• Tidak ada hasil yang ditemukan

Timor Timur

Dalam dokumen POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI D (Halaman 148-154)

Ketegangan dan Dinamika dalam Diskursus Politik Transis

6. Timor Timur

Timor Timur telah merdeka. Tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia. Meskipun demikian, pengungkapan kekerasan oleh rejim Orde Baru di masa lalu tetap berjalan. Politik bumi hangus, pembentukan laskar sipil bersenjata pro-Indonesia, tak mampunya TNI dalam mempertahankan situasi damai di Timor Timur menjelang dan pasca-jajak pendapat 1999 telah menimbulkan reaksi yang keras dari dunia internasional.

Pemerintah Indonesia merespon tuntutan dunia internasional dengan mengadakan pengadilan HAM ad hoc atas kasus kekerasan di Timor Timur dan memberi wewenang

kepada Komnas HAM untuk mengadakan investigasi atas kasus kekerasan di Timor Timur. Hasil pengadilan (sampai ke tingkat banding) ternyata membebaskan seluruh pimpinan dan prajurit TNI dan Polri. Yang terhukum hanya satu tokoh sipil yaitu Eurico Guterres (wakil panglima PPI). Hasil pengadilan sangat ironis karena kesalahan hanya ditimpakan kepada seorang tokoh sipil.

Komnas HAM membentuk KPP Timor Timur untuk mengadakan investigasi atas kasus kekerasan di Timor Timur. Hasil laporan KPP Timor Timur dipuji banyak kalangan aktivis kemanusiaan. Laporan KPP Timor Timur justru mendatangkan friksi politik di tubuh Komnas HAM. Aisyah Amini, seorang anggota Komnas HAM mengecam laporan KPP terutama soal keputusan KPP mengumumkan nama-nama para petinggi TNI dan Polri yang terlibat dalam kekerasan di Timor Timur. Dan ternyata Aisyah Amini tidak sendirian. Ia didukung oleh sejumlah anggota Komnas HAM yang punya latar belakang militer, Polri dan birokrat.106

Hasil pengadilan HAM ad hoc Timor Timur yang sangat mengecewakan mendorong Komisi HAM PBB memutuskan untuk mengirim Tim Ahli untuk mengadakan investigasi lebih mendalam mengenai kasus kekerasan di Timor Timur. Tim Ahli akhirnya merekomendasikan kepada Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengadakan pengadilan internasional terhadap para pelaku pelanggaran HAM. Pemerintah Indonesia yang semakin khawatir dengan perkembangan investigasi memutuskan untuk bekerja sama dengan pemerintah Timor Leste. Pada saat yang sama, pemerintah Timor Leste juga mempunyai kebutuhan untuk menjalin hubungan baik dengan Indonesia.

Bertemunya kedua kepentingan dari kedua negera berujung pada pembentukan Komisi Keadilan dan Persahabatan (KKP). Sejak awal, KKP telah mengisyaratkan bahwa hasil laporan KKP tidak akan diteruskan ke proses hukum. KKP tidak akan merekomendasikan adanya pengadilan internasional atas kasus kekerasan yang dulu pernah terjadi di Timor Timur. Setelah berkali kali mengalami perpanjangan masa kerjanya, KKP berhasil

106

Cornelis Lay, Pratikno, dkk., Komnas HAM 1998-2001: Pergulatan dalam Transisi Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

merampungkan laporan akhirnya pada bulan Juli 2008. Pada intinya laporan ini menyebutkan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan di Timor Timur.

Respons terhadap hasil laporan KKP cukup beragam. Presiden menyambut baik laporan KKP dan menyerukan perlunya semua pihak untuk belajar dari kesalahan di masa lalu. Ketua DPR, Agung Laksono juga menyambut baik dan mendesak pemerintah untuk menindaklanjuti laporan KKP. Sejumlah organisasi kemanusiaan di Indonesia memuji keberanian KKP untuk menyebut para pelaku pelanggaran HAM berat. Selain itu tidak adanya rekomendasi untuk diadakannya amnesti juga mendapat pujian.

