• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spatial modelling of vulnerability of destruction by tsunami in the Ciamis Coast of West Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Spatial modelling of vulnerability of destruction by tsunami in the Ciamis Coast of West Java"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN SPASIAL KERAWANAN KERUSAKAN

AKIBAT TSUNAMI DI PANTAI CIAMIS JAWA BARAT

ANITA ZAITUNAH E 061040031

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul Pemodelan Spasial Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami di Pantai Ciamis Jawa Barat adalah gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam pustaka acuan di bagian akhir disertasi ini.

(3)

ABSTRACT

ANITA ZAITUNAH, Spatial Modelling of Vulnerability of Destruction by Tsunami in the Ciamis Coast of West Java.

This study describes a spatial modelling of tsunami destruction vulnerability in Ciamis coastal area. The characteristics of Ciamis coastal area were identified and analysed to develop the potential of destruction by tsunami. The specific objectives are: (1) to build up a spatial model of potential inundation of tsunami, (2) to identify factors which have roles in destruction by tsunami, (3) to build up the level of vulnerability of destruction by tsunami. The run up of 7.5 m had inundated 4% from whole study area. When the run up achieve 15 m and 30 m then the inundated areas would be approximately 36% and 57% respectively. It was found out that all factors show a pattern with the inundation area proportion but the stepwise regression shows that the factor of elevation is the chosen factor to build up the vulnerability model. It was found out that 20% of the village area of Ciamis coast belongs to very vulnerable class, while 28% of the area is vulnerable and 52% of the area is not vulnerable to destruction by tsunami. The information regarding the area of a very vulnerable dan vulnerable is useful for coastal area’s planning and zoning.

(4)

RINGKASAN

Anita Zaitunah : PEMODELAN SPASIAL KERAWANAN KERUSAKAN AKIBAT TSUNAMI DI PANTAI CIAMIS JAWA BARAT, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS, Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr dan Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc.

Indonesia telah mengalami banyak kejadian tsunami, namun pengetahuan mengenai tsunami masih sangat minim khususnya bagi masyarakat yang berada di kawasan pantai yang berpotensi terjadinya tsunami. Kawasan pantai tersebut memerlukan perhatian khusus guna mengurangi dampak kerusakan yang dapat timbul, oleh karena itu masyarakat luas perlu mengetahui areal mana saja yang berpotensi tsunami.

Pemodelan spasial yang didukung oleh teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) dapat digunakan untuk mendapatkan informasi tentang tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami melalui pembangunan model spasial. Informasi tersebut dapat menjadi masukan bagi upaya rehabilitasi jalur hijau pantai.

Tujuan dari penelitian ini adalah membangun model spasial kerawanan kerusakan akibat tsunami guna mendukung upaya rehabilitasi dan pencegahan kerusakan yang mungkin terjadi akibat tsunami. Tujuan khusus yang dicapai adalah :

1. Membangun model spasial potensi genangan tsunami.

2. Mengidentifikasi faktor biofisik yang berperan dalam kerusakan akibat tsunami.

3. Membangun tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami.

(5)

penentuan faktor-faktor apa saja yang akan dikaji terkait dengan hubungannya dengan tingkat kerusakan akibat tsunami.

Wilayah dengan ketinggian lebih dari 30 m mencakup 43% dari seluruh wilayah desa pantai Ciamis. Wilayah yang memiliki ketinggian kurang dari 10 m terdapat 19%, sisanya memiliki ketinggian lebih besar dari 10 m sampai dengan 30 m. Wilayah yang tinggi yaitu daerah tanjung Pangandaran, kecamatan Kalipucang, sebagian wilayah Cimerak dan lainnya. Wilayah pantai Kabupaten Ciamis didominasi oleh lereng yang datar dan landai yaitu dengan cakupan lebih dari 80% dari seluruh wilayah pantai. Wilayah yang dekat dengan garis pantai merupakan wilayah datar dan landai. Wilayah dengan kemiringan lereng lebih dari 12% hanya mencakup kurang dari 5% dari seluruh wilayah desa pantai Ciamis.

Penutupan lahan wilayah pantai Ciamis secara garis besar dibagi kedalam daerah pesawahan, pemukiman, kebun, hutan, pasir pantai dan air. Wilayah hutan yang berada di Kecamatan Pangandaran yaitu wilayah tanjung yang merupakan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam. Hutan ini berada di daerah tinggi dengan kelerengan beragam dan merupakan hutan tanah kering. Sekitar 46 % dari luas seluruh tutupan lahan di desa pantai Ciamis adalah wilayah pertanian lahan kering, 15% berupa sawah, sedangkan pemukiman meliputi 5% wilayah.

Berdasarkan hasil pemodelan potensi genangan, tinggi gelombang tsunami 7,5 m menggenangi 4% dari seluruh wilayah desa pantai Ciamis. Saat gelombang tsunami setinggi 15 m memasuki daratan, 36% wilayah tergenang. Gelombang tsunami setinggi 30 m menggenangi 57% wilayah desa pantai.

Faktor-faktor biofisik yaitu ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari pantai, bentuk pantai, kerapatan vegetasi dan tutupan lahan menunjukkan pola hubungan yang sistematik dengan proporsi genangan akibat tsunami namun regresi stepwise

(6)
(7)

Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari IPB 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(8)

PEMODELAN SPASIAL KERAWANAN KERUSAKAN

AKIBAT TSUNAMI DI PANTAI CIAMIS JAWA BARAT

OLEH: ANITA ZAITUNAH

E 061040031

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Si 2. Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka:

(10)

Judul Disertasi : Pemodelan Spasial Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami di Pantai Ciamis Jawa Barat

Nama : Anita Zaitunah

NIM : E061040031

Disetujui Komisi pembimbing

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Judul disertasi adalah “Pemodelan Spasial Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami di Pantai Ciamis Jawa Barat”.

Indonesia merupakan bagian dari daerah rawan gempa bumi dan tsunami. Informasi mengenai kerawanan kerusakan akibat tsunami sangat diperlukan bagi upaya penanganan dan penanggulangan bencana.

Disertasi ini menghasilkan model spasial potensi genangan akibat tsunami berdasarkan tinggi gelombang berbeda. Semakin tinggi gelombang tsunami memasuki pantai maka semakin luas areal desa pantai yang tergenangi.

Faktor-faktor biofisik yang dikaji peranannya dalam kerawanan kerusakan akibat tsunami yaitu ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari pantai, bentuk pantai, kerapatan vegetasi dan tutupan lahan menunjukkan pola hubungan yang sistematik dengan proporsi genangan akibat tsunami namun regresi stepwise

(bertatar) menghasilkan persamaan yang hanya memilih faktor ketinggian sebagai pembangun model karena faktor-faktor lain memiliki nilai korelasi yang rendah dan tidak signifikan. Peta kerawanan kerusakan akibat tsunami yang dihasilkan menunjukkan bahwa 20% wilayah desa pantai Ciamis merupakan daerah sangat rawan kerusakan akibat tsunami, sedangkan 28% merupakan daerah rawan dan 52% merupakan daerah tidak rawan kerusakan akibat tsunami.

Model spasial tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pemegang kebijakan untuk membuat perencanaan dan penataan kawasan pantai yang dapat melindungi wilayah dari resiko kerusakan akibat tsunami. Mudah-mudahan disertasi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Januari 2012

(12)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan tak terhingga kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS, Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati

Jaya, M.Agr dan Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc sebagai tim Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan.

2. Kedua orangtua tercinta atas doa dan dukungannya yang tak pernah putus. Suamiku tercinta Samsuri, S.Hut, M.Si dan kedua anakku tersayang Najla Azaria Alifa dan Muhammad Ziyan Rasyad Andaru atas doa, dukungan,

4. Kakakku tersayang Dr. Lailan Syaufina yang selalu mendorong, menyemangati dan mendukung langkahku untuk menyelesaikan studi. Kakakku Drs. Ahmad Muflih&Novi Susan, Rafiq Adnan, S.S.&Norma Widhya, adikku Edwin Solahuddin, S.S.dan Roselly Damayanti dan Rusli Ridwan, SE serta Abang Ir. Dharma Satyawan, keponakanku Verda, Jihad, Dhani, Tia dan Alma.

5. Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

6. Yayasan Toyota Astra atas bantuan dana yang diberikan untuk menunjang penelitian.

7. Laboratorium SIG dan Penginderaan Jauh Fakultas Kehutanan IPB, BIOTROP International Training Center, Drs. Tom Loran (ITC/University of Twente) di Belanda atas bantuan peta-peta dasar dan data citra satelit. 8. Berbagai pihak yang telah mendukung studi penulis, baik langsung

maupun tidak langsung.

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 30 Agustus 1973 sebagai anak keempat dari enam bersaudara pasangan H. Hamzah Zainuddin (Alm.) dan Lilis Darazah.

