• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Tingkat Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunam

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana menyebutkan tsunami sebagai salah satu bencana alam. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Gempa bumi di lepas pantai selatan Jawa umumnya bertipe silent earth quake (gempa diam). Gempa seperti ini meskipun memiliki magnitudo cukup besar, guncangannya lemah atau tak terasa. Guncangan yang lemah inilah yang menyebabkan masyarakat kurang waspada bahaya tsunami (Yulianto et al. 2008). Indonesia berada pada pertemuan 3 lempeng aktif dunia yaitu Eurasia, Indo- Australia dan lempeng Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah yang tingkat kegempaannya sangat tinggi. Pergerakan ini menimbulkan pergeseran lempeng tektonik pada batas lempeng sebelah selatan Pulau Jawa sehingga menimbulkan medan stress atau tekanan-tekanan mulai di batas lempeng sampai beberapa ratus kilometer ke utara membentuk sesar-sesar regional maupun lokal dimana terjadinya gempabumi. Gempa dan tsunami yang terjadi di laut selatan Pulau Jawa ini, merupakan akibat dari tumbukan antara lempeng oseanik Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia sehingga menghasilkan gempa dengan kekuataan 6.8 SR (BMG), selanjutnya terjadi deformasi dasar laut akan menghasilkan tsunami earthquakegenic (Pribadi et al. 2006).

Berdasarkan keterangan masyarakat di pantai barat pangandaran gelombang tsunami terjadi sekitar 30 – 40 menit setelah gempa utama (jam 15:19:22 WIB). Banyak warga menyaksikan gelombang tsunami terjadi 3 (tiga) kali dimulai jam

80

16.05 WIB ; gelombang pertama 4 m, kedua 7 m, ketiga 3 m interval gelombang 1-2 menit. Di daerah tanjung Pangandaran yang berjarak 300 m (antara pantai barat dan timur) terjadi titik temu dua arus gelombang tsunami, sedangkan di tanjung yang berjarak 500 m tidak sampai terjadi pertemuan gelombang karena terhalang bangunan rumah dan penginapan di tengah-tengah tanjung (Pribadi et al. 2006). Setelah mengetahui lokasi rawan gempa dan tsunami secara geografis, masyarakat wilayah pantai harus mengetahui tempat mana saja yang rawan kerusakan akibat tsunami.

Pada penelitian ini, daerah rawan kerusakan merupakan daerah yang berpotensi tergenangi air limpasan gelombang tsunami. Tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami diwakili oleh proporsi genangan akibat tsunami.

Pada kawasan pantai Ciamis, metode regresi stepwise yang dilakukan terhadap data contoh dengan memasukkan semua faktor biofisik menghasilkan persamaan dengan hanya faktor ketinggian sebagai variabel bebas dan mengeluarkan kelima faktor biofisik lainnya. Faktor biofisik selain ketinggian dinyatakan tidak signifikan (Lampiran 3).

Persamaan regresi yang diperoleh melalui metode regresi stepwise

menghasilkan koefisien determinasi 84,9% adalah : Y = 93,38 + 0,092 X

dimana Y = Proporsi genangan tsunami, X = skor ketinggian.

Persamaan tersebut diolah secara spasial sehingga mendapatkan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami (Gambar 57). Kelas kerawanan dibagi kedalam tiga kelas, yaitu Kelas Sangat Rawan, Kelas Rawan dan Kelas Tidak Rawan.

Peta kerawanan kerusakan akibat tsunami yang dihasilkan dapat dikategorikan kedalam tingkat tinjau karena sebagian peta dasar bersumber pada citra Landsat TM yang beresolusi 30 m dengan perpadanan skala peta 1:100.000. Berdasarkan kriteria yang disebutkan Arsyad (2010) peta tersebut dapat digunakan pada kegiatan perencanaan umum dan penetapan areal yang akan disurvei lebih dalam.

Berdasarkan data BMG, 60% masuk kedalam kelas Sangat Rawan dan 40% masuk kedalam kelas Rawan. Untuk tinggi genangan 7,5 m, titik validasi

81

menunjukkan semua (100%) masuk kedalam kelas Sangat Rawan. Hasil validasi dari tinggi gelombang 15 m menunjukkan 48% masuk kedalam kelas Sangat Rawan dan 52% masuk kedalam kelas Rawan. Pada tinggi gelombang 30 m, hasil validasi menunjukkan 32% masuk kedalam kelas Sangat Rawan, 38% pada kelas Rawan dan 30% masuk kedalam kelas Tidak Rawan (Gambar 56). Secara keseluruhan validasi peta kerawanan kerusakan akibat tsunami menghasilkan nilai validasi 85%. Data yang didapat untuk penghitungan validasi dapat dilihat pada Tabel 12.