Reaksi yang lain berasal dari tokoh-tokoh militer yang disebutkan sebagai pelaku kekerasan. Meskipun mereka tidak setuju dengan laporan KKP, tetapi karena tidak adanya rekomendasi pengadilan membuat mereka tidak menanggapi secara keras. Justru suara keras penolakan berasal dari dua anggota DPR dari Fraksi PDIP yaitu Permadi dan Sutradara Ginting. Menurut keduanya, Indonesia harus menolak laporan KKP karena tidak berdasar pada fakta dan bersifat memojokkan Indonesia di dunia internasional. Tanggapan yang lain justru tidak menyoroti pada kebenaran dari laporan tetapi motif dari pengumuman laporan oleh KKP yang dikaitkan dengan makin dekatnya pemilihan presiden 2008. Paling tidak ada dua nama bakal calon presiden Indonesia yang tersangkut dalam peristiwa Timor Timur, yaitu Wiranto dan Prabowo. SBY juga dituding memanfaatkan faktor waktu dalam menerima dan mengumumkan hasil laporan KKP.

Masa Depan Indonesia ada di Masa Lalu

Walter Benjamin, seorang filsuf dan budayawan dari aliran teori kritis menempatkan masa lalu dari orang-orang yang menderita sebagai sumber inspirasi bagi upaya pembebasan di masa kini dan masa depan.107 Masa lalu bagi Benjamin bukanlah sudah lewat atau telah mati. Masa lalu justru punya daya hidup bagi manusia untuk merealisir

tujuan-tujuannya. Benjamin mengambil contoh tentang kebahagiaan. Kebahagiaan adalah gambaran yang ditentukan oleh kegagalan dan ke-tidaksampai-an untuk meraih kebahagiaan di masa lalu. Kebahagiaan adalah tuntutan dan potensi masa lalu yang belum dipenuhi, dan karenanya harus dipenuhi.108

Pemikiran Benjamin ini penting untuk kita kembangkan dalam usaha mempertahankan semangat dalam mengungkapkan kebenaran di masa lalu. Di tengah situasi politik yang transaksional yang dipraktekkan oleh para politisi yang saling melakukan politik dagang sapi, bertahannya politik yang hanya mengejar kepentingan pribadi, kita berharap bahwa kekuatan para korban tidaklah redup. Sampai saat ini, ingatan akan penderitaan para korban di masa lalu tetap menjadi sumur inspirasi yang tak habis-habisnya bagi upaya kemanusiaan mengungkap masa lalu demi pembebasan di masa kini dan masa depan. Sampai saat ini, Komnas HAM masih meneruskan upayanya untuk mengungkap kebenaran dalam empat peristiwa di masa lalu, yaitu peristiwa 1965, Petrus, DOM Aceh dan Papua. KKP telah menyelesaikan laporan akhirnya. Meski ada kekurangan, tetapi secara keseluruhan hasil laporan itu sangatlah positif bagi pengungkapan kebenaran masa lalu.

Syarikat (Masyarakat Syantri untuk Advokasi Rakyat) tak kenal menyerah, berusaha menjembatani golongan-golongan yang seakan-akan tak terjembatani, yaitu antara eks- tapol 1965 dengan kelompok santri NU.109 Dua kelompok ini pada masa lalu saling berhadap-hadapan dalam politik nasional dan lokal.

Kontras masih setia dengan tugasnya sebagai lembaga kemanusiaan yang berjuang untuk melawan politik kekerasan di Indonesia dan mendampingi korban dan keluarganya. Elsam dan PUSdEP masih setia dengan studi dan advokasinya mengenai wacana pengungkapan masa lalu dan rekonsiliasi. Bagaimana dengan para korban? Sampai saat

107

Pemikiran Walter Benjamin diambil dari tulisan G.P. Sindhunata, “Memoria Passionis Walter Benjamin dan Teologi Politik,” dalam Budi Susanto (ed.), Teologi dan Praksis Komunitas Postmodern, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994.