Penulis menempuh pendidikan di SDN Pengadilan 1 Bogor dan tamat pada tahun 1986. Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Bogor dan tamat tahun 1989. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 5 Bogor dan selesai pada tahun 1992. Pada tahun yang sama diterima di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan tamat pada tahun 1997. Tahun 2002 penulis mendapatkan beasiswa dari the Netherlands Fellowship Program Pemerintah Belanda untuk melanjutkan S2 di International Institute for Geo-information Science and Earth Observation dan selesai pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan S3 di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU mulai tahun 1999. Penulis menikah dengan Samsuri S. Hut, MSi pada tahun 2001 dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Najla Azaria Alifa dan Muhammad Ziyan Rasyad Andaru.

Bogor, Januari 2012

(14)

i dalam Mengkaji Dampak Tsunami dan Upaya Penanganan Bencana 12

III METODE PENELITIAN ………... 14

3.1 Tempat dan Waktu ………... 14

3.2 Data, Perangkat Lunak dan Perangkat Keras ……….... 14

3.3 Metode Penelitian ………... 14

3.3.1 Pengkajian Potensi Rawan Tsunami berdasarkan Distribusi Luas dan dan Tinggi Genangan secara Spasial ... 16

(15)

ii

5.1 Potensi Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami ... 47

(16)

iii

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Kejadian tsunami dan dampaknya di Indonesia sejak tahun 1961

hingga 2005 (Diposaptono dan Budiman 2008) ………... 10

2 Tahapan dan alir data serta informasi pada kegiatan penelitian ... 15

3 Faktor pembentuk model kerawanan kerusakan akibat tsunami ... 18

4 Korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat tsunami di pantai Selatan Jawa Barat ………... 31

5 Persentase luas tutupan lahan yang terkena limpasan gelombang Tsunami ... 56

6 Pemberian skor kelas bentuk pantai ... 64

7 Pemberian skor kelas jarak dari pantai ... 65

8 Pemberian skor kelas ketinggian ... 65

9 Pemberian skor kelas kemiringan lereng ... 66

10 Pemberian skor kelas kerapatan vegetasi ... 66

11 Pemberian skor kelas tutupan lahan ... 66

(17)

iv

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Kerangka penelitian ………... 6

2 Wilayah rawan tsunami (Kious & Tilling 2001; modifikasi) ………... 9

3 Metode penentuan potensi kerawanan kerusakan secara spasial ... 17

4 Titik-titik contoh bagi analisis regresi ... 23

5 Metode pembuatan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami ... 25

6 Desa pantai Kabupaten Ciamis ... 27

7 Kerusakan fisik akibat tsunami di wilayah Pantai Kabupaten Ciamis ... 29

8 Jarak genangan pantai Ciamis saat tsunami tahun 2006 ... 29

9 Tinggi gelombang tsunami pantai Ciamis tahun 2006 ...……… 30

10 Jumlah korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat tsunami di pantai Kabupaten Ciamis per kecamatan ……...………... 30

11 Penampakan wilayah pantai Ciamis dari Citra Landsat TM tahun 2006 ... 34

12 Peta kelas bentuk pantai Kabupaten Ciamis ... 35

13 Peta kelas jarak dari pantai Kabupaten Ciamis ……... 36

14 Persentase kelas tinggi di wilayah pantai Ciamis ... 37

15 Ketinggian wilayah pantai Ciamis ………... 38

16 Persentase kelas kemiringan lereng wilayah pantai Ciamis ... 39

17 Kemiringan lereng wilayah pantai Ciamis ………... 40

18 Kawasan Taman Wisata Alam Pangandaran ……….……... 41

19 Persentase luas tutupan lahan ...…………... 41

20 Tutupan lahan di wilayah pantai Kabupaten Ciamis ... 43

21 Persentase kelas kerapatan vegetasi wilayah pantai Ciamis ... 44

22 Penutupan lahan di pinggir pantai Kabupaten Ciamis ... 45

23 Kerapatan vegetasi pantai Ciamis ... 46

24 Wilayah yang tergenangi gelombang tsunami setinggi 7,5 m ……... 49

25 Jarak genangan yang melimpas ke daratan saat tinggi gelombang tsunami 7,5 m ... 50

(18)

v

27 Jarak genangan yang melimpas ke daratan saat tinggi gelombang tsunami

15 m ... 52

28 Wilayah yang tergenangi gelombang tsunami setinggi 30 m ……... 53

29 Jarak genangan yang melimpas ke daratan saat tinggi gelombang tsunami 30 m ... 54

30 Perbandingan persentase wilayah desa pantai yang tergenangi gelombang tsunami dengan tinggi gelombang berbeda ... 54

31 Perbandingan luas tutupan lahan yang terkena limpasan gelombang tsunami ... 55

32 Persentase areal tergenangi pada kelas bentuk pantai berbeda ... 60

33 Proporsi areal tergenangi pada kelas jarak dari pantai ... 61

34 Proporsi areal tergenangi pada kelas ketinggian tempat ... 62

35 Proporsi areal tergenangi pada kelas kemiringan lereng ... 62

36 Proporsi areal tergenangi pada kelas kerapatan vegetasi ... 63

37 Proporsi areal tergenangi pada kelas tutupan lahan ... 64

38 Persentase kelas bentuk pantai yang digenangi air 7,5 m ... 68

39 Persentase kelas jarak dari pantai yang digenangi air 7,5 m ... 69

40 Persentase kelas ketinggian yang digenangi air 7,5 m ... 69

41 Persentase kelas kemiringan lereng yang digenangi air 7,5 m ... 70

42 Persentase kelas kerapatan vegetasi yang digenangi air 7,5 m ... 70

43 Persentase kelas tutupan lahan yang digenangi air 7,5 m ... 71

44 Persentase kelas bentuk pantai yang digenangi air 15 m ... 71

45 Persentase kelas jarak dari pantai yang digenangi air 15 m ... 72

46 Persentase kelas ketinggian yang digenangi air 15 m ... 72

47 Persentase kelas kemiringan lereng yang digenangi air 15 m ... 73

48 Persentase kelas kerapatan vegetasi yang digenangi air 15 m ... 73

49 Persentase kelas tutupan lahan yang digenangi air 15 m ... 74

50 Persentase kelas bentuk pantai yang digenangi air 30 m ... 74

51 Persentase kelas jarak dari pantai yang digenangi air 30 m ... 75

(19)

vi

53 Persentase kelas kemiringan lereng yang digenangi air 30 m ... 76

54 Persentase kelas kerapatan vegetasi yang digenangi air 30 m ... 76

55 Persentase kelas tutupan lahan yang digenangi air 30 m ... 77

56 Hasil validasi kerawanan kerusakan akibat tsunami ... 81

57 Model Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami Pantai Kabupaten Ciamis 83 58 Persentase wilayah kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami ... 84

59 Kelas bentuk pantai pada daerah sangat rawan ... 84

60 Kelas jarak dari pantai pada daerah sangat rawan ... 85

61 Kelas ketinggian pada daerah sangat rawan ... 85

62 Kelas kemiringan lereng pada daerah sangat rawan ... 85

63 Kelas kerapatan vegetasi pada daerah sangat rawan ... 86

64 Kelas tutupan lahan pada daerah sangat rawan ... 87

65 Sebaran genangan air saat gelombang tsunami 7,5 m pada kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami ... 88

66 Sebaran genangan air saat gelombang tsunami 15 m pada kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami ... 88

67 Sebaran genangan air saat gelombang tsunami 30 m pada kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami ... 89

(20)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Vegetasi pantai yang tumbuh di Kabupaten Ciamis ... 100 2 Tutupan lahan di wilayah pantai Kabupaten Ciamis ………... 101 3 Hasil analisis regresi bertatar ………... 103

(21)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Garis pantai Indonesia tercatat sepanjang 81.000 km. Zona pantai menjadi salah satu ekosistem penting terutama bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut (Sukardjo 2002). Beberapa tahun terakhir kawasan pantai di Indonesia mengalami kerusakan akibat tsunami. Dalam kurun waktu 1992-2005 sebanyak 8 kali tsunami telah terjadi di Indonesia, yaitu di wilayah Flores (Nusa Tenggara Timur) (1992), Banyuwangi (Jawa Timur) (1994), Palu (Sulawesi Tengah) (1996), Pulau Biak (Irian jaya) (1996), Tabuna Malaibu (Maluku) (1998), Banggai (Sulawesi Tengah) (2000), Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara (2004) dan Pulau Nias (Sumatera Utara) (2005). Pada tanggal 17 Juli 2006 tsunami terjadi di pantai selatan Jawa Barat, Cilacap dan Yogyakarta (Pribadi et al. 2006). Tsunami juga terjadi di Kepulauan Mentawai yaitu tanggal 25 Oktober 2010.

