• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Ibu Tentang Pemberian Makan Dan Status Gizi Anak Autisme Di Kota Binjai Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perilaku Ibu Tentang Pemberian Makan Dan Status Gizi Anak Autisme Di Kota Binjai Tahun 2011"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU IBU TENTANG PEMBERIAN MAKAN DAN STATUS GIZI ANAK AUTISME DI KOTA BINJAI

TAHUN 2011

Oleh :

ECIA MEILONNA KOKA NIM. 071000049

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERILAKU IBU TENTANG PEMBERIAN MAKAN DAN STATUS GIZI ANAK AUTISME DI KOTA BINJAI

TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

ECIA MEILONNA KOKA NIM. 071000049

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul :

PERILAKU IBU TENTANG PEMBERIAN MAKAN DAN STATUS GIZI ANAK AUTISME DI KOTA BINJAI

TAHUN 2011

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :

ECIA MEILONNA KOKA NIM. 071000049

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 24 Juni 2011 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima

Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Ernawati Nasution, SKM, M.Kes Lita Sri Andayani, SKM, M.Kes NIP. 19700212 199501 2 001 NIP. 19690922 199403 2 002

Penguji II Penguji III

dr. Mhd. Arifin Siregar, M.S Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si NIP. 19581111 197902 1 001 NIP. 19680516 199303 2 001

Medan, Juni 2011

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Dekan,

(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ecia Meilonna Koka

Tempat/ Tanggal Lahir : Stabat/ 7 September 1990

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Anak ke : 3 (tiga) dari 4 (empat) bersaudara

Alamat Rumah : JL. T. Amir Hamzah, Komplek Taman Binjai Indah Blok D. 14 Binjai

Riwayat Pendidikan

1. SD YPIS Maju (1995-2001) 2. SMP Negeri 1 Binjai (2001-2004) 3. SMA Negeri 2 Binjai (2004-2007)

(5)

ABSTRAK

Meningkatnya jumlah anak autisme baik di dunia maupun di Indonesia memerlukan perhatian yang serius dalam penanganannya. Autisme dapat sembuh bila dilakukan intervensi secara dini, salah satunya adalah dengan memperhatikan pemberian makan pada anak autisme. Hal ini tidak terlepas dari perilaku ibu dalam hal pemberian makan pada anak autisme.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui perilaku ibu tentang pemberian makan dan status gizi anak autisme. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak autisme yang bersekolah dan mengikuti terapi autisme di Kota Binjai. Sampel sebanyak 32 orang yang diambil dengan metode total sampling. Data yang dikumpulkan adalah data perilaku ibu (pengetahuan, sikap, tindakan) dan data status gizi anak autisme. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan koesioner dan status gizi dinilai dengan mengukur tinggi badan dan berat badan anak autisme berdasarkan indikator TB/U dan IMT/U.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pemberian makan pada anak autisme berada dalam kategori cukup yaitu 68,8% untuk pengetahuan, 59,4% untuk sikap, dan 43,8% untuk tindakan. Pada umumnya anak autisme memiliki status gizi normal berdasarkan indeks TB/Udan IMT/U.

Oleh karena itu, diharapkan kepada Puskesmas untuk meningkatkan promosi kesehatan dan penyuluhan pada orangtua khususnya ibu tentang pemberian makan pada anak autisme, selain itu diharapkan kepada ibu untuk lebih giat mencari informasi terkait pola pemberian makan pada anak autisme.

(6)

ABSTRACT

The increase of autism either in world and also in Indonesia requires serious attention to solve it. Autism can recover if done in early intervention, one of them is by giving attention to feeding at children of autism. This thing is not quit of behavior of mother in the case of feeding at children of autism.

The purpose of this descriptive study with cross sectional design was to know the behavior of mother about feeding and nutritional status at children of autism. The Population of this research is all of children with autism which is study and follows autism therapy in Kota Binjai. 32 samples were taken by total sampling method.Data collected is data behavior of mother (knowledge, attitude, action) and nutritional status children of autism. Data collected by interview with questionnaire and nutritional status is assessed with measuring body height and body weight children of autism based on indicator height for age and body mass index for age.

The result showed that knowledge, attitude and action of mother in feeding at children of autism stays in enough category that is 68,8% for knowledge, 59,4% for attitude and 43,8% for action. In general, the children have normal nutritional status based on index height for age and body mass index for age.

Therefore, expected Puskesmas to improve health promotion, and construction at parent especially mother about feeding for children of autism, besides expected mother to be more impetous looks for relevant information of feeding pattern at children of autism.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PERILAKU IBU TENTANG PEMBERIAN MAKAN DAN STATUS GIZI ANAK AUTISME DI KOTA BINJAI TAHUN 2011” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah membantu penulis baik secara moral maupun moril. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat. 2. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan

Masyarakat.

3. Ernawati Nasution, SKM, M.Kes selaku Dosen Pembimbing I yang telah menyediakan waktu untuk membimbing dan memberi arahan pada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Lita Sri Andayani, SKM, M.Kes selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberi perhatian dan bimbingan pada penulis demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini.

5. dr. Mhd. Arifin Siregar, M.S selaku Penguji II yang telah memberikan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si selaku Penguji III dan Dosen Penasehat Akademik penulis yang telah membimbing dan memberikan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

7. Dosen-dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan ilmu yang berharga dan bimbingan pada penulis selama mengikuti studi di FKM USU serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(8)

9. Kepala SDLB Negeri Nomor 027701 Binjai, SLB Negeri Binjai dan Yayasan Fadira yang telah memberikan izin pada penulis untuk melaksanakan penelitian.

10.Guru-guru dan pegawai SDLB Negeri Nomor 027701 Binjai, SLB Negeri Binjai dan Yayasan Fadira yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini.

11.Teristimewa untuk kedua orang tua penulis, H. Suratman, SP dan Hj. Faridah, S.Pd, serta saudara penulis, Hj. Firra Okta Fella, SP/ Suami (kakak), H. Robby Anangga, SE (abang), dan H. Okky Alparessi (adik), yang senantiasa mendoakan, menyayangi, memberi dukungan dan semangat serta perhatian yang luar biasa pada penulis.

12.Defriandry Dinata Siregar dan sahabat-sahabat penulis, Dinatia, Rani, Winda, Yunita atas kebersamaan, bantuan, dukungan dan semangat yang telah diberikan selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita.

Medan, Juni 2011

(9)

DAFTAR ISI

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Autisme ... 7

2.1.1. Epidemiologi Autisme ... 8

2.1.2 Gangguan Gizi pada Autisme ... 8

2.2. Pemberian Makan pada Anak Autisme ... 9

2.3. Faktor Penyebab Gangguan Makan pada Autisme ... 10

2.3.1. Gangguan Pencernaan Protein Gluten dan Kasein ... 10

2.3.2. Infeksi Jamur/ yeast ... 11

2.3.3. Alergi dan Intoleransi Makanan ... 12

2.3.4. Keracunan Logam Berat ... 13

2.4. Penanganan Gangguan Makan pada Autisme ... 14

2.4.1. Diet Tanpa Gluten dan Kasein ... 15

2.4.2. Diet Anti-yeast/ragi/jamur ... 17

(10)

2.4.4. Cara Mengatur Makanan secara Umum ... 20

2.5. Perilaku Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak ... 21

2.5.1. Pengetahuan Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak ... 22

2.5.2. Sikap Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak ... 23

2.5.3. Tindakan Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak ... 25

2.6. Status Gizi ... 26

2.7. Penilaian Status Gizi ... 26

2.7.1. Penilaian Status Gizi secara Antropometri ... 27

2.7.2. Indeks Antropometri ... 28

2.7.3. Indeks Tinggi Bandan menurut Umur (TB/U) ... 28

2.7.4. Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U) ... 29

2.8. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Antropometri ... 30

2.9. Kerangka Konsep Penelitian ... 32

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 33

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 33

3.2.2. Waktu Penelitian ... 34

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 34

3.3.1. Populasi ... 34

3.3.2. Sampel ... 34

3.4. Definisi Operasional ... 34

3.5. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 35

3.5.1. Jenis Data... 35

3.5.2. Metode Pengumpulan Data ... 35

3.6. Instrumen Penelitian ... 36

3.7. Aspek Pengukuran ... 36

3.7.1. Pengetahuan ... 36

3.7.2. Sikap ... 37

3.7.3. Tindakan ... 38

3.7.4. Status Gizi ... 39

(11)