Data untuk menguji model berdasarkan kejadian nyata tsunami sangat sedikit. Pengujian model kerawanan kerusakan akibat tsunami akan menghasilkan nilai validasi yang lebih dipercaya ketika ada data genangan sebenarnya yang dicatat dari tsunami yang sesungguhnya terjadi di kemudian hari.

Gambar 56. Sebaran kelas kerawanan akibat tsunami pada tinggi gelombang berbeda

Tabel 12. Hasil validasi kerawanan kerusakan akibat tsunami berdasarkan data genangan pada tinggi gelombang berbeda

Tinggi gelombang tsunami (m)

Kelas Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami

Sangat Rawan Rawan Tidak Rawan

7,5 177 0 0

15 178 190 0

30 179 209 163

82

Jumlah titik untuk validasi yang diambil dari daerah genangan berdasarkan tinggi gelombang tsunami yang berbeda adalah 534 titik. Jumlah tersebut masuk kedalam kriteria jumlah observasi yang dinyatakan oleh Arsyad (2010) terkait dengan skala peta yang digunakan pada penelitian ini yang merupakan skala tinjau.

83

84

Gambar 58. Persentase wilayah kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami Berdasarkan peta kerawanan yang dihasilkan, 20% wilayah desa pantai Ciamis atau 4.486,5 ha merupakan daerah sangat rawan kerusakan akibat tsunami. Sebesar 28% atau 6.495,5 ha dari wilayah desa pantai merupakan daerah rawan kerusakan akibat tsunami dan 52% atau 12.016,4 ha merupakan daerah tidak rawan (Gambar 58).

Gambar 59. Kelas bentuk pantai pada daerah sangat rawan

Berdasarkan model kerawanan kerusakan akibat tsunami, daerah sangat rawan di wilayah ini hanya 6% memiliki pantai berbentuk gergaji, 51% merupakan pantai berbentuk rata dan 43% berbentuk lekukan (Gambar 59). Hampir 60% berjarak lebih dari 1 km. Untuk jarak dalam radius 1 km, semakin mendekati pantai semakin besar areal yang tergenangi (Gambar 60).

Kelas ketinggian pada daerah sangat rawan menunjukkan variasi. Seluas 23% areal sangat rawan memiliki ketinggian 0 – 5 m. Daerah sangat rawan didominasi wilayah dengan ketinggian kurang dari 10 m atau dapat dikatakan dataran rendah (Gambar 61). Daerah ini juga didominasi oleh daerah datar.

85

Hanya kurang dari 5% yang memiliki kemiringan lereng lebih dari 4% (Gambar 62).

Gambar 60. Kelas jarak dari pantai pada daerah sangat rawan

Gambar 61. Kelas ketinggian pada daerah sangat rawan

Gambar 62. Kelas kemiringan lereng pada daerah sangat rawan

86

Berdasarkan Peta Kerawanan Kerusakan akibat Tsunami Pantai Ciamis, daerah sangat rawan merupakan daerah dengan ketinggian rendah dan datar. Bentuk pantai didominasi oleh bentuk rata.

Gambar 63. Kelas kerapatan vegetasi pada daerah sangat rawan

Gambar 63 menunjukkan bahwa sebagian besar daerah sangat rawan memiliki kerapatan vegetasi rendah atau jarang. Seluas 31% memiliki vegetasi sedang. Hanya 6% bervegetasi lebat. Persentase areal tergenangi tinggi pada daerah sangat rawan merupakan areal sawah, pertanian lahan kering dan permukiman. Dapat dikatakan bahwa hampir 72% dari daerah sangat rawan merupakan areal permukiman dan budidaya (Gambar 64). Areal yang sedikit tergenangi adalah tambak dan semak belukar. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi di lapangan dimana wilayah dekat dengan pantai merupakan wilayah permukiman dan budidaya.