Kawasan pesisir yang berpotensi terkena tsunami tersebar mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa dan Bali, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, Maluku, pantai utara Papua, serta hampir seluruh pantai timur dan barat Sulawesi bagian utara. Sekitar 18 kejadian tsunami melanda pantai barat Sumatera. Pantai selatan Jawa, Bali, pantai utara dan selatan Lombok, Sumbawa, serta Sumba pernah dihantam 11 kali tsunami. Selat Makasar pernah terkena tsunami 9 kali, sedangkan sebelah utara Papua pernah dihantam 3 kali tsunami (Diposaptono 2007).

Kejadian tsunami telah menyebabkan kerugian jiwa dan material yang sangat besar. Tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara pada tahun 2004 menelan korban jiwa lebih dari 200.000 orang (Diposaptono dan Budiman 2006). Kejadian tsunami di sepanjang pantai selatan Jawa Barat, Cilacap dan Yogyakarta menelan korban jiwa lebih dari 378 orang meninggal dan kerusakan material yang diperkirakan lebih dari 70 milyar rupiah (Pribadi et al. 2006).

(22)

2

dengan lajur tumbukan (subduksi) antara lempeng Eurasia dan Indo-Australian yang berporos Barat-Timur yang terdapat di kedalaman laut Samudera Indonesia (Kastanya, Susilawati dan Sitanala 2000).

Gempa berkekuatan 9,0 R akan menghasilkan energi yang setara dengan lebih dari 100.000 kali kekuatan bom atom Hiroshima. Bentuk pantai, bentuk dasar laut wilayah pantai, sudut kedatangan gelombang, dan bentuk depan gelombang tsunami yang datang ke pantai akan sangat berpengaruh terhadap kerusakan yang ditimbulkan (Sutowijoyo 2005). Tsunami merupakan gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut. Gangguan tersebut dapat berupa gempa bumi tektonik di laut, letusan gunung api, longsoran atau jatuhnya meteor di laut. Periode gelombang tsunami berkisar antara 10 dan 60 menit (Diposaptono dan Budiman 2008).

Indonesia telah mengalami banyak kejadian tsunami namun pengetahuan mengenai tsunami masih sangat minim khususnya bagi masyarakat yang berada di kawasan pantai yang berpotensi terjadinya tsunami. Kawasan pantai tersebut memerlukan perhatian khusus guna mengurangi dampak kerusakan yang dapat timbul. Masyarakat luas perlu mengetahui kawasan mana saja yang berpotensi tsunami dan rawan kerusakan akibat tsunami. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk melindungi kawasan pantai dari terjangan tsunami. Upaya perlindungan dapat berupa pembangunan tembok laut, pemecah gelombang atau penanaman vegetasi pantai. Perencanaan dan pelaksanaan upaya tersebut disesuaikan dengan karakteristik biofisik pantai tersebut.

Kajian faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerusakan akibat tsunami menjadi penting bagi upaya minimalisasi kerusakan yang mungkin timbul. Faktor-faktor tersebut akan menjadi dasar pemetaan tingkat kerawanan kerusakan di suatu wilayah. Perhatian serius perlu diberikan bagi terlaksananya upaya rehabilitasi dan pencegahan kerusakan akibat tsunami dengan melibatkan berbagai pihak. Setiap kebijakan yang diambil harus diputuskan dengan cermat yang didukung oleh data dan informasi yang akurat dan dapat dipercaya.

1.2. Rumusan Masalah

(23)

3

Indonesia yang berada pada pertemuan 3 lempeng aktif dunia yaitu Euroasia, Indo-Australia dan lempeng Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah yang tingkat kegempaannya sangat tinggi (Pribadi et al. 2006).

Sukardjo (2002) menyebutkan bahwa 65% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pantai dan sekitarnya. Korban terbanyak bencana tsunami adalah perkampungan padat di daerah pantai disamping daerah wisata pantai (Sutowijoyo 2005). Kawasan pantai menjadi kawasan yang rentan terhadap kerusakan akibat tsunami.

Vegetasi pantai seperti mangrove melindungi daerah di belakangnya dari hempasan gelombang dan angin kencang dan melindungi pantai dari erosi dan abrasi (Kusmana et al. 2002). Wilayah pantai yang tidak memiliki pelindung vegetasi menjadi rentan terhadap kerusakan berat akibat gelombang besar dan gempa.

Di Jepang bangunan pelindung pantai (sea walls) telah banyak dibangun di pantai. Contohnya di ujung utara Semenanjung Oga yang dilindungi sea wall

setinggi 6 meter. Ketika gelombang tsunami disitu mencapai 5 meter, hanya ada satu rumah yang rusak. Kejadian tsunami di NAD menunjukkan bahwa sekelompok vegetasi pantai mampu melindungi beberapa bangunan rumah. Energi dahsyat yang dibawa tsunami diredam oleh vegetasi pantai (Diposaptono dan Budiman 2008).

Penelitian Harada dan Imamura (2002) dalam Diposaptono dan Budiman (2008) menunjukkan efektivitas hutan pantai untuk meredam tsunami. Hutan pantai dengan tebal 200 m, kerapatan 30 pohon/100 m2 dan diameter 15 cm dapat meredam 50% energi gelombang tsunami dengan ketinggian 3 meter.

Sebagian besar kawasan pantai tidak memiliki pelindung vegetasi yang baik, tetapi merupakan kawasan yang padat kegiatan manusia seperti permukiman, tempat wisata, tambak, dan kegiatan budidaya lainnya. Upaya rehabilitasi dan pelestarian hutan di kawasan pantai sangat penting untuk meminimalkan kerusakan yang mungkin terjadi akibat tsunami.

(24)

4

wilayah Pangandaran merupakan lokasi permukiman padat dan penginapan yang diselingi dengan rumah-rumah makan dan pasar wisata. Kondisi ini menyebabkan banyaknya korban jiwa ketika tsunami menerjang kawasan ini.

Pemodelan spasial yang didukung oleh teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami. Informasi tersebut akan menjadi informasi penting dalam menyusun strategi pengelolaan kawasan pantai guna meminimalkan kerusakan yang dapat terjadi.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah membangun model spasial kerawanan kerusakan akibat tsunami guna mendukung upaya rehabilitasi dan pencegahan kerusakan yang mungkin terjadi akibat tsunami. Tujuan khusus yang dicapai adalah :

1. Membangun model spasial potensi genangan tsunami.

2. Mengidentifikasi faktor biofisik yang berperan dalam kerusakan akibat tsunami.

3. Membangun tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami.

1.4. Manfaat Penelitian

(25)

5

1.5. Kerangka Pemikiran

Kawasan pantai Indonesia rawan terhadap bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami. Kerusakan juga terjadi karena perbuatan manusia seperti pemanfaatan yang melebihi kemampuan dan alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan karakteristiknya. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.

Penetapan jalur hijau di tepi pantai guna melindungi pantai dari berbagai gangguan tidak berjalan dengan baik. Hal ini menyebabkan pantai tidak memiliki pelindung ketika bencana datang. Kawasan pantai yang padat dengan permukiman dan kawasan budidaya menyebabkan kerugian yang sangat besar dari segi material dan jiwa ketika bencana terjadi.

Pantai yang tidak memiliki sabuk pengaman alami (green belt) menjadikan energi hantaman dengan leluasa menerobos jauh ke daratan. Hal ini seperti terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tahun 2004 dimana gelombang tsunami setinggi 5 sampai 12 meter terus masuk hingga sejauh 5 km dari pantai (Diposaptono dan Budiman 2008).

Apabila tidak ada penghadang yang kokoh, gelombang laut dapat

memperluas wilayah „korban‟. Bangunan beton konkrit tidak cukup dan biayanya

sangat mahal. Jajaran pohon yang cukup banyak dan berlapis-lapis cukup kokoh memecah gelombang sehingga memperlemah daya dorongnya (Sudarmono 2005).

(26)

6

Gambar 1. Kerangka penelitian

1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian

(27)

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pantai dan Kawasan Lindung

Pantai adalah wilayah dimana berbagai kekuatan alam yang berasal dari laut, darat dan udara saling berinteraksi. Bentuk pantai bersifat dinamis dan selalu berubah (Kartawinata, 1976 dalam Sumampouw, Saraswati dan Sitanala, 2000). Sukardjo (2002) memaparkan bahwa zona pantai merupakan sebuah habitat intermediet antara laut, daratan dan air tawar, yang menyediakan kondisi transisi yang komplek dan dinamis dan tidak pernah statis. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung menyatakan bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Sempadan Pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

2.2. Tsunami

Istilah “tsunami” diadopsi dari bahasa Jepang, dari kata tsu yang berarti pelabuhan dan nami yang berarti ombak. Setelah tsunami terjadi orang Jepang akan segera menuju pelabuhan untuk menyaksikan kerusakan yang ditimbulkan akibat tsunami sehingga dipakai istilah tsunami yang bermakna “gelombang

pelabuhan” (Sutowijoyo 2005). Istilah tersebut menjadi bagian bahasa dunia

setelah gempa besar 15 Juni 1896, yang menimbulkan tsunami besar di kota pelabuhan Sanriku (JEPANG) dan menewaskan 22.000 orang serta merusak pantai timur Honshu sepanjang 280 km (Badan Meteorologi dan Geofisika 2010).

