• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Peraturan mengenai tindak Pidana Illegal logging

A.1 ketentuan pidana di bidang kehutanan

Sejak bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai sekarang ternyata Pemerintah dengan persetujuan DPR telah berhasil menetapkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam bidang Kehutanan. Pada saat diberlakukannya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka berdasarkan ketentuan Penutup Undang-Undang tersebut, Pasal 83 mencabut Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan

Semakin berkembang dan kompleksnya kejahatan di bidang kehutanan dirasakan tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat atau dengan kata lain UU No. 5 Tahun 1967 tidak efektif lagi untuk di pertahankan. Melihat keadaan ini maka Pemerintah (Presiden bersama DPR) memberlakukan UU No.. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Dalam UU No. 5 tahun 1967 tidak diatur tentang sanksi pidana terhadap kejahatan di bidang Kehutanan namun diatur dalam Peraturan Pelaksananya berdasarkan Pasal 15 UU No. 5 tahun 1967 tersebut. Namun demikian dalam Pasal 82 Undang-Undang No. 41 Tahun 199 disebutkan bahwa: “ Semua peraturan pelaksana dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan dikeluarkannya Peratuaran Pelaksana yang berdasarkan undang-undang ini”.

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

Untuk menegakkan hukum pidana terhadap kejahatan di bidang Kehutanan pada umumnya dan kejahatan Illegal logging pada khususnya maka ketentuan pidana yang dapat diterapkan pada kejahatan illegal logging antara lain pasal 78 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk menerapkan sanksi pidana. Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 UU. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari.

Dalam penjelasan umum paragraf ke 18 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dikatakan, diberikannya sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang Kehutanan. Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan akan tetapi juga kepada orang lain, yang mempunyai kegiatan di dalam bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya berat.

Ada tiga jenis sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu;

1. Pidana Penjara

2. Pidana denda

3. Pidana Perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana.

Ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan secara kumulatif. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999. jenis

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yangmelakukan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999.

Adapun dasar dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 33 ayat 3), yang berbunyi:

“ Bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Dari penjelasan UUPA mengenai hal ini dinyatakan bahwa wewenang Hak Menguasai dari Negara ini dalam tingkatan tertinggi :

a. mengatur dan meyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,

dan pemeliharaannya.

b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang mempunyai atas (bagian dari) bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.17

Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka dibentuklah berbagai peraturan perundang-undangn yang berlaku di Indonesiayang mengatur mengenai Illegal logging, yang akan di uraikan satu persatu di bawah ini:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA)

Pada dasarnya undang-undang ini tidak secara tegas mengatur secara khusus tentang Kehutanan, tetapi yang diatur hanyalah hubungan-hubungan hukum yang

17

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

berkaitan dengan hasil hutan, yaitu yang tercantum dalam Pasal 46 UUPA, yang berbunyi:

1. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan diatur dengan peraturan Pemerintah

2. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara tidak sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.

Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada Warga Negara Indonesia (terutama yang memenuhi syarat ) untuk memungut hasil hutan, seperti kayu, rotan, getah dan lain-lain. Kepada pemungut hasil hutan hanya diberikan hak untuk memungut hasil hutan semata-mata, sedangkan tanahnya tetap dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kehutanan

Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) terdiri dari 8 Bab dan 22 pasal. Hal-hal yang ditur dalam UUPK, adalah : (1) pengertian hutan, hasil hutan,kehutanan, hutan menurut pemilikannya, dan fungsinya; (2) perencanaan hutan; (3) pengurusan hutan; (4) pengusahaan hutan ; (5) perlindungan hutan; dan (6) ketentuan pidana dan penutup.

UUPK dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud, seperti :

a. PP Nomor 22 Thun 1967 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan

b. PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Hak

Pemungutan Hasil Hutan.