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41

4.1.1. Gambaran Umum SDLB Negeri 027701 Binjai ... 41

4.1.2. Gambaran Umum SLB Negeri Binjai ... . 41

4.1.3. Gambaran Umum Yayasan Fadira ... 43

4.2. Karakteristik Ibu ... 44

4.3. Perilaku Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak Autisme ... 45

4.3.1. Pengetahuan Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak Autisme .. 45

4.3.2. Sikap Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak Autisme ... 49

4.3.3. Tindakan Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak Autisme ... 51

4.4. Sikap Ibu Berdasarkan Pengetahuan tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme ... 55

4.5. Tindakan Ibu Berdasarkan Sikap tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme ... 56

4.6. Status Gizi Anak Autisme ... 56

4.6.1. Status Gizi TB/U pada Anak Autisme Berdasarkan Tindakan Ibu ... 57

4.6.2. Status Gizi IMT/U pada Anak Autisme Berdasarkan Tindakan Ibu ... 58

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Ibu ... 59

5.2. Pengetahuan Ibu tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme ... 60

5.3. Sikap Ibu tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme ... 66

5.4. Tindakan Ibu tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme ... 70

5.5. Sikap Ibu Berdasarkan Pengetahuan dalam Pemberian Makan pada Anak Autisme... 76

5.6. Tindakan Ibu Berdasarkan Sikap dalam Pemberian Makan pada Anak Autisme... 76

5.7. Status Gizi Anak Autisme Berdasarkan TB/U ... 77

5.8. Status Gizi Anak Autisme Berdasarkan IMT/U ... 78

5.9. Status Gizi TB/U Anak Autisme Berdasarkan Tindakan Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak Autisme ... 79

(12)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 82 6.2. Saran ... 83 DAFTAR PUSTAKA

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Indeks TB/U menurut WHO 2007 ... 31

Tabel 2.2. Indeks IMT/U menurut WHO 2007 ... 31

Tabel 3.1. Klasifikasi Status Gizi TB/U Berdasarkan WHO 2007 ... 39

Tabel 3.2. Klasifikasi Status Gizi IMT/U Berdasarkan WHO 2007 ... 39

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu dari Anak Autisme yang Bersekolah dan Mengikuti Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011 ... 44

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme di Sekolah dan Tempat Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011 ... 45

Tabel 4.3. Distribusi Jawaban Ibu Bedasarkan Pengetahuan tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme di Sekolah dan Tempat Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011 ... 46

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Sikap Ibu tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme di Sekolah dan Tempat Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011 ... 49

Tabel 4.5. Distribusi Jawaban Ibu Bedasarkan Sikap tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme di Sekolah dan Tempat Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011 ... 50

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Tindakan Ibu tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme di Sekolah dan Tempat Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011 ... 52

Tabel 4.7. Distribusi Jawaban Ibu Bedasarkan Tindakan tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme di Sekolah dan Tempat Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011 ... 52

Tabel 4.8. Tabulasi Silang Sikap Ibu Berdasarkan Pengetahuan tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme di Sekolah dan Tempat Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011 ... 56

(14)

Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Status Gizi TB/U pada Anak Autisme di Sekolah dan Tempat Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011 ... 57 Tabel 4.11. Distribusi Frekuensi Status Gizi IMT/U pada Anak Autisme di Sekolah

dan Tempat Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011 ... 57 Tabel 4.12. Tabulasi Silang Status Gizi TB/U pada Anak Autisme Berdasarkan

Tindakan Ibu di Sekolah dan Tempat Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011 ... 58 Tabel 4.13. Tabulasi Silang Status Gizi IMT/U pada Anak Autisme Berdasarkan

(15)

DAFTAR GAMBAR

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Lampiran 2. Tabel Jawaban Tiap Pertanyaan Lampiran 3. Master Data

Lampiran 4. Hasil Pengolahan Statistik Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian

Lampiran 6. Surat Permohonan Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Lampiran 7. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari SDLB Negeri 027701 Binjai Lampiran 8. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari SLB Negeri Binjai

(17)

ABSTRAK

Meningkatnya jumlah anak autisme baik di dunia maupun di Indonesia memerlukan perhatian yang serius dalam penanganannya. Autisme dapat sembuh bila dilakukan intervensi secara dini, salah satunya adalah dengan memperhatikan pemberian makan pada anak autisme. Hal ini tidak terlepas dari perilaku ibu dalam hal pemberian makan pada anak autisme.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui perilaku ibu tentang pemberian makan dan status gizi anak autisme. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak autisme yang bersekolah dan mengikuti terapi autisme di Kota Binjai. Sampel sebanyak 32 orang yang diambil dengan metode total sampling. Data yang dikumpulkan adalah data perilaku ibu (pengetahuan, sikap, tindakan) dan data status gizi anak autisme. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan koesioner dan status gizi dinilai dengan mengukur tinggi badan dan berat badan anak autisme berdasarkan indikator TB/U dan IMT/U.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pemberian makan pada anak autisme berada dalam kategori cukup yaitu 68,8% untuk pengetahuan, 59,4% untuk sikap, dan 43,8% untuk tindakan. Pada umumnya anak autisme memiliki status gizi normal berdasarkan indeks TB/Udan IMT/U.

Oleh karena itu, diharapkan kepada Puskesmas untuk meningkatkan promosi kesehatan dan penyuluhan pada orangtua khususnya ibu tentang pemberian makan pada anak autisme, selain itu diharapkan kepada ibu untuk lebih giat mencari informasi terkait pola pemberian makan pada anak autisme.

(18)

ABSTRACT

The increase of autism either in world and also in Indonesia requires serious attention to solve it. Autism can recover if done in early intervention, one of them is by giving attention to feeding at children of autism. This thing is not quit of behavior of mother in the case of feeding at children of autism.

The purpose of this descriptive study with cross sectional design was to know the behavior of mother about feeding and nutritional status at children of autism. The Population of this research is all of children with autism which is study and follows autism therapy in Kota Binjai. 32 samples were taken by total sampling method.Data collected is data behavior of mother (knowledge, attitude, action) and nutritional status children of autism. Data collected by interview with questionnaire and nutritional status is assessed with measuring body height and body weight children of autism based on indicator height for age and body mass index for age.

The result showed that knowledge, attitude and action of mother in feeding at children of autism stays in enough category that is 68,8% for knowledge, 59,4% for attitude and 43,8% for action. In general, the children have normal nutritional status based on index height for age and body mass index for age.

Therefore, expected Puskesmas to improve health promotion, and construction at parent especially mother about feeding for children of autism, besides expected mother to be more impetous looks for relevant information of feeding pattern at children of autism.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kualitas anak adalah cermin kualitas bangsa dan cermin peradaban dunia. Indikator kesejahteraan suatu masyarakat atau suatu bangsa salah satunya dapat dilihat dari kualitas hidup anak. Semula perhatian lebih ditujukan kepada daya hidup anak (child Survival) dibanding kualitas hidup anak (quality of life) yang bersifat lebih integral dan komprehensif (Sunarti, 2004).

Pemenuhan gizi yang baik akan menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu sehat, cerdas, dan memiliki fisik yang tangguh serta produktif. Namun saat ini masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan dunia yang paling serius dan merupakan kontributor utama kematian anak. Ini semua disebabkan oleh kenyataan bahwa masalah gizi merupakan faktor dasar (underlying factor) dari berbagai masalah kesehatan terutama pada bayi dan anak-anak. Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas anak, gizi harus mendapatkan perhatian serius dari semua pihak (Achadi dalam Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007).

(20)

Secara sederhana masalah atau karakteristik yang sering terdapat pada penyandang autisme adalah, kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi seperti bicara dan berbahasa, terjadi ketidaknormalan dalam hal menerima rangsang melalui panca indera (pendengaran, penglihatan, perabaan dan lain-lain), masalah gerak/motorik, kelemahan kognitif, perilaku yang tidak biasa dan masalah fisik (Sutadi dalam Mashabi dan Tajudin, 2009).

Laporan terakhir badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2005 memperlihatkan perbandingan anak autisme dengan anak normal di seluruh dunia, termasuk Indonesia telah mencapai 1:100 (Sinung, 2006).

Menurut ketua Yayasan Autisme Indonesia Melly Budhiman, di Amerika Serikat saat ini perbandingan antara anak autisme dan normal 1:150, di Inggris 1:100 (Messwati dan Rachmawati, 2008).

Sampai saat ini belum ada data resmi mengenai jumlah anak autisme di Indonesia, namun lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan bahwa pada tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autisme di Indonesia telah mencapai 475.000 orang (Kompas, 20 Juli 2005 dalam Ginanjar 2007).