(28)

8

Lantai laut bergerak beberapa meter. Sejumlah besar air bergerak maju mundur selama beberapa jam yang menghasilkan rangkaian gelombang berlomba-lomba melewati lautan dengan kecepatan lebih dari 800 km per jam.

Badan Meteorologi dan Geofisika (2010) menyebutkan bahwa tsunami terjadi jika gempa besar terjadi dengan kekuatan gempa > 7.0 SR, lokasi pusat gempa di laut dengan kedalaman < 70 Km serta terjadi deformasi vertikal dasar laut.

Gelombang tsunami menggerakkan seluruh kolom air dari permukaan sampai dasar laut. Pada daerah episentrum gempa, tinggi gelombang diperkirakan 0,5 m sampai 3 m dan panjang gelombangnya lebih dari puluhan kilometer. Kecepatan rambat di laut dalam berkisar dari 400 sampai 1.000 km/jam. Kecepatan tsunami (C dalam meter) merupakan akar perkalian antara percepatan gravitasi bumi (g=9,81 m/dt2) dan kedalaman laut (h dalam meter). Semakin

dalam laut semakin besar kecepatannya. Secara matematis dapat ditulis C=√(g.h).

Sebagai contoh pada kedalaman air laut 5.000 m, tsunami mempunyai kecepatan 800 km/jam (setara dengan kecepatan pesawat) (Diposaptono dan Budiman 2008).

Selama periode tahun 1600 sampai 2006 Indonesia mengalami 108 tsunami. Sekitar 90% tsunami disebabkan gempa tektonik, 9% akibat letusan gunung api dan hanya 1% dipicu oleh tanah longsor.

2.3. Tsunami di Indonesia

Indonesia berada pada pertemuan 3 lempeng aktif dunia yaitu Eurasia, Indo-Australia dan lempeng Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah dengan tingkat kegempaan sangat tinggi. Gempa dan tsunami yang terjadi di laut selatan Pulau Jawa merupakan akibat tumbukan antara lempeng oseanik Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia (Pribadi et al. 2006). Indonesia berada di urutan ketiga negara rawan tsunami setelah Jepang dan Amerika. Negara-negara yang sering dilanda tsunami berada di kawasan Lautan Pasifik karena adanya

(29)

9

Gambar 2. Wilayah rawan tsunami (Kious dan Tilling 2001; modifikasi)

Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap tsunami, terutama kepulauan yang berhadapan langsung dengan pertemuan lempeng, antara lain Barat Sumatera, Selatan Jawa, Nusa Tenggara, Utara Papua, Sulawesi dan Maluku, serta Timur Kalimantan. Berdasarkan Katalog Gempa (1629 - 2002) di Indonesia pernah terjadi Tsunami sebanyak 109 kali. Tsunami akibat longsoran (landslide) 1 kali, 9 kali akibat gunung berapi dan 98 kali akibat gempa bumi tektonik (Badan Meteorologi dan Geofisika 2010).

Yulianto et al. (2008) menyebutkan bahwa hingga saat ini, gempa bumi terjadi rata-rata 15 kali sehari di wilayah Indonesia. Gempa bumi yang sering terjadi menyebabkan tsunami juga sering melanda wilayah Indonesia. Dalam lima belas tahun terakhir tsunami terjadi rata-rata sekali dalam dua tahun.

Gelombang tsunami di NAD tahun 2004 tercatat setinggi lebih dari 20 m. Panjang pantai yang terpengaruh oleh tsunami lebih dari 500 km. Daerah terparah berada di pantai barat mulai dari Banda Aceh hingga Meulaboh. Tsunami di pantai selatan Jawa tanggal 17 Juli 2006 diakibatkan gempa bumi berkekuatan 6,8 skala Richter. Ketinggian run up bervariasi (kurang dari 10 m). Terjangan tsunami terjadi selama seperempat sampai 1 jam setelah gempa dengan kecepatan rata-rata 200-600 km per jam. Gelombang terjadi tiga kali dengan gelombang kedua merupakan gelombang tertinggi dengan selang waktu 2-5 menit. Tinggi tsunami bervariasi antara 2-8 m dengan konsentrasi energi tersebar mulai dari

(30)

10

Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis dan Cilacap. Tsunami dengan ketinggian lebih dari 6 m di Kecamatan Cikalong (Kabupaten Tasikmalaya), Kecamatan Pangandaran (Kabupaten Ciamis), dan Kecamatan Binangun (Kabupaten Cilacap). Tinggi genangan yang melimpas ke daratan rata-rata kurang dari 2 m. Arus yang masuk sekitar 10-25 km/jam (Diposaptono dan Budiman 2008).

Tabel 1. Kejadian tsunami dan dampaknya di Indonesia sejak tahun 1961 hingga 2005 (Diposaptono dan Budiman 2008)

1967 3,7 LS & 119,3 BT Tidak terdata 58/100 Tinambung (Sulsel)

1968 0,7 LS & 119,7 BT 8-10 392 tewas Tambo (Sulteng)

2.4. Kerusakan akibat Tsunami dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya

(31)

11

Sumatera dan Jawa. Gelombang tersebut setinggi 41 meter dan menghancurkan 295 kota dan desa di sepanjang pantai Selat Sunda di Lampung dan Banten.

Tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menyebabkan bencana secara ekonomi dan ekologi di 13 negara Asia dan Afrika. Gelombang mengerikan tersebut membunuh lebih dari 200 ribu orang dan menyebabkan lebih dari 2 juta orang kehilangan rumah dan menyebabkan kerugian 6 miliar US $ di 13 negara (Kathiresan dan Rajendran 2005).

Tsunami juga merubah bentang lahan wilayah pantai seperti yang terjadi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kawasan padat dengan bangunan, jalan dan jembatan hancur dan putus (Diposaptono dan Budiman 2006).

Sutowijoyo (2005) menyatakan bahwa bentuk pantai, bentuk dasar laut wilayah pantai, sudut kedatangan gelombang, dan bentuk depan gelombang tsunami yang datang ke pantai sangat berpengaruh terhadap kerusakan yang timbul. Sebagian pantai akan mengalami kerusakan dan ketinggian arus yang berbeda dibanding pantai yang lain.

Tingginya gelombang tsunami di pantai juga disebabkan oleh bentuk batimetri, topografi dan geomorfologi pantai. Tinggi akan mencapai maksimum pada pantai yang landai dan berlekuk seperti teluk dan muara sungai. Hal ini terlihat pada kasus tsunami di Teluk Lhoknga NAD tahun 2004 dengan tinggi run up mencapai 31,5 m, Teluk Pancer Banyuwangi tahun 1994 mencapai tinggi 14 m dan Teluk Korim Biak tahun 1996 mencapai tinggi 12 m. Pada pantai yang terjal tsunami tertahan (Diposaptono dan Budiman 2008).

(32)

12

Pribadi et al. (2006) mengamati inundation atau jangkauan rayapan gelombang tsunami maksimum Pangandaran tahun 2006 terjadi di lokasi persawahan Cimerak sejauh 1000 m dari garis pantai. Hal ini dikarenakan Cimerak adalah lokasi terdekat pertama dari epicenter sebelum Pangandaran tanpa terhalang oleh lekukan (teluk) pulau, tanahnya relatif datar walaupun diselingi perbukitan rendah. Wilayah pesisir dengan tebing–tebing pasir relatif aman dibandingkan pantai dengan topografi landai. Run up di daerah tersebut cenderung minimum seperti terjadi di daerah Bugel (40 m) dan Ambal (40 m) di Jawa Tengah serta Pameungpeuk (70 m) di Jawa Barat.

Chandrasekar et al. (2006) melakukan pengamatan di pantai selatan India pada tahun yang sama dan menyatakan bahwa jangkauan rayapan maksimum terjadi di daerah mulut sungai atau estuari. Dampak tsunami juga lebih terlihat pada pantai dengan topografi datar dibandingkan daerah dengan topografi bergelombang.

