instrumen Tes Diagnostik Fisika SMA
2
Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak
sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam
bidang itu.3 Miskonsepsi adalah kepercayaan yang tidak sesuai dengan penjelasan
yang sebenarnya dan terbukti sahih tentang suatu fenomena atau peristiwa. Dalam
pelajaran sains, misalnya, miskonsepsi siswa mungkin bertentangan dengan data
hasil penelitian ilmiah yang terkumpul selama puluhan bahkan ratusan tahun.4
Penyebab miskonsepsi pada siswa dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti
kesalahan dari siswa sendiri, kesalahan dari guru ketika menjelaskan pelajaran,
kesalahan dari buku teks yang digunakan, kesalahan konteks, dan kesalahan dari
metode mengajar yang digunakan oleh guru saat pembelajaran.
Penyebab yang berasal dari siswa dapat terdiri dari berbagai hal, seperti
prakonsepsi siswa, kemampuan tahap perkembangan, minat, cara berpikir, dan teman lainnya. Penyebab kesalahan dari guru dapat berupa ketidakmampuan guru,
kurangnya penguasaan bahan, cara mengajar yang tidak tepat atau sikap guru
dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik. Penyebab miskonsepsi dari buku
teks biasanya terdapat pada penjelasan atau uraian yang salah dalam buku
tersebut. Konteks, seperti budaya, agama, dan bahasa sehari-hari juga
mempengaruhi miskonsepsi siswa. Sedangkan metode mengajar yang hanya
menekankan kebenaran satu segi sering memunculkan salah pengertian pada
siswa.5
Cara mengatasi miskonsepsi yang terjadi di kalangan siswa, selain
mengetahui penyebab dari miskonsepsi itu sendiri, perlu juga dilakukan diagnosa
miskonsepsi-miskonsepsi yang dialami siswa. Diagnosis adalah proses yang
kompleks dalam suatu usaha untuk menarik kesimpulan dari hasil-hasil
pemeriksaan gejala-gejala, perkiraan penyebab, pengamatan dan penyesuaian
dengan kategori secara baik.6 Dalam dunia pendidikan diagnosis memiliki arti
3Paul Suparno,
Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 4.
4Jeanne E. Ormrod,
Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 338.
5Suparno,
op. cit., h. 29.
6 Suwarto,
3
yang luas, meliputi identifikasi mengenai kekuatan dan kelemahan siswa pada
suatu konsep. Dalam mendiagnosis miskonsepsi diperlukan suatu alat ukur atau
alat diagnostik yang dapat mengidentifikasi miskonsepsi yang ada dikalangan
siswa.
Tes diagnostik adalah tes yang dilaksanakan untuk menentukan secara
tepat, jenis kesukaran yang dihadapi oleh para siswa dalam suatu mata pelajaran
tertentu.7 Tes diagnostik berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang
dihadapi siswa, termasuk kesalahan pemahaman konsep.8 Dengan diketahuinya
letak kesalahan pemahaman konsep pada siswa, guru dengan segera dapat mencari
solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Melalui tes diagnostik ini dapat
diketahui tentang konsep-konsep yang telah dipahami dan yang belum dipahami
oleh siswa.
Terdapat beberapa alat diagnostik yang dapat digunakan, yaitu:
wawancara, pertanyaan terbuka, peta konsep, dan instrumen pilihan ganda dua
tingkat.9 Dari ketiga alat diagnostik tersebut, tes pilihan ganda dua tingkat
memiliki keunggulan karena dalam tes ini selain siswa mengerjakan butir tes yang
mengungkapkan konsep tertentu siswa juga harus mengungkapkan alasan kenapa
memilih jawaban tersebut.10 Dengan mengungkapkan alasan mereka dalam
menjawab setiap pertanyaan, maka akan diketahui letak miskonsepsi yang terjadi.
Selain itu, tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat mudah dilaksanakan dan
mudah pula bagi guru dalam memberikan penilaian. Cengiz Tusyuz dalam
jurnalnya yang berjudul, “Development of two-tier diagnostic instrument and assess students’ understanding in chemistry” pada tahun 2009 mengembangkan tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat melalui tiga tahapan. Pertama, dilakukan
wawancara terhadap 21 siswa untuk mengembangkan tes pilihan ganda. Kedua,
24 siswa diminta untuk memilih jawaban yang paling tepat untuk setiap
7Anas Sudjiono,
Pengantar Evaluasi Pendiidkan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 70.
8 Suwarto,
op. cit., h. 94.
9Ayla C. Dindar dan Omer, Development of a Three-Tier to Assess High School
Students’ Understanding of Acids and Bases, Procedia Social and Behavioral Sciences 15, 2011, pp. 600.
10Suwarto, “Pengembangan The Two-Tier Diagnostic Tests Pada Bidang Biologi”,
4
pertanyaan dan kemudian mereka memberi penjelasan atas pilihan mereka untuk
mengembangkan tes two-tier. Pada fase ketiga dari penelitiannya, uji two-tier yang terdiri dari 15 pertanyaan dikembangkan dan diterapkan kepada 141 siswa
untuk mengumpulkan data.11
Miskonsepsi dapat terjadi pada semua bidang sains, seperti: fisika, biologi,
kimia, dan astronomi. Dalam bidang fisika, miskonsepsi dapat terjadi di semua
subbidang fisika, seperti, mekanika, termodinamika, optika, bunyi dan
gelombang, listrik dan magnet, dan fisika modern.12 Dari sekian banyaknya
penelitian miskonsepsi di bidang fisika, miskonsepsi banyak terjadi pada
subbidang mekanika, salah satunya adalah pada konsep kinematika gerak dua
dimensi. Konsep gerak dua dimensi ini terdiri dari gerak parabola dan gerak
melingkar. Menurut beberapa penelitian, miskonsepsi banyak terjadi pada gerak
parabola. Siswa masih sulit memahami mengapa kecepatan pada puncak suatu
proyektil adalah nol, meskipun percepatannya tidak nol. Mereka berpikir, jika
kecepatan nol maka, percepatannya juga harus nol.13
Selain terjadi pada gerak parabola, miskonsepsi juga terjadi pada gerak
melingkar. Seperti yang ditulis oleh Rosita, dkk. dalam artikel yang berjudul
“Remediasi Miskonsepsi Siswa Tentang GMB Menggunakan Metode
Demonstrasi Berbantuan Guided Note Taking di SMA”, bahwa siswa mengalami miskonsepsi salah satunya pada pengertian kecepatan, siswa menganggap GMB
suatu benda memiliki kecepatan tetap karena sepanjang perjalanan benda tidak
berhenti dan GMB memiliki kecepatan linier yang arahnya menuju pusat
lingkaran.14 Padahal pada kenyataannya tidak lah demikian, GMB merupakan
gerak sebuah benda yang membentuk suatu lingkaran dengan laju konstan (v)
dengan arah kecepatan terus berubah. Karena percepatan didefinisikan sebagai
11
Cengiz Tüysüz, Development of two-tier diagnostic instrument and assess students’ understanding in chemistry, Scientific Research and Essay Vol. 4 (6) pp. 626.