Dulu autisme dianggap sebagai suatu kondisi yang tanpa harapan dan tidak dapat membaik. Saat ini diketahui, bila dilakukan intervensi secara dini, intensif, optimal dan komperhensif, maka penyandang autisme diantaranya dapat sembuh, yang berarti mereka dapat masuk dan mengikuti sekolah biasa, dapat berkembang dan dapat hidup mandiri di masyarakat, serta tidak tampak gejala sisa (Sutardi, 2003).

(21)

tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan makanan pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Sering timbul masalah terutama dalam pemberian makan pada anak autisme.

Mekanisme pencernaan yang tidak sempurna dalam tubuh anak autisme disebabkan oleh reaksi Opioid. Reaksi opioid adalah suatu reaksi yang paling merusak. Hal itu biasanya mengakibatkan terjadinya kebocoran usus (leaky gut). Sekitar 50% pasien autisme mengalami kebocoran usus sehingga terjadi ketidakseimbangan flora usus (Winarno dan Agustinah, 2008).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vogelaar (2000) dalam Lestiani , pada 20 anak autisme menunjukkan bahwa 50% anak autisme memiliki kadar zat gizi yang rendah yaitu vitamin A, B1, B3, B5 dan Biotin, selenium, zinc, dan magnesium serta asam amino esensial yaitu omega 3 dan omega 6. Kekurangan vitamin disebabkan karena flora usus yang tidak normal dan sifat pemilih makanan (picky eater) pada anak autisme, masalah kekurangan vitamin ini dapat diatasi dengan pemberian suplemen secara tepat.

Suatu penelitian dengan desain uji buta ganda yang dilakukan oleh Adams (2002) dalam Lestiani, dengan kontrol placebo pada suplementasi multivitamin dan mineral selama 3 bulan pada 16 anak autisme. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar vitamin B6 dan vitamin C meningkat secara bermakna pada anak autisme.

(22)

menunjang kesinambungan kerja sistem syaraf, justru dalam tubuh anak autisme diubah menjadi zat lain yang bersifat meracuni syaraf atau neurotoksin (Wijayakusuma, 2004). Oleh karena itu aspek dalam mengatur pola makan merupakan hal yang sangat penting.

Survei yang diadakan oleh Autism Research Institute menyatakan bahwa 66% anak autisme mengalami efek perubahan perilaku yang lebih baik dengan menggunakan metode diet bebas gluten dan kasein, 64% merasa lebih baik dengan menerapkan metode food allergy treatment, 56% lebih baik dengan menerapkan metode candida diet, 51% merasa lebih baik dengan menghilangakan coklat, dan 50% merasa lebih baik dengan menerapkan metode bebas gula (Avenue, 2008).

Sangat banyak terapi diet yang dianjurkan oleh para ahli untuk penyembuhan autisme, kesesuaian diet bagi setiap anak autisme juga harus diperhatikan karena diet autisme ini bersifat individual. Diet dan pola pemberian makan pada anak autisme tidak terlepas dari peran seorang ibu dalam menyediakan makanan yang baik serta bergizi dan sesuai dengan kebutuhan bagi anak autisme. Dalam hal ini, seorang ibu sangat dituntut untuk dapat bersikap selektif dalam mengatur pola makan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara normal, mempercepat proses penyembuhan dan menghindari masalah kekurangan gizi yang dapat menyebabkan bertambah parahnya kondisi penyandang autisme.

(23)

berkebutuhan khusus salah satunya adalah autisme, yaitu Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri Binjai dan Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Binjai. Sekolah ini terletak bersebelahan yaitu di jalan Dewi Sartika, Komplek Handayani Binjai.

Selain memiliki 2 sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, di Kota Binjai juga terdapat tempat terapi autisme. Tempat terapi ini benama Yayasan Fadira, yang beralamat di jalan Raimuna Raya No.157 Perumahan Berengam Binjai. Pada saat survei pendahuluan peneliti juga melakukan wawancara kepada para ibu di ketiga tempat tersebut, menurut informasi yang didapatkan, para terapis baik disekolah maupun di tempat terapi autisme tidak pernah memberi tahu kepada orang tua bahwa anak autisme mempunyai diet khusus untuk membantu penyembuhannya oleh karena itu dari 9 ibu yang diwawancarai satupun dari mereka tidak tahu bahwasannya anak autisme mempunyai diet/ pola makan khusus.

Menurut Ratnadewi (2008), Ibu memiliki peran yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan gizi bagi anak autisme, seorang ibu sangat dituntut untuk memiliki pengetahuan yang baik, melakukan pengawasan yang ketat pada pola makan anak dan mengetahui jenis-jenis makanan yang dapat menyebabkan alergi pada anak.

(24)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasakan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perilaku ibu tentang pemberian makan dan status gizi anak autisme di sekolah dan tempat terapi autisme di Kota Binjai tahun 2011.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perilaku ibu (pengetahuan, sikap dan tindakan) tentang pemberian makan dan status gizi anak autisme di sekolah dan tempat terapi autisme di Kota Binjai tahun 2011.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antaralain :

1. Memberikan masukan dan Informasi kepada Puskesmas Kota Binjai agar lebih meningkatkan penyuluhan tentang pola makan anak autisme pada orang tua baik disekolah luar biasa maupun di tempat terapi autisme yang ada di Binjai. 2. Memberikan masukan kepada pihak sekolah SDLB dan SLB Negeri Binjai serta

yayasan Fadira untuk lebih giat memberikan informasi tentang pola makan anak autisme kepada orang tua yang memiliki anak autisme.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Autisme

Autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu autos yang berarti “diri sendiri”. Autisme merupakan suatu keadaan atau pendirian atau sikap hidup di mana orang terserap oleh gagasan, pemikiran, pendirian, kehendak dan gaya hidupnya sendiri, sampai tidak mementingkan sesama, masyarakat, dan keadaan sekitarnya (Mangunharjana, 1997).

Pada awalnya autisme dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional. Barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak (Minshew dalam Ginanjar 2007).

Menurut Sacharin, M.Rossa dalam Ivana (2009) autisme adalah suatu keadaan dimana seseorang asyik dengan dunianya sendiri. Keadaan ini biasanya dijumpai untuk pertama kali pada masa kanak-kanak sebelum usia dua setengah tahun. Penderita juga biasanya menarik diri dari kenyataan atau keadaan disekitarnya dan memasuki fikiran serta dunia fantasinya sendiri dan akan lebih parah lagi pada kasus-kasus berat penderita akan terbenam dalam halusinasinya sendiri.

(26)

Menurut Mardhani dalam Prasetya (2009) beberapa anak autisme sudah menunjukkan perilaku tertentu sejak lahir namun yang sering diperhatikan keluarga mulai tampak pada usia 18-36 bulan. Perilaku tersebut meliputi tingkah laku yang aneh, menolak kehadiran orang lain serta mengalami kemunduran dalam berbahasa, bicara, sosialisasi dan ketrampilan yang pernah dimilikinya.

2.1.1. Epidemiologi Autisme

Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi, pada tahun 1988 terdapat sekitar 1 dari 10.000 anak terkena autisme. Pada tahun 2003, 1 dari 1000 anak, tahun 2007 1 dari 166 anak, dan saat ini 1 dari 150 anak atau setiap tahun timbul sekitar 9000 anak autisme baru (Winarno dan Agustina, 2008).

Banyaknya jumlah autisme diatas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia.

Menurut Lestiani, penyebab autisme sangat kompleks diantaranya dapat disebabkan oleh genetik, virus, gangguan fungsi imun, kelainan organ otak, gangguan gastrointestinal dan paparan logam berat.

2.1.2. Gangguan Gizi pada Autisme

Menurut Soenarti dan Soetardjo dalam Yanti (2009) Adapun beberapa gangguan gizi yang sering ditemukan pada penyandang autisme adalah sebagai berikut :

(27)

2. Kekurangan kalsium dan magnesium. Kalsium bermanfaat untuk pembentukan tulang dan gigi sedangkan magnesium berfungsi sebagai katalisator reaksi yang berkaitan dengan metabolise.

3. Kekurangan asam lemak omega 3, serat makanan, antioksidan dan vitamin lain hampir terlihat pada semua anak autisme.

4. Hampir 90% anak autisme kelebihan zat tembaga (cooper). Zat tembaga yang belebihan dapat berperan sebagai prooksidan yang dapat meningkatkan penghancuran asam lemak dalam sel, terutama pada sel otak.