2.5. Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG)

dalam Mengkaji Dampak Tsunami

Kemampuan SIG untuk mengintegrasikan informasi alam, sosial ekonomi dan bencana bisa menjadi alat penilai yang ideal guna mendukung upaya perencanaan kawasan rawan tsunami. Untuk melakukan analisis tingkat kerawanan suatu daerah terhadap bencana tsunami diperlukan dua alat pembantu yaitu pemodelan tsunami yang mencakup pembangkitan, penjalaran serta genangan tsunami dan aplikasi SIG dalam melakukan analisis resiko bencana tsunami. Dalam teknis pelaksanaannya, metode-metode statistik sederhana juga diperlukan untuk melengkapi aspek ilmiah dalam melakukan pembobotan untuk analisis tingkat kerentanan dan ketahanan suatu daerah terhadap bencana tsunami (Diposaptono dan Budiman 2008)

(33)

13

lokasi paling cocok untuk penempatan menara peringatan Tsunami di wilayah pantai Thailand (Koedkurang et al. 2005).

Chittibabu dan Baskaran (2009) menggunakan SIG sebagai alat untuk memadukan data ketinggian, jarak inundasi tsunami dan peta-peta tematik yang berasal dari data penginderaan jauh. Studi yang dilakukan menyoroti wilayah paling rentan terhadap inundasi tsunami dan membuat batas lokasi yang cocok bagi rehabilitasi di pantai Karaikal India.

Kumaraperumal et al. (2007) menyatakan bahwa penginderaan jauh memberikan dukungan yang besar selama bencana untuk mendapatkan ide pendahuluan mengenai kerusakan yang disebabkan oleh tsunami. Disini alat penginderaan jauh dan SIG digunakan untuk mengidentifikasi jarak intrusi air laut dan menduga perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan. Peta bahaya tsunami dihasilkan menggunakan pendekatan SIG yang menunjukkan bahaya relatif tsunami di pantai Nagapattinam India. Kriteria yang dipertimbangkan untuk penilaian bagi pemetaan bahaya adalah tipe-tipe lahan yang berdekatan dengan pantai dan perbedaan topografi lahan.

Theilen-Willige (2008) melakukan studi mengenai pemetaan kerentanan tsunami untuk wilayah pantai Turki dan Yunani di Laut Aegean. Lokasi yang berpotensi rawan tsunami diidentifikasi dari citra Landsat ETM, SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dan citra QuickBird dan dari basis data SIG terpadu. Evaluasi data penginderaan jauh digabungkan dengan geodata lain dalam lingkungan SIG memungkinkan deliniasi wilayah yang rentan penggenangan (flooding) tsunami dan inundasi di wilayah pantai Aegean Sea.

(34)

14

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini terbagi kedalam tiga tahapan yaitu tahap pendahuluan, pengambilan data lapangan dan pengolahan serta analisis data. Tahap pendahuluan dan pengolahan data serta analisis dilakukan di Bogor. Tahap pengambilan data dilakukan di daerah pantai selatan Jawa Barat.

Penelitian telah dilakukan sejak bulan Mei 2009 hingga Nopember 2010. Kegiatan pengambilan data di lapangan dilaksanakan pada bulan Juli 2009 dan bulan Juni 2010.

3.2. Data, Perangkat Lunak dan Perangkat Keras

Data pendukung utama yang digunakan pada penelitian ini adalah peta-peta tematik, citra Landsat TM tahun 2006 dengan resolusi 30 m, catatan riset mengenai karakteristik tsunami dan kerusakan akibat tsunami wilayah pantai Ciamis. Peta-peta tematik yang digunakan yaitu peta tutupan lahan, peta batas administrasi pemerintahan, peta kontur (ketinggian), peta kemiringan lereng dan peta garis pantai. Peta kontur dan peta kemiringan lereng dengan skala 1:50.000 sedangkan peta garis pantai yang mengacu kepada citra Landsat TM mempunyai perpadanan skala 1:100.000. Peta administrasi bersumber pada Peta Dasar Rupabumi Indonesia skala 1:25.000. Peta tutupan lahan dari BAPLAN yang merupakan hasil interpretasi citra Landsat TM tahun 2006 dengan perpadanan skala menjadi 1:100.000.

Perangkat lunak yang digunakan untuk analisis citra, spasial dan statistik adalah MINITAB, SPSS, ARCVIEW, ERDAS dan IHMB (Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala). Perangkat keras berupa satu set komputer dan printer. Untuk kegiatan survei lapangan digunakan peta rencana survei, lembar pengamatan (tally sheet) dan peralatan berupa GPS receiver, kompas dan kamera digital.

3.3 Metode Penelitian

Kegiatan pendahuluan meliputi penyusunan usulan penelitian, pengumpulan data dan informasi, dan penyiapan kegiatan lapangan. Kegiatan lapangan meliputi

(35)

15

Tahapan penelitian dan alir data dan informasi pembuatan model kerawanan kerusakan akibat tsunami pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Tahapan dan alir data serta informasi pada kegiatan penelitian

(36)

16

Beberapa peta bersumber dari citra Landsat yang beresolusi 30 m, yaitu peta tutupan lahan dan peta kerapatan vegetasi. Garis pantai pada semua peta direvisi menggunakan garis pantai berdasarkan penampakan citra Landsat tahun 2006.

Kesepadanan skala peta dan spasial citra yang dikemukakan Tobler tahun 1987 menyatakan citra satelit dengan resolusi 30 m sepadan dengan skala peta 1 : 100.000. Skala peta dasar dan peta laporan 1:100.000 disebutkan sebagai skala tinjau dan memiliki kegunaan bagi perencanaan umum penggunaan lahan dan penetapan areal yang akan disurvei lebih dalam (Arsyad, 2010). Peta kerawanan kerusakan akibat tsunami dapat menjadi masukan awal bagi perencanaan tata ruang pantai yang lebih detil.

Kegiatan pengolahan data dan analisis menggunakan teknologi inderaja dan sistem informasi geografi, yang diikuti dengan penulisan disertasi. Penentuan skor dan bobot dilakukan melalui analisis data.

3.3.1. Pengkajian Potensi Genangan Akibat Tsunami Secara Spasial

Wilayah studi difokuskan kepada wilayah desa pantai di enam kecamatan di Kabupaten Ciamis, dimana desa pantai merupakan desa dengan wilayah yang memiliki batas dengan garis pantai. Dari enam kecamatan tersebut terdapat 19 desa. Batas luar kesembilan belas desa menjadi batas wilayah studi.

Berdasarkan analisis ketinggian dari data kontur wilayah pesisir yang dibangun melalui DEM, maka dapat dihitung dan dipetakan distribusi luas dan tinggi genangan secara spasial dapat diperoleh (Diposaptono dan Budiman 2008). Analisis kontur dilakukan untuk menghasilkan peta ketinggian. Pengkelasan dilakukan dengan interval tinggi 2,5 m. Penelitian ini mengkaji 3 nilai tinggi gelombang tsunami yang mungkin terjadi yaitu 7,5 m, 15 m dan 30 m. Dari ketiga nilai tinggi gelombang diketahui distribusi luas dan jarak genangan secara spasial, kemudian dicari hubungan antara jarak genangan dengan faktor biofisik wilayah pantai Ciamis. Hubungan yang diketahui melalui analisis korelasi ini akan mendukung pemilihan faktor pembangun model kerawanan kerusakan akibat tsunami.

(37)

17

sangat sulit membuat peta resiko tsunami berdasarkan data historis. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan mengasumsikan gelombang tsunami yang mencapai pantai mempunyai ketinggian sama diukur dari permukaan laut (Diposaptono dan Budiman 2008). Dari masing-masing peta diketahui distribusi luas genangan dari garis pantai menuju daratan. Titik-titik contoh diambil pada masing-masing peta dengan tinggi genangan berbeda. Masing-masing titik diukur jarak genangannya dari pantai. Tahapan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.

(38)

18

3.3.2. Faktor-faktor yang Berperan pada Tingkat Kerusakan Akibat

Tsunami

Pemilihan faktor yang diduga berperan dalam tingkat kerusakan akibat tsunami dilakukan berdasarkan analisis karakteristik spesifik lokasi dan beberapa hasil penelitian terkait tsunami dan faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut kemudian dikaji menggunakan analisis korelasi untuk menentukan faktor penentu tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami.

Kesemua faktor dianalisis dalam bentuk peta dengan menggunakan analisis SIG. Proses awal adalah penyiapan peta-peta input yang merupakan peta faktor-faktor yang akan dijadikan input model. Peta pendukung adalah peta dasar yang menjadi acuan bagi peta faktor dan mendukung analisis faktor.

Oleh karena lokasi penelitian merupakan wilayah pantai, maka semua peta dasar dan peta faktor direvisi garis pantainya berdasarkan garis pantai yang diperoleh dari penampakan citra satelit. Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat TM tanggal 10 Oktober 2006 yaitu setelah kejadian tsunami. Citra ini juga digunakan untuk mendapatkan peta kerapatan vegetasi.

