• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Pengembangan Tes Diagnostik Pilihan Ganda Dua Tingkat untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi pada Konsep Gerak Dua Dimensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "“Pengembangan Tes Diagnostik Pilihan Ganda Dua Tingkat untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi pada Konsep Gerak Dua Dimensi"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA

DUA TINGKAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI

MISKONSEPSI PADA KONSEP GERAK DUA DIMENSI

(Penelitian Deskriptif pada Siswa Kelas XI di SMAN 2 Kabupaten Tangerang)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: Sri Rahayu NIM 1110016300014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv ABSTRAK

Sri Rahayu, “Pengembangan Tes Diagnostik Pilihan Ganda Dua Tingkat umtuk Mengidentifikasi Miskonsepsi pada Materi Gerak Dua Dimensi. Skripsi, Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Kegurua, Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis miskonsepsi fisika

siswa pada konsep gerak dua dimensi dengan menggunakan tes diagnostik pilihan

ganda dua tingkat. Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif

dengan instrumen tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat, yang terdiri dari tes

pilihan ganda beralasan terbuka dan tes pilihan ganda beralasan tertutup. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa persentase siswa yang mengalami miskonsespsi

sebesar 44,25% dari 40 siswa yang diteliti. Indikator atau sub pokok bahasan yang

mengalami miskonsepsi pada bahan kajian gerak dua dimensi (gerak parabola dan

gerak melingkar) terdapat pada indikator menganalisis vektor posisi, kecepatan

dan percepatan gerak parabola; dan indikator merumuskan hubungan posisi,

kecepatan dan percepatan gerak parabola.

(6)

v ABSTRACT

Sri Rahayu, “Development Two-Tiers Multiple-Choice Diagnostic Test for Identifying Student’s Misconception about Two-Dimensional Motion Concept.

Undergraduate Thesis, Physics Education Programm, Science Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training of Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta.

This study aims to identifying physics student misconceptions about two-dimensional motion concept with two-tiers multiple-choice diagnostic test. The method used is the method of the study’s descriptive with two-tiers multiple-choice diagnostic test which consists of multiple multiple-choice with open reasoning instrument and multiple choice close reasoning instrument. Based on the result analysis shows that the percentage of student who had misconceptions 44,25% of the number of participants 40 students. The indicator or sub subject who had misconceptions about two-dimensional motion concept is analysis of the position vector, velocity and acceleration parabolic motion: and indicator formulate relationships of position, velocity and acceleration parabolic motion.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alakum Wr.Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat,

iman dan Islam kepada hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan

kepada Nabi besar Muhammad saw yang telah membawa umatnya ke jalan yang

terang.

Penulis sangat menyadari bahwa selesainya penyusunan skripsi yang berjudul

“Pengembangan Tes Diagnostik Pilihan Ganda Dua Tingkat untuk

Mengidentifikasi Miskonsepsi pada Konsep Gerak Dua Dimensi” ini tidak

terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Orang tua penulis khususnya Bapak dan Ibu tercinta, Bapak Anim dan Ibu

Rakbiyah yang tak henti-hentinya mendoakan dan memberikan dukungannya baik

moril maupun materil kepada penulis. Kedua kakakku, Rakhman dan Khaeriah

yang telah memberikan doa dan dukungannya lahir dan batin selama penulis

menempuh pendidikan. Seluruh keluarga besar yang memberikan penulis

kekuatan untuk tetap semangat menyelesaikan pendidikan.

2. Ibu Baiq Hana Susanti, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPA Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Bapak Iwan Permana Suwarna, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Program Studi

Pendidikan Fisika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Kinkin Suartini, M.Pd, selaku dosen pembimbing I yang telah banyak

memberikan saran dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Ai Nurlaela, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang telah banyak

(8)

vii

6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan IPA Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang sudah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama

penulis menempuh perkuliahan, semoga ilmu yang Bapak/Ibu berikan mendapat

keberkahan dari Allah SWT.

7. Kepala SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang yang sudah memberikan izin kepada

penulis untuk melakukan penelitian.

8. Seluruh dewan guru SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang khususnya ibu Fatiah

selaku guru mata pelajaran fisika yang telah memberikan bimbingannya kepada

penulis selama penelitian.

9. Siswa dan siswi SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang khususnya kelas XI MIA.5.

10.Teman-teman fisika angkatan 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu,

semoga kita tetap menjadi keluarga sampai kapan pun, semangat untuk kita

semua.

11.Para sahabat tercinta, Anaa Shalihah, Eka Safitri, Yani Astuti, Siti Qurrotu Uyun,

Yessi Fauzia Rahmi, dan Redha Rara Amelia yang selalu memberikan dukungan

dan selalu ada untuk penulis disaat paling terpuruk sekalipun.

12.Teman-teman satu kamar, Caca, Nia, Okta, dan Tia yang sudah memberikan

dukungan dan doa serta selalu setia mendengarkan curahan hati penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Meskipun

demikian penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam mengerjakannya.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca

pada umumnya.

Jakarta, Februari 2015

Penulis

(9)

viii DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ………...i

LEMBAR PENGESAHAN MUNAQASAH ………...ii

LEMBAR PENGESAHAN KARYA SENDIRI ………iii

ABSTRAK …...………...iv

ABSTRACT ……….v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ………..……….………… ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II DESKRIPSI TEORITIS DAN KERANGKA PIKIR ... 7

A.Deskripsi Teoritis ... 7

1. Konsep Fisika ... 7

a. Definisi Konsep ... 7

b. Perolehan Konsep ... 9

c. Pencapaian Konsep ... 10

(10)

ix

a. Definisi Miskonsepsi ... 12

b. Penyebab Miskonsepsi ... 14

c. Teknik Mendeteksi Miskonsepsi ... 16

d. Cara Mendorong Konstruksi Pengetahuan Dan Perubahan Konseptual ... 18

3. Tes Diagnostik ... 20

a. Definisi Tes Diagnostik ... 20

b. Penaksiran Diagnosis ... 21

c. Fungsi Tes Diagnostik ... 24

d. Karakateristik Tes Diagnostik ... 24

e. Langkah-langkah Pengembangan Tes Diagnostik ... 24

f. Penskoran dan Penafsiran Tes Diagnostik ... 27

g. Menindaklanjuti Hasil Tes Diagnostik ... 28

4. Tes Diagnostik Plihan Ganda Dua Tingkat ... 29

5. Gerak Dua Dimensi ... 30

a. Kompetensi Dasar ... 30

b. Karakteristik Konsep ... 30

c. Peta Konsep ... 31

d. Uraian Materi ... 31

6. Penelitian Relevan ... 35

B. Kerangka Pikir ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 40

B. Metode Penelitian ... 40

C. Desain Penelitian ... 40

D. Variabel Penelitian ... 40

E. Prosedur Penelitian ... 41

(11)

x

G. Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Hasil penelitian ... 47

1. Hasil Tes Tertulis ... 47

2. Hasil Wawancara ... 55

B. Pembahasan ... 59

1. Analisis Data Hasil Tes Tertulis ... 59

2. Analisis Dimensi Konsep ..……….. 65

3. Jenis Miskonsepsi Ditinjau dari Dimensi Konsep ………....69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 71

(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Persamaan-Persamaan Umum Gerak Kinematika untuk Percepatan

Konstan Dalam Dua Dimensi ……… 32

Tabel 2.2 Persamaan-Persamaan Gerak Kinematika Untuk Gerak Parabola (y positif arah ke atas; ax = 0, ay = -g = -9,8 m/s2) ……… 33

Tabel 3.1 Pedoman Penafsiran Validitas dan Reliabilitas ……… 44

Tabel 3.2 Indeks Kesukaran Butir Soal ……… 44

Tabel 3.3 Indeks Daya Pembeda ………... 45

Tabel 4.1 data jumlah jawaban benar yang diperoleh siswa ……… 47

Tabel 4.2 data skor jawaban siswa berdasarkan kriteria penskoran ………. 49

Tabel 4.3 keterkaitan kriteria paham konsep, miskonsepsi dan tidak paham konsep dengan kriteria jawaban siswa ………... 51

Tabel 4.4 persentase paham konsep, miskonsepsi dan tidak paham konsep berdasarkan nomor soal ………. 52

Tabel 4.5 perhitungan persentase miskonsepsi berdasarkan indikator atau sub pokok bahasan ……….. 54