Konsekuensi gangguan gizi tersebut dapat berdampak pada otak, sistem imun, dan saluran cerna anak autisme. Pengaturan makanan sesuai dengan kondisi anak sangat membantu memperbaiki keadaan kurang gizi (Wijayakusuma, 2004).

2.2. Pemberian Makan pada Anak Autisme

(28)

itu anak autisme memerlukan diet khusus sebagai terapi penyembuhan dan menghindari masalah kekurangan gizi yang berdampak pada pertumbuhannya secara fisik dan perkembangannya.

2.3. Faktor Penyebab Gangguan Makan pada Anak Autisme

Terdapat berbagai macam faktor dapat yang menyebabkan gangguan makan pada autisme, antisipasi secara dini dapat dilakukan untuk menghindari hal-hal yang dapat memperparah kondisi pada anak autisme. Menurut Soenardi dan Soetardjo dalam Yanti (2009), terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya gangguan makan pada autisme antaralain sebagai berikut :

2.3.1. Gangguan Pencernaan Protein Gluten dan Kasein

Gluten adalah protein tepung terigu dan kasein adalah protein susu. Anak dengan gangguan autisme sering mengalami gangguan mencerna gluten dan kasein. Menurut P. Deufemia, anak dengan gangguan autisme banyak mengalami leaky guts

(29)

Endorphin adalah penekan/pengurang rasa sakit yang secara alami diproduksi oleh tubuh. Pada anak dengan gangguan autisme, kadang-kadang endorphin bekerja terlalu jauh dalam menekan rasa sakit sehingga anak akan tahan terhadap rasa sakit yang berlebihan. Menurut ilmuwan Christopher Gillberg, pada anak autisme, kadar zat semacam endorphin pada otak meningkat sehingga dapat menyebabkan gangguan pada fungsi otak. Dari beberapa penelitian pemberian diet tanpa gluten dan kasein ternyata memberikan respon yang baik terhadap 81% anak autisme.

2.3.2. Infeksi Jamur/yeast

Dalam usus terdapat berbagai jenis mikroorganisme misalnya bakteri dan jamur, yang hidup berdampingan tanpa mengganggu kesehatan. Yeast yang dimaksud di sini adalah sejenis jamur, berupa organisme bersel tunggal yang hidup pada permukaan buah, sayuran, butir/bulir, kulit, dan usus. Candida albican adalah sejenis yeast yang hidup dalam saluran cerna, yang dalam keadaan normal tidak mengganggu kesehatan. Apabila keseimbangan dengan mikroorganisme lain terganggu, maka salah satu akan tumbuh berlebihan dan dapat menyebabkan penyakit. Pemberian antibiotika seperti amoxicillin, ampicillin, tetracycline, keflex yang terlalu lama dan sering akan menyebabkan bakteri baik (lactobacillus) akan ikut terbunuh sehingga akan mengganggu kesehatan. Antibiotik tidak membunuh candida, akibatnya jamur akan tumbuh subur dan dapat mengeluarkan racun yang melemahkan sistem imun tubuh sehingga mudah terjadi infeksi.

2.3.3. Alergi dan Intoleransi Makanan

(30)

diare, mual, gangguan tidur, cengeng, hiperaktif, agresif, gampang marah, infeksi telinga, dan lain-lain.

Alergi makanan adalah reaksi tubuh terhadap makanan atau komponen makanan yang menyimpang dari normal, melibatkan sistem imun, dan menimbulkan gejala yang merugikan tubuh. Semua zat yang menyebabkan reaksi imunologi disebut alergen. Apabila alergen masuk ke dalam tubuh, maka zat antibodi terhadap alergen tersebut dilepas sehingga memicu terjadninya alergi. Potensi terjadinya alergi makanan pada seseorang sering merupakan keturunan. Beberapa makanan yang sering menimbulkan alergi antara lain ikan, udang, telur, dan susu.

Intoleransi makanan merupakan reaksi negatif terhadap makanan dan menimbulkan beberapa gejala, namun tidak melibatkan sistem imun tubuh. Intoleransi makanan disebabkan kekurangan enzim untuk mencerna zat tertentu dalam makanan. Misalnya toleransi susu dapat diakibatkan kekurangan enzim laktase yaitu enzim yang memecah laktosa (gula susu). Makanan yang sering menimbulkan reaksi intoleransi adalah susu, telur, gandum, dan kacang-kacangan, serupa dengan makanan yang dapat menyebabkan masalah pada anak autisme. Untuk mendiagnosa alergi dan intoleransi makanan tertentu, orangtua sering mengalami kesulitan karena reaksi dapat terjadi segera atau sampai 72 jam setelah makan.

2.3.4. Keracunan Logam Berat

(31)

obat, kosmetik, vaksinasi, dan sebagainya. Timbal dipakai misalnya dalam bensin, minyak pelumas, cat tembok, batu batere, dan aki mobil/motor. Sedangkan merkuri (Hg) banyak dipakai dalam bidang kedokteran sebagai tambal gigi, obat tetes mata, thermometer, tensimeter, kosmetik, juga digunakan dalam mendulang emas, menyamak kulit, dan mengawetkan gandum supaya tidak berjamur. Aluminium banyak digunakan sebagai alat masak seperti wajan dan panci.

Logam berat merupakan racun keras terhadap susunan saraf pusat, terutama pada anak karena metabolismenya lebih cepat. Keracunan logam berat juga dapat menyebabkan masalah pada sistem organ tubuh. Misalnya, keracunan merkuri dapat menyebabkan gangguan keseimbangan sel-sel imun dalam tubuh, mengganggu respon imun terhadap makanan, dan dapat mengakibatkan kekurangan seng dan selenium.

Tes keracunan logam berat dapat dilakukan melalui darah, rambut, dan urin/air seni. Bila ternyata menderita keracunan logam berat, maka cara membuang logam beracun dari tubuh antara lain dengan terapi chelasi.

2.4. Penanganan Gangguan Makan pada Autisme

(32)

Berkaitan dengan hal ini tampaknya pendekatan diet merupakan penatalaksanaan terkini yang cukup inovatif (Judarwanto, 2009).

Suatu studi kasus yang dilakukan oleh European Laboratory of Nutrients in the Netherlands pada anak penyandang autisme berumur empat tahun dan mengalami masalah serius dalam berbicara dan berbahasa, perkembangan sosial serta emosional yang jauh tertinggal.

Setelah dianalisa ditemukan bahwa anak ini kekurangan lima jenis vitamin dan tiga jenis mineral, serta asam amino taurine dan carnitine dalam tubuhnya sangat rendah, selain itu sistem pencernaannya sangat payah, flora usus yang abnormal dengan indikasi infeksi oleh yeast, test juga menunjukkan ia sensitif terhadap produk susu serta beberapa makanan yang lain. Kondisi seperti ini adalah hal yang umum bagi penderita autisme.

Terapi yang diberikan berupa makanan yang bebas dari susu dan kasein, pemberian supplemen untuk mengatasi kekurangan nutrisi tadi, lalu kemudian diberi obat anti jamur (Nystatin). Pada umur enam tahun, dia sudah dapat memasuki sekolah untuk anak normal.

(33)

Penelitian yang dilakukan oleh Megson dalam Lestiani pada 60 anak autisme yang diberikan vitamin A natural dari minyak ikan (cod oliver oil) selama tiga bulan atau lebih telah menunjukkan berbaikan gejala inti autisme seperti bahasa, kontak mata, kemampuan sosialisasi dan pola tidur.

Terapi diet harus disesuaikan dengan gejala utama yang timbul pada anak. Berikut beberapa contoh diet untuk anak autisme menurut Soenardi dan Soetardjo dalam Yanti (2009).

2.4.1. Diet Tanpa Gluten dan Tanpa Kasein

Berbagai diet sering direkomendasikan untuk anak dengan gangguan autisme. Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein.

(34)

a. Makanan yang dihindari adalah :

- Makanan yang mengandung gluten, yaitu semua makanan dan minuman yang dibuat dari terigu, havermuth, dan oat misalnya roti, mie, kue-kue, cake, biscuit, kue kering, pizza, macaroni, spageti, tepung bumbu, dan sebagainya.

- Produk-produk lain seperti soda kue, baking soda, kaldu instant, saus tomat dan saus lainnya, serta lada bubuk, mungkin juga menggunakan tepung terigu sebagai bahan campuran. Jadi, perlu hati-hati pemakaiannya. Cermati/baca label pada kemasannya.