Peta pendukung mencakup peta administrasi dan peta sistem lahan. Peta administrasi mencakup batas desa, kecamatan dan kabupaten. Peta sistem lahan mencakup informasi tentang nama sistem lahan, karakteristik lahan dan kesesuaian lahan.

Faktor yang telah dikaji dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Faktor pembentuk model kerawanan kerusakan akibat tsunami

No Faktor-faktor yang dikaji

1 Bentuk Pantai (Sutowijoyo (2005), Chandrasekar et al. (2006), Diposaptono dan Budiman (2008)

2 Jarak dari garis pantai (Kumaraperal et al (2007))

3 Kemiringan (slope)

(Diposaptono dan Budiman (2008), Pribadi et al. (2006))

4 Ketinggian tempat

(Chandrasekar et al. (2006), Diposaptono dan Budiman (2008).

5 Tutupan lahan (Diposaptono dan Budiman (2008), Pribadi et al. (2006))

6 Vegetasi

(39)

19

3.3.2.1. Kelas Bentuk Pantai

Input yang dipakai adalah peta garis pantai selatan Jawa Barat. Garis pantai diperoleh berdasarkan penampakan garis pantai pada citra Landsat TM bulan Oktober 2006. Pada pantai Kabupaten Ciamis terdapat bentuk pantai rata, lekuk, bentuk V atau tanjung dan bergerigi (gergaji).

Bentuk pantai menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya kerusakan akibat tsunami (Sutowijoyo 2005). Tinggi gelombang tsunami mencapai maksimum pada pantai dengan morfologi landai dan berlekuk seperti teluk, muara sungai dan tanjung karena adanya proses refraksi dan difraksi gelombang. Hal ini terlihat pada kasus tsunami di Teluk Lhoknga NAD 26 Desember 2004 dengan tinggi run up 31,5 m, Teluk Pancer Banyuwangi 2 Juni 1994 yang mencapai tinggi run up 14 m dan di Teluk Korim Biak 17 Pebruari 1996 dengan tinggi run up 12 m. Wilayah pesisir di Indonesia umumnya memiliki teluk berbentuk V yang berasosiasi dengan tanjung dan muara sungai yang banyak dan berderet satu sama lain sehingga menyerupai gigi gergaji. Kondisi ini menimbulkan gelombang tsunami di pantai semakin tinggi akibat adanya amplifikasi gelombang oleh teluk berbentuk V tersebut (Diposaptono dan Budiman (2008). Chandrasekar et al. (2006) membagi pantai kedalam beberapa zona berbeda berkaitan dengan fitur geomorfik pantai. Areal pantai dibagi kedalam zona pantai terbuka, zona estuari dan zona dataran tinggi.

3.3.2.2. Kelas Jarak dari Garis Pantai

Input yang dipakai adalah peta garis pantai selatan Jawa Barat. Garis pantai diperoleh berdasarkan penampakan garis pantai pada citra Landsat TM bulan Oktober 2006.

Masing-masing garis pantai dibuat buffer dengan jarak per 100 m dari pantai kemudian dilakukan pengkelasan berdasarkan kedekatan dari garis pantai. Prosesing data dilakukan dengan perangkat lunak ArcView.

3.3.2.3. Kelas Ketinggian Tempat

(40)

20

yang lebih rendah. Pembuatan Digital Elevation Model (DEM) dan pengkelasan dilakukan dengan perangkat lunak ArcView.

Ketinggian wilayah dibagi kedalam kelas yang lebih rinci dengan interval tinggi 2,5 m. Hal ini dilakukan untuk lebih memperdalam hubungan antara faktor ketinggian dengan kerawanan kerusakan akibat tsunami.

3.3.2.4. Kelas Kemiringan lereng

Tinggi gelombang tsunami mencapai maksimum pada pantai yang landai. Tsunami tertahan pada pantai yang terjal (Diposaptono dan Budiman 2006). Pribadi et al. (2006) mengamati wilayah pesisir dengan tebing–tebing pasir relatif aman dibandingkan pantai dengan topografi landai. Dampak tsunami lebih terlihat pada pantai dengan topografi datar dibandingkan daerah dengan topografi bergelombang (Chandrasekar et al. 2006).

Input yang digunakan adalah peta kontur dengan perangkat lunak ArcView bagian Spatial Analyst. Pengkelasan kemiringan lereng dilakukan dengan interval 4%. Dengan interval kemiringan lereng lebih rinci hubungan antara kemiringan lereng dengan kerawanan kerusakan akibat tsunami dapat lebih terlihat. Hal ini berguna untuk memperoleh informasi lebih mengenai peran kemiringan lereng terhadap kerusakan akibat tsunami.

3.3.2.5. Kelas Kerapatan Vegetasi

Sudarmono (2005) menyatakan bahwa jajaran pohon yang cukup banyak dan berlapis-lapis dapat memecah gelombang dan memperlemah daya dorongnya. Penelitian Harada dan Kawata (2004) menunjukkan bahwa dalam kasus tsunami dengan tinggi gelombang 3 m, hutan pantai dengan kerapatan hutan 30 m per 100 m2, diameter batang 15 cm, dan lebar hutan 200 m dapat mengurangi kedalaman inundasi hingga 50-60% dan kecepatan aliran hingga 40-60%.

Peta kerapatan vegetasi dibuat melalui klasifikasi citra Landsat menggunakan perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Band yang dipakai adalah band infra merah dekat (near infra red/NIR) dan merah (red). Indeks ini memiliki kisaran nilai antara -1 dan +1. Vegetasi lebat akan mendekati nilai 1 (Jaya 2009). Rumus dari indeks vegetasi ini adalah:

(41)

21

Hasil klasifikasi citra dikelaskan kedalam kelas kerapatan vegetasi.

Kerapatan vegetasi dibagi kedalam tiga kelas, yaitu “Kerapatan Tinggi”, “Kerapatan Sedang”, dan “Kerapatan Rendah”. Pembagian kelas tersebut didapat dengan membagi rentang nilai NDVI kedalam tiga kelas.

3.3.2.6. Kelas Tutupan Lahan

Informasi tutupan lahan diperoleh dari peta tutupan lahan Badan Planologi tahun 2006. Kelas tutupan lahan yang ada di wilayah pantai Ciamis adalah Hutan Lahan Kering Sekunder, Semak/Belukar, Perkebunan, Tanah Terbuka, Hutan Mangrove Sekunder, Hutan Rawa Sekunder, Semak/Belukar Rawa, Pertanian Lahan Kering dengan Semak, Pertanian Lahan Kering Bercampur Semak, Sawah, Tambak, Tubuh Air dan Permukiman. Peta tersebut dikelaskan kembali dengan mengelompokkan kelas kedalam kelas lebih umum.

Vegetasi mempunyai tingkat reduksi tertentu saat terkena gelombang tsunami di suatu daerah. Dalam kaitannya dengan kepekaan terhadap tsunami, hutan dikategorikan sebagai jenis vegetasi yang sangat tidak peka diikuti oleh semak belukar, dan kebun. Ladang agak peka terhadap tsunami diikuti oleh rumput yang peka terhadap tsunami, sedangkan sawah sangat peka dan rawa sangat peka sekali. Pasir pantai juga dikatakan sangat peka terhadap tsunami (Diposaptono dan Budiman 2008).

Melalui penelitian ini ingin diketahui bagaimana faktor biofisik kawasan pantai Ciamis berperan dalam kerusakan akibat tsunami sehingga diketahui bagaimana hubungan masing-masing faktor dengan kerusakan akibat tsunami. Kajian faktor biofisik yang berperan dalam kerusakan akibat tsunami akan memberikan informasi mengenai faktor mana saja yang berpengaruh dalam kerusakan akibat tsunami khususnya di kawasan pantai Ciamis. Informasi ini sangat penting bagi pemodelan spasial kerawanan kerusakan akibat tsunami yang nantinya berguna bagi upaya perlindungan wilayah dan rehabilitasi kawasan pantai.

3.3.3. Pemberian Skor pada masing-masing kelas faktor

(42)

22

analisis adalah kelas bentuk pantai, kelas jarak dari pantai, kelas ketinggian, kelas kemiringan lereng, kelas tutupan lahan dan kelas kerapatan vegetasi.

Data tingkat kerusakan akibat tsunami hanya mewakili satu tempat untuk setiap kecamatan sehingga data yang digunakan adalah data inundasi yang diambil dari peta genangan yang dibuat secara spasial.