Tabel 4.6 Analisis Dimensi Konsep Atribut ………...………...65

Tabel 4.7 Analisis Dimensi Konsep Struktur …………...……….66

Tabel 4.8 Analisis Dimensi Konsep Keabstrakan ………...………..67

Tabel 4.9 Analisis Dimensi Konsep Keinklusifan ……….67

Tabel 4.10 Analisis Dimensi Konsep Generalitas ………...………..68

Tabel 4.11 Analisis Dimensi Konsep Ketepatan …………...………...68

Tabel 4.12 Analisis Dimensi Konsep Kekuatan ………...……….69

(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Peta Konsep ………31

Gambar 2.2 Lintasan Gerak Parabola ………32

Gambar 2.3 Gerak Melingkar Beraturan ………...34

Gambar 2.4 Gerak Melingkar Berubah Beraturan ………35

Gambar 2.5 Bagan Kerangka Pikir ………....39

Gambar 4.1 diagram persentase pemahaman siswa secara keseluruhan ………...51

(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ………..75

Lampiran 2: Kisi Penulisan Instrumen Tes ………..96

Lampiran 3: Kisi Instrumen Tes ………...97

Lampiran 4: Instrumen Validitas ………115

Lampiran 5: Instrumen Tes Pilihan Ganda Beralasan Terbuka ………..121

Lampiran 6: Instrumen Tes Beralasan Tertutup ……….126

Lampiran 7: Analisis Hasil Uji Coba Instrumen Tes ………..133

Lampiran 8: Rekapitulasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes ………...139

Lampiran 9: Pemetaan Jawaban Siswa Berdasarkan Kriteria Jawaban ……...140

Lampiran 10: Perhitungan Persentase Pemahaman Konsep Secara Keseluruhan ………...142

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep adalah cara mengelompokkan dan mengkategorikan secara mental

berbagai objek atau peristiwa yang mirip dalam hal tertentu. Konsep merupakan

inti pemikiran seseorang. Konsep meningkatkan pemikiran seseorang dalam

beberapa cara, salah satunya konsep mengurangi kompleksitas dunia. Konsep juga

dapat mengklasifikasikan objek dan peristiwa yang sama sehingga menjadi lebih

sederhana, dan lebih mudah dipahami. Konsep membantu dalam menarik sebuah

kesimpulan pada situasi-situasi baru. Selain itu, konsep kadang-kadang

memadatkan berbagai macam informasi menjadi informasi tunggal.1

Siswa mempelajari konsep baru setiap harinya di sekolah. Siswa

mendapatkan beberapa konsep tertentu dengan cepat dan mudah. Konsep-konsep

lainnya mereka dapatkan secara perlahan-lahan dan terus dimodifikasi seiring

waktu. Sementara itu, mereka sudah memiliki sedikit pemahaman mengenai

konsep-konsep tersebut meskipun belum sepenuhnya. Di kelas, siswa

mengkonstruksi makna dan tafsiran mereka di setiap konsep atau materi pelajaran

yang sedang mereka pelajari. Siswa menghubungkan pengetahuan sebelumnya

dengan gagasan-gagasan baru yang mereka dapatkan kemudian menarik

kesimpulan. Ketika siswa mengkonstruksi pemahamannya tersebut, tentu tidak

ada jaminan bahwa mereka akan mengkonstruksi pemahaman dengan benar.

Kesalahan pemahaman konsep oleh siswa secara konsisten akan

mempengaruhi efektivitas proses belajar selanjutnya dari siswa yang

bersangkutan.2 Jika siswa secara terus-menerus memiliki konsep-konsep yang

tidak tepat, maka akan menimbulkan masalah belajar di masa yang akan datang.

Masalah yang timbul misalnya terjadinya miskonsepsi pada diri siswa.

1

Jeanne E. Ormrod, Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 327.

2 Tri Wahyuni, Trustho dan Dyah, Pembuatan Instrumen Tes Diagnostik Fisika SMA

(16)

2

Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak

sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam

bidang itu.3 Miskonsepsi adalah kepercayaan yang tidak sesuai dengan penjelasan

yang sebenarnya dan terbukti sahih tentang suatu fenomena atau peristiwa. Dalam

pelajaran sains, misalnya, miskonsepsi siswa mungkin bertentangan dengan data

hasil penelitian ilmiah yang terkumpul selama puluhan bahkan ratusan tahun.4

Penyebab miskonsepsi pada siswa dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti

kesalahan dari siswa sendiri, kesalahan dari guru ketika menjelaskan pelajaran,

kesalahan dari buku teks yang digunakan, kesalahan konteks, dan kesalahan dari

metode mengajar yang digunakan oleh guru saat pembelajaran.

Penyebab yang berasal dari siswa dapat terdiri dari berbagai hal, seperti

prakonsepsi siswa, kemampuan tahap perkembangan, minat, cara berpikir, dan teman lainnya. Penyebab kesalahan dari guru dapat berupa ketidakmampuan guru,

kurangnya penguasaan bahan, cara mengajar yang tidak tepat atau sikap guru

dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik. Penyebab miskonsepsi dari buku

teks biasanya terdapat pada penjelasan atau uraian yang salah dalam buku

tersebut. Konteks, seperti budaya, agama, dan bahasa sehari-hari juga

mempengaruhi miskonsepsi siswa. Sedangkan metode mengajar yang hanya

menekankan kebenaran satu segi sering memunculkan salah pengertian pada

siswa.5

Cara mengatasi miskonsepsi yang terjadi di kalangan siswa, selain

mengetahui penyebab dari miskonsepsi itu sendiri, perlu juga dilakukan diagnosa

miskonsepsi-miskonsepsi yang dialami siswa. Diagnosis adalah proses yang

kompleks dalam suatu usaha untuk menarik kesimpulan dari hasil-hasil

pemeriksaan gejala-gejala, perkiraan penyebab, pengamatan dan penyesuaian

dengan kategori secara baik.6 Dalam dunia pendidikan diagnosis memiliki arti

3Paul Suparno,

Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 4.

4Jeanne E. Ormrod,

Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 338.

5Suparno,

op. cit., h. 29.

6 Suwarto,

(17)

3

yang luas, meliputi identifikasi mengenai kekuatan dan kelemahan siswa pada

suatu konsep. Dalam mendiagnosis miskonsepsi diperlukan suatu alat ukur atau

alat diagnostik yang dapat mengidentifikasi miskonsepsi yang ada dikalangan

siswa.

Tes diagnostik adalah tes yang dilaksanakan untuk menentukan secara

tepat, jenis kesukaran yang dihadapi oleh para siswa dalam suatu mata pelajaran

tertentu.7 Tes diagnostik berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang

dihadapi siswa, termasuk kesalahan pemahaman konsep.8 Dengan diketahuinya

letak kesalahan pemahaman konsep pada siswa, guru dengan segera dapat mencari

solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Melalui tes diagnostik ini dapat

diketahui tentang konsep-konsep yang telah dipahami dan yang belum dipahami

oleh siswa.

Terdapat beberapa alat diagnostik yang dapat digunakan, yaitu:

wawancara, pertanyaan terbuka, peta konsep, dan instrumen pilihan ganda dua

tingkat.9 Dari ketiga alat diagnostik tersebut, tes pilihan ganda dua tingkat

memiliki keunggulan karena dalam tes ini selain siswa mengerjakan butir tes yang

mengungkapkan konsep tertentu siswa juga harus mengungkapkan alasan kenapa

memilih jawaban tersebut.10 Dengan mengungkapkan alasan mereka dalam

menjawab setiap pertanyaan, maka akan diketahui letak miskonsepsi yang terjadi.

Selain itu, tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat mudah dilaksanakan dan

mudah pula bagi guru dalam memberikan penilaian. Cengiz Tusyuz dalam

jurnalnya yang berjudul, “Development of two-tier diagnostic instrument and assess students’ understanding in chemistry” pada tahun 2009 mengembangkan tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat melalui tiga tahapan. Pertama, dilakukan

wawancara terhadap 21 siswa untuk mengembangkan tes pilihan ganda. Kedua,

24 siswa diminta untuk memilih jawaban yang paling tepat untuk setiap

7Anas Sudjiono,

Pengantar Evaluasi Pendiidkan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 70.

8 Suwarto,

op. cit., h. 94.

9Ayla C. Dindar dan Omer, Development of a Three-Tier to Assess High School

Students’ Understanding of Acids and Bases, Procedia Social and Behavioral Sciences 15, 2011, pp. 600.