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

d. PP Nomor 18 Tahun !975 tentang Perubahan Pasal 9 PP No. 21 tahun 1970 tentang hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan.

e. PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan

f. PP Nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri g. Kepres Nomor 66 tahun 1971 tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan

Hutan

h. Kepres Nomor 20 Tahun 1975 tentang Kebijaksanaan di Bidang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan

i. Kepres Nomor 19 Tahun 1974 Tentang berlakunya Kepres Nomor 66 Tahun 1971 tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan Hutan Untuk Seluruh Wilayah RI.

j. Kepres Nomor 48 tahun 1977 tentang Simpanan Wajib Pemegang

Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu.

k. Kepres Nomor 20 Tahun 1979 tentang Penggunaan Dana Simpanan Wajib Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu.

l. Kepres Nomor 39 Tahun 1979 tentang Perubahan atas Kepres Nomor 48 Tahun 1977 tentang Simpanan Wajib Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu

m. Kepres Nomor 3 Tahun 1985 tentang Pembangunan Taman Wisata Curug Dago sebagai Taman Hutan Rakyat Ir. H. Djuanda.

n. Kepres Nomor 25 Tahun 1990 tentang Perubahan Kepres Nomor 15 tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen.

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

p. Kepres Nomor 30 Tahun 1990 tentangt Pengelolaan Kawasan Hutan

Lindung

q. Kepres Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi

Pembangunan Kawasan Industri.

3. Undang-Undang Nomor 41 Thun 1999 sebagai Pengganti dari

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967.

Ada empat pertimbangan ditetapkannya Undang-Undang ini yaitu:

a. Bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah dari Tuahan Yang Maha Esa yang dianugrahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;

b. Bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaanya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profsional, serta bertanggung-gugat;

c. Bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional;

d. Bahwa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan( Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8)sudah tidak

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;

hal-hal yang ditur dalam Undang-Undang ini, yaitu ;

a. Ketentuan Umum

b. Status dan Fungsi Hutan (Pasal 5 s/d Pasal 9) c. Pengurusan Hutan (Pasal 10)

d. Perencanaan Kehutanan (Pasal 11 s/d Pasal 20) e. Pengelolaan Hutan ( Pasal 21 s/d Pasal 51)

f. Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan serta Penyuluhan Kehutanan (Pasal 52 s/d Pasal 65)

g. Penyerahan wewenang ( Pasal 66) h. Masyrakat hukum adat ( Pasal 67)

i. Peran serta masyarakat (Pasal 68 s/d Pasal 69) j. Gugatan Perwakilan (Pasal 71 s/d Pasal 73)

k. Penyelesaian sengketa Kehutanan ( Pasal 74 s/d Pasal 76) l. Penyidikan (Pasal 77)

m. Ketentuan Pidana ( Pasal 78 s/d Pasal 79) n. Ganti rugi dan sanksi adaministratif ( Pasl 80) o. Ketentuan Peralihan ( Pasal 81 s/d Pasal 82) p. Ketentuan Penutup ( Pasal 83 s/d Pasal 84)

UU No 41 tahun 1999 merupakan ketentuan yang bersifat menyeluruh karena telah memuat ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal dalam UUPK No. 5 Tahun 1967. hal-hal baru itu adalah seperti gugatan perwakilan (class action), yaitu gugatan yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan dan atau melaporkan ke

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupn masyarakat; penyelesaian sengketa Kehutanan; ketentuan pidana; ganti rugi dan sanksi administratif.

UU Kehutanan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundangan lainnya. Peraturan Perundangan yang dimaksud seperti :

a. Perpu No 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

b. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota

c. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan d. Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan e. Instruksi Presiden No. 4 Athun 2005 tentang Pemberantasan Penebanagn Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

f. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Penebangan Kayu illegal (Illegal logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting.

4. Undang Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Ada lima pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang ini, yaitu;

a. Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang merupakan ruang bagi kehidupan dalam aspek kemanusiaan sesuai dengan Wawasan Nusantara.