Pola kecenderungan dilihat untuk mengetahui hubungan proporsi genangan dengan masing-masing faktor biofisik yang dikaji. Skoring diberikan menggunakan peringkat berdasarkan analisis tersebut kemudian dilakukan standarisasi skor dengan menyamakan skala (rescalling) dari 10 hingga 100. Dimana rumus skor tersebut (Jaya et al. 2007) adalah:

(Skor lama – Skor minimal) (90) +10

(Skor maksimal – Skor minimal)

3.3.4. Pemodelan Spasial Kerawanan Kerusakan akibat Tsunami

Daerah rawan kerusakan merupakan daerah yang berpotensi tergenangi air limpasan gelombang tsunami. Kecepatan tsunami yang sangat tinggi menjadikan air limpasan tsunami bersifat merusak sehingga tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami pada penelitian ini diwakili oleh proporsi genangan akibat tsunami. Kajian faktor yang berpengaruh dalam menentukan tingkat kerusakan akibat tsunami menjadi dasar pembuatan kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami. Pengambilan contoh dilakukan untuk membangun model karena cakupan wilayah yang besar yaitu hampir 23.000 ha dengan garis pantai 91 km. Wilayah dibagi kedalam grid-grid dengan jarak masing-masing 2 km menggunakan perangkat lunak IHMB sehingga didapat 65 titik contoh (Gambar 4). Masing-masing titik contoh memiliki informasi skor masing-masing kelas faktor dan proporsi genangan.

(43)

23

Gambar 4. Titik-titik contoh bagi analisis regresi

Karakteristik biofisik yang telah diberi skor dihubungkan dengan proporsi genangan untuk membangun model. Regresi Stepwise dilakukan untuk mendapatkan model terbaik dari sebuah analisis regresi. Regresi ini akan memasukkan variabel yang memiliki korelasi tinggi dan signifikan terhadap nilai y dan menyisihkan variabel yang tidak signifikan. Proses ini berlangsung terus menerus hingga tidak ada lagi variabel yang ditambahkan atau dihilangkan. Persentase besarnya variabilitas dalam data yang dijelaskan oleh model regresi ditunjukkan oleh koefisien determinasi (R2) yang merupakan besaran yang mengukur ketepatan garis regresi. Nilai berkisar dari 0 hingga 100%. Semakin besar nilai menandakan semakin erat hubungan antara x dan y.

Persamaan yang menghubungkan faktor biofisik dengan proporsi genangan akibat tsunami diolah secara spasial untuk menghasilkan model kerawanan kerusakan akibat tsunami. Model tersebut menunjukkan wilayah pantai dengan tingkat kerawanan yang berbeda. Model dibagi kedalam 3 kelas kerawanan yaitu Sangat Rawan, Rawan, dan Tidak Rawan. Pembagian kelas berdasarkan pembagian total bobot kedalam tiga selang nilai. Metode pembuatan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami dapat diihat pada Gambar 5.

(44)

24

BMG dan data genangan berdasarkan ketinggian tempat yang dihasilkan pada penelitian ini.

Daerah genangan dibagi kedalam grid-grid yang kemudian ditampalkan dengan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami. Untuk wilayah genangan pada tinggi gelombang 7,5 m grid dibuat berjarak 500 m dan didapat 177 grid. Wilayah genangan dari gelombang 15 m dan 30 m dibagi kedalam grid berjarak 1 km sehingga masing-masing terbagi kedalam 202 dan 241 grid. Ketika ditampalkan dengan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami, grid-grid tersebut memberikan informasi tingkat kerawanan.

(45)

25 Gambar 5. Metode pembuatan peta kerawanan

(46)

26

IV. KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN TSUNAMI

PADA LOKASI PENELITIAN

4.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di daerah pantai selatan Jawa Barat khususnya Kabupaten Ciamis. Wilayah tersebut merupakan areal yang terkena dampak gelombang tsunami dan gempa tektonik. Gempa bumi yang diikuti tsunami terjadi pada hari Senin 17 Juli 2006 jam 15:19:22 WIB dengan pusat 9,46o LS – 107,19o BT, kedalaman 33 km dan kekuatan 6,8 Skala Richter. Pusat gempa bumi di Samudera Hindia 280 km selatan Bandung atau 255 km barat daya Pangandaran. Dampak tsunami dialami oleh kawasan pantai selatan Jawa Barat, Cilacap dan Yogyakarta menelan korban jiwa lebih dari 378 orang meninggal, 272 orang luka-luka, 77 orang menghilang. Kerugian pada perumahan 842 rumah hancur, 92 rumah rusak, 62 bangunan hotel dan penginapan hancur, 5 kantor hancur. Sarana transportasi 56 mobil hancur, 97 motor hancur, 190 kapal boat rusak dan 29 becak tradisional hancur. Total kerugian akibat bencana tsunami ini berkisar lebih dari pada 70 milyar rupiah (Pribadi et al. 2006).

(47)

27

(48)

28

Wilayah selatan berbatasan langsung dengan garis pantai samudera Indonesia yang membentang di 6 kecamatan dengan panjang garis pantai mencapai 91 km. Kabupaten Ciamis memiliki wilayah laut seluas 67.340 ha (BPS Kabupaten Ciamis 2009).

Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Ciamis berada pada posisi strategis yang dilalui jalan Nasional lintas Jawa Barat-Jawa Tengah dan jalan Provinsi lintas Ciamis-Cirebon-Jawa Tengah. Dalam konteks pengembangan wilayah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Ciamis mempunyai 2 (dua) Kawasan Andalan yaitu Kawasan Andalan Priangan Timur dengan arahan pengembangan untuk kegiatan pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, dan pariwisata serta Kawasan Andalan Pangandaran dengan kegiatan unggulan pengembangan kepariwisataan dan bisnis kelautan (Pemkab Ciamis 2009).

Daerah pantai selatan termasuk pantai wilayah Kabupaten Ciamis merupakan bagian dari wilayah rawan gempa dan tsunami karena berada di pertemuan lempeng oseanik Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia. Penelitian geologi juga mengungkapkan bahwa sebelum tsunami tahun 2006 lalu, pada tahun 1921 telah terjadi tsunami di Pangandaran (Yulianto et al. 2008).

Pemerintah Kabupaten Ciamis telah menetapkan kawasan rawan bencana yang merupakan kawasan yang perlu mendapat perhatian khusus. Kawasan rawan bencana longsor tersebar di Kecamatan Panawangan, Kawali, Cikoneng, Rajadesa, Jatinagara, Rancah dan Tambaksari; kawasan rawan bencana banjir di Kecamatan Pamarican, Banjarsari, Padaherang, Kalipucang, Lakbok dan Pangandaran; kawasan rawan kekeringan di Kecamatan Langkaplancar dan Cigugur; serta kawasan rawan bencana gempa bumi/tsunami di Kecamatan Cimerak, Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran dan Kalipucang.

4.2. Tsunami dan dampak yang ditimbulkan di pantai Ciamis

(49)

29

akibat tsunami di Kabupaten Ciamis. Gambar 7 (a) menunjukkan sisa bangunan akibat tsunami di pantai desa Babakan dan Gambar 7 (b) menunjukkan sisa bangunan di wilayah pantai Pangandaran.

a b

Gambar 7. Kerusakan fisik akibat tsunami di wilayah Pantai Kabupaten Ciamis Jarak genangan terjauh terjadi di Kecamatan Cimerak yaitu sejauh 1000 m (Gambar 8). Lokasi ini merupakan wilayah pesawahan. Cimerak adalah lokasi yang terdekat pertama dari epicenter sebelum Pangandaran tanpa terhalang oleh lekukan (teluk) pulau (Pribadi et al. 2006). Pangandaran Barat yang berada di lekukan tanjung mengalami jarak genangan 500 m, sedangkan bagian timur karena terhalang tanjung air tsunami masuk sekitar 50 m saja.

(50)

30

Gambar 9. Tinggi gelombang tsunami pantai Ciamis tahun 2006

Gambar 10. Jumlah korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat tsunami di pantai Kabupaten Ciamis per kecamatan (berdasarkan tabel data dari WFP dan LAPAN 2006; modifikasi)

(51)

31

lainnya mengalami run up dibawahnya (Pribadi et al 2006). Kedua lokasi tidak memiliki penghalang vegetasi sehingga air dengan mudah masuk ke daratan.

Gambar 10 menunjukkan jumlah korban jiwa dan kerusakan akibat tsunami. Terdapat dua kecamatan yang mengalami dampak paling parah yaitu Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Cimerak yang dikenal sebagai tempat pariwisata. Selain kerusakan rumah, kerusakan juga terjadi pada hotel, restoran, warung dan perahu nelayan serta aset untuk bekerja lainnya mengalami kerusakan. Terdapat paling tidak sekitar 15.000-20.000 penduduk yang mata pencahariannya terkena dampak langsung (WFP dan LAPAN 2006).