12Paul Suparno,
Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 7.
13
Ibid., h. 13.
14 Rosita, dkk., Remediasi Miskonsepsi Siswa Tentang GMB Menggunakan Metode
5
besar perubahan kecepatan, maka perubahan arah dan besar kecepatan
menyebabkan terjadinya percepatan.15
Oleh karena itu, perlu dikembangkan tes diagnostik pilihan ganda dua
tingkat yang dapat mengidentifikasi miskonsepsi siswa pada konsep gerak dua
dimensi yang terdiri dari gerak parabola dan gerak melingkar. Berdasarkan
permasalahan yang sudah dijelasakan di atas, penulis tertarik untuk meneliti
miskonsepsi siswa pada konsep gerak dua dimensi dan penulis mengambil judul
dalam penellitian ini mengenai “Pengembangan Tes Diagnostik Pilihan Ganda
Dua Tingkat untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi Pada Konsep Gerak Dua Dimensi”.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas dapat
diidentifikasikan masalahnya sebagai berikut:
1. Siswa akan lebih memahami apa yang mereka pelajari melalui pengalaman
langsung, namun pada prakteknya pembelajaran hanya sekedar hafalan
sehingga besar kemungkinan terjadi miskonsepsi
2. Banyak siswa yang kesulitan dalam memahami konsep-konsep fisika, yang
akhirnya menyebabkan miskonsepsi pada siswa.
3. Diperlukan alat diagnostik yang dapat mengidentifikasi
miskonsepsi-miskonsepsi di kalangan siswa untuk dapat memberikan tindak lanjut dengan
tindakan yang tepat
C. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang dikaji tidak terlalu luas, maka masalahnya dibatasi
sebagai berikut: hasil belajar fisika yang diukur hanya mencakup aspek kognitif
berdasarkan pada Taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson dan Kratwohl
(2006) pada tingkatan C1, C2, C3, dan C4.16
15 Giancoli,
Fisika Edisi kelima Jilid 1, (Jakarta: Erlangga, 2001), h. 132-133.
16 Anderson dan Krathwohl,
6
D. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apa saja jenis miskonsepsi
fisika siswa pada konsep gerak dua dimensi yang teridentifikasi dengan
menggunakan tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat?”. Secara operasional,
rumusan masalah di atas dapat dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Pada sub konsep dan tingkat kognitif apa saja dalam konsep gerak dua
dimensi siswa mengalami miskonsepsi?
2. Jenis miskonsepsi apa saja yang terdeteksi dengan tes diagnostik pilihan ganda
dua tingkat ditinjau dari dimensi konsep?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis
miskonsepsi fisika siswa pada konsep gerak dua dimensi dengan menggunakan tes
diagnostik pilihan ganda dua tingkat.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi siswa, dengan teridentifikasinya miskonsepsi diharapkan siswa dapat
memperbaiki miskonsepsi yang terjadi pada dirinya sehingga hasil belajarnya
meningkat.
2. Bagi guru, sebagai alat ukur alternatif yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi miskonsepsi siswa sehingga dapat menentukan tindak lanjut
7 BAB II
DESKRIPSI TEORITIS DAN KERANGKA PIKIR
A. Deskripsi Teoritis 1. Konsep Fisika a. Definisi Konsep
Konsep adalah cara mengelompokkan dan mengkategorikan secara mental
berbagai objek atau peristiwa yang mirip dalam hal tertentu.17 Menurut Rosser
(1984), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek, kejadian,
kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama karena orang
mengalami stimulus yang berbeda-beda, orang membentuk konsep sesuai dengan
pengelompokkan stimulus dengan cara tertentu.18 Karena konsep itu adalah
abstraksi-absraksi yang berdasarkan pengalaman maka, setiap orang akan
membentuk konsep yang berbeda-beda. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
suatu konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili satu kelas
stimulus.
Para ahli psikologi memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang
sesungguhnya dipelajari orang ketika mendapatkan suatu konsep baru. Mereka
mengemukakan bahwa suatu konsep mungkin saja dipelajari sebagai serangkaian
fitur, suatu prototipe, serangkaian eksemplar, atau kombinasi ketiganya.19
1) Konsep sebagai serangkaian fitur yang dimiliki bersama
Ketika mempelajari suatu konsep terkadang melibatkan pembelajaran berbagai
atribut spesifik, atau fitur-fitur yang mencirikan anggota suatu kategori
konsep. Hal ini mencakup baik fitur-fitur pendefinisi, yaitu karaketristik yang
ada di semua anggota kategori itu. Dan fitur-fitur yang hanya sekedar
berkolerasi dengan konsep tersebut, yaitu karakteristik yang terlihat di banyak
contoh konsep itu tapi tidak penting bagi atribut konsep. Ketika anak-anak
17 Jeanne E. Ormrod,
Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 327.
18 Ratna Wilis Dahar,
Teori-teori Belajar & Pembelajaran, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 63.
19 Jeanne,
8
mempelajari sebuah konsep untuk pertama kalinya, terkadang mereka
terkecoh dengan fitur-fitur yang sebenarnya hanya berkolerasi pada konsep
dan bukan fitur pendefinisi suatu konsep, terutama apabila fitur-fitur yang lain
itu lebih terlihat nyata dibandingkan fitur-fitur yang sebenarnya.
2) Sebagai prototipe
Begitu para siswa telah membentuk prototipe suatu konsep, mereka bisa
membandingkan objek dan peristiwa yang baru dengan prototipe tersebut
dalam rangka menentukan keanggotaan konsep. Peristiwa atau objek yang
mirip dengan prototipe lebih mudah diidentifikasi sebagai contoh konsep
tersebut. Sementara peristiwa atau objek yang sangat berbeada dari prototipe
tersebut cenderung diidentifikasi sebagai bukan contoh.
3) Konsep sebagai rangkaian eksemplar
Pada beberapa kasus, mengetahui suatu konsep umumnya mungkin tergantung
pada mengetahui berbagai contoh atau eksemplar dari konsep tersebut.
Eksemplar memberikan siswa pemahaman mengenai variabilitas yang mudah
mereka lihat pada setiap kategori objek atau peristiwa. Siswa biasanya
mempelajari konsep dengan lebih efektif apabila diberi berbagai macam
contoh dibandingkan hanya satu atau dua contoh saja.