10Suwarto, “Pengembangan The Two-Tier Diagnostic Tests Pada Bidang Biologi”,

(18)

4

pertanyaan dan kemudian mereka memberi penjelasan atas pilihan mereka untuk

mengembangkan tes two-tier. Pada fase ketiga dari penelitiannya, uji two-tier yang terdiri dari 15 pertanyaan dikembangkan dan diterapkan kepada 141 siswa

untuk mengumpulkan data.11

Miskonsepsi dapat terjadi pada semua bidang sains, seperti: fisika, biologi,

kimia, dan astronomi. Dalam bidang fisika, miskonsepsi dapat terjadi di semua

subbidang fisika, seperti, mekanika, termodinamika, optika, bunyi dan

gelombang, listrik dan magnet, dan fisika modern.12 Dari sekian banyaknya

penelitian miskonsepsi di bidang fisika, miskonsepsi banyak terjadi pada

subbidang mekanika, salah satunya adalah pada konsep kinematika gerak dua

dimensi. Konsep gerak dua dimensi ini terdiri dari gerak parabola dan gerak

melingkar. Menurut beberapa penelitian, miskonsepsi banyak terjadi pada gerak

parabola. Siswa masih sulit memahami mengapa kecepatan pada puncak suatu

proyektil adalah nol, meskipun percepatannya tidak nol. Mereka berpikir, jika

kecepatan nol maka, percepatannya juga harus nol.13

Selain terjadi pada gerak parabola, miskonsepsi juga terjadi pada gerak

melingkar. Seperti yang ditulis oleh Rosita, dkk. dalam artikel yang berjudul

“Remediasi Miskonsepsi Siswa Tentang GMB Menggunakan Metode

Demonstrasi Berbantuan Guided Note Taking di SMA”, bahwa siswa mengalami miskonsepsi salah satunya pada pengertian kecepatan, siswa menganggap GMB

suatu benda memiliki kecepatan tetap karena sepanjang perjalanan benda tidak

berhenti dan GMB memiliki kecepatan linier yang arahnya menuju pusat

lingkaran.14 Padahal pada kenyataannya tidak lah demikian, GMB merupakan

gerak sebuah benda yang membentuk suatu lingkaran dengan laju konstan (v)

dengan arah kecepatan terus berubah. Karena percepatan didefinisikan sebagai

11

Cengiz Tüysüz, Development of two-tier diagnostic instrument and assess students’ understanding in chemistry, Scientific Research and Essay Vol. 4 (6) pp. 626.

12Paul Suparno,

Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 7.

13

Ibid., h. 13.

14 Rosita, dkk., Remediasi Miskonsepsi Siswa Tentang GMB Menggunakan Metode

(19)

5

besar perubahan kecepatan, maka perubahan arah dan besar kecepatan

menyebabkan terjadinya percepatan.15

Oleh karena itu, perlu dikembangkan tes diagnostik pilihan ganda dua

tingkat yang dapat mengidentifikasi miskonsepsi siswa pada konsep gerak dua

dimensi yang terdiri dari gerak parabola dan gerak melingkar. Berdasarkan

permasalahan yang sudah dijelasakan di atas, penulis tertarik untuk meneliti

miskonsepsi siswa pada konsep gerak dua dimensi dan penulis mengambil judul

dalam penellitian ini mengenai “Pengembangan Tes Diagnostik Pilihan Ganda

Dua Tingkat untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi Pada Konsep Gerak Dua Dimensi”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas dapat

diidentifikasikan masalahnya sebagai berikut:

1. Siswa akan lebih memahami apa yang mereka pelajari melalui pengalaman

langsung, namun pada prakteknya pembelajaran hanya sekedar hafalan

sehingga besar kemungkinan terjadi miskonsepsi

2. Banyak siswa yang kesulitan dalam memahami konsep-konsep fisika, yang

akhirnya menyebabkan miskonsepsi pada siswa.

3. Diperlukan alat diagnostik yang dapat mengidentifikasi

miskonsepsi-miskonsepsi di kalangan siswa untuk dapat memberikan tindak lanjut dengan

tindakan yang tepat

C. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang dikaji tidak terlalu luas, maka masalahnya dibatasi

sebagai berikut: hasil belajar fisika yang diukur hanya mencakup aspek kognitif

berdasarkan pada Taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson dan Kratwohl

(2006) pada tingkatan C1, C2, C3, dan C4.16

15 Giancoli,

Fisika Edisi kelima Jilid 1, (Jakarta: Erlangga, 2001), h. 132-133.

16 Anderson dan Krathwohl,

(20)

6

D. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apa saja jenis miskonsepsi

fisika siswa pada konsep gerak dua dimensi yang teridentifikasi dengan

menggunakan tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat?”. Secara operasional,

rumusan masalah di atas dapat dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

1. Pada sub konsep dan tingkat kognitif apa saja dalam konsep gerak dua

dimensi siswa mengalami miskonsepsi?

2. Jenis miskonsepsi apa saja yang terdeteksi dengan tes diagnostik pilihan ganda

dua tingkat ditinjau dari dimensi konsep?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis

miskonsepsi fisika siswa pada konsep gerak dua dimensi dengan menggunakan tes

diagnostik pilihan ganda dua tingkat.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi siswa, dengan teridentifikasinya miskonsepsi diharapkan siswa dapat

memperbaiki miskonsepsi yang terjadi pada dirinya sehingga hasil belajarnya

meningkat.

2. Bagi guru, sebagai alat ukur alternatif yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi miskonsepsi siswa sehingga dapat menentukan tindak lanjut

(21)

7 BAB II

DESKRIPSI TEORITIS DAN KERANGKA PIKIR

A. Deskripsi Teoritis 1. Konsep Fisika a. Definisi Konsep

Konsep adalah cara mengelompokkan dan mengkategorikan secara mental

berbagai objek atau peristiwa yang mirip dalam hal tertentu.17 Menurut Rosser

(1984), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek, kejadian,

kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama karena orang

mengalami stimulus yang berbeda-beda, orang membentuk konsep sesuai dengan

pengelompokkan stimulus dengan cara tertentu.18 Karena konsep itu adalah

abstraksi-absraksi yang berdasarkan pengalaman maka, setiap orang akan

membentuk konsep yang berbeda-beda. Secara singkat dapat dikatakan bahwa

suatu konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili satu kelas

stimulus.

Para ahli psikologi memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang

sesungguhnya dipelajari orang ketika mendapatkan suatu konsep baru. Mereka

mengemukakan bahwa suatu konsep mungkin saja dipelajari sebagai serangkaian

fitur, suatu prototipe, serangkaian eksemplar, atau kombinasi ketiganya.19

1) Konsep sebagai serangkaian fitur yang dimiliki bersama

Ketika mempelajari suatu konsep terkadang melibatkan pembelajaran berbagai

atribut spesifik, atau fitur-fitur yang mencirikan anggota suatu kategori

konsep. Hal ini mencakup baik fitur-fitur pendefinisi, yaitu karaketristik yang

ada di semua anggota kategori itu. Dan fitur-fitur yang hanya sekedar

berkolerasi dengan konsep tersebut, yaitu karakteristik yang terlihat di banyak

contoh konsep itu tapi tidak penting bagi atribut konsep. Ketika anak-anak

17 Jeanne E. Ormrod,

Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 327.

18 Ratna Wilis Dahar,

Teori-teori Belajar & Pembelajaran, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 63.

19 Jeanne,

(22)

8

mempelajari sebuah konsep untuk pertama kalinya, terkadang mereka

terkecoh dengan fitur-fitur yang sebenarnya hanya berkolerasi pada konsep

dan bukan fitur pendefinisi suatu konsep, terutama apabila fitur-fitur yang lain

itu lebih terlihat nyata dibandingkan fitur-fitur yang sebenarnya.

2) Sebagai prototipe

Begitu para siswa telah membentuk prototipe suatu konsep, mereka bisa

membandingkan objek dan peristiwa yang baru dengan prototipe tersebut

dalam rangka menentukan keanggotaan konsep. Peristiwa atau objek yang

mirip dengan prototipe lebih mudah diidentifikasi sebagai contoh konsep

tersebut. Sementara peristiwa atau objek yang sangat berbeada dari prototipe

tersebut cenderung diidentifikasi sebagai bukan contoh.

3) Konsep sebagai rangkaian eksemplar

Pada beberapa kasus, mengetahui suatu konsep umumnya mungkin tergantung

pada mengetahui berbagai contoh atau eksemplar dari konsep tersebut.