87

Gambar 64. Kelas tutupan lahan pada daerah sangat rawan

Diposaptono dan Budiman (2008) menyebutkan vegetasi mempunyai tingkat reduksi tertentu saat terkena gelombang tsunami. Rawa dan sawah merupakan jenis vegetasi yang sangat peka terhadap tsunami. Rumput dan ladang memiliki kepekaan dibawahnya. Kebun dikatakan kurang peka terhadap tsunami, sedangkan semak belukar tidak peka terhadap tsunami dan hutan sangat tidak peka terhadap tsunami.

Pertampalan peta potensi genangan berdasarkan ketinggian gelombang dan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami memberi informasi bagaimana distribusi genangan air tsunami pada kelas kerawanan kerusakan. Tinggi gelombang yang ditampalkan adalah 7,5 m, 15 m dan 30 m.

Ketika gelombang tsunami setinggi 7,5 m menghempas daratan, 100% areal yang digenangi merupakan areal yang masuk kelas sangat rawan. Tidak ada yang merupakan kelas rawan dan tidak rawan (Gambar 65).

88

Gambar 65. Sebaran genangan air saat gelombang tsunami 7,5 m

pada kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami

Gambar 66. Sebaran genangan air saat gelombang tsunami 15 m pada kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami

Saat tsunami setinggi 15 m memasuki daratan, areal yang tergenangi semakin bertambah luas melewati areal dengan ketinggian di bawahnya. Areal rawan ikut tergenangi. Sekitar 53% dari areal yang tergenangi merupakan areal sangat rawan, sedangkan 47% merupakan areal rawan dan tidak ada areal tidak rawan yang tergenangi (Gambar 66).

Gelombang tsunami setinggi 30 m menghempas ke daratan dan menggenangi areal lebih luas dari gelombang 7,5 m dan 15 m. Areal rawan dan tidak rawan semakin banyak tergenangi air. Sebesar 39% areal yang tergenangi merupakan areal sangat rawan, 50% yang tergenangi adalah areal yang rawan, sedangkan 16% termasuk kedalam kelas tidak rawan (Gambar 67).

89

Gambar 67. Sebaran genangan air saat gelombang tsunami 30 m pada kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami

Wilayah pantai Ciamis terbagi kedalam wilayah daratan dan wilayah tanjung yang memiliki karakteristik biofisik berbeda. Wilayah daratan pantai Ciamis didominasi oleh daerah rendah, memiliki lereng datar dan bervegetasi jarang. Tanjung Pangandaran merupakan kawasan taman wisata alam dengan vegetasi yang cukup rapat dan tempat yang tinggi dan terjal, sehingga kawasan ini tidak mengalami kerusakan.

Wilayah pantai Ciamis merupakan bagian dari wilayah pantai selatan Jawa yang rawan gempa dan tsunami. Tsunami yang terjadi pada tahun 2006 telah menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan pantai. Berdasarkan penelitian geologi ternyata pada tahun 1921 pernah terjadi tsunami (Yulianto et al. 2008).

Dari citra satelit dapat dilihat bahwa wilayah yang dekat dengan garis pantai memiliki vegetasi yang jarang. Lebih jauh ke daratan juga seperti itu. Di wilayah Cimerak terjadi inundasi sejauh 1 km sebagaimana tercatat oleh BMKG dan merupakan daerah pesawahan. Wilayah Kecamatan Cimerak juga memiliki lekukan yang cukup besar dan pantai yang tidak rata. Di Kecamatan Cijulang terdapat lekukan yang cukup besar serta ada aliran sungai. Wilayah ini mengalami inundasi sejauh 300 m. Seperti pada penampakan kecamatan lain, pada pantai Kecamatan Parigi juga daerah dekat garis pantai menunjukkan daerah bervegetasi rendah. Garis pantai relatif rata dan wilayah bertekstur halus dan sedang. Inundasi terjadi sejauh 200 m. Penampakan citra Kecamatan Sidamulih

90

menunjukkan adanya aliran sungai di wilayah tersebut. Garis pantai dapat dikatakan relatif rata. Tidak ada catatan mengenai inundasi wilayah ini.

Hasil pengecekan lapangan menunjukkan bahwa di pinggir pantai Pangandaran khususnya sekitar Pananjung merupakan tempat-tempat penginapan, pasar wisata dan di belakangnya merupakan permukiman. Pekarangannya ditumbuhi beberapa pohon. Menjauh dari kawasan wisata, pinggir pantai berupa tanah kosong berpasir, tanah berumput dan terkadang ditumbuhi beberapa pohon kelapa, ketapang dan waru.