Flavell (1970) menyarankan bahwa konsep-konsep dapat berbeda dalam
tujuh dimensi, yaitu:20
1) Atribut: Setiap konsep memiliki atribut yang berbeda. Contoh, konsep harus
mempunyai atribut yang relavan termasuk juga atribut yang tidak relevan.
Atribut dapat berupa fisik, seperti warna, tinggi, bentuk, atau dapat juga
berupa fungsinya.
2) Struktur: Struktur menyangkut cara terkaitnya atau tergabungnya
atribut-atribut itu. Terdapat tiga macam struktur yang dikenal, yaitu:
a) Konsep konjungtif, yaitu konsep yang di dalamnya terdapat dua atau lebih
sifat sehinggga dapat memenuhi syarat sebagai contoh konsep.
b) Konsep disjungtif adalah konsep yang di dalamnya satu dari dua atau lebih
sifat harus ada.
20 Willis,
9
c) Konsep relasional menyatakan hubungan tertentu antara atribut konsep.
3) Keabstrakan: Konsep-konsep dapat dilihat dan konkrit atau konsep itu terdiri
atas konsep-konsep lain.
4) Keinklusifan: Ini ditunjukkan pada jumlah contoh yang terlibat dalam konsep
itu.
5) Generalitas atau keumuman: Bila diklasifikasikan, konsep dapat berbeda
dalam posisi superordinat atau subordinatnya. Makin umum suatu konsep,
makin banyak asosiasi yang dapat dibuat dengan konsep lainnya.
6) Ketepatan: Ketepatan suatu konsep menyangkut apakah ada sekumpulan
aturan untuk membedakan contoh dan noncontoh suatu konsep. Klausmeier
(1977) mengemukakan empat tingkat pencapaian konsep, mulai dari tingkat
tingkat konkret ke tingkat formal. Konsep pada tingkat formal merupakan
konsep yang paling tepat sebab pada tingkat ini atribut-atribut yang
dibutuhkan konsep dapat didefinisikan.
7) Kekuatan: Kekuatan suatu konsep ditentukan oleh sejauh mana orang setuju
bahwa konsep itu penting.
b. Perolehan Konsep
Menurut Ausubel (1968), konsep diperoleh dengan dua cara, yaitu
pembentukan konsep dan asimilasi konsep.21 Anak-anak memperoeh
Pembentukan konsep sebelum mereka masuk sekolah. Pembentukan konsep ini
dapat disamakan dengan belajar konsep konkret menurut Gagne (1977).
Sedangkan untuk memperoleh konsep selama dan sesudah sekolah dapat
ditempuh melalui asimilasi konsep.22
1) Pembentukan konsep
Anak-anak sudah mendapatkan banyak konsep dan konsep tersebut terus
mengalami perubahan atau modifikasi seiring bertambahnya pengalaman mereka.
Konsep-konsep yang diperoleh tersebut didapatkan melalui pembentukan konsep.
Pembentukan konsep merupakan proses induktif. Pembentukan konsep mengikuti
21
Ibid., h. 64.
10
pola contoh/aturan. Anak-anak yang belajar konsep tertentu dihadapkan pada
sejumlah contoh dan noncontoh konsep tersebut. Melalui proses diskriminasi dan
abstraksi, mereka menetapkan suatu aturan yang menentukan kriteria untuk
konsep itu.
2) Asimilasi Konsep
Anak-anak dihadapkan dengan lebih banyak konsep yang harus dipelajari
setelah mereka masuk sekolah melalui asimilasi konsep. Berlawanan dengan
pembentukan konsep yang bersifat induktif, asimilasi konsep bersifat deduktif.
Menurut Ausubel (1968), dalam proses ini anak-anak diberi nama konsep dan
atribut konsep itu. Ini berarti mereka akan belajar arti konseptual baru dengan
memperoleh penyajian atribut-atribut kriteria konsep, kemudian mereka akan
menghubungkan atribut-atribut ini dengan gagasan-gagasan relevan yang sudah
ada dalam struktur kognitif mereka.
Dalam memperoleh konsep melalui asimilasi, orang yang belajar harus
sudah memperoleh definisi formal mengenai konsep tersebut. Menurut Rosser
(1984), suatu definisi formal suatu kata menunjukkan kesamaan dengan konsep
tertentu dan membedakan kata itu dari konsep-konsep lain. Sesudah definisi itu
disajikan, konsep itu dapat diilustrasikan dengan memberikan contoh atau
deskripsi verbal contoh.23
Walaupun kedua bentuk belajar konsep ini efektif, pembentukan konsep
lebih lama daripada asimilasi konsep. Dengan mempertimbangkan bahwa begitu
banyak konsep yang harus dipelajari siswa selama sekolah, penggunaan
berlebihan metode penemuan hendaknya dibatasi.
c. Pencapaian Konsep
Konsep berkembang melalui satu seri tingkatan. Tingkatan-tingkatan itu
mulai dengan hanya mampu menunjukkan suatu contoh suatu konsep hingga
dapat sepenuhnya menjelaskan atribut-atribut konsep. Klausmeier (1977)
mengemukakan empat tingkat pencapaian konsep. Tingkat-tingkat ini muncul
dalam urutan yang intervarian. Empat tingkat pencapaian konsep menurut
23
11
Klausmeier adalah tingkat konkret, tingkat identitas, tingkat klasifikasi, dan
tingkat formal yang dapat dijelaskan sebagai berikut:24
1) Tingkat konkret
Seseorang telah mencapai konsep pada tingkat konkret apabila orang tersebut
mengenal suatu benda yang telah dihadapinya. Untuk mencapai konsep
tingkat konkret, siswa harus dapat memperlihatkan benda itu dan dapat
membedakan benda itu dari stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya.
Selanjutnya, ia harus menyajikan benda itu sebagai suatu gambaran mental
dan menyimpan gambaran mental itu.
2) Tingkat identitas
Pada tingkat identitas, seseorang akan mengenal suatu objek: 1) sesudah
selang waktu tertentu; 2) bila orang itu mempunyai orientasi ruang (spatial orientation) yang berbeda terhadap objek itu; atau 3) bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indra yang berbeda. Selain ketiga operasi yang dibutuhkan
untuk pencapaian tingkat konkret, yaitu: memperhatikan, mendiskriminasi,
dan mengingat, siswa harus dapat mengadakan generalisasi untuk mengenal
bahwa dua atau lebih bentuk yang identik dari benda yang sama adalah
anggota dari kelas yang sama. Ada ahli psikologi yang menggunakan
istilah-istilah yang berbeda untuk menunjukkan dua tingkat pencapaian konsep ini.
Gagne (976) menggunakan istilah diskriminasi untuk tingkat konkret dan
generalisasi dari diskriminasi untuk tingkat identitas.