Eksemplar memberikan siswa pemahaman mengenai variabilitas yang mudah

mereka lihat pada setiap kategori objek atau peristiwa. Siswa biasanya

mempelajari konsep dengan lebih efektif apabila diberi berbagai macam

contoh dibandingkan hanya satu atau dua contoh saja.

Flavell (1970) menyarankan bahwa konsep-konsep dapat berbeda dalam

tujuh dimensi, yaitu:20

1) Atribut: Setiap konsep memiliki atribut yang berbeda. Contoh, konsep harus

mempunyai atribut yang relavan termasuk juga atribut yang tidak relevan.

Atribut dapat berupa fisik, seperti warna, tinggi, bentuk, atau dapat juga

berupa fungsinya.

2) Struktur: Struktur menyangkut cara terkaitnya atau tergabungnya

atribut-atribut itu. Terdapat tiga macam struktur yang dikenal, yaitu:

a) Konsep konjungtif, yaitu konsep yang di dalamnya terdapat dua atau lebih

sifat sehinggga dapat memenuhi syarat sebagai contoh konsep.

b) Konsep disjungtif adalah konsep yang di dalamnya satu dari dua atau lebih

sifat harus ada.

20 Willis,

(23)

9

c) Konsep relasional menyatakan hubungan tertentu antara atribut konsep.

3) Keabstrakan: Konsep-konsep dapat dilihat dan konkrit atau konsep itu terdiri

atas konsep-konsep lain.

4) Keinklusifan: Ini ditunjukkan pada jumlah contoh yang terlibat dalam konsep

itu.

5) Generalitas atau keumuman: Bila diklasifikasikan, konsep dapat berbeda

dalam posisi superordinat atau subordinatnya. Makin umum suatu konsep,

makin banyak asosiasi yang dapat dibuat dengan konsep lainnya.

6) Ketepatan: Ketepatan suatu konsep menyangkut apakah ada sekumpulan

aturan untuk membedakan contoh dan noncontoh suatu konsep. Klausmeier

(1977) mengemukakan empat tingkat pencapaian konsep, mulai dari tingkat

tingkat konkret ke tingkat formal. Konsep pada tingkat formal merupakan

konsep yang paling tepat sebab pada tingkat ini atribut-atribut yang

dibutuhkan konsep dapat didefinisikan.

7) Kekuatan: Kekuatan suatu konsep ditentukan oleh sejauh mana orang setuju

bahwa konsep itu penting.

b. Perolehan Konsep

Menurut Ausubel (1968), konsep diperoleh dengan dua cara, yaitu

pembentukan konsep dan asimilasi konsep.21 Anak-anak memperoeh

Pembentukan konsep sebelum mereka masuk sekolah. Pembentukan konsep ini

dapat disamakan dengan belajar konsep konkret menurut Gagne (1977).

Sedangkan untuk memperoleh konsep selama dan sesudah sekolah dapat

ditempuh melalui asimilasi konsep.22

1) Pembentukan konsep

Anak-anak sudah mendapatkan banyak konsep dan konsep tersebut terus

mengalami perubahan atau modifikasi seiring bertambahnya pengalaman mereka.

Konsep-konsep yang diperoleh tersebut didapatkan melalui pembentukan konsep.

Pembentukan konsep merupakan proses induktif. Pembentukan konsep mengikuti

21

Ibid., h. 64.

(24)

10

pola contoh/aturan. Anak-anak yang belajar konsep tertentu dihadapkan pada

sejumlah contoh dan noncontoh konsep tersebut. Melalui proses diskriminasi dan

abstraksi, mereka menetapkan suatu aturan yang menentukan kriteria untuk

konsep itu.

2) Asimilasi Konsep

Anak-anak dihadapkan dengan lebih banyak konsep yang harus dipelajari

setelah mereka masuk sekolah melalui asimilasi konsep. Berlawanan dengan

pembentukan konsep yang bersifat induktif, asimilasi konsep bersifat deduktif.

Menurut Ausubel (1968), dalam proses ini anak-anak diberi nama konsep dan

atribut konsep itu. Ini berarti mereka akan belajar arti konseptual baru dengan

memperoleh penyajian atribut-atribut kriteria konsep, kemudian mereka akan

menghubungkan atribut-atribut ini dengan gagasan-gagasan relevan yang sudah

ada dalam struktur kognitif mereka.

Dalam memperoleh konsep melalui asimilasi, orang yang belajar harus

sudah memperoleh definisi formal mengenai konsep tersebut. Menurut Rosser

(1984), suatu definisi formal suatu kata menunjukkan kesamaan dengan konsep

tertentu dan membedakan kata itu dari konsep-konsep lain. Sesudah definisi itu

disajikan, konsep itu dapat diilustrasikan dengan memberikan contoh atau

deskripsi verbal contoh.23

Walaupun kedua bentuk belajar konsep ini efektif, pembentukan konsep

lebih lama daripada asimilasi konsep. Dengan mempertimbangkan bahwa begitu

banyak konsep yang harus dipelajari siswa selama sekolah, penggunaan

berlebihan metode penemuan hendaknya dibatasi.

c. Pencapaian Konsep

Konsep berkembang melalui satu seri tingkatan. Tingkatan-tingkatan itu

mulai dengan hanya mampu menunjukkan suatu contoh suatu konsep hingga

dapat sepenuhnya menjelaskan atribut-atribut konsep. Klausmeier (1977)

mengemukakan empat tingkat pencapaian konsep. Tingkat-tingkat ini muncul

dalam urutan yang intervarian. Empat tingkat pencapaian konsep menurut

23

(25)

11

Klausmeier adalah tingkat konkret, tingkat identitas, tingkat klasifikasi, dan

tingkat formal yang dapat dijelaskan sebagai berikut:24

1) Tingkat konkret

Seseorang telah mencapai konsep pada tingkat konkret apabila orang tersebut

mengenal suatu benda yang telah dihadapinya. Untuk mencapai konsep

tingkat konkret, siswa harus dapat memperlihatkan benda itu dan dapat

membedakan benda itu dari stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya.

Selanjutnya, ia harus menyajikan benda itu sebagai suatu gambaran mental

dan menyimpan gambaran mental itu.

2) Tingkat identitas

Pada tingkat identitas, seseorang akan mengenal suatu objek: 1) sesudah

selang waktu tertentu; 2) bila orang itu mempunyai orientasi ruang (spatial orientation) yang berbeda terhadap objek itu; atau 3) bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indra yang berbeda. Selain ketiga operasi yang dibutuhkan

untuk pencapaian tingkat konkret, yaitu: memperhatikan, mendiskriminasi,

dan mengingat, siswa harus dapat mengadakan generalisasi untuk mengenal

bahwa dua atau lebih bentuk yang identik dari benda yang sama adalah

anggota dari kelas yang sama. Ada ahli psikologi yang menggunakan

istilah-istilah yang berbeda untuk menunjukkan dua tingkat pencapaian konsep ini.

Gagne (976) menggunakan istilah diskriminasi untuk tingkat konkret dan

generalisasi dari diskriminasi untuk tingkat identitas.

3) Tingkat klasifikasi

Pada tingkat klasifikasi, siswa mengenal persamaan (equivalence) dari dua contoh yang berbeda dari kelas yang sama. Walaupun siswa itu tidak dapat

menentukan kriteria atribut ataupun menentukan kata yang dapat mewakili

konsep itu, ia dapat mengklasifikasikan contoh dan noncontoh konsep,

sekalipun contoh dan noncontoh itu mempunyai banyak atribut yang mirip.

Operasi mental tambahan yang terlibat dalam pencapaian konsep pada tingkat

klasifikasi ialah mengadakan generalisasi bahwa dua atau lebih contoh sampai

batas-batas tertentu itu ekuivalen. Dalam operasi mental ini siswa berusaha

24

(26)

12

untuk mengabstraksi kualitas-kualitas yang sama yang dimiliki oleh

subjek-subjek itu.

4) Tingkat formal

Untuk pencapaian konsep pada tingkat formal, siswa harus dapat menentukan

atribut-atribut yang membatasi konsep. Kita dapat menyimpulkan bahwa

siswa telah mencapai suatu konsep pada tingkat formal bila siswa itu dapat

memberi nama konsep itu, mendefinisikan konsep itu dalam atribut-atribut

kriterianya, mendiskriminasi dan memberi nama atribut-atribut yang

membatasi, dan mengevaluasi atau memberikan secara verbal contoh dan

noncontoh konsep.