Penutupan lahan wilayah pantai Ciamis secara garis besar dibagi kedalam daerah pesawahan, permukiman, kebun, hutan, pasir pantai dan air. Wilayah hutan di Kecamatan Pangandaran yaitu wilayah tanjung yang merupakan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam. Hutan ini berada di daerah tinggi dengan kemiringan lereng beragam dan merupakan hutan tanah kering. Sepanjang pantai Pangandaran merupakan lahan berpasir dan ditanami beberapa anakan vegetasi pantai dan mangrove. Di belakang lahan berpasir yang merupakan tempat wisata adalah tempat-tempat penginapan mulai dari penginapan kecil hingga hotel-hotel tinggi dan sedikit rumah-rumah pribadi. Di belakangnya merupakan wilayah permukiman yang cukup padat. Wilayah di luar Kecamatan Pangandaran didominasi oleh daerah pesawahan, kebun campuran dan perkebunan kelapa. Untuk wilayah pantainya didominasi oleh perkebunan kelapa yang dikelola oleh kelompok masyarakat setempat.

Sekitar 46 % dari luas seluruh tutupan lahan di desa pantai Ciamis adalah wilayah pertanian lahan kering, 15% berupa sawah, sedangkan permukiman meliputi 5% wilayah. Pengamatan lapangan menunjukkan permukiman cukup padat di sepanjang pantai. Di kawasan wisata seperti Pangandaran, pinggir pantai dipenuhi penginapan bagi wisatawan. Wilayah pertanian seperti ladang dan sawah diselingi oleh rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Kebun kelapa yang dikelola masyarakat sekitar juga terdapat di sebagian pinggir pantai. Wilayah pertanian berada lebih jauh dari pantai. Kawasan hutan meliputi 17% dari seluruh wilayah desa pantai. Jenis hutan yang ada adalah hutan tanaman industri, hutan rawa, hutan mangrove dan hutan lahan kering. Wilayah Pangandaran memiliki kawasan hutan lahan kering yang merupakan taman wisata alam dan cagar alam.

91

Kerapatan vegetasi wilayah pantai didominasi oleh kelas kerapatan rendah (jarang) dan sedang, hanya wilayah tanjung Pangandaran yang didominasi oleh vegetasi rapat yang merupakan kawasan taman wisata alam. Sepanjang pantai umumnya lahan pasir kosong, lahan kosong ditumbuhi rerumputan, lahan kosong ditumbuhi beberapa pohon kelapa dan waru, lahan kosong dengan pandan dan rumput.

Penelitian ini menyatakan daerah rawan kerusakan sebagai daerah yang berpotensi tergenangi air limpasan gelombang tsunami. Daerah tersebut menjadi daerah beresiko bencana. Menurut Undang-Undang Penanggulangan Bencana, resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Peta yang menunjukkan tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami dapat memberi informasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan pemegang kebijakan untuk membuat perencanaan dan penataan kawasan pantai yang dapat melindungi wilayah dari resiko kerusakan akibat tsunami.

Rasheed et al. (2006) melakukan studi di pantai barat India mengenai dampak tsunami terhadap morfologi pantai. Hasil studi menunjukkan bahwa variasi run up yang diamati di sepanjang garis pantai tergantung kepada topografi garis pantai, batimetri dekat pantai, kemiringan lereng pantai, orientasi pantai, arah datangnya gelombang dan lain-lain. Gelombang tsunami memasuki daratan dengan kekuatan lebih besar di areal dimana struktur pertahanan pantai tidak ada. Penelitian yang dilakukan di wilayah pantai Kabupaten Ciamis menunjukkan bahwa ketinggian tempat merupakan faktor yang paling berperan dalam kerawanan kerusakan akibat tsunami. Ketinggian tempat merupakan karakteristik fisik yang tidak dapat dirubah karena memang itu merupakan hasil bentukan alam yang tidak bisa berubah, sehingga menjadi faktor tetap di lokasi tersebut. Tsunami yang datang dengan ketinggian gelombang tertentu dan kecepatan tinggi akan terus melaju memasuki daratan yang lebih rendah. Ketika suatu daratan memiliki ketinggian di atas gelombang tsunami maka gelombang akan terhalang dan terpecah.