- Makanan sumber kasein, yaitu susu dan hasil olahnya misalnya, es krim, keju, mentega, yogurt, dan makanan yang menggunakan campuran susu.

- Daging, ikan, atau ayam yang diawetkan dan diolah seperti sosis, kornet, nugget, hotdog, sarden, daging asap, ikan asap, dan sebagainya. Tempe juga tidak dianjurkan terutama bagi anak yang alergi terhadap jamur karena pembuatan tempe menggunakan fermentasi ragi.

- Buah dan sayur yang diawetkan seperti buah dan sayur dalam kaleng. b. Makanan yang dianjurkan adalah :

- Makanan sumber karbohidrat dipilih yang tidak mengandung gluten, misalnya beras, singkong, ubi, talas, jagung, tepung beras, tapioca, ararut, maizena, bihun, soun, dan sebagainya.

(35)

- Sayuran segar seperti bayam, brokoli, labu siam, labu kuning, kangkung, tomat, wortel, timun, dan sebagainya.

- Buah-buahan segar seperti anggur, apel, papaya, mangga, pisang, jambu, jeruk, semangka, dan sebagainya.

2.4.2. Diet Anti-yeast/ragi/jamur

Diet ini diberikan kepada anak dengan gangguan infeksi jamur/yeast. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertumbuhan jamur erat kaitannya dengan gula, maka makanan yang diberikan tanpa menggunakan gula, yeast, dan jamur.

a. Makanan yang perlu dihindari adalah :

- Roti, pastry, biscuit, kue-kue dan makanan sejenis roti, yang menggunakan gula dan yeast.

- Semua jenis keju.

- Daging, ikan atau ayam olahan seperti daging asap, sosis, hotdog, kornet, dan lain-lain.

- Macam-macam saus (saus tomat, saus cabai), bumbu/rempah, mustard, monosodium glutamate, macam-macam kecap, macam-macam acar (timun, bawang, zaitun) atau makanan yang menggunakan cuka, mayonnaise, atau salad dressing.

- Semua jenis jamur segar maupun kering misalnya jamur kuping, jamur merang, dan lain-lain.

(36)

- Fruit juice/sari buah yang diawetkan, minuman beralkohol, dan semua minuman yang manis.

- Sisa makanan juga tidak boleh diberikan karena jamur dapat tumbuh dengan cepat pada sisa makanan tersebut, kecuali disimpan dalam lemari es.

Makanan tersebut dianjurkan untuk dihindari 1-2 minggu. Setelah itu, untuk mencobanya biasanya diberikan satu per satu. Bila tidak menimbulkan gejala, berarti dapat dikonsumsi.

b. Makanan yang dianjurkan adalah :

- Makanan sumber karbohidrat: beras, tepung beras, kentang, ubi, singkong, jagung, dan tales. Roti atau biscuit dapat diberikan bila dibuat dari tepaung yang bukan tepung terigu.

- Makanan sumber protein seperti daging, ikan, ayam, udang dan hasil laut lain yang segar.

- Makanan sumber protein nabati seperti kacang-kacangan (almod, mete, kacang kedelai, kacang hijau, kacang polong, dan lainnya). Namun, kacang tanah tidak dianjurkan karena sering berjamur.

- Semua sayuran segar terutama yang rendah karbohidrat seperti brokoli, kol, kembang kol, bit, wortel, timun, labu siam, bayam, terong, sawi, tomat, buncis, kacang panjang, kangkung, tomat, dan lain-lain.

- Buah-buahan segar dalam jumlah terbatas.

2.4.3. Diet untuk Alergi dan Inteloransi Makanan

(37)

lebih banyak lagi. Cara mengatur makanan untuk anak alergi dan intoleransi makanan, pertama-tama perlu diperhatikan sumber penyebabnya. Makanan yang diduga menyebabkan gejala alergi/intoleransi harus dihindarkan. Misalnya, jika anak alergi terhadap telur, maka semua makanan yang menggunakan telur harus dihindarkan. Makanan tersebut tidak harus dipantang seumur hidup. Dengan bertambahnya umur anak, makanan tersebut dapat diperkenalkan satu per satu, sedikit demi sedikit.

2.4.4. Cara Mengatur Makanan secara Umum

1. Berikan makanan seimbang untuk menjamin agar tubuh memperoleh semua zat gizi yang dibutuhkan untuk keperluan pertumbuhan, perbaikan sel-sel yang rusak dan kegiatan sehari-hari.

2. Gula sebaiknya dihindari, khususnya bagi yang hiperaktif dan ada infeksi jamur. Fruktosa dapat digunakan sebagai pengganti gula karena penyerapan fruktosa lebih lambat disbanding gula/sukrosa.

3. Minyak untuk memasak sebaiknya menggunakan minyak sayur, minyak jagung, minyak biji bunga matahari, minyak kacang tanah, minyak kedelai, atau minyak olive. Bila perlu menambah konsumsi lemak, makanan dapat digoreng.

4. Cukup mengonsumsi serat, khususnya serat yang berasal dari sayuran dan buah-buahan segar. Konsumsi sayur dan buah 3-5 porsi per hari.

(38)

6. Bila keseimbangan zat gizi tidak dapat dipenuhi, pertimbangkan pemberian suplemen vitamin dan mineral (vitamin B6, vitmin C, seng, dan magnesium). 7. Membaca label makanan untuk mengetahui komposisi makanan secara

lengkap dan tanggal kadaluwarsanya.

8. Berikan makanan yang cukup bervariasi. Bila makanan monoton, maka anak akan bosan.

9. Hindari junk food,ganti dengan buah dan sayuran segar

2.5. Perilaku Ibu dalam Pemberian Makan Pada Anak

Pemberian makan pada anak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan anak atas za-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Gizi juga merupakan faktor penting bagi kesehatan dan kecerdasan anak, baik sejak dalam kandungan maupun setelah anak lahir.

Kekurangan gizi pada anak dapat menyebabkan berat badan berkurang, mudah terserang penyakit, defisiensi gizi, terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan baik fisik, psikomotor dan mental (Widodo, 2009).

(39)

Dalam menangani masalah pola makan yang terjadi pada autisme tidak hanya tertumpu pada terapis dan dokter saja, tetapi perilaku ibu dalam pemberian makan pada anak autisme memiliki pengaruh yang besar dalam penyembuhan anak autisme sehingga anak autisme dapat tumbuh sehat dan cerdas. Sebaliknya jika perilaku ibu yang buruk dalam hal pemberian makan akan berdampak negatif terhadap keadaan kesehatan anak.

Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati secara langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Dengan kata lain perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulasi yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.

Perilaku juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup adalah respon atau reaksi terhadap stimulus yang masih dalam bentuk perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap pada seseorang yang menerima stimulus dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain, misalnya : Seorang ibu tahu pentingnya makanan yang bergizi dan beraneka ragam untuk kebutuhan gizi keluarganya. Sedangkan prilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata dan dapat diamati oleh orang lain misalnya: seorang ibu yang selalu memasak makanan yang bergizi dan beraneka ragam untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarganya.

2.5.1. Pengetahuan Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak

(40)

mengalami perubahan dan perkembangan yang paling pesat dalam kehidupannya, yaitu perkembangan kematangan sistem pencernaan, kematangan organ-organ tubuh, otak dan jiwa. Pada masa ini orang tua perlu memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai dalam pemilihan dan cara pemberian makan pada anak (Widodo, 2009).

Menurut Notoatmodjo (2003) Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama dibandingkan dengan perilaku yang tanpa didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan ibu yang baik tentang gizi akan berdampak postif terhadap pola makan anak. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Mashabi dan Tajudin (2009) tentang pengetahuan gizi ibu dengan pola makan anak autisme menunjukan bahwa tinggi rendahnya tingkat pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi pola makan anak autisme artinya semakin tinggi pengetahuan gizi ibu dapat mempengaruhi pola makan anak autisme dan sebaliknya.

(41)

2.5.2. Sikap Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak

Sikap merupakan resaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunujukkan konotasi adanya kesesuain reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tidakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2003). Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap membuat orang setuju (mendekat) atau tidak setuju (menjauhi) suatu hal.