3) Tingkat klasifikasi
Pada tingkat klasifikasi, siswa mengenal persamaan (equivalence) dari dua contoh yang berbeda dari kelas yang sama. Walaupun siswa itu tidak dapat
menentukan kriteria atribut ataupun menentukan kata yang dapat mewakili
konsep itu, ia dapat mengklasifikasikan contoh dan noncontoh konsep,
sekalipun contoh dan noncontoh itu mempunyai banyak atribut yang mirip.
Operasi mental tambahan yang terlibat dalam pencapaian konsep pada tingkat
klasifikasi ialah mengadakan generalisasi bahwa dua atau lebih contoh sampai
batas-batas tertentu itu ekuivalen. Dalam operasi mental ini siswa berusaha
24
12
untuk mengabstraksi kualitas-kualitas yang sama yang dimiliki oleh
subjek-subjek itu.
4) Tingkat formal
Untuk pencapaian konsep pada tingkat formal, siswa harus dapat menentukan
atribut-atribut yang membatasi konsep. Kita dapat menyimpulkan bahwa
siswa telah mencapai suatu konsep pada tingkat formal bila siswa itu dapat
memberi nama konsep itu, mendefinisikan konsep itu dalam atribut-atribut
kriterianya, mendiskriminasi dan memberi nama atribut-atribut yang
membatasi, dan mengevaluasi atau memberikan secara verbal contoh dan
noncontoh konsep.
2. Miskonsepsi dalam Pembelajaran Fisika a. Definisi Miskonsepsi
Sejak kecil sebelum masuk pendidikan formal siswa sudah mulai
membangun pemahamannya sendiri mengenai suatu peristiwa tertentu. Namun,
ketika siswa membangun pemahamannya itu belum tentu mereka membangun
pemahamannya secara benar dan akurat. Siswa kadang hanya mempercayai
dengan apa yang mereka lihat. Ketika siswa menerima pengetahuan mengenai
suatu peristiwa tertentu dan ternyata tidak sesuai dengan pemahaman awalnya,
siswa berusaha untuk membangun kembali pemahamannya yang baru, dengan
menghubungkan pemahaman awal yang sudah dimilikinya dengan pengetahuan
yang baru dia dapatkan. Namun, terkadang siswa salah dalam menarik
kesimpulan, sehingga memunculkan kesalahan pemahaman yang akhirnya
menimbulkan miskonsepsi.
Miskonsepsi merupakan kesalahan pemahaman suatu peristiwa atau
konsep tertentu yang dialami seseorang akibat dari konsep yang sudah
dibangunnya tidak sesuai dengan pengertian ilmiah para ahli dalam bidang itu.
13
menghubungkan konsep-konsep. Menurut Feldsine miskonsepsi adalah suatu
kesalahan dan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep.25
Miskonsepsi adalah kepercyaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang
diterima umum dan terbukti sahih tentang suatu fenomena atau peristiwa. Dalam
pelajaran sains, misalnya, miskonsepsi siswa mungkin bertentangan dengan data
hasil penelitian ilimiah yang terkumpul selama puluhan bahkan ratusan tahun.26
Menurut Vosniadou, miskonsepsi itu muncul dari niat baik siswa itu sendiri untuk
memahami apa yang mereka lihat.27
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan siswa-siswa tingkat sekolah
menengah untuk menemukan miskonsepsi dalam topik-topik: “light, electric and simple circuits, heat and temperature, force and motion, the gaseous state, the particulate nature of matter in the gaseous phase, beyond appearances: the conservation of matter under physical and chemical transformations”, Driver (1985) mengemukakan hal-hal berikut:28
1) Miskonsepsi bersifat pribadi
Bila dalam suatu kelas anak-anak disuruh menulis tentang percobaan yang
sama, mereka memberikan berbagai interpretasi. Setiap anak “melihat” dan
menginterpretasikan eksperimen itu menurut caranya sendiri. Setiap anak
menngkonstruksi kebermaknaannya sendiri.
2) Miskonsepsi memiliki sifat yang stabil
Kerap kali terlihat bahwa gagasan anak yang berbeda dengan gagasan ilmiah
ini tetap dipertahankan anak, walaupun guru sudah berusaha memberikan
suatu kenyataan yang berlawanan.
3) Menyangkut koherensi
Bila menyangkut koherensi anak tidak merasa butuh pandangan yang koheren
sebab interpretasi dan prediksi tentang peristiwa-peristiwa alam praktis
25Paul Suparno,
Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 4.
26 Jeanne E. Ormrod,
Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 338.
27
Ibid., h. 339.
28 Ratna Wilis Dahar,
14
kelihatannya cukup memuaskan. Kebutuhan akan koherensi dan kriteria untuk
koherensi menurut persepsi anak tidak sama dengan yang dipersepsi ilmuan.
b. Penyebab Miskonsepsi
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya miskonsepsi pada
siswa. Faktor tersebut dapat berupa dari dalam diri siswa maupun dari luar.
Penyebab miskonsepsi secara garis besar dapat disebabkan karena beberapa hal
sebagai berikut:29
1) Siswa
Kesalahan pada siswa dapat berupa kesalahan pemahaman awal (prakonsepsi) siswa mengenai suatu fenomena/peristiwa tertentu, kemampuan siswa dalam
memahami suatu peristiwa, tahap perkembangan, minat siswa dalam suatu hal
yang akhirnya dapat mempengaruhi cara berpikir siswa, kesalahan siswa
dalam menarik kesimpulan yang terkadang hanya berdasarkan pada apa yang
mereka lihat, dan teman yang dapat mempengaruhi siswa dalam memahami
berbagai hal.
2) Guru
Kesalahan dari guru biasanya disebabkan karena ketidakmampuan guru dalam
menjelaskan suatu konsep kepada siswa, sehingga siswa sulit untuk
memahami apa yang disampaikan oleh guru. Pemahaman konsep guru yang
kurang, cara mengajar yang kurang tepat atau sikap guru yang kurang baik
dalam berhubungan dengan siswa. Padahal jika guru bersikap ramah dan
terbuka terhadap siswa, siswa tidak akan segan untuk bertanya mengenai
materi yang belum mereka pahami.
3) Buku teks
Penyebab miskonsepsi dari buku teks biasanya diakibatkan karena kesalahan
dalam memberikan penjelasan, kurangnya gambar yang dimuat di buku teks
yang dapat menyebabkan siswa harus menggambarkan sendiri dalam
29 Paul Suparno,
15
pikirannya tentang suatu fenomena tertentu dan terkadang gambaran yang
dibuat tidak sesuai dengan peristiwa yang terjadi.