2. Miskonsepsi dalam Pembelajaran Fisika a. Definisi Miskonsepsi

Sejak kecil sebelum masuk pendidikan formal siswa sudah mulai

membangun pemahamannya sendiri mengenai suatu peristiwa tertentu. Namun,

ketika siswa membangun pemahamannya itu belum tentu mereka membangun

pemahamannya secara benar dan akurat. Siswa kadang hanya mempercayai

dengan apa yang mereka lihat. Ketika siswa menerima pengetahuan mengenai

suatu peristiwa tertentu dan ternyata tidak sesuai dengan pemahaman awalnya,

siswa berusaha untuk membangun kembali pemahamannya yang baru, dengan

menghubungkan pemahaman awal yang sudah dimilikinya dengan pengetahuan

yang baru dia dapatkan. Namun, terkadang siswa salah dalam menarik

kesimpulan, sehingga memunculkan kesalahan pemahaman yang akhirnya

menimbulkan miskonsepsi.

Miskonsepsi merupakan kesalahan pemahaman suatu peristiwa atau

konsep tertentu yang dialami seseorang akibat dari konsep yang sudah

dibangunnya tidak sesuai dengan pengertian ilmiah para ahli dalam bidang itu.

(27)

13

menghubungkan konsep-konsep. Menurut Feldsine miskonsepsi adalah suatu

kesalahan dan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep.25

Miskonsepsi adalah kepercyaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang

diterima umum dan terbukti sahih tentang suatu fenomena atau peristiwa. Dalam

pelajaran sains, misalnya, miskonsepsi siswa mungkin bertentangan dengan data

hasil penelitian ilimiah yang terkumpul selama puluhan bahkan ratusan tahun.26

Menurut Vosniadou, miskonsepsi itu muncul dari niat baik siswa itu sendiri untuk

memahami apa yang mereka lihat.27

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan siswa-siswa tingkat sekolah

menengah untuk menemukan miskonsepsi dalam topik-topik: “light, electric and simple circuits, heat and temperature, force and motion, the gaseous state, the particulate nature of matter in the gaseous phase, beyond appearances: the conservation of matter under physical and chemical transformations”, Driver (1985) mengemukakan hal-hal berikut:28

1) Miskonsepsi bersifat pribadi

Bila dalam suatu kelas anak-anak disuruh menulis tentang percobaan yang

sama, mereka memberikan berbagai interpretasi. Setiap anak “melihat” dan

menginterpretasikan eksperimen itu menurut caranya sendiri. Setiap anak

menngkonstruksi kebermaknaannya sendiri.

2) Miskonsepsi memiliki sifat yang stabil

Kerap kali terlihat bahwa gagasan anak yang berbeda dengan gagasan ilmiah

ini tetap dipertahankan anak, walaupun guru sudah berusaha memberikan

suatu kenyataan yang berlawanan.

3) Menyangkut koherensi

Bila menyangkut koherensi anak tidak merasa butuh pandangan yang koheren

sebab interpretasi dan prediksi tentang peristiwa-peristiwa alam praktis

25Paul Suparno,

Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 4.

26 Jeanne E. Ormrod,

Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 338.

27

Ibid., h. 339.

28 Ratna Wilis Dahar,

(28)

14

kelihatannya cukup memuaskan. Kebutuhan akan koherensi dan kriteria untuk

koherensi menurut persepsi anak tidak sama dengan yang dipersepsi ilmuan.

b. Penyebab Miskonsepsi

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya miskonsepsi pada

siswa. Faktor tersebut dapat berupa dari dalam diri siswa maupun dari luar.

Penyebab miskonsepsi secara garis besar dapat disebabkan karena beberapa hal

sebagai berikut:29

1) Siswa

Kesalahan pada siswa dapat berupa kesalahan pemahaman awal (prakonsepsi) siswa mengenai suatu fenomena/peristiwa tertentu, kemampuan siswa dalam

memahami suatu peristiwa, tahap perkembangan, minat siswa dalam suatu hal

yang akhirnya dapat mempengaruhi cara berpikir siswa, kesalahan siswa

dalam menarik kesimpulan yang terkadang hanya berdasarkan pada apa yang

mereka lihat, dan teman yang dapat mempengaruhi siswa dalam memahami

berbagai hal.

2) Guru

Kesalahan dari guru biasanya disebabkan karena ketidakmampuan guru dalam

menjelaskan suatu konsep kepada siswa, sehingga siswa sulit untuk

memahami apa yang disampaikan oleh guru. Pemahaman konsep guru yang

kurang, cara mengajar yang kurang tepat atau sikap guru yang kurang baik

dalam berhubungan dengan siswa. Padahal jika guru bersikap ramah dan

terbuka terhadap siswa, siswa tidak akan segan untuk bertanya mengenai

materi yang belum mereka pahami.

3) Buku teks

Penyebab miskonsepsi dari buku teks biasanya diakibatkan karena kesalahan

dalam memberikan penjelasan, kurangnya gambar yang dimuat di buku teks

yang dapat menyebabkan siswa harus menggambarkan sendiri dalam

29 Paul Suparno,

(29)

15

pikirannya tentang suatu fenomena tertentu dan terkadang gambaran yang

dibuat tidak sesuai dengan peristiwa yang terjadi.

4) Konteks

Kesalahan konteks dalam hal ini dapat berupa masyarakat sekitar, budaya,

agama, dan bahasa sehari-hari yang digunakan siswa. Penggunaan

ungkapan-ungkapan yang umum dalam bahasa terkadang salah menginterprestasikan

makna sebenarnya dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.

5) Metode mengajar

Beberapa guru kurang variatif dalam mengajar. Metode yang digunakan pun

monoton dan tidak melibatkan siswa dalam pembelajaran, yang akhirnya

pembelajaran hanya berpusat pada guru, siswa hanya mendengarkan apa yang

guru sampaikan. Sehingga membuat siswa jenuh dan kurang antusias dalam

mengikuti pembelajaran yang akhirnya siswa tidak memahami apa yang

dijelaskan oleh guru. Metode mengajar yang digunakan guru yang hanya

menekankan kebenaran dari satu sisi sering memunculkan kesalahan

pemahaman pada siswa.

Driver (1985) menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan

terbentuknya miskonsepsi dalam pembelajaran, terutama untuk tingkat primer,

yaitu:30

1) Terbentuknya miskonsepsi disebabkan karena anak cenderung mendasarkan

berpikirnya pada hal-hal yang tampak dalam suatu situasi masalah.

2) Dalam banyak kasus, anak itu hanya memperhatikan aspek-aspek tertentu

dalam suatu situasi. Hal ini disebabkan karena anak lebih cenderung

menginterpretasikan suatu fenomena dari segi sifat absolut benda-benda,

bukan dari segi interaksi antara unsur-unsur suatu sistem.

3) Anak lebih cenderung memperhatikan perubahan draipada situasi diam.

4) Bila anak-anak menerangkan perubahan, cara berpikir mereka cenderung

mengikuti urutan kausal linier.

5) Gagasan yang dimiliki anak mempunyai berbagai konotasi; gagasan anak

lebih inklusif dan global.

30 Willis,

(30)

16

6) Anak kerap kali menggunakan gagasan-gagasan yang berbeda untuk

menginterpretasikan situasi-situasi yang oleh para ilmuwan digunakan cara

yang sama.

c. Teknik Mendeteksi Miskonsepsi

Terdapat beberapa teknik dalam mendeteksi miskonsepsi, yaitu: peta

konsep, tes uraian tertulis, wawancara klinis, dan diskusi dalam kelas yang dapat

dijelaskan sebagai berikut:31

1) Peta Konsep

Novak, J. D. & Growin, D. B. (1984) mennyatakan bahwa peta konsep

sebagai suatu alat skematis untuk mempresentasikan suatu rangkaian konsep

yang digambarkan dalam suatu rangkaian proposisi. Peta itu mengungkapkan

hubungan-hubungan yang berarti antara konsep-konsep dan menekankan

gagasan-gagasan pokok. Peta konsep disusun secara hirarkis, konsep esensial

akan berada pada bagian atas peta. Miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan

melihat hubungan antara dua konsep apakah benar atau tidak.

2) Tes Uraian Tertulis

Tes uraian adalah tes yang terdiri dari butir-butir tes dimana masing-masing

butir tes berupa suatu pertanyaan atau suatu suruhan yang menghendaki

jawaban yang berupa uraian-uraian yang relatif panjang. Guru dapat

mempersiapkan tes uraian yang memuat beberapa konsep yang mau diajarkan

atau sudah diajarkan. Dari tes tersebut dapat diketahui salah pengertian yang

dibawa siswa dan salah pengertian dalam bidang apa.