108

Ibid., hlm. 207.

109

Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, Jakarta: Elsam, 2004, khususnya uraian tentang Syarikat dan aktivitasnya.

ini, para korban peristiwa 1965 masih tetap bersemangat meraih keadilan. Tubuh renta tak menghalangi mereka untuk terus berjuang. LPKP dan Pakorba masih tetap semangat mengumpulkan rekan-rekan sesama korban. Para seniman dan budayawan eks-Lekra masih terus berkarya sampai saat ini.

Para korban di Aceh masih terus berjuang memperoleh keadilan meski situasi di Aceh sudah lebih damai. Bagi mereka, situasi damai seharusnya tak menghalangi upaya mencari keadilan. Orang-orang Papua berpaling ke masa lalu, jauh sebelum Papua menjadi wilayah Indonesia. Sebagian orang Papua masih punya ingatan tentang hidup yang lebih damai di masa lalu. Kepercayaan pada koreri (pembebasan dalam konteks kepercayaan orang Papua) akan dicapai di masa depan.110

Keluarga korban penculikan masih menyimpan harap akan kembalinya aktivis pro- demokrasi yang diculik. Sampai saat ini orang tua dari salah seorang aktivis yang diculik tidak mengunci pintu kamar anaknya. Orang tua itu berharap anaknya akan kembali keharibaan mereka, entah kapan mereka tidak tahu. Mereka tidak ingin kalau anaknya pulang, anaknya tak bisa masuk ke rumah yang terkunci. Demikian juga dengan istri dari Wiji Tukul yang merindukan untaian kata-kata indah yang mengalir lewat puisi dari suaminya tercinta. Para mahasiswa masih tetap memperjuangkan keadilan dalam peristiwa TSS. Demikian juga dengan keluarga korban dan korban dari kerusuhan Mei 1998. Keluarga korban Tanjung Priok masih tetap berharap akan datangnya keadilan, walaupun islah telah mulai dilakukan.

Basis etis dari penderitaan korban di masa lalu masih ada. Basis etis ini membutuhkan tindakan politik yang tak kenal henti. Memperebutkan masa lalu tidak saja menyangkut persoalan etis tetapi juga persoalan pertarungan politik merebut demokrasi. Dalam politik yang lebih demokratis saat ini, kelompok-kelompok lama yang otoriter tidak hanya mengandalkan pada kekuatan fisik seperti pada jaman Orde Baru. Mereka justru menggunakan mekanisme dan kelembagaan yang demokratis. Tidak mengherankan, representasi mereka ada di DPR, Pengadilan dan MA, Kejaksaan Agung, pemerintah

110

bahkan di Komnas HAM sekalipun. Berbagai kemandekan dalam upaya pengungkapan kebenaran justru melalui mekanisme yang ada dalam sistem demokrasi.

Para korban dan pecinta kemanusiaan perlu memahami dan meletakkan perjuangan mengungkap kebenaran di masa silam sebagai perjuangan politik yang riil seperti yang pernah dilakukan oleh gerakan reformasi. Jelas, perjuangan mengungkap kebenaran di masa lalu bukanlah suatu perjuangan yang mudah. Perjuangan ini membutuhkan energi yang besar dan strategi yang tepat. Energi sesungguhnya telah kita punyai yaitu penderitaan para korban. Strategi perjuangan membutuhkan kecermatan kita untuk memahami bagaimana cara kerja kelompok lawan.

Pada akhirnya, demokrasi menjadi wahana bertarungnya politik yang menghendaki pengungkapan kebenaran di masa lalu berhadapan dengan politik yang menghalangi dan menghilangkan pengungkapan kebenaran di masa lalu. Pertarungan itu ada di berbagai lokasi, mulai dari Pemerintah, DPR, Pengadilan dan Kejaksaan serta dalam agenda perjuangan aktivis kemanusiaan serta kelompok korban.

Penutup

Dalam dokumen POLITIK HAK ASASI MANUSIA DAN TRANSISI D (Halaman 148-154)

Dokumen terkait