4) Konteks
Kesalahan konteks dalam hal ini dapat berupa masyarakat sekitar, budaya,
agama, dan bahasa sehari-hari yang digunakan siswa. Penggunaan
ungkapan-ungkapan yang umum dalam bahasa terkadang salah menginterprestasikan
makna sebenarnya dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
5) Metode mengajar
Beberapa guru kurang variatif dalam mengajar. Metode yang digunakan pun
monoton dan tidak melibatkan siswa dalam pembelajaran, yang akhirnya
pembelajaran hanya berpusat pada guru, siswa hanya mendengarkan apa yang
guru sampaikan. Sehingga membuat siswa jenuh dan kurang antusias dalam
mengikuti pembelajaran yang akhirnya siswa tidak memahami apa yang
dijelaskan oleh guru. Metode mengajar yang digunakan guru yang hanya
menekankan kebenaran dari satu sisi sering memunculkan kesalahan
pemahaman pada siswa.
Driver (1985) menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan
terbentuknya miskonsepsi dalam pembelajaran, terutama untuk tingkat primer,
yaitu:30
1) Terbentuknya miskonsepsi disebabkan karena anak cenderung mendasarkan
berpikirnya pada hal-hal yang tampak dalam suatu situasi masalah.
2) Dalam banyak kasus, anak itu hanya memperhatikan aspek-aspek tertentu
dalam suatu situasi. Hal ini disebabkan karena anak lebih cenderung
menginterpretasikan suatu fenomena dari segi sifat absolut benda-benda,
bukan dari segi interaksi antara unsur-unsur suatu sistem.
3) Anak lebih cenderung memperhatikan perubahan draipada situasi diam.
4) Bila anak-anak menerangkan perubahan, cara berpikir mereka cenderung
mengikuti urutan kausal linier.
5) Gagasan yang dimiliki anak mempunyai berbagai konotasi; gagasan anak
lebih inklusif dan global.
30 Willis,
16
6) Anak kerap kali menggunakan gagasan-gagasan yang berbeda untuk
menginterpretasikan situasi-situasi yang oleh para ilmuwan digunakan cara
yang sama.
c. Teknik Mendeteksi Miskonsepsi
Terdapat beberapa teknik dalam mendeteksi miskonsepsi, yaitu: peta
konsep, tes uraian tertulis, wawancara klinis, dan diskusi dalam kelas yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:31
1) Peta Konsep
Novak, J. D. & Growin, D. B. (1984) mennyatakan bahwa peta konsep
sebagai suatu alat skematis untuk mempresentasikan suatu rangkaian konsep
yang digambarkan dalam suatu rangkaian proposisi. Peta itu mengungkapkan
hubungan-hubungan yang berarti antara konsep-konsep dan menekankan
gagasan-gagasan pokok. Peta konsep disusun secara hirarkis, konsep esensial
akan berada pada bagian atas peta. Miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan
melihat hubungan antara dua konsep apakah benar atau tidak.
2) Tes Uraian Tertulis
Tes uraian adalah tes yang terdiri dari butir-butir tes dimana masing-masing
butir tes berupa suatu pertanyaan atau suatu suruhan yang menghendaki
jawaban yang berupa uraian-uraian yang relatif panjang. Guru dapat
mempersiapkan tes uraian yang memuat beberapa konsep yang mau diajarkan
atau sudah diajarkan. Dari tes tersebut dapat diketahui salah pengertian yang
dibawa siswa dan salah pengertian dalam bidang apa.
3) Wawancara Klinis
Wawancara klinis dilakukan untuk melihat miskonsepsi pada siswa. Guru
memilih beberapa konsep yang dperkirakan sulit dimengerti sisw, atau
beberapa konsep yang esensial dari bahan yang mau diajarkan. Kemudian,
siswa diajak untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai
konsep-konsep di atas. Dari sini dapat dimengerti latar belakang munculnya
31 Suwarto,
17
miskonsepsi yang ada dan sekaligus ditanyakan dari mana mereka
memperoleh miskonsepsi tersebut.
4) Diskusi dalam Kelas
Dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang
konsep yang sudah diajarkan atau yang mau diajarkan. Dari diskusi tersebut,
guru atau peneliti dapat mengerti konsep-konsep alternatif yang dipunyai
siswa. Cara ini lebih cocok digunakan pada kelas yang besar dan juga sebagai
penjajakan awal. Miskonsepsi sangatlah resisten dalam pembelajaran bila
tidak diperhatikan dengan seksama oleh guru.
Paul Suparno dalam bukunya yang berjudul “Miskonsepsi & Perubahan
Konsep dalam Pendidikan Fisika”, menyebutkan bahwa cara mendeteksi
miskonsepsi selain yang sudah disebutkan di atas terdapat cara lainnya, yaitu
melalui tes multiple choice dengan reasioning terbuka dan melalui praktikum dengan tanya jawab.
1) Tes Multiple Choice dengan Reasioning terbuka32
Tes pilihan ganda dengan pertanyaan terbuka ini siswa harus menjawab dan
menulis alasan mengapa memilih jawaban tersebut. Jawaban-jawaban yang
salah dalam pilihan ganda tersebut selanjutnya dijadikan bahan tes pada tahap
berikutnya. Treagust dalam penelitiannya menggunakan pilihan ganda dengan
alasan. Dalam bagian alasan, siswa harus menulis mengapa memilih jawaban
itu. Beberapa peneliti lainnya menggunakan pilihan ganda dengan wawancara.
Berdasarkan hasil jawaban yang tidak benar dalam pilihan ganda itu, mereka
mewawancarai siswa. tujuan dari wawancara adalah untuk meneliti bagaimana
siswa berpikir, dan mengapa mereka berpikir seperti itu.
2) Praktikum dengan tanya jawab33
Praktikum yang disertai tanya jawab antara guru dengan siswa yang
melakukan praktikum juga dapat digunakan untuk mendeteksi apakah siswa
mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada praktikum itu atau tidak.
Selama praktikum, guru selalu bertanya bagaimana konsep siswa dan
32 Paul Suparno,
Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 123.
33
18
bagaimana siswa menjelaskan persoalan dalam praktikum tersebut. Praktikum
ini dapat diurutkan sebagai berikut:
a) Guru mengungkapkan persoalan yang ingin dilakukan dalam praktikum
b) Siswa diminta untuk membuat hipotesis atau dugaan lebih dulu dan
alasannnya
c) Siswa melakukan praktikum. Selama itu guru dapat mengajukan
pertanyaan sehingga semakin mengerti konsep siswa.
d) Siswa menyimpulkan hasilnya. Guru dapat menanyakan apakah hasilnya
sesuai dengan hipotesis yang dipikirkan sebelumnya.
e) Dari seluruh proses di atas, guru dapat mengerti apakah siswa mempunyai
miskonsepsi atau tidak, dan bagaimana miskonsepsi itu dapat diperbaiki.