3) Wawancara Klinis

Wawancara klinis dilakukan untuk melihat miskonsepsi pada siswa. Guru

memilih beberapa konsep yang dperkirakan sulit dimengerti sisw, atau

beberapa konsep yang esensial dari bahan yang mau diajarkan. Kemudian,

siswa diajak untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai

konsep-konsep di atas. Dari sini dapat dimengerti latar belakang munculnya

31 Suwarto,

(31)

17

miskonsepsi yang ada dan sekaligus ditanyakan dari mana mereka

memperoleh miskonsepsi tersebut.

4) Diskusi dalam Kelas

Dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang

konsep yang sudah diajarkan atau yang mau diajarkan. Dari diskusi tersebut,

guru atau peneliti dapat mengerti konsep-konsep alternatif yang dipunyai

siswa. Cara ini lebih cocok digunakan pada kelas yang besar dan juga sebagai

penjajakan awal. Miskonsepsi sangatlah resisten dalam pembelajaran bila

tidak diperhatikan dengan seksama oleh guru.

Paul Suparno dalam bukunya yang berjudul “Miskonsepsi & Perubahan

Konsep dalam Pendidikan Fisika”, menyebutkan bahwa cara mendeteksi

miskonsepsi selain yang sudah disebutkan di atas terdapat cara lainnya, yaitu

melalui tes multiple choice dengan reasioning terbuka dan melalui praktikum dengan tanya jawab.

1) Tes Multiple Choice dengan Reasioning terbuka32

Tes pilihan ganda dengan pertanyaan terbuka ini siswa harus menjawab dan

menulis alasan mengapa memilih jawaban tersebut. Jawaban-jawaban yang

salah dalam pilihan ganda tersebut selanjutnya dijadikan bahan tes pada tahap

berikutnya. Treagust dalam penelitiannya menggunakan pilihan ganda dengan

alasan. Dalam bagian alasan, siswa harus menulis mengapa memilih jawaban

itu. Beberapa peneliti lainnya menggunakan pilihan ganda dengan wawancara.

Berdasarkan hasil jawaban yang tidak benar dalam pilihan ganda itu, mereka

mewawancarai siswa. tujuan dari wawancara adalah untuk meneliti bagaimana

siswa berpikir, dan mengapa mereka berpikir seperti itu.

2) Praktikum dengan tanya jawab33

Praktikum yang disertai tanya jawab antara guru dengan siswa yang

melakukan praktikum juga dapat digunakan untuk mendeteksi apakah siswa

mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada praktikum itu atau tidak.

Selama praktikum, guru selalu bertanya bagaimana konsep siswa dan

32 Paul Suparno,

Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 123.

33

(32)

18

bagaimana siswa menjelaskan persoalan dalam praktikum tersebut. Praktikum

ini dapat diurutkan sebagai berikut:

a) Guru mengungkapkan persoalan yang ingin dilakukan dalam praktikum

b) Siswa diminta untuk membuat hipotesis atau dugaan lebih dulu dan

alasannnya

c) Siswa melakukan praktikum. Selama itu guru dapat mengajukan

pertanyaan sehingga semakin mengerti konsep siswa.

d) Siswa menyimpulkan hasilnya. Guru dapat menanyakan apakah hasilnya

sesuai dengan hipotesis yang dipikirkan sebelumnya.

e) Dari seluruh proses di atas, guru dapat mengerti apakah siswa mempunyai

miskonsepsi atau tidak, dan bagaimana miskonsepsi itu dapat diperbaiki.

Dalam penelitian ini teknik yang digunakan dalam mendeteksi

miskonsepsi yang terjadi pada konsep gerak dua dimensi adalah dengan

menggunakan instrumen tes pilihan ganda dua tingkat. Tes ini terdiri dari dua

tahapan, yaitu tes pilihan ganda dengan alasan terbuka pada tahap awal dan tes

pilihan ganda beralasan tertutup pada tahap kedua. Dalam tes ini selain siswa

mengerjakan butir tes yang mengungkapkan konsep gerak dua dimensi siswa juga

harus mengungkapkan alasan kenapa memilih jawaban tersebut.

d. Cara Mendorong Konstruksi Pengetahuan Dan Perubahan Konseptual Guru berkewajiban untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi

pemahaman yang akurat tentang konsep yang dipelajari, dan mendorong mereka

untuk melepaskan setiap kepercayaan yang keliru yang telah mereka konstruk

sebelumnya, sehingga tidak terjadi miskonsepsi pada diri siswa. Berikut adalah

beberapa cara mendorong konstruksi pengetahuan dan perubahan konseptual,34

1) Mendorong konstruksi pengetahuan yang efektif

Para ahli psikologi percaya bahwa ada banyak cara membantu siswa

mengkonstruksi basis pengetahuan yang kaya dan lebih canggih. Ada

34 Jeanne E. Ormrod,

(33)

19

beberapa pendekatan yang telah diidentifikasi oleh para ahli psikologi

kontemporer dan pendidik, yaitu sebagai berikut:

a) Memberikan kesempatan untuk melakukan eksperimen

Melalui interaksi dan ujicoba dengan objek-objek di sekitar mereka, siswa

dapat menemukan dari dekat beberapa karakteristik dan prinsip dunia.

b) Menyajikan perspektif ahli

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengetahuan dikonstruksi tidak

hanya oleh orang-orang secara mandiri tapi juga oleh orang-orang yang

bekerja bersama. Meskipun terkadang bermanfaat meminta siswa

menemukan prinsip-prinsip dasar bagi diri mereka sendiri, kita juga perlu

memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendengar dan membaca

gagasan para ahli. Pembelajaran akan lebih bermanfaat jika siswa

mengalami sendiri secara langsung dan dari mempelajari bagaimana

orang-orang sebelum mereka menafsirkan pengalaman manusia.

c) Menekankan pemahaman konseptual

Semakin sering siswa membentuk kesalingketerkaitan dalam sebuah

materi yang mereka pelajari, semakin mudah mereka mengingat dan

menerapkannya dikemudain hari. Ketika siswa membentuk banyak

hubungan logis diantara berbagai konsep dan prinsip spesifik yang terkait

dengan sebuah topik, mereka mendapatkan pemahaman konseptual.

d) Mendorong dialog di kelas

Umumnya, siswa mampu mengingat berbagai gagasan dan pengalaman

baru secara lebih efektif dan akurat ketika mereka membahas masalah ini

secara bersama-sama. Karenanya, banyak ahli kontemporer

merekomendasikan agar diskusi kelas menjadi bagian yang rutin dari

kegiatan belajar-mengajar.

e) Menugaskan aktivitas-aktivitas yang otentik

Beberapa ahli kognitif kontemporer megemukakan bahwa siswa dapat

mengkonstruksi basis pengetahuan yang lebih terintegrasi dan berguna

(34)

20

otentik, yaitu aktivitas-aktivitas yang mirip dengan apa yang sering

mereka jumpai di dunia luar sekolah.

f) Merancah (Scaffold) konstruksi teori

Sudah kita ketahui bahwa siswa mulai membentuk teori mengenai

beragam aspek jauh sebelum mereka mulai sekolah. Oleh karena itu teori

yang sudah dibangun siswa tersebut perlu untuk dikembangkan dan

direvisi agar sesuai dengan teori yang dikembangkan para ahli. Para ahli

psikologi dan pendidik telah menawarkan beberapa saran untuk membantu

siswa mengkonstruksi teori-teori yang produktif, yaitu: dorong dan

jawablah pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” dari siswa, mintalah

siswa membuat prediksi mengenai apa yang akan terjadi dalam

eksperimen yang dilakukan, gunakan analogi untuk menghubungkan

konsep dan gagasan baru dengan pengetahuan awal mereka, sajikan model

fisik atau simbolik yang menerangkan fitur-fitur utama sebuah fenomena,

pilihlah penjelasan yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif

mereka, mintalah siswa merefleksikan dan membuat hubungan di antara

berbagai hal yang telah mereka pelajari.

g) Membentuk komunitas belajar

Mengingat manfaat dialog dan bentuk-bentuk interaksi siswa yang lain

serta tujuan meningkatkan konstruksi makna secara sosial, beberapa ahli

psikologi dan pendidik menyarankan agar kita membentuk suatu

komunitas pembelajar, yaitu kelas dimana kita dan siswa secara konsisten

saling membantu dalam belajar.