Tabel 4. Korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat tsunami di pantai Selatan Jawa Barat (WFP dan LAPAN 2006; modifikasi)

Kabupaten Kecamatan Korban Rumah rusak

Meninggal Hilang Luka

Tabel 4 menunjukkan perbandingan kerusakan bangunan dan jumlah korban di wilayah pantai selatan Jawa Barat termasuk Kabupaten Ciamis. Kerusakan rumah paling banyak tercatat di Kecamatan Cimerak yaitu lebih dari 400 rumah hancur total, sedangkan di Kecamatan Pangandaran tercatat lebih dari 200 rumah hancur total.

(52)

32

Dalam catatan World Food Program PBB dan LAPAN tahun 2006 diketahui korban meninggal di wilayah Jawa Barat adalah 427 orang sedangkan yang hilang dan terluka 856 orang. Rumah yang hancur total lebih dari 900 rumah dan lebih dari 1200 rumah mengalami kerusakan parah dan ringan.

4.3. Bentuk Pantai dan Penampakan Citra Satelit Wilayah Pantai Kabupaten

Ciamis

Bentuk pantai yang diamati dari wilayah pantai Ciamis adalah bentuk V yang merupakan wilayah Tanjung Pangandaran, garis pantai yang bergerigi menyerupai gergaji, garis pantai rata dan garis pantai dengan lekukan.

Dari citra satelit (Gambar 11) dapat dilihat bahwa wilayah yang dekat dengan garis pantai memiliki vegetasi yang jarang. Lebih jauh ke daratan juga seperti itu. Di wilayah Cimerak terjadi inundasi sejauh 1 km sebagaimana tercatat oleh BMKG dan merupakan daerah pesawahan. Wilayah Kecamatan Cimerak juga memiliki lekukan yang cukup besar dan pantai yang tidak rata.

Penampakan citra satelit menunjukkan wilayah bagian bawah bertekstur kasar. Daerah yang dekat dengan garis pantai menunjukkan kemungkinan vegetasi yang jarang. Di Kecamatan Cijulang terdapat lekukan yang cukup besar serta ada aliran sungai. Wilayah ini mengalami inundasi sejauh 300 m.

Seperti pada penampakan kecamatan lain, pada pantai Kecamatan Parigi juga daerah dekat garis pantai menunjukkan daerah bervegetasi rendah. Garis pantai relatif rata dan wilayah bertekstur halus dan sedang. Inundasi terjadi sejauh 200 m.

Penampakan citra Kecamatan Sidamulih menunjukkan adanya aliran sungai di wilayah tersebut. Garis pantai dapat dikatakan relatif rata. Tidak ada catatan mengenai inundasi wilayah ini.

(53)

33

Garis pantai Kecamatan Kalipucang relatif rata. Tekstur daratan menunjukkan daerah yang tidak rata. Masing-masing kecamatan memiliki karakteristik bentuk garis pantai yang berbeda. Analisis garis pantai juga dilakukan pada setiap bentuk pantai yang berbeda, seperti bentuk rata, gergaji/gerigi, dan lekukan (Gambar 12). Jarak dari garis pantai dibagi kedalam beberapa kelas dengan beda jarak 100 m (Gambar 13).

Sebagian wilayah dekat garis pantai bervegetasi rendah. Tubuh air yang berupa sungai dan laut ditunjukkan dengan warna biru. Warna hijau menandakan vegetasi yang dapat berupa hutan atau kebun campuran, sedangkan warna keunguan mewakili areal bervegetasi dengan tanah basah (mengandung banyak air) seperti sawah. Warna kemerahan menandakan areal yang kering biasanya merupakan areal terbuka (bervegetasi rendah) dan permukiman.

(54)

34

(55)

35

(56)

36

(57)

37

4.4. Ketinggian Wilayah Pantai Ciamis

Ketinggian di lokasi penelitian dibagi kedalam 13 kelas dengan interval 2,5 m (Gambar 14). Gambar menunjukkan gambaran ketinggian lokasi penelitian di Kabupaten Ciamis. Hampir semua wilayah pantai merupakan daerah yang rendah kecuali sebagian wilayah Kecamatan Kalipucang, Cijulang dan Cimerak serta wilayah Tanjung Pangandaran.

Gambar 14. Persentase kelas tinggi di wilayah pantai Ciamis

(58)

38

(59)

39

Wilayah rendah merupakan wilayah yang dekat dengan pantai. Wilayah tinggi dapat dilihat pada wilayah pantai Kecamatan Kalipucang dan tanjung Pangandaran serta sebagian kecil wilayah Kecamatan Cimerak dan Kecamatan Cijulang, sedangkan wilayah lain tempat yang tinggi berada jauh dari pantai.

4.5. Kemiringan Lereng Wilayah Pantai Ciamis

Kemiringan lereng di wilayah pantai Ciamis dibagi kedalam 10 kelas dengan interval kemiringan lereng 4% (Gambar 16). Gambar menunjukkan kemiringan lereng di lokasi penelitian.

Gambar 16. Persentase kelas kemiringan lereng wilayah pantai Ciamis

(60)

40

(61)

41

4.6. Penutupan Lahan Wilayah Pantai Ciamis

Penutupan lahan wilayah pantai Ciamis secara garis besar dibagi kedalam daerah pesawahan, permukiman, kebun, hutan, pasir pantai dan air. Wilayah hutan yang berada di Kecamatan Pangandaran yaitu wilayah tanjung yang merupakan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam. Hutan ini berada di daerah tinggi dengan kemiringan lereng beragam dan merupakan hutan tanah kering (Gambar 18). Persentase luas tutupan lahan kawasan desa pantai Ciamis dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 18. Kawasan Taman Wisata Alam Pangandaran

(62)

42

Sepanjang pantai Pangandaran merupakan lahan berpasir dan ditanami beberapa anakan vegetasi pantai dan mangrove. Di belakang lahan berpasir yang merupakan tempat wisata adalah tempat-tempat penginapan mulai dari penginapan kecil hingga hotel-hotel tinggi dan sedikit rumah-rumah pribadi. Di belakangnya merupakan wilayah permukiman yang cukup padat. Wilayah di luar Kecamatan Pangandaran didominasi oleh daerah pesawahan, kebun campuran dan perkebunan kelapa. Untuk wilayah pantainya didominasi oleh perkebunan kelapa yang dikelola oleh kelompok masyarakat setempat.

Gambar 19 menunjukkan sekitar 46 % dari luas seluruh tutupan lahan di Desa Pantai Ciamis adalah wilayah pertanian lahan kering, 15% berupa sawah, sedangkan permukiman meliputi 5% wilayah. Pengamatan lapangan menunjukkan permukiman cukup padat di sepanjang pantai. Di daerah garis pantai di kawasan wisata seperti Pangandaran umumnya ditemukan banyak rumah-rumah penginapan yang disewakan. Wilayah pertanian seperti ladang dan sawah diselingi oleh rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Kebun kelapa yang dikelola masyarakat sekitar juga terdapat di sebagian pinggir pantai. Wilayah pertanian berada lebih jauh dari pantai.

(63)

43

(64)

44

4.7. Kerapatan Vegetasi

Nilai NDVI dikelaskan kedalam kelas kerapatan vegetasi. Kerapatan

vegetasi dibagi kedalam tiga kelas, yaitu “Kerapatan Tinggi”, “Kerapatan Sedang”, dan “Kerapatan Rendah”. Gambar 21 menunjukkan kerapatan vegetasi wilayah pantai Ciamis.

Gambar 21. Persentase kelas kerapatan vegetasi wilayah pantai Ciamis

(65)

45

a b

c d

e f

Gambar 22. Penutupan lahan di pinggir pantai Kabupaten Ciamis

(66)

46

Gambar

Tabel 1.  Kejadian tsunami dan dampaknya di Indonesia sejak tahun 1961 hingga 2005 (Diposaptono dan Budiman 2008)
Tabel 2 Tahapan dan alir data serta informasi pada kegiatan penelitian
Gambar 3.
Tabel 3.  Faktor pembentuk model kerawanan kerusakan akibat tsunami
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian gagalnya perundingan adalah : tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau

Inflasi Kota Bukittinggi terjadi karena adanya peningkatan indeks pada lima kelompok pengeluaran, yaitu : kelompok sandang sebesar 1,35 persen, kelompok transpor,

Aset keuangan dan liabilitas keuangan disalinghapuskan dan nilai bersihnya disajikan dalam laporan posisi keuangan konsolidasian interim jika, dan hanya jika, saat ini

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan

[r]

Dari hasil analisis pengujian dengan rancangan acak kelompok dan rancangan acak lengkap di peroleh nilai Pr &lt; 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan menggunakan

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “KEABSAHAN AKTA HIBAH

Buku besar adalah “Debit dan kredit diposting kerekening pengendali piutang dagang dari jurnal dan hasil pencocokan dengan total pengendali yang diterima dari