Dalam penelitian ini teknik yang digunakan dalam mendeteksi
miskonsepsi yang terjadi pada konsep gerak dua dimensi adalah dengan
menggunakan instrumen tes pilihan ganda dua tingkat. Tes ini terdiri dari dua
tahapan, yaitu tes pilihan ganda dengan alasan terbuka pada tahap awal dan tes
pilihan ganda beralasan tertutup pada tahap kedua. Dalam tes ini selain siswa
mengerjakan butir tes yang mengungkapkan konsep gerak dua dimensi siswa juga
harus mengungkapkan alasan kenapa memilih jawaban tersebut.
d. Cara Mendorong Konstruksi Pengetahuan Dan Perubahan Konseptual Guru berkewajiban untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi
pemahaman yang akurat tentang konsep yang dipelajari, dan mendorong mereka
untuk melepaskan setiap kepercayaan yang keliru yang telah mereka konstruk
sebelumnya, sehingga tidak terjadi miskonsepsi pada diri siswa. Berikut adalah
beberapa cara mendorong konstruksi pengetahuan dan perubahan konseptual,34
1) Mendorong konstruksi pengetahuan yang efektif
Para ahli psikologi percaya bahwa ada banyak cara membantu siswa
mengkonstruksi basis pengetahuan yang kaya dan lebih canggih. Ada
34 Jeanne E. Ormrod,
19
beberapa pendekatan yang telah diidentifikasi oleh para ahli psikologi
kontemporer dan pendidik, yaitu sebagai berikut:
a) Memberikan kesempatan untuk melakukan eksperimen
Melalui interaksi dan ujicoba dengan objek-objek di sekitar mereka, siswa
dapat menemukan dari dekat beberapa karakteristik dan prinsip dunia.
b) Menyajikan perspektif ahli
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengetahuan dikonstruksi tidak
hanya oleh orang-orang secara mandiri tapi juga oleh orang-orang yang
bekerja bersama. Meskipun terkadang bermanfaat meminta siswa
menemukan prinsip-prinsip dasar bagi diri mereka sendiri, kita juga perlu
memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendengar dan membaca
gagasan para ahli. Pembelajaran akan lebih bermanfaat jika siswa
mengalami sendiri secara langsung dan dari mempelajari bagaimana
orang-orang sebelum mereka menafsirkan pengalaman manusia.
c) Menekankan pemahaman konseptual
Semakin sering siswa membentuk kesalingketerkaitan dalam sebuah
materi yang mereka pelajari, semakin mudah mereka mengingat dan
menerapkannya dikemudain hari. Ketika siswa membentuk banyak
hubungan logis diantara berbagai konsep dan prinsip spesifik yang terkait
dengan sebuah topik, mereka mendapatkan pemahaman konseptual.
d) Mendorong dialog di kelas
Umumnya, siswa mampu mengingat berbagai gagasan dan pengalaman
baru secara lebih efektif dan akurat ketika mereka membahas masalah ini
secara bersama-sama. Karenanya, banyak ahli kontemporer
merekomendasikan agar diskusi kelas menjadi bagian yang rutin dari
kegiatan belajar-mengajar.
e) Menugaskan aktivitas-aktivitas yang otentik
Beberapa ahli kognitif kontemporer megemukakan bahwa siswa dapat
mengkonstruksi basis pengetahuan yang lebih terintegrasi dan berguna
20
otentik, yaitu aktivitas-aktivitas yang mirip dengan apa yang sering
mereka jumpai di dunia luar sekolah.
f) Merancah (Scaffold) konstruksi teori
Sudah kita ketahui bahwa siswa mulai membentuk teori mengenai
beragam aspek jauh sebelum mereka mulai sekolah. Oleh karena itu teori
yang sudah dibangun siswa tersebut perlu untuk dikembangkan dan
direvisi agar sesuai dengan teori yang dikembangkan para ahli. Para ahli
psikologi dan pendidik telah menawarkan beberapa saran untuk membantu
siswa mengkonstruksi teori-teori yang produktif, yaitu: dorong dan
jawablah pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” dari siswa, mintalah
siswa membuat prediksi mengenai apa yang akan terjadi dalam
eksperimen yang dilakukan, gunakan analogi untuk menghubungkan
konsep dan gagasan baru dengan pengetahuan awal mereka, sajikan model
fisik atau simbolik yang menerangkan fitur-fitur utama sebuah fenomena,
pilihlah penjelasan yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif
mereka, mintalah siswa merefleksikan dan membuat hubungan di antara
berbagai hal yang telah mereka pelajari.
g) Membentuk komunitas belajar
Mengingat manfaat dialog dan bentuk-bentuk interaksi siswa yang lain
serta tujuan meningkatkan konstruksi makna secara sosial, beberapa ahli
psikologi dan pendidik menyarankan agar kita membentuk suatu
komunitas pembelajar, yaitu kelas dimana kita dan siswa secara konsisten
saling membantu dalam belajar.
3. Tes Diagnostik
a. Definisi Tes Diagnostik
Diagnosis merupakan suatu istilah yang diadopsi dari bidang medis.
Menurut Thorndike dan Hagen, diagnosis dapat diartikan sebagai:35
35 Abin S. Makmun,
21
1) Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit (weakness, disease) apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi yang seksama
mengenai gejala-gejalanya (symptons);
2) Studi yang seksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan
karakteristik atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial;
3) Keputusan yang dicapai setelah dilakukan suatu studi yang seksama atas
gejala-gejala atau fakta tentang suatu hal.
Diagnosis adalah proses yang kompleks dalam suatu usaha untuk menarik
kesimpulan dari hasil-hasil pemeriksaan gejala-gejala, perkiraan penyebab,
pengamatan dan penyesuaian dengan kategori secara baik.36 Dalam bidang
pendidikan diagnosis merupakan keputusan yang diambil setelah dilakukan
analisis dari suatu pengolahan data. Diagnosis dapat berupa keputusan mengenai
kesulitan belajar yang dialami siswa, keputusan mengenai faktor-faktor yang
menjadi sumber penyebab kesulitan belajar siswa, dan keputusan mengenai faktor
utama penyebab kesulitan belajar siswa.
Sedangkan tes diagnostik itu sendiri adalah tes yang digunakan untuk
menilai pemahaman konsep yang dimiliki siswa, terutama kelemahan
(miskonsepsi) yang dalami siswa terhadap suatu konsep tertentu dan mendapatkan
masukan tentang respon siswa untuk memperbaiki kelemahannya tersebut. Tes
diagnosis berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi siswa,
termasuk kesalahan pemahaman konsep.37 Bagi guru tes diagnostik ini berfungsi
untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi pada siswa. Sedangkan bagi
siswa, berfungsi untuk memotivasi siswa untuk memperoleh jawaban yang benar
setelah melakukan tes diagnostik tersebut.
b. Penaksiran Diagnosis
Menurut Nitko & Brookhart (2007: 296) ada enam pendekatan penaksiran
diagnostik terkait dengan masalah pembelajaran, yaitu:38
36
Suwarto, Pengembangan Tes Diagnosis dalam Pembelajaran, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2013), h. 90.