3. Tes Diagnostik

a. Definisi Tes Diagnostik

Diagnosis merupakan suatu istilah yang diadopsi dari bidang medis.

Menurut Thorndike dan Hagen, diagnosis dapat diartikan sebagai:35

35 Abin S. Makmun,

(35)

21

1) Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit (weakness, disease) apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi yang seksama

mengenai gejala-gejalanya (symptons);

2) Studi yang seksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan

karakteristik atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial;

3) Keputusan yang dicapai setelah dilakukan suatu studi yang seksama atas

gejala-gejala atau fakta tentang suatu hal.

Diagnosis adalah proses yang kompleks dalam suatu usaha untuk menarik

kesimpulan dari hasil-hasil pemeriksaan gejala-gejala, perkiraan penyebab,

pengamatan dan penyesuaian dengan kategori secara baik.36 Dalam bidang

pendidikan diagnosis merupakan keputusan yang diambil setelah dilakukan

analisis dari suatu pengolahan data. Diagnosis dapat berupa keputusan mengenai

kesulitan belajar yang dialami siswa, keputusan mengenai faktor-faktor yang

menjadi sumber penyebab kesulitan belajar siswa, dan keputusan mengenai faktor

utama penyebab kesulitan belajar siswa.

Sedangkan tes diagnostik itu sendiri adalah tes yang digunakan untuk

menilai pemahaman konsep yang dimiliki siswa, terutama kelemahan

(miskonsepsi) yang dalami siswa terhadap suatu konsep tertentu dan mendapatkan

masukan tentang respon siswa untuk memperbaiki kelemahannya tersebut. Tes

diagnosis berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi siswa,

termasuk kesalahan pemahaman konsep.37 Bagi guru tes diagnostik ini berfungsi

untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi pada siswa. Sedangkan bagi

siswa, berfungsi untuk memotivasi siswa untuk memperoleh jawaban yang benar

setelah melakukan tes diagnostik tersebut.

b. Penaksiran Diagnosis

Menurut Nitko & Brookhart (2007: 296) ada enam pendekatan penaksiran

diagnostik terkait dengan masalah pembelajaran, yaitu:38

36

Suwarto, Pengembangan Tes Diagnosis dalam Pembelajaran, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2013), h. 90.

37

Ibid., h. 94.

38

(36)

22

1) Pendekatan profil kekuatan dan kelemahan kemampuan pada suatu bidang

Pada pendekatan ini, suatu mata pelajaran sekolah dbagi kedalam

bagian-bagian, dimana masing-masing bagian dianggap sebagai cirri atau kemampuan

yang terpisah. Hasil diagnosis dilaporkan sebagai suatu profil kekuatan dan

kelemahan siswa. Langkah-langkah melakukan penaksiran diagnostik jenis

ini, yatu: (a) kenali dua atau lebih bidang kemampuan yang diinginkan untuk

membuat profil setiap siswa, (b) buatlah butir-butir untuk mengukur

konsep-konsep dasar pada masing-masing bidang, (c) himpunlah soal-soal ke dalam

sub-subtes yang terpisah, dan (d) kelola masing-masing subtes secara terpisah,

dan gunakan petunjuk dan pemilihan waktu secara terpisah.

2) Pendekatan mengidentifikasi kekurangan pengetahuan prasyarat

Pendekatan ini mengeksplorasi apakah siswa-siswi tertinggal dikarenakan

mereka tidak memiliki pengetahuan atau keahlian khusus yang dibutuhkan

untuk memahami pelajaran yang akan datang. Langkah-langkah penaksiran

diagnostik jenis ini, yaitu: membuat suatu hierarki dari suatu target

pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa, melakukan analisis untuk

mengidentifikasi prasyarat-prasyarat yang harus dipahami oleh siswa untuk

mencapai target pembelajaran tersebut. Untuk masing-masing prasyarat yang

diidentifikasi, kemudian dianalisis lagi sehingga diperoleh suatu hierarki

prasyarat.

3) Pendekatan mengidentifikasi target-target pembelajaran yang tidak dikuasai

Pendekatan ini memusatkan penaksiran pada target-target yang penting dan

spesifik dari tujuan pembelajaran yang diharapkan. Tes-tes pendek dibuat

untuk menngukur keberhasilan dari masing-masing target pembelajaran.

Informasi diagnostik yang ingin diperoleh dari pendekatan ini adalah suatu

daftar target pembelajaran yang sudah dikuasai atau tidak dikuasai oleh siswa.

Langkah-langkah pendekatan jenis ini meliputi: (a) Mengenal dan menulis

pernyataan-pernyataan target pembelajaran yang merupakan hasil

pembelajaran. (b) Untuk setiap target pembelajaran, buatlah empat sampai

delapan butir soal. (c) Jika memungkinkan, mintalah guru lain untuk mengulas

(37)

23

pembelajaran. (d) Kelompokkan butir-butir soal ke dalam suatu tes tunggal

jika target pembelajaran relatif pendek (kurang dari enam). (e) Berikan label

lulus untuk setiap target pembelajaran jika nilai siswa telah melebihi dari

passing grade yang telah ditentukan. (f) Lakukan penaksiran pada setiap siswa. setelah melakukan penaksiran, nilailah target-target pembelajaran

secara terpisah.

4) Pendekatan pengidentifikasian kesalahan siswa

Tujuan pendekatan ini adalah untuk mengidentifikasi kekeliruan-kekeliruan

siswa. Ketika guru mengidentifikasi dan mengklasifikasi kekeliruan siswa,

selanjutnya guru dapat memberikan pelajaran remedi. Mewawancarai siswa

adalah cara terbaik untuk menemukan banyak kekeliruan pada siswa. guru

dapat meminta siswa untuk menjelaskan bagaimana mereka menyelesaikan

sebuah soal, menjelaskan mengapa mereka menjawab seperti itu,

memberitahukan aturan untuk menyelesaikan suatu soal.

5) Pendekatan mengidentifikasi struktur pengetahuan siswa

Mengidentifikasi struktur pengetahuan siswa dapat dilakukan dengan

menggunakan peta konsep. Peta konsep ini menunjukkan bahwa siswa

tersebut memiliki pengetahuan yang benar-benar terorganisir dengan baik

mengenai konsep-konsep pada unit pelajaran. Bagaimana seorang siswa

berpikir mengenai konsep-konsep dan keterkaitan hubungan konsep-konsep

tersebut. Bagaimana siswa melihat konsep tersebut diatur, dan bagaimana

kemungkinan konsep-konsep tersebut dihubungkan dengan konsep-konsep

lain yang telah dipelajari siswa. Hal ini bisa membantu guru menjelaskan

mengapa siswa membuat kekeliruan, atau mengapa mereka memiliki kesulitan

dalam menyelesaikan soal.

6) Pendekatan mengidentifikasi kompetensi untuk menyelesaikan soal cerita

Pendekatan ini berpusat pada pendiagnosisan apakah siswa memahami

komponen-komponen soal cerita. Diagnosis di dalam pendekatan ini adalah

untuk mengidentifikasi siswa yang tidak dapat menyelesaikan soal cerita dan

apakah kekurangan mereka terletak pada pengetahuan linguistik dan faktual,

(38)

24

c. Fungsi Tes Diagnostik

Tes diagnostik memiliki dua fungsi utama, yaitu:39

1) mengidentifikasi masalah atau kesulitan yang dialami siswa.

2) merencanakan tindak lanjut berupa upaya-upaya pemecahan sesuai masalah

atau kesulitan yang telah teridentifikasi.

d. Karakateristik Tes Diagnostik

Tes diagnostik memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:40

1) dirancang untuk mendeteksi kesulitan belajar siswa, karena itu format dan

respons yang dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik

2) dikembangkan berdasar analisis terhadap sumber-sumber kesalahan atau

kesulitan yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah (penyakit)

siswa

3) menggunakan soal-soal bentuk supply response (bentuk uraian atau jawaban singkat), sehingga mampu menangkap informasi secara lengkap. Bila ada

alasan tertentu sehingga mengunakan bentuk selected response (misalnya bentuk pilihan ganda), harus disertakan penjelasan mengapa memilih jawaban

tertentu sehingga dapat meminimalisir jawaban tebakan, dan dapat ditentukan

tipe kesalahan atau masalahnya

4) disertai rancangan tindak lanjut (pengobatan) sesuai dengan kesulitan

(penyakit) yang teridentifikasi.

e. Langkah-langkah Pengembangan Tes Diagnostik

Di bawah ini diuraikan secara garis besar langkah-langkah pengembangan

tes diagnostik berangkat dari kompetensi dasar yang bermasalah.41

1) Mengidentifikasi kompetensi dasar yang belum tercapai ketuntasannya.