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

b. Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan

kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagian hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.

c. Dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk

melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

d. Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkunagn hidup telah berkembang sedemikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berawasan lingkungan hidup.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang ini, yaitu; a. Ketentuan umum (Pasal 1 s/d Pasal 2)

b. Azas, tujuan dan sasaran (Pasal 3 s/d Pasal 4)

c. Hak, Kewajiban dan Peran serta masyarakat (Pasal 5 s/d Pasal 7) d. Wewenang Pengelolaan lingkungan hidup (Pasl 8 s/d Pasal 13) e. Pelestarian fungsi lingkungan hidup ( Pasal 14 s/d Pasal 17) f. Persyaratan penataan lingkungan hidup (Pasal 18 s/d Pasal 29)

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

g. Penyelesaian sengketa Lingkungan hidup (Pasal 30 s/d 39) h. Penyidikan (Pasal 40)

i. Ketentuan pidana (Pasal 41 s/d Pasal 48) j. Ketentuan Peralihan (Pasal 49)

k. Ketentuan Penutup (Pasal 50 s/d Pasal 52)

5. Undang-undang Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undng-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang

Ada tiga pertimbanagn Undang-Undang ini di tetapkan, yaitu ;

a. Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mengatur kelangsungan perizinan atau perjanjian pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang Undang tersebut;

b. Bahwa hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang di kawasan hutuan terutama bagi investor yang telah memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-Undang tersebut, sehingga dapat menempatkan pemerintah dalam posisi yang sulit dalam mengembangkan iklim investasi;

c. Bahwa dalam rangka terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan mendorong minat serta kepercayaan investor untuk berusaha di Indonesia, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

A.2. Ketentuan pidana lain terkait dengan illegal logging

Tindak pidana di bidang Kehutanan adalah merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Kejahatan illegal

logging merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang

perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan 18

1. Pengrusakan

Pada dasarnya kejahatn illegal logging, secara umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompkkan dalam beberapa bentuk kejahatansecara umum yaitu:

Pengrusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang pengrusakan barang dalam arti barang-barang biasa yang dimiliki orang. Barang tersebut dapat berupa barang terangkat, namun barang- barang yang mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk kepentingan umum.

Unsur Pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan illegal logging berangkat dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem pengelolaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawassan terhadap hutan, untuk tetap menjamin kelestarian fungsi huutan. Ancaman hukuman dalam Pasal 406 sampai denagn Pasal 412 KUHP paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp. 4500 (empat ribu lima ratus rupiah) yaitu bagi pengrusakan terhadap rumah(gedung) atau kapal. Hukuman itu di tambah sepertiganya apabila dilakukan bersama-sama.

2. Pencurian

18

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

pencurian menurut penjelasan Pasal 363 Kitab Undang-Undang hukum Pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai.

b. Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku.

c. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.

d. Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan

hukum. Jelas bahwa kegiatan penebanagn kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki).

Ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut KUHP adalah Pasal 362 lima tahun, Pasal 363 Tujuh sampai sembilan tahun, Pasal 365 lima belas tahun.

3. Pemalsuan

Pemalsuan surat-surat diatur dalam Pasal 263-276, pemalsuan materai dan merk diatur dalam Pasal 253-262. Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya.

Dalam praktik-praktik kejahatan illegal logging, salah satu modus operandi yang sering di gunakan oleh pelaku dalam melekukan kegiatannya adalah Pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kehutanan.

Ancaman hukuman terhadap terhadap tindak pidana pemalsuan surat ini dalam Pasal 263 KUHP paling lama enam tahun, Pasal 264 paling lama delapan tahun dan Pasal 266 paling lama tujuh tahun. Sedangkan pemalsuan terhadap pemalsuan materai dan merk dalam Pasal 253 KUHP paling lama tujuh tahun.

4. Penggelapan

Penggelapan dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377. Dalam Penjelasan pasal 372 KUHP, penggelapan artinya mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berada di dalam kekuasaannya untuk dimiliki dengan melawan hak.

Modus penggelapan dalam kejahatan illegal logging antara lain seperti over cutting yaitu penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota yang ada(over capasity).

Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah paling lama empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).

5. Penadahan

Dalam KUHP penadahan, adalah sebutan lain dari perbuatan persekongkolan atau sekongkol atau pertolongan jahat. Dalam penjelasan Pasal 480 dijelaskan bahwa perbuatan itu dibagi menjadi; perbuatan membeli atau menyewa barang ytang diketahui atau patut diduga sebagai hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual , menukar atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari kejahatan

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di dalam maupun di luar negri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil illegal logging yang nyata- nyata diketahui oleh para pelaku baik penjual maupun pembeli.