92

Faktor biofisik lain seperti kemiringan lereng, bentuk pantai, jarak dari pantai, kerapatan vegetasi dan tutupan lahan juga dapat berperan dalam kerawanan kerusakan akibat tsunami namun pengaruhnya tidak sebesar faktor ketinggian tempat. Faktor-faktor tersebut dapat dijadikan faktor penghambat ketika tsunami memasuki daratan dan menjadi informasi yang penting bagi penataan kawasan pantai.

Bertitik tolak pada faktor fisik sebagian kawasan pantai Kabupaten Ciamis merupakan daerah sangat rawan dan rawan dampak tsunami. Dengan adanya peta kerawanan kerusakan akibat tsunami diharapkan dapat memberi informasi daerah mana saja yang sangat rawan dan rawan kerusakan. Informasi ini akan berguna bagi perencanaan dan penataan kawasan pantai, khususnya pantai Ciamis.

Faktor yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang mungkin terjadi adalah penghalang atau pemecah gelombang yang dibuat khusus untuk meredam tsunami. Penghalang dapat bersifat buatan dan alami.

Setelah kejadian tsunami, di beberapa tempat di wilayah pantai Kabupaten Ciamis telah dilakukan beberapa upaya seperti dibangunnya pemecah gelombang, tembok batas pantai, petunjuk lokasi evakuasi, zona langsung dampak tsunami dan jalur evakuasi (Gambar 68). Juga adanya penanaman vegetasi mangrove dan pantai di beberapa tempat seperti yang dilakukan di wilayah Cijulang.

Berdasarkan pengamatan di lapangan melalui ground check pada pantai Kabupaten Ciamis termasuk kawasan wisata Pangandaran masih banyak lahan pasir kosong, rumput dan semak serta banyaknya penginapan dan bangunan yang berada sangat dekat dengan pantai (Lampiran 2). Ada sedikit anakan mangrove dan anakan vegetasi pantai diselingi dengan pohon kelapa yang jarang (Lampiran 1). Hal ini tentu sangat berbahaya jika tsunami kembali datang karena tempat ini tidak memiliki pertahanan yang cukup untuk meredam gelombang tsunami.

93

Gambar 68. Upaya yang telah dilakukan di beberapa tempat untuk mengantisipasi tsunami di pantai Kabupaten Ciamis

Upaya fisik untuk meredam atau mengurangi energi gelombang tsunami ke kawasan pantai dibedakan menjadi upaya secara alami dan buatan yang saling melengkapi. Secara alami dapat dilakukan dengan menanam sabuk hijau berupa hutan pantai dan mangrove. Hutan di pantai berpasir yang dapat dimanfaatkan untuk meredam tsunami meliputi Casuarina sp (Cemara laut), Terminalia catapa

(Ketapang) dan Hibiscus tiliaceus (Waru). Keberadaan hutan pantai bisa menjadi tameng utama ketika tsunami menerjang pantai. Upaya mitigasi tsunami secara fisik dengan sistem perlindungan buatan bisa dilakukan dengan membangun pemecah gelombang (break water) dan tembok laut (sea wall) sejajar pantai, memperkuat desain bangunan serta infrastruktur lain (Diposaptono dan Budiman 2008).

Kerusakan parah terjadi di pantai lekukan dan rata setelah tanjung. Air masuk cukup jauh karena lokasi ini tidak memiliki pelindung tanaman dan merupakan kawasan permukiman khususnya penginapan. Hal ini juga didukung dengan arah aliran tsunami dari pusat gempa yang menuju barat daya Pangandaran. Karakteristik wilayah pantai Ciamis menunjukkan adanya potensi

94

kerawanan kerusakan akibat tsunami jika tsunami kembali menghempas kawasan tersebut.

Peta kerawanan kerusakan akibat tsunami menunjukkan pembagian wilayah berdasarkan kelas kerawanan kerusakan berbeda. Informasi daerah mana saja yang sangat rawan dan rawan kerusakan akan berguna bagi perencanaan dan penataan kawasan pantai, khususnya pantai Ciamis. Adanya perbedaan tingkat kerawanan akan bermanfaat bagi pemberian prioritas tindakan yang akan dilakukan dalam perencanaan pantai tersebut.

95

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait