• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.4. Tindakan Ibu tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme

Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa tindakan ibu dalam pemberian makan pada anak autisme yang bersekolah dan mengikuti terapi autisme di Kota Binjai berada dalam kategori cukup yaitu sebanyak 43,8%. Namun hal ini tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan tindakan ibu yang masuk dalam kategori kurang yaitu 40,6%, jika ditelaah berdasarkan hasil jawaban ibu, ternyata tindakan ibu lebih baik pada pemberian makan secara umum dibandingkan dengan tindakan ibu dalam pemberian makan secara khusus yang sesuai dengan diet atau pola makan pada anak autisme.

Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa pada umumnya tindakan ibu dalam frekuensi pemberian makan sehari-hari pada anak autisme adalah “5 kali sehari termasuk snack” yaitu sebanyak 96,9%. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan ibu dalam frekuensi pemberian makan sudah benar. Menurut angka kecukupan gizi (AKG) 2004, angka kecukupan gizi untuk anak usia 5 s/d 15 tahun adalah 1550 s/d 2400 untuk laki-laki dan 1550 s/d 2350 untuk perempuan, dalam hal ini ibu dapat membaginya menjadi 3 kali makanan utama yaitu makan pagi, makan siang dan makan malam serta 2 kali snack yaitu snack pagi dan snack sore. Menurut Khomsan (2004) fekuensi makan perhari merupakan salah satu aspek kebiasaan makan, frekuensi makan akan dapat menjadi penduga tingkat kecukupan konsumsi gizi.

Artinya semakin tinggi fekuensi makan seseorang maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar.

Pada umumya tindakan ibu dalam memberikan buah setiap hari untuk anak autisme adalah “ > 1 minggu sekali” yaitu sebanyak 62,5%. Untuk mencukupi kebutuhan akan vitamin, mineral dan serat, hendaknya buah dikonsumsi setiap hari. Adapun alasan ibu untuk tidak memberikan buah setiap hari pada anak autisme dikarenakan harga buah yang mahal, sehingga mereka tidak mampu untuk menyediakannya setiap hari, selain itu ada juga ibu yang menyatakan selalu menyediakan buah-buahan dirumah, tapi terkadang anak autisme tidak mau memamakannya, ia hanya suka 1 jenis buah saja, jika buah lain disediakan ia tidak mau mengonsumsinya.

Tindakan ibu dalam pemberian sayur setiap kali makan pada anak autisme pada umumnya adalah “setiap kali makan ibu selalu memberikan sayur”, yaitu sebanyak 65,6%. Alasan ibu memberikan sayur pada anak autisme agar anaknya dapat tumbuh dengan sehat, tercukupi kebutuhan akan vitamin, mineral dan serat. Namun masih terdapat 18,8% ibu yang tidak pernah memberikan sayur pada anak autisme, hal ini karena anak autisme tidak menyukai sayur apabila dipaksa untuk mengonsumsi sayur makan anak akan mengamuk dan jadi tidak mau makan. Konsumsi sayur setiap kali makan sangat sangat penting, karena sayur mengandung vitamin, mineral dan serat yang merupakan unsur penting untuk kesehatan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk proses metabolisme (Wirakusumah, 1995).

Tindakan ibu dalam memberikan jenis makanan yang dikonsumsi untuk anak autisme pada umumnya ibu menyatakan semua makanan boleh dikonsumsi oleh anak

autisme agar zat gizinya dapat terpenuhi yaitu sebanyak 50%. Tindakan ibu ini sangat bertentangan dengan yang seharusnya dimana anak autisme tidak bisa mengonsumsi semua jenis-jenis makanan, karena mempunyai masalah pada sistem pencernaan dimana terdapat beberapa jenis makanan yang tidak dapat tercerna sempurna, sehingga masuk kedalam aliran darah yang dapat mengganggu susunan syaraf pusat pada penyandang autisme (Soenardi dan Soetardjo dlam Yanti, 2008). Untuk itu pemberian makan pada anak autisme harus diperhatikan secara cermat.

Tindakan ibu dalam melarang anak autisme untuk jajan diluar pada umumnya menyatakan “tidak dilarang untuk jajan diluar” yaitu sebanyak 46,9%, karena jika dilarang anak menjadi rewel. Hal ini sangat dikhawatirkan mengingat makanan jajanan belum tentu sesuai untuk anak autisme, selain itu terkadang anak juga tidak tahu atau belum mengerti makanan apa saja yang baik untuk dibeli dan dimakan. Makanan jajanan cenderung mengandung bahan tambahan makanan yang tidak baik dikonsumsi anak autisme, seperti pengawet, pewarna dan pemanis buatan, hal ini sesuai dengan diet yang dianjurkan oleh Soenardi dan Soetardjo dalam Yanti (2009) yaitu untuk tidak memilih bahan makanan yang mengandung food additive seperti zat penambah rasa, zat pewarna dan zat pengawet. Oleh sebab itu pengawasan dari orangtua khusunya ibu sangat diperlukan dalam memperhatikan makanan yang dikonsumsi pada anak autisme.

Tindakan ibu dalam hal pemilihan cemilan/ snack untuk anak autisme pada umumnnya memilih wafer, coklat, roti dan mie yaitu sebanyak 50%. Snack yang dipilih oleh ibu sama sekali tidak baik dikonsumsi untuk anak autisme dimana telah diketahui bahwa makanan tersebut mengandung protein susu (kasein) seperti pada

wafer, coklat, roti dan mie. Serta mengandung protein terigu/gandum (gluten) seperti mie, roti dan wafer yang seharusnya tidak boleh dikonsumsi anak autisme. Adapun alasan ibu memilih cemilan tersebut karena anaknya sangat suka dengan makanan tersebut, kalau tidak diberikan mereka akan rewel bahkan ada anak yang sampai menyakiti dirinya sendiri, seperti membenturkan kepalanya ke dinding, karena emosi anak autisme ini sangat tidak terkontrol, untuk menghindari hal itu maka orang tua terpaksa memberikan makanan yang disukai dan diinginkan oleh anak autisme.

Pemberian susu pada anak autisme juga masih dilakukan oleh sebagian besar ibu yaitu sebanyak 68,8%, pemberian susu ini dilakukan agar anak dapat tumbuh sehat, dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, padahal sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa 50% penyandang autisme mengalami kebocoran usus, sehingga terjadi ketidakseimbagan dalam flora usus yang membuat anak autisme mengalami alergi makanan, intoleransi makanan, intoleransi gluten, dan termasuk intoleransi terhadap kasein (Judarwanto 2009). Memang masih ada 31,2% ibu yang memilih untuk tidak memberikan susu pada anak autisme, namun hal itu bukan karena anak autisme sedang menjalani diet kasein, tetapi karena ketidakmampuan orangtua untuk membeli susu.

Pengaturan pola makan atau diet khusus pada anak autisme sangat membantu anak untuk dapat sembuh, namun berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebanyak 84,4% ibu yang tidak pernah melakukan diet khusus pada anak autisme, berbagai macam alasan yang dikemukakan ibu, ada yang berpendapat bahwa jika anaknya melakukan diet khusus maka anaknya akan bertambah kurus, takut kalau anaknya akan kekurangan gizi, takut anaknya akan mengamuk dan menyakiti dirinya sendiri,

anak tidak bisa diatur, repot dalam menyiapkannya dan adanya anggapan bahwa hal itu tidak perlu dilakukan. Padahal telah banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa dengan melakukan pengaturan pola makan yang sesuai dengan diet pada anak autisme akan berdampak positif dalam perubahan peilaku anak, seperti studi kasus yang dilakukan oleh European Laboratory of Nutrients in the Netherlands pada anak penyandang autisme yang mengalami masalah serius dalam berbicara dan berbahasa, perkembangan sosial serta emosional yang jauh tertinggal, setelah dianalisa dan ditemukan diet yang sesuai untuk anak autisme maka dalam 2 tahun ia sudah dapat memasuki sekolah untuk anak normal. Hal ini menunjukkan bahwa dengan melakukan koreksi diet dan makanan dapat memberikan perbaikan yang sangat signifikan dari penyakit autisme. Sebagaimana diketahui gejala dari autisme sangat beragam, demikian juga pemicu dari penyakit ini, oleh karena itu pedoman diet bagi anak autisme juga sangat bervariasi dan bersifat individu. Perhatian dan pengalaman orang tua sangat diperlukan untuk mengatur makanan yang dapat menghindarkan anak dari meningkatnya gejala autisme (Melilea Indonesia, 2010).