37
Ibid., h. 94.
38
22
1) Pendekatan profil kekuatan dan kelemahan kemampuan pada suatu bidang
Pada pendekatan ini, suatu mata pelajaran sekolah dbagi kedalam
bagian-bagian, dimana masing-masing bagian dianggap sebagai cirri atau kemampuan
yang terpisah. Hasil diagnosis dilaporkan sebagai suatu profil kekuatan dan
kelemahan siswa. Langkah-langkah melakukan penaksiran diagnostik jenis
ini, yatu: (a) kenali dua atau lebih bidang kemampuan yang diinginkan untuk
membuat profil setiap siswa, (b) buatlah butir-butir untuk mengukur
konsep-konsep dasar pada masing-masing bidang, (c) himpunlah soal-soal ke dalam
sub-subtes yang terpisah, dan (d) kelola masing-masing subtes secara terpisah,
dan gunakan petunjuk dan pemilihan waktu secara terpisah.
2) Pendekatan mengidentifikasi kekurangan pengetahuan prasyarat
Pendekatan ini mengeksplorasi apakah siswa-siswi tertinggal dikarenakan
mereka tidak memiliki pengetahuan atau keahlian khusus yang dibutuhkan
untuk memahami pelajaran yang akan datang. Langkah-langkah penaksiran
diagnostik jenis ini, yaitu: membuat suatu hierarki dari suatu target
pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa, melakukan analisis untuk
mengidentifikasi prasyarat-prasyarat yang harus dipahami oleh siswa untuk
mencapai target pembelajaran tersebut. Untuk masing-masing prasyarat yang
diidentifikasi, kemudian dianalisis lagi sehingga diperoleh suatu hierarki
prasyarat.
3) Pendekatan mengidentifikasi target-target pembelajaran yang tidak dikuasai
Pendekatan ini memusatkan penaksiran pada target-target yang penting dan
spesifik dari tujuan pembelajaran yang diharapkan. Tes-tes pendek dibuat
untuk menngukur keberhasilan dari masing-masing target pembelajaran.
Informasi diagnostik yang ingin diperoleh dari pendekatan ini adalah suatu
daftar target pembelajaran yang sudah dikuasai atau tidak dikuasai oleh siswa.
Langkah-langkah pendekatan jenis ini meliputi: (a) Mengenal dan menulis
pernyataan-pernyataan target pembelajaran yang merupakan hasil
pembelajaran. (b) Untuk setiap target pembelajaran, buatlah empat sampai
delapan butir soal. (c) Jika memungkinkan, mintalah guru lain untuk mengulas
23
pembelajaran. (d) Kelompokkan butir-butir soal ke dalam suatu tes tunggal
jika target pembelajaran relatif pendek (kurang dari enam). (e) Berikan label
lulus untuk setiap target pembelajaran jika nilai siswa telah melebihi dari
passing grade yang telah ditentukan. (f) Lakukan penaksiran pada setiap siswa. setelah melakukan penaksiran, nilailah target-target pembelajaran
secara terpisah.
4) Pendekatan pengidentifikasian kesalahan siswa
Tujuan pendekatan ini adalah untuk mengidentifikasi kekeliruan-kekeliruan
siswa. Ketika guru mengidentifikasi dan mengklasifikasi kekeliruan siswa,
selanjutnya guru dapat memberikan pelajaran remedi. Mewawancarai siswa
adalah cara terbaik untuk menemukan banyak kekeliruan pada siswa. guru
dapat meminta siswa untuk menjelaskan bagaimana mereka menyelesaikan
sebuah soal, menjelaskan mengapa mereka menjawab seperti itu,
memberitahukan aturan untuk menyelesaikan suatu soal.
5) Pendekatan mengidentifikasi struktur pengetahuan siswa
Mengidentifikasi struktur pengetahuan siswa dapat dilakukan dengan
menggunakan peta konsep. Peta konsep ini menunjukkan bahwa siswa
tersebut memiliki pengetahuan yang benar-benar terorganisir dengan baik
mengenai konsep-konsep pada unit pelajaran. Bagaimana seorang siswa
berpikir mengenai konsep-konsep dan keterkaitan hubungan konsep-konsep
tersebut. Bagaimana siswa melihat konsep tersebut diatur, dan bagaimana
kemungkinan konsep-konsep tersebut dihubungkan dengan konsep-konsep
lain yang telah dipelajari siswa. Hal ini bisa membantu guru menjelaskan
mengapa siswa membuat kekeliruan, atau mengapa mereka memiliki kesulitan
dalam menyelesaikan soal.
6) Pendekatan mengidentifikasi kompetensi untuk menyelesaikan soal cerita
Pendekatan ini berpusat pada pendiagnosisan apakah siswa memahami
komponen-komponen soal cerita. Diagnosis di dalam pendekatan ini adalah
untuk mengidentifikasi siswa yang tidak dapat menyelesaikan soal cerita dan
apakah kekurangan mereka terletak pada pengetahuan linguistik dan faktual,
24
c. Fungsi Tes Diagnostik
Tes diagnostik memiliki dua fungsi utama, yaitu:39
1) mengidentifikasi masalah atau kesulitan yang dialami siswa.
2) merencanakan tindak lanjut berupa upaya-upaya pemecahan sesuai masalah
atau kesulitan yang telah teridentifikasi.
d. Karakateristik Tes Diagnostik
Tes diagnostik memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:40
1) dirancang untuk mendeteksi kesulitan belajar siswa, karena itu format dan
respons yang dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik
2) dikembangkan berdasar analisis terhadap sumber-sumber kesalahan atau
kesulitan yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah (penyakit)
siswa
3) menggunakan soal-soal bentuk supply response (bentuk uraian atau jawaban singkat), sehingga mampu menangkap informasi secara lengkap. Bila ada
alasan tertentu sehingga mengunakan bentuk selected response (misalnya bentuk pilihan ganda), harus disertakan penjelasan mengapa memilih jawaban
tertentu sehingga dapat meminimalisir jawaban tebakan, dan dapat ditentukan
tipe kesalahan atau masalahnya
4) disertai rancangan tindak lanjut (pengobatan) sesuai dengan kesulitan
(penyakit) yang teridentifikasi.
e. Langkah-langkah Pengembangan Tes Diagnostik
Di bawah ini diuraikan secara garis besar langkah-langkah pengembangan
tes diagnostik berangkat dari kompetensi dasar yang bermasalah.41
1) Mengidentifikasi kompetensi dasar yang belum tercapai ketuntasannya.
Tes diagnostik dilakukan untuk mendiagnosis kesulitan atau masalah belajar
yang dialami oleh siswa. Kesulitan belajar tersebut mengacu pada kesulitan
39
DEPDIKNAS, Tes diagnostik, (Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah-Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, 2007).
40 Ibid. 41
25
untuk mencapai kompetensi dasar, karena itu sebelum menyusun tes
diagnostik harus diidentifikasi terlebih dahulu kompetensi dasar-kompetensi
dasar manakah yang tidak tercapai tersebut. Untuk mengetahui tercapainya
suatu kompetensi dasar dapat dilihat dari munculnya sejumlah indikator,
karena itu bila suatu kompetensi dasar tidak tercapai, perlu didiagnosis
indikator-indikator mana saja yang tidak mampu dimunculkan. Mungkin saja
masalah hanya terjadi pada indikator-indikator tertentu, maka cukup pada
indikator-indikator itu saja disusun tes diagnostik yang sesuai.
2) Menentukan kemungkinan sumber masalah
Setelah kompetensi dasar atau indikator yang bermasalah teridentifikasi,
mulai ditemukan (dilokalisasi) kemungkinan sumber masalahnya. Dalam
pembelajaran sains, terdapat tiga sumber utama yang sering menimbulkan
masalah, yaitu: a) tidak terpenuhinya kemampuan prasyarat; b) terjadinya
miskonsepsi; dan c) rendahnya kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Di samping itu juga harus diperhatikan hakikat sains yang memiliki dimensi sikap, proses, dan produk. Sumber masalah bisa terjadi pada
masing-masing dimensi tersebut.
3) Menentukan bentuk dan jumlah soal yang sesuai
Perlu dipilih alat diagnosis yang tepat berupa butir-butir tes diagnostik yang
sesuai. Butir tes tersebut dapat berupa tes pilihan, esai (uraian), maupun
kinerja (performa) sesuai dengan sumber masalah yang diduga dan pada
dimensi mana masalah tersebut terjadi.
4) Menyusun kisi-kisi soal
Sebelum menulis butir soal dalam tes diagnostik harus disusun terlebih dahulu
kisi-kisinya. Kisi-kisi tersebut setidaknya memuat: a) kompetensi dasar
beserta indikator yang diduga bermasalah; b) materi pokok yang terkait; c)
dugaan sumber masalah; d) bentuk dan jumlah soal; dan e) indikator soal.
5) Menulis soal
Sesuai kisi-kisi soal yang telah disusun kemudian ditulis butir-butir soal. Soal
tes diagnostik tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan butir soal tes
26
informasi yang cukup untuk menduga masalah atau kesulitan yang dialaminya
(memiliki fungsi diagnosis). Pada soal uraian, logika berpikir siswa dapat
diketahui guru dari jawaban yang ia tulis, tetapi pada soal pilihan siswa perlu
menyertakan alasan atau penjelasan ketika memilih option (alternatif jawaban) tertentu.
6) Mengulas soal
Butir soal yang baik tentu memenuhi validitas isi, untuk itu soal yang telah
ditulis harus divalidasi oleh seorang pakar di bidang tersebut. Bila soal yang
telah ditulis oleh guru tidak memungkinkan untuk divalidasi oleh seorang
pakar, soal tersebut dapat direviu oleh guru-guru sejenis dalam MGMPS atau
setidaknya oleh guru-guru mata pelajaran serumpun dalam satu sekolah.
7) Menyusun kriteria penilaian
Kriteria penilaian memuat rentang skor yang menggambarkan pada rentang
berapa saja siswa didiagnosis sebagai mastery (tuntas) yaitu sudah menguasai kompetensi dasar atau belum mastery yaitu belum menguasai kompetensi dasar tertentu, atau berupa rambu-rambu bahwa dengan jumlah type error (jenis kesalahan) tertentu siswa yang bersangkutan dinyatakan ber”penyakit”
sehingga harus diberikan perlakuan yang sesuai.
Menurut Nichols (1994) terdapat lima langkah pengembangan tes
diagnostik yang bertujuan untuk penilaian kognitif, yaitu: (1) Berdasarkan
konstruksi teori yang subtansif. Teori yang subtansif merupakan dasar dalam
pengembangan tes berdasarkan penilaian atau ulasan penelitian; (2) seleksi
desain. Desain pengukuran digunakan untuk membuat konstruk butir yang dapat
direspons dengan baik oleh peserta tes berdasarkan pengetahuan, keterampilan
yang spesifik atau karakteristik lain sesuai teori; (3) administrasi tes. Administrasi
tes meliputi beberapa aspek yaitu format butir, teknologi yang digunakan untuk
membuat alat tes, situasi lingkungan pada waktu pengetesan dan sebagainya; (4)
27
penyesuaian antara teori dan model, apakah tes yang dikembangkan mendukung
teori atau tidak jika tidak maka harus drevisi.42
f. Penskoran dan Penafsiran Tes Diagnostik
Di bawah ini diuraikan beberapa hal yang harus diperhatikan ketika
melakukan penskoran dan penafsiran hasil tes diagnostik.43
1) Selain memberikan hasil kuantitatif berupa skor tertinggi bila responsnya
lengkap dan skor terendah bila responsnya paling minim, kegiatan penskoran
juga harus mampu merekam jenis kesalahan (type error) yang ada dalam respons siswa. Siswa dengan skor sama, misalnya sama-sama 0 (berarti
responsnya salah) belum tentu memiliki type error yang sama juga, karena itu mengidentifikasi penyebab terjadinya kesalahan jauh lebih bermakna
dibandingkan dengan menentukan berapa jumlah kesalahannya atau berapa
skor total yang dicapainya. Hasil identifikasi type error menjadi dasar interpretasi yang akurat.
2) Untuk memudahkan identifikasi dan analisis terhadap berbagai type error yang terjadi, setiap type error dapat diberi kode yang spesifik, sesuai selera guru asalkan konsisten, misalnya:
A = terjadi miskonsepsi
B = kesalahan mengubah satuan
C = kesalahan menggunakan formula
D = kesalahan perhitungan
dan seterusnya.
3) Bila tes diagnostik terhadap suatu indikator dibangun oleh sejumlah butir soal
perlu ditentukan batas pencapaian untuk menentukan bahwa seorang siswa itu
dinyatakan bermasalah. Juga perlu ditentukan batas toleransi untuk jumlah
dan jenis type error yang boleh terjadi. Batas pencapaian ini dapat ditentukan sendiri oleh guru berdasar pengalamannya atau berdiskusi dengan guru-guru
serumpun.
42 Suwarto,
Pengembangan Tes Diagnosis dalam Pembelajaran, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2013), h. 126.