Tes diagnostik dilakukan untuk mendiagnosis kesulitan atau masalah belajar

yang dialami oleh siswa. Kesulitan belajar tersebut mengacu pada kesulitan

39

DEPDIKNAS, Tes diagnostik, (Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah-Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, 2007).

40 Ibid. 41

(39)

25

untuk mencapai kompetensi dasar, karena itu sebelum menyusun tes

diagnostik harus diidentifikasi terlebih dahulu kompetensi dasar-kompetensi

dasar manakah yang tidak tercapai tersebut. Untuk mengetahui tercapainya

suatu kompetensi dasar dapat dilihat dari munculnya sejumlah indikator,

karena itu bila suatu kompetensi dasar tidak tercapai, perlu didiagnosis

indikator-indikator mana saja yang tidak mampu dimunculkan. Mungkin saja

masalah hanya terjadi pada indikator-indikator tertentu, maka cukup pada

indikator-indikator itu saja disusun tes diagnostik yang sesuai.

2) Menentukan kemungkinan sumber masalah

Setelah kompetensi dasar atau indikator yang bermasalah teridentifikasi,

mulai ditemukan (dilokalisasi) kemungkinan sumber masalahnya. Dalam

pembelajaran sains, terdapat tiga sumber utama yang sering menimbulkan

masalah, yaitu: a) tidak terpenuhinya kemampuan prasyarat; b) terjadinya

miskonsepsi; dan c) rendahnya kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Di samping itu juga harus diperhatikan hakikat sains yang memiliki dimensi sikap, proses, dan produk. Sumber masalah bisa terjadi pada

masing-masing dimensi tersebut.

3) Menentukan bentuk dan jumlah soal yang sesuai

Perlu dipilih alat diagnosis yang tepat berupa butir-butir tes diagnostik yang

sesuai. Butir tes tersebut dapat berupa tes pilihan, esai (uraian), maupun

kinerja (performa) sesuai dengan sumber masalah yang diduga dan pada

dimensi mana masalah tersebut terjadi.

4) Menyusun kisi-kisi soal

Sebelum menulis butir soal dalam tes diagnostik harus disusun terlebih dahulu

kisi-kisinya. Kisi-kisi tersebut setidaknya memuat: a) kompetensi dasar

beserta indikator yang diduga bermasalah; b) materi pokok yang terkait; c)

dugaan sumber masalah; d) bentuk dan jumlah soal; dan e) indikator soal.

5) Menulis soal

Sesuai kisi-kisi soal yang telah disusun kemudian ditulis butir-butir soal. Soal

tes diagnostik tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan butir soal tes

(40)

26

informasi yang cukup untuk menduga masalah atau kesulitan yang dialaminya

(memiliki fungsi diagnosis). Pada soal uraian, logika berpikir siswa dapat

diketahui guru dari jawaban yang ia tulis, tetapi pada soal pilihan siswa perlu

menyertakan alasan atau penjelasan ketika memilih option (alternatif jawaban) tertentu.

6) Mengulas soal

Butir soal yang baik tentu memenuhi validitas isi, untuk itu soal yang telah

ditulis harus divalidasi oleh seorang pakar di bidang tersebut. Bila soal yang

telah ditulis oleh guru tidak memungkinkan untuk divalidasi oleh seorang

pakar, soal tersebut dapat direviu oleh guru-guru sejenis dalam MGMPS atau

setidaknya oleh guru-guru mata pelajaran serumpun dalam satu sekolah.

7) Menyusun kriteria penilaian

Kriteria penilaian memuat rentang skor yang menggambarkan pada rentang

berapa saja siswa didiagnosis sebagai mastery (tuntas) yaitu sudah menguasai kompetensi dasar atau belum mastery yaitu belum menguasai kompetensi dasar tertentu, atau berupa rambu-rambu bahwa dengan jumlah type error (jenis kesalahan) tertentu siswa yang bersangkutan dinyatakan ber”penyakit”

sehingga harus diberikan perlakuan yang sesuai.

Menurut Nichols (1994) terdapat lima langkah pengembangan tes

diagnostik yang bertujuan untuk penilaian kognitif, yaitu: (1) Berdasarkan

konstruksi teori yang subtansif. Teori yang subtansif merupakan dasar dalam

pengembangan tes berdasarkan penilaian atau ulasan penelitian; (2) seleksi

desain. Desain pengukuran digunakan untuk membuat konstruk butir yang dapat

direspons dengan baik oleh peserta tes berdasarkan pengetahuan, keterampilan

yang spesifik atau karakteristik lain sesuai teori; (3) administrasi tes. Administrasi

tes meliputi beberapa aspek yaitu format butir, teknologi yang digunakan untuk

membuat alat tes, situasi lingkungan pada waktu pengetesan dan sebagainya; (4)

(41)

27

penyesuaian antara teori dan model, apakah tes yang dikembangkan mendukung

teori atau tidak jika tidak maka harus drevisi.42

f. Penskoran dan Penafsiran Tes Diagnostik

Di bawah ini diuraikan beberapa hal yang harus diperhatikan ketika

melakukan penskoran dan penafsiran hasil tes diagnostik.43

1) Selain memberikan hasil kuantitatif berupa skor tertinggi bila responsnya

lengkap dan skor terendah bila responsnya paling minim, kegiatan penskoran

juga harus mampu merekam jenis kesalahan (type error) yang ada dalam respons siswa. Siswa dengan skor sama, misalnya sama-sama 0 (berarti

responsnya salah) belum tentu memiliki type error yang sama juga, karena itu mengidentifikasi penyebab terjadinya kesalahan jauh lebih bermakna

dibandingkan dengan menentukan berapa jumlah kesalahannya atau berapa

skor total yang dicapainya. Hasil identifikasi type error menjadi dasar interpretasi yang akurat.

2) Untuk memudahkan identifikasi dan analisis terhadap berbagai type error yang terjadi, setiap type error dapat diberi kode yang spesifik, sesuai selera guru asalkan konsisten, misalnya:

A = terjadi miskonsepsi

B = kesalahan mengubah satuan

C = kesalahan menggunakan formula

D = kesalahan perhitungan

dan seterusnya.

3) Bila tes diagnostik terhadap suatu indikator dibangun oleh sejumlah butir soal

perlu ditentukan batas pencapaian untuk menentukan bahwa seorang siswa itu

dinyatakan bermasalah. Juga perlu ditentukan batas toleransi untuk jumlah

dan jenis type error yang boleh terjadi. Batas pencapaian ini dapat ditentukan sendiri oleh guru berdasar pengalamannya atau berdiskusi dengan guru-guru

serumpun.

42 Suwarto,

Pengembangan Tes Diagnosis dalam Pembelajaran, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2013), h. 126.

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Peta Konsep …………………………………………………31
Gambar 2.1 Bagan Peta Konsep
Tabel 2.1 Persamaan-Persamaan Umum Gerak Kinematika untuk
Tabel 2.2 Persamaan-Persamaan Gerak Kinematika Untuk Gerak Parabola
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu instrumen tes pilihan ganda dua tingkat yang dapat mendiagnosis miskonsepsi siswa pada materi gaya antarmolekul,

gaya yang bekerja pada sebuah benda sama dengan nol maka benda tidak akan dipercepat, benda selalu diam, dan perubahan kecepatan sama dengan nol.” Partisipan A, D, E, G, H, dan J

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. © Nurlaela Agustini 2014

Sebuah Skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. ©Tita Thursina Rubianti 2016

Penelitian pengembangan ini dilakukan dengan asumsi penelitian ini dapat menghasilkan instrumen tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat yang dapat mempermudah guru dalam

Tabel 5 menunjukkan bahwa pemahaman siswa kelas XI di SMA Negeri 8 Semarang pada materi gerak melingkar beraturan masih perlu ditingkatkan karena persentase tertinggi

9 Suwarto, Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran , h.. Matriks dan Tranformasi Geometri kurikulum 2013, karena kebanyakan siswa di sekolah tersebut

Menurut Hukum Newton, sebuah benda akan tetap dalam keadaan diam atau bergerak lurus beraturan dengan kecepatan konstan jika jumlah gaya yang bekerja pada benda tersebut adalah nol..