Ancaman pidana dalam Pasal 480 ini adalah paling lama empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah)

B. Penyidikan tindak Pidana Illegal logging

Untuk dimulainya suatu Penyidikan Polisi harus mengetahui terlebih dahulu adanya suatu peristiwa pidana yang terjadi.

Pasl 106 KUHAP merumuskan sebagi berikut:

“ Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa pidana yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.”

Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konskoensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai sutau tindak pidana adalah benar-benar merupakan tindak pidana.19

19

Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Penerbit Rineka Cipta 1991,hal 87

Dimulainya penyidikan secara formal prosedural dengan di keluarkannya suatu perintah penyidikan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik. Bahwa suatu peristiwa pidana telah terjadi dapat diketahui dari 4 kemungkinan yaitu : (1) adanya laporan atau pemberitahuan; (2) pengaduan; (3) tertangkap tangan; (4) media massa.

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

Tiap-tiap orang terhadap siapa suatu tindak pidana dilakukan atau mengetahui hal itu berhak mengajukan pengaduan atau memberitahukan kepada pejabat yang berwenag untuk menindaknya menurut hukum.

Pasal 1 butir 25 KUHAP, yang dimaksud dengan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya

Laporan berbeda dengan pengaduan, dimana perbedaan tersebut sebagai berikut:

1. Laporan dilakukan terhadap tindak pidana biasa, sedangkan

pengaduan dilakukan terhadap tindak pidana aduan.

2. Untuk melakukan penentutan suatu delik biasa atau tindak pidana biasa, laporan tidak merupakan syarat, artinya walau tidak ada laporan, tetapi diketahui oleh penyidik atau tertangkap basah dapat dilakukan penentutan.

3. Laporan dapat dilakukan atau diajuakn oleh siapa saja atau setiap orang, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang yang berhak mengadu yaitu orang yang dirugikan.

4. Penyampaian laporan tidak terikat pada jangka waktu tetentu, sedangkan pengaduan hanya dapat disampaikan dalam jangka waktu tertentu. Menurut Pasal 74 ayat 1 KUHAP ditentukan jangka waktu pengajuan pengaduan yaitu enam bulan setelah yang berkepentingan menegetahui tindak pidana itu apabila pengadu berdiam di Indonesia, sedangkan bagi orang yang berkepentingan

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

yang berdiam di luar Indonesia, jangka waktu pengajuan pengaduan itu adalah sembilan bulan sejak saat diketahuinya tindak pidana itu. 5. laporan yang sudah disampaikan kepada penyelidik atau penyidik

tidak dapat dicabut kembali, sedangkan pengaduan yang telah disampaikan kepada penyelidik atau penyidik dapat mencaabut kembali pengaduannya dalam jangka waktu tiga bulan sejak diajukan pengaduan itu.

6. Dalam laporan tidak perlu ditegaskan bahwa pelapor menghendaki agar terhadap pelaku diambil tindakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dalam delik aduan, dengan adanya pengaduan baru dapat dilakukannya penuntutan terhadap delik tersebutu, karena suatu delik yang merupakan delik aduan hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

Tetapi pengaduan dalam delik yang bukan aduan, tidak merupakan syarat untuk dapat dilakukan penuntutan. Bila hal tersebut mengenai delik aduan, maka perlu diperhatiakn antara delik aduan absolut atau delik aduan relatif.

Delik aduan absolut adalah peristiwa pidana yang penentutannya hanya dapat dilakukan bila ada pengaduan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyidikan untuk menjaga jangan sampai hilangnya bukti-bukti jika di kemudian hari ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, misalnya. Sedangkan delik aduan relatif adalah suatu peristiwa pidana yang biasanya bukan merupakan delik aduan, tetapi dalam keadaan tertentu merupakan delik aduan.

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan

Dalam ketentuan yang diatur dalam KUHAP maupun dalam peraturan perundang-undangan hukum acara pidana di luar KUHAP tidak terdapat ketentuan yang memberikan wewenang kepada penyidik untuk menolak laporan atau pengaduan dari seseorang atau warga masyarakat tentang terjadinya peristiwa yang

Dokumen terkait