Kesenangan seseorang terhadap suatu makanan didasarkan pada psikologi dan budaya yang berbeda. Unsur-unsur budaya mampu mempengaruhi kebiasaan makan yang terkadang bertentangan dengan prinsip ilmu gizi. Sikap seorang ibu terhadap pemberian makan pada anak sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, keyakinan, dan emosi. Suatu contoh misalnya, ibu mengetahui bahwa diet bebas gluten dan bebas casein merupakan salah satu terapi penyembuhan untuk anak autisme, pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berfikir dan berusaha agar anaknya dapat sembuh dari autisme. Dalam berfikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu berniat untuk menyiapkan makanan yang bebas gluten dan kasein untuk anaknya yang autisme.

Namun adakalanya sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan seperti contoh diatas tidak selalu terwujud dalam tindakan nyata. Hal ini menurut Notoatmodjo (1993), disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain :

(42)

2. Sikap diikuti dan tidak diikuti oleh tindakan mengacu pada pengalaman orang lain.

3. Sikap diikuti oleh tindakan nyata.

Jadi, untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orang tua atau mertua dan lain-lain (Notoatmodjo, 2003).

2.5.3. Tindakan Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang telah diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktek kesehatan atau perilaku kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

Pemenuhan gizi dalam keluarga tidak terlepas dari tindakan/perilaku ibu dalam kehidupan sehari-hari, terlebih dalam hal penyediaan makanan untuk anak. Ibu memiliki peranan yang besar karena ibu mempunyai andil dalam hal penyediaan makanan dirumah, mulai dari mementukan menu yang akan dimasak, belanja untuk bahan makanan dan memasak secara benar. Semua itu dilakukan agar buah hati dan keluarga dapat hidup sehat.

(43)

kandungan zat gizi yang ada didalam bahan makanan itu (Mashabi dan Tajudin, 2009).

Tindakan Ibu dalam pemberian makan pada anak dapat dilakukan setelah ibu mengetahui manfaat kesehatan yang dihasilkan dari makanan tersebut, dalam hal ini terjadi fase penilaian atau pendapat terhadap apa yang telah diketahui yang diharapkan dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

2.6. Status Gizi

Menurut Supariasa dkk (2002) status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. Sedangkan menurut Almatsier (2004) Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan lebih. Secara klasik kata gizi hanya dihubungkan dengan kesehatan tubuh, yaitu untuk menyediakan energi, membangun, memelihara jaringan tubuh, serta mengatur proses-proses kehidupan dalam tubuh.

Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang setinggi mungkin.

2.7. Penilaian Status Gizi

(44)

1966 yang telah didefinisikan oleh Jelliffe (1966) sebagai : Pengukuran pada variasi dimensi fisik dan komposisi besaran tubuh manusia pada tingkat usia dan derajat nutrisi yang berbeda (Nahendra, 2006).

Menurut Supariasa, dkk (2002) penilaian status gizi dibagi menjadi dua yaitu pengukuran status gizi secara langsung dan pengukuran status gizi secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu, survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.

2.7.1. Penilaian Status Gizi secara Antropometri

Penilaian status gizi dalam penelitian ini menggunakan metode antropometri, jadi hanya akan dibahas lebih luas mengenai antropometri. Menurut Supariasa, dkk (2002), mendefenisikan antropometri adalah ukuran tubuh. Maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Beberapa pengukuran antropometri utama yang digunakan adalah tinggi badan (TB), berat badan (BB), lingkar lengan (dengan komponen lemak bawah kulit dan otot tulang) dan lipatan lemak bawah kulit.

(45)

1. Untuk mengukur massa jaringan : Pengukuran massa jaringan ini meliputi pengukuran berat badan, tebal lemak dibawah kulit dan lingkar lengan atas. Ukuran massa jaringan ini sifanya sensitif, cepat berubah, mudah turun naik dan menggambarkan keadaan sekarang.

2. Untuk mengukur kelinieran : yaitu pengkuran terhadap tinggi badan, lingkar kepala dan lingkar dada. Ukuran linier sifatnya spesifik, perubahan relatif lambat, ukuranya tetap atau naik, dapat menggambarkan riwayat gizi masa lalu.

2.7.2. Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penelitian status gizi. Parameter ini adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada dan lingkar pinggul, dan tebal lemak dibawah kulit. Kombinasi dari beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu : berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U), namun karena dalam penelitian ini yang dihitung hanya status gizi TB/U dan IMT/U maka peneliti hanya membahas kedua indeks tersebut.

2.7.3. Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

(46)

relatif kurang sensitif terhadap masalah defisiensi zat gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama.

Masalah penggunaan indeks TB/U pada masa balita, baik yang berkaitan dengan keahlian pengukuran tinggi badan maupun ketelitian data umur. Masalah-masalah seperti ini akan lebih berkurang bila pengukuran dilakukan pada anak yang lebih tua karena pengukuran lebih mudah dilakukan dan penggunaan selang umur yang lebih panjang (tahunan) memperkecil kemungkinan kesalahan data umur. 2.7.4. Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan pelaksanaan perbaikan gizi adalah dengan menentukan dan melihat ukuran fisik seorang anak. Ukuran fisik seseorang sangat erat hubungannya dengan status gizi. Atas dasar itu, ukuran-ukuran yang baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi dengan melakukan pengukuran antropometri. Hal ini karena lebih mudah dilakukan dibandingkan cara penilaian status gizi lain, terutama untuk daerah pedesaan (Supariasa, dkk., 2001).

(47)

Pengukuran status gizi anak dapat dilakukan dengan indeks antropometri dan menggunakan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) anak.

2.8. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Antropometri

Klasifikasi status gizi harus didasarkan atas ukuran baku (Standar Reference) dan terdapat batasan-batasan yang disebut ambang batas. Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-skor (Standar Deviasi). Dalam hal ini standar deviasi untuk (Z-skor) digunakan untuk meneliti dan memantau pertumbuhan. Standar deviasi unit ini digunakan untuk mengetahui klasifikasi status gizi seseorang berdasarkan kriteria yang ditetapkan, antara lain berat badan, umur dan tinggi badan.

Status gizi diklasifikasikan berdasarkan standar dan ukuran baku. Baku antropometri yang digunakan adalah baku WHO 2007 yang telah diperkenalkan di Indonesia oleh WHO melalui Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) pada tahun 2009. Pemakaian standart ini didasarkan pada studi di 6 negara di dunia yaitu Brazil, Ghana, Norwey, Oman, USA dan India. Standar Antropometri 2007 lebih dapat menggambarkan status gizi anak-anak dan remaja di dunia. Berikut klasifikasi status gizi anak remaja menurut WHO 2007.

Tabel 2.1. Indeks TB/U menurut WHO 2007

No. Kategori Z-Score (SD)

1. Sangat tinggi > 3 SD

2. Tinggi > 2 SD s/d ≤ 3 SD

3. Normal ≥ -2 SD s/d ≤ 2 SD

4. Pendek ≥ -3 SD s/d < -2 SD

5. Sangat pendek < -3 SD

(48)

Tabel 2.2. Indeks IMT/U menurut WHO 2007

No. Kategori Z-Score (SD)

1. Sangat gemuk > 2 SD

2. Gemuk > 1 SD s/d ≤ 2 SD

3. Normal ≥ -2 SD s/d ≤ 1 SD

4. Kurus ≥ -3 SD s/d < -2 SD

5. Sangat kurus < -3 SD

Pengukuran skor simpangan baku (Z-skor) dapat diperoleh dengan rumus :

Dalam rumus ini, M, L dan S adalah nilai dari populasi rujukan. M adalah nilai median rujukan yang merupakan perkiraan rata-rata populasi. L adalah nilai kekuatan (power) yang dibutuhkan untuk mentransformasikan data agar data tetap berdistribusi normal. S adalah koefisien variasi (sejenisnya).

(49)

2.9. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Dari kerangka konsep diatas dijelaskan bahwa perilaku ibu tentang pemberian makan pada anak autisme dipengaruhi oleh pengetahuan ibu, suatu pengetahuan akan membentuk suatu sikap dan sikap ini diaplikasikan secara nyata dalam bentuk tindakan, yaitu tindakan ibu dalam pemberian makan pada anak autisme kemudian di lihat status gizi anak autisme yang meliputi pengukuran berat badan dan tinggi badan.

Status Gizi Anak Autisme Pengetahuan

Ibu Sikap Ibu

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan rancangan cross sectional untuk melihat perilaku ibu tentang pemberian makan dan status gizi anak autisme di sekolah dan tempat terapi autisme di Kota Binjai tahun 2011.

6.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 6.2.1. Lokasi Penelitian

(51)

6.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari s/d Mei tahun 2011.