Selanjutnya, hasil penelitian juga menunujukkan bahwa pada umumnya ibu tidak pernah berkonsultasi dengan dokter terkait tentang pola makan anak autisme yaitu sebanyak 53,2%, hal ini dikarenakan keluarga tidak memiliki biaya untuk konsultasi ke dokter, ibu lebih terfokus untuk memperbaiki perilaku anak dan kemampuan anak untuk berbicara, selain itu menurut pengakuan salah satu ibu, pada saat didiagnosa autisme, dokter tidak memberitahukan bahwa autisme mempunyai diet khusus untuk penyembuhannya, dokter hanya menyarakankan agar anak diterapi, dan ada juga orangtua beranggapan bahwa hal itu tidak perlu dilakukan karena antara

makanan dan perilaku tidak ada kaitannya. Namun masih ada sebagian kecil ibu 15,6% yang berkonsultasi dengan dokter dan masih menerapkan diet khusus untuk anaknya yang autisme, seperti tidak mengonsumsi susu sapi dan ibu menggantinya dengan susu kedelai hal ini karena ibu merasakan manfaat yang banyak setelah mengikuti diet tersebut seperti anak tidak lagi diare, hiperkatif berkurang, dan sudah ada kemajuan untuk berbicara dan menatap mata walaupun hanya sebentar.

Tindakan ibu dalam pemberian vitamin pada umumnya ibu menyatakan tidak melaksanakannya lagi yaitu sebanyak 53,1%. Ibu menganggap bahwa anaknya tidak perlu diberi vitamin, karena dari makanan saja sudah cukup, ibu hanya memberi vitamin pada saat anak sulit makan, jika selera makanannya membaik maka ibu tidak lagi meberikan vitamin, selain itu mahalnya harga vitamin membuat ibu tidak memberikannya lagi pada anak autisme.

Padahal menurut Soenarti dan Soetardjo dalam Yanti (2009) menyatakan bahwa hampir 90% anak autisme mengalami kekurangan seng, kekurangan kalsium dan magnesium, asam lemak omega 3 dan vitamin-vitamin lainnya. Konsesuensi gangguan gizi tersebut dapat berdampak pada otak, sistem imun, dan saluran cerna anak autisme. Pengaturan makanan yang sesuai dengan kondisi anak sangat membantu memperbaiki kekurangan gizi (Wijayakusuma, 2004).

Banyak faktor yang membuat para ibu tidak melaksanakan diet/pola makan khusus yang sesuai untuk anak autisme, walaupun jika dilihat dari sikap, banyak ibu yang setuju 59,4% untuk menyiapkan makanan sesuai dengan pola makan/diet khusus pada anak autisme namun sikap tersebut tidak terwujud nyata dalam bentuk tindakan, padahal telah banyak penelitian yang menyatakan bahwa dengan koreksi

diet yang tepat dapat mempercepat perubahan kearah yang lebih baik pada anak autisme, misalnya seperti kemampuan dalam berbicara, berperilaku dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Tidak terwujudnya suatu sikap dalam bentuk tindakan nyata dapat disebabkan oleh kurangnya dukungan dari pihak lain, misalnya suami, orangtua, dan lain-lain (Notoatmojdo, 2003). Selain dukungan dari keluarga, ibu juga harus berperan aktif dalam mencari informasi dari media masa maupun berkonsultasi dengan dokter ataupun orang-orang yang ahli terkait dengan pola makan pada anak autisme sehingga ibu dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

5.5. Sikap Ibu Berdasarkan Pengetahuan dalam Pemberian Makan Pada

Dokumen terkait