6.3. Populasi dan Sampel 6.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak autisme yang bersekolah dan mengikuti terapi di Kota Binjai usia 5 s/d 15 tahun berjumlah 32 orang.

6.3.2. Sampel

Sampel pada penelitian ini diambil dengan metode total sampling yaitu seluruh anak autisme yang bersekolah dan mengikuti terapi autisme di Kota Binjai, yaitu 10 orang di SDLB Negeri Binjai, 10 orang di SLB Negeri Binjai dan 12 orang di Yayasan Fadira. Maka sampel yang didapat dari ketiga tempat tersebut adalah 32 orang anak autisme mulai dari usia 5 s/d 15 tahun yang bersekolah dan mendapatkan terapi autisme di Kota Binjai.

Responden yang akan dimintai keterangan tentang pemberian makan pada anak autisme adalah ibu dari anak autisme yang bersekolah dan mendapatkan terapi autisme di ketiga tempat tersebut yang berjumlah 32 orang.

6.4. Definisi Operasional

1. Pengetahuan ibu adalah segala sesuatu yang diketahui ibu tentang pemberian makanan pada anak autisme.

(52)

3. Tindakan ibu adalah aktifitas yang dilakukan ibu sehubungan dengan pemberian makan pada anak autisme.

4. Status gizi adalah keadaan kesehatan fisik anak autisme yang ditentukan dengan menggunakan antropometri TB/U dan IMT/U, dengan perhitungan nilai Z-skor berdasarkan baku standar WHO 2007.

6.5. Jenis dan Metode Pengumpulan Data 6.5.1. Jenis Data

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti, yang meliputi identitas responden, identitas anak autisme dan perilaku responden yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan tentang pemberian makan pada anak autisme, serta status gizi pada anak autisme.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari SDLB Negeri Binjai, SLB Negeri Binjai dan Yayasan Fadira yang terdiri dari jumlah anak autisme dan data-data pendukung lainnya.

6.5.2. Metode Pengumpulan Data

(53)

dahulu kepada responden. Untuk data status gizi anak autisme diperoleh dengan melakukan pengukuran secara antropometri yaitu pengukuran terhadap berat badan dan tinggi badan anak autisme, pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan badan dan pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan mikrotoise. Pengukuran status gizi dilakukan didalam kelas dengan bantuan guru ataupun terapis untuk mengontrol pelaksanaan dilapangan.

2. Data sekunder dari SDLB dan SLB Negeri Binjai diperoleh dari bagian tata usaha sedangkan data sekunder dari Yayasan Fadira diperoleh dari staf yayasan.

6.6. Instrumen Penelitian

Adapun instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah - Kuesioner

- Timbangan badan - Microtoise

6.7. Aspek Pengukuran 6.7.1. Pengetahuan

(54)

a. Baik bila nilai responden > 75% dari total nilai seluruh pertanyaan tentang pengetahuan, dengan nilai > 30.

b. Cukup bila nilai responden 40-75% dari total nilai seluruh pertanyaan tentang pengetahuan, dengan nilai 16-30.

c. Kurang, bila nilai responden < 40% dari total nilai seluruh pertanyaan tentang pengetahuan, dengan nilai < 16.

Dalam pertanyaan pengetahuan terdapat 11 pertanyaan (55%) tentang pemberian makan secara khusus yang sesuai diet anak autisme dan terdapat 9 pertanyaan (45%) untuk pemberian makan secara umum pada anak.

6.7.2. Sikap

Komponen sikap menggunakan skala Gutment yakni dengan 2 (dua) alternatif jawaban yaitu setuju dan tidak setuju. Sikap terdiri dari 18 pernyataan yang memuat 10 pernyataan postitif (nomor 2, 3, 5, 7, 9, 10, 12, 14, 15, 17 ) dan 8 pernyataan negatif (nomor 1, 4, 6, 8, 11, 13, 16, 18). Jawaban terhadap pernyataan positif diberi skor 1 untuk jawaban setuju dan 0 untuk jawaban tidak setuju. Sebaliknya untuk tipe pernyataan negatif diberi skor 1 untuk jawaban tidak setuju dan skor 0 untuk jawaban setuju. Total skor tertinggi adalah 18 dan skor terendah adalah 0.

Berdasarkan kriteria diatas dapat dikategorikan tingkat sikap responden dengan kriteria sebagai berikut (Arikunto, 2002):

a. Baik bila nilai responden > 75% dari total nilai seluruh pertanyaan tentang sikap, dengan nilai > 14.

(55)

c. Kurang, bila nilai responden < 40% dari total nilai seluruh pertanyaan tentang sikap, dengan nilai < 7.

Dalam pernyataan sikap terdapat 8 pernyataan (44,4%) tentang pemberian makan secara khusus yang sesuai diet pada anak autisme dan terdapat 10 pertanyaan (55,6%) untuk pemberian makan secara umum pada anak.

6.7.3. Tindakan

Pada komponen tindakan terdapat 20 pertanyaan dengan tipe pilihan jawaban skala likert yaitu benar, hampir benar dan salah. Diberi skor 2 untuk jawaban yang benar, skor 1 untuk jawaban yang hampir benar dan skor 0 untuk jawaban yang salah. Total skor tindakan tertinggi adalah 40 dan terendah adalah 0. Berdasarkan kriteria diatas maka dapat dikategorikan tindakan responden dengan kriteria sebagai berikut (Arikunto, 2002) :

a. Baik bila nilai responden > 75% dari total nilai seluruh pertanyaan tentang tindakan, dengan nilai > 30

b. Cukup bila nilai responden 40-75% dari total nilai seluruh pertanyaan tentang tindakan, dengan nilai 16-30

c. Kurang, bila nilai responden < 40% dari total nilai seluruh pertanyaan tentang tindakan, dengan nilai < 16.

(56)

6.7.4. Status Gizi

Status gizi anak autisme diukur dengan menggunakan metode antropometri yaitu meliputi pengkuran tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Index Masa Tubuh menurut umur (IMT/U) berdasarkan nilai Z-skor yang di dapat dengan menggunakan

softwear WHO Antroplus, setelah nilai Z-skor didapat maka bandingkan dengan klasifikasi status gizi menurut WHO 2007.

Kategori status gizi tinggi badan menurut umur (TB/U) berdasarkan klasifikasi status gizi anak dan remaja usia 5-19 tahun menurut WHO 2007 adalah sebagai berikut.

Tabel 3.1. Klasifikasi status gizi TB/U berdasarkan WHO 2007

No. Kategori Z-Score (SD)

Kategori status gizi berdasarkan indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U) berdasarkan klasifikasi status gizi anak dan remaja usia 5-19 tahun menurut WHO 2007 adalah sebagai berikut.

Tabel 3.2. Klasifikasi status gizi IMT/U berdasarkan WHO 2007

(57)

6.8. Analisis Data

(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum SDLB Negeri 027701 Binjai

Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri 027701 Binjai adalah sekolah yang didirikan oleh pemerintah pada tahun 1967. Sekolah ini beralamat di Jalan Dewi Sartika No.167 Komplek Handayani Binjai.

Sekolah yang telah berdiri sejak 44 tahun silam ini di bangun untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus, seperti tuna netra (buta), tuna rungu (tuli), tuna wicara (bisu), tuna daksa (cacat tubuh), tuna grahita (keterbelakangan mental) dan autisme. Saat ini jumlah siswanya telah mencapai 91 orang.

Adapun cara belajar yang diterapkan disekolah adalah sama seperti sekolah SD pada umumnya, dimana anak-anak diajarkan untuk membaca, berhitung dan menulis. Ruangan kelas terdiri dari kelas 1 sampai dengan kelas 6, di SDLB ini siswa dimasukkan ke dalam satu kelas berdasarkan umur siswa tersebut.

4.1.2. Gambaran Umum SLB Negeri Binjai

(59)

Sekolah yang berfungsi sejak tahun ajaran 2007/2008 ini pada awalnya melakukan pendataan ke masyarakat untuk mencari anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk bersekolah ke SLB Negeri Binjai, dengan tujuan agar anak-anak yang berkebutuhan khusus memiliki pendidikan dan keterampilan untuk kehidupannya mendatang, sejak tahun 2009 pihak sekolah tidak lagi mendata anak yang berkebutuhan khusus dimasyarakat, melainkan orang tua sendiri yang mendafarkan anaknya ke SLB Negeri Binjai. Saat ini jumlah murid yang terdaftar sebagai siswa di SLB Negeri Binjai adalah 94 orang. Di SLB Negeri Binjai ini siswa dibedakan berdasarkan keterbatasan mereka, bukan berdasarkan umur, jadi dalam satu kelas terdapat anak-anak yang memiliki keterbatasan yang sama walaupun dengan umur yang berbeda.

Adapun cara belajar yang diterapkan di SLB ini adalah sama seperti sekolah pada umumnya, di mana anak autisme diajarkan untuk menulis, menggambar dan mewarnai. Selain itu guru juga melatih anak untuk berbicara, dapat duduk dengan tenang dan mau mendengarkan instruksi dari guru.

(60)

4.1.3. Gambaran Umum Yayasan Fadira

Yayasan Fadira adalah pusat terapi tumbuh kembang anak yang telah hadir di Binjai pada bulan april tahun 2008 yang didirikan oleh Syarifah Raudah, Yayasan Fadira ini beralamat di jalan Rimuna Raya No. 158 Perumnas Berngam Binjai. Pusat terapi ini didirikan mengingat masih minimnya terapi untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus di Kota Binjai seperti terapi untuk anak down syndrome, autisme, hiperaktif, gangguan bicara dan lain sebagainya.

Saat ini jumlah murid di Yayasan Fadira telah mencapai 14 orang dan ditangani oleh 3 orang tenaga terapis yang sudah berpengalaman. Adapun jenis-jenis terapi yang dilakukan adalah terapi perilaku, terapi okupasi/ berbicara, terapi sensori integrasi dan terapi sinar infra merah, semua dari terapi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan masalah yang dialami oleh anak.

(61)

4.2. Karakteristik Ibu

Karakteristik ibu dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan, dan pekerjaan. Dari hasil penelitian, diperoleh jumlah umur ibu yang terbanyak adalah usia 40-44 tahun dan 45-49 tahun yang masing-masing berjumlah 10 orang (31,3%).

Jumlah ibu berdasarkan tingkat pendidikan sangat beragam, namun sebagian besar pendidikan terakhir ibu adalah SMA yaitu 18 orang (56,3%), Sedangkan dilihat dari jenis pekerjaan terdapat 22 orang (68,8%) ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga (IRT). Secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu dari Anak Autisme yang Bersekolah dan Mengikuti Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011.

No Karakteristik Ibu Jumlah

(62)

4.3. Perilaku Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak Autisme

Perilaku ibu dalam pemberian makan pada anak autisme dapat dilihat dari pengetahuan, sikap, dan tindakan ibu.

4.3.1. Pengetahuan Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak Autisme

Berdasarkan Hasil penelitian, didapatkan bahwa pengetahuan ibu sebagian besar berada dalam kategori cukup yaitu 22 orang (68,8%) dan hanya 3 orang (9,4%) ibu yang memiliki pengetahuan baik. Secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu tentang Pemberian Makan pada Anak Autisme di Sekolah dan Tempat Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011.

No Pengetahuan Jumlah

n %

1. Baik 3 9,4

2. Cukup 22 68,8

3. Kurang 7 21,8

Total 32 100

Pengetahuan dalam pemberian makan pada anak autisme tidak sebatas masalah pemberian makan pada anak secara umum, tetapi juga dilihat bagaimana pengetahuan ibu tentang pemberian makan secara khusus yang sesuai dengan diet autisme, untuk itu peneliti memilih 10 pertanyaan pengetahuan sebagai sampel menyangkut pola pemberian makan pada anak autisme. Secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.3

(63)

No. Pertanyaan n % 1. Cara menyusun menyiapkan makanan yang baik untuk anak autisme

a. Menyusun menu, memilih bahan makanan yang sehat dan memasak dengan benar

b. Memanas kembali sisa makanan kemarin yang tidak habis c. Memasak makanan tanpa menggunakan MSG

17

2. Makanan yang baik dikonsumsi anak autisme setiap kali makan a. Nasi+lauk

3. Manfaat sarapan pagi untuk anak autisme

a. Memberikan rasa kenyang dan tidak masuk angin (1) b. Memberikan tenaga untuk melakukan aktifitas (2) c. Tidak ada manfaatnya (0)

13

4. Manfaat mengonsumsi sayur dan buah setiap hari a. Tidak ada manfaatnya (0)

b. Memudahkan BAB (1)

c. Memenuhi kebutuhan tubuh akan vitamin, mineral dan serat (2)

2

5. Cara pemberian makan pada anak autisme a. Sama seperti anak normal lainnya (0)

b. Memberikan makanan sesuai dengan kebutuhan dan diet pada anak autisme (2)

c. Memberikan makanan sesuai dengan kebutuhan anak autisme (1) 20

6. Makanan yang mengandung kasein

a. Makanan yang mengandung protein susu (2) b. Mentega, keju dan yogurt (1)

7. Makanan yang mengandung gluten

(64)

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa pengetahuan ibu tentang cara

menyiapkan makanan yang baik untuk anak autisme pada umumnya menjawab “menyusun menu, memilih bahan makanan sehat dan memasak dengan benar” yaitu sebanyak 17orang (53,1%) dan hanya terdapat 1 orang (3,1%) ibu yang memanaskan kembali sisa makanan kemarin yang tidak habis.

Pengetahuan ibu tentang makanan yang baik dikonsumsi untuk anak autisme setiap kali makan pada umumnya adalah terdiri dari “Nasi, lauk, sayur, buah ” yaitu sebanyak 21 orang (65,6%), dan sebanyak 11 orang (34,4%) ibu yang menyatakan “Nasi, lauk, sayur”.

Pengetahuan ibu tentang manfaat sarapan pagi pada umunya adalah “memberikan tenaga untuk melakukan aktifitas” yaitu sebanyak 19 orang (59,4%) dan terdapat 13 ibu (40,6%) yang menyatakan manfaat sarapan pagi adalah “ untuk memberikan rasa kenyang dan tidak masuk angin”.

No. Pertanyaan n %

8. Jenis diet yang ibu ketahui untuk anak autisme

a. Mengurangi makanan yang manis seperti coklat (1)

b. Bebas gluten dan casein, diet anti ragi dan jamur, diet untuk alergi dan intoleransi makanan (2)

c. Mengurangi makanan seperti ikan, sayur dan buah segar (0)

25

9. Manfaat memberikan diet khusus pada anak autisme

a. Dapat mempercepat penyembuhan dan status gizi yang baik pada anak (2)

b. Tidak ada manfaatnya (0)

c. Untuk mengurangi prilaku anak yang hiperaktif (1)

6

10. Snack yang baik untuk dikonsumsi anak autisme a. Wafer, coklat, roti, mie goreng (0)

b. Buah-buahan (2)

c. Keripik, kacang rebus, jagung rebus (1)

Gambar

Tabel 2.1. Indeks TB/U menurut WHO 2007
Tabel 2.2. Indeks IMT/U menurut WHO 2007
Gambar 2.1.  Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Klasifikasi status gizi TB/U berdasarkan WHO 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Khaira Rahayu : Status Gizi Ibu Dan Bayi Ditinjau Dari Pola Makan Ibu Menyusi Dan Bayi Yang Berkunjung Ke Puskesmas Polonia Medan 2008, 2009.. USU Repository

Kesimpulan: Terdapat hubungan antara pengetahuan ibu, pola pemberian makan dan pendapatan keluarga terhadap status gizi balita di Desa Pajerukan Kecamatan Kalibagor.. Kata Kunci:

Hasil penelitian ini menunjukkan perilaku ibu dalam pemberian makan balita dengan status gizi balita di Desa Bagan Jaya Enok Indragiri Hilir Riau sebagian besar adalah baik sebanyak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p value=0,123 yang artinya pola asuh makan yang diterapkan ibu pengrajin bambu tidak memberikan pengaruh terhadap status gizi balita

Apabila dihubungkan dengan status kesehatan ibu hamil, maka perilaku kesehatan ibu selama hamil dimana dalam penelitian ini adalah pola makan ibu yang didukung dengan

a) Ibu lebih memperhatikan pola makan dan kebutuhan makan anak, sehingga pola makan anak lebih teratur sehingga proses belajar dan pertumbuhan anak dapat optimal.

Hubungan perilaku ibu dalam pemberian makan dengan status gizi pada balita usia 13-59 bulan di Posyandu Lada V Pakuncen Wirobrajan Yogyakarta Tahun 2010 Hasil

Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu dan pengetahuan gizi ibu terhadap perilaku makan anak, semakin tinggi tingkat pendidikannya,