• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Tingkat Konsumsi Oksigen

Setelah melalui masa aklimatisasi selama 4 hari, tahap selanjutnya pascalarva udang vaname dipuasakan selama 24 jam. Tingkat konsumsi oksigen diperoleh dari hasil pengukuran pada hari ke-5 atau saat stadia PL25. Hasil dari

pengukuran tingkat konsumsi oksigen untuk semua perlakuan disajikan pada Gambar 4.

Dari ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi oksigen tertinggi terdapat pada perlakuan A yaitu sebesar 0,385 mg O2/g/jam, sedangkan tingkat

konsumsi oksigen terendah terdapat pada perlakuan C yaitu 0,313 mg O2/g/jam.

35 0,385 0,338 0,313 0,325 0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 0,400 0,450 A (0, 32) B (25, 51) C (50,87) D (75,115) Pe rlakuan

(Pe nambahan K+, Kadar K+ air) (ppm)

T ing k a t ko ns um si o ks ig e n (m g O2 /g /j a m )

kalium maka semakin rendah tingkat konsumsi oksigen. Tingkat konsumsi oksigen pascalarva 25 udang vaname pada semua perlakuan cenderung sama yaitu dalam kisaran 0,300 mg O2/g/jam.

Gambar 4. Pengaruh penambahan K+ terhadap tingkat konsumsi oksigen pascalarva udang vaname selama masa aklimatisasi penurunan salinitas

Pembahasan

Berdasarkan data hasil pengukuran fisika kimia air pada tabel 5, maka parameter fisika kimia media masih berada pada kondisi yang layak untuk menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan pascalarva udang vaname. Nilai amoniak yang cukup tinggi pada masa adaptasi penurunan salinitas ini yang berkisar antara 0,159 hingga 0,189 mg/l menandakan bahwa pascalarva udang vaname masih mampu mentolerir kadar amoniak yang terdapat di media adaptasi hingga level tersebut.

Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa sintasan yang tertinggi adalah yang diperoleh dari perlakuan dengan penambahan kalium sebanyak 50 ppm (kadar K+ di air bersalinitas rendah 2 ppm sebesar 87,71 ppm) yaitu sebesar 98,33% dan terendah pada perlakuan dengan penambahan K+ 75 ppm (kadar K+ air sebesar 115,15 ppm) yaitu 94%. Sintasan pascalarva pada perlakuan dengan penambahan K+ sebesar 25 ppm dan tanpa penambahan K+ masing-masing adalah 97% dan 95,33%. Dari data rerata sintasan

pascalarva setelah melalui aklimatisasi ke media bersalinitas rendah 2 ppt terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar kalium pada tingkatan tertentu maka terjadi peningkatan kelulusan hidup, walaupun hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda terhadap sintasan pascalarva udang vaname selama masa adaptasi penurunan salinitas.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan K+ pada air bersalinitas rendah berperan dalam menunjang kelangsungan hidup pascalarva udang vaname. Sintasan yang diperoleh selama 4 hari masa adaptasi penurunan salinitas dari 25 ppt menjadi 2 ppt pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan metode aklimatisasi pascalarva 20 udang vaname selama 2 hari hingga mencapai salinitas 2 ppt yang dilakukan oleh McGraw et al., (2002) dengan kisaran sintasan 87-90%. Hasil penelitian Tantulo dan Fotedar (2006) menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup juvenil udang windu semakin meningkat ketika dipelihara pada air tanah bersalinitas 5 ppt yang telah diperkaya dengan penambahan ion K+ sebanyak 100% sehingga konsentrasi K+ menjadi 51 mg/l. Penambahan 100% ion K+ ke media air tanah bersalinitas rendah ini menyebabkan rasio Na+/K+ mendekati rasio Na+/K+ di air laut, sehingga air bersalinitas rendah dapat mendukung aktifitas Na+K+ATPase secara normal. Burton (1995) dan Pillard et al., (2002) dalam Tantulo dan Fotedar (2006) menyatakan bahwa aktifitas Na+K+ATPase bertanggung jawab menjaga gradien Na+ interseluler dan kestabilan membran sel.

Tingkat kelangsungan hidup terbaik pada penelitian ini terdapat pada media aklimatisasi dengan kisaran rasio Na/K antara 9,588-16,24 (penambahan K+ 25 ppm hingga 50 ppm). Rasio Na/K pada media aklimatisasi yang telah ditambahkan kalium ini dapat menunjang kelangsungan hidup pascalarva udang vaname selama masa aklimatisasi karena mampu menunjang pemenuhan kebutuhan akan mineral penting yang dibutuhkan sehubungan dengan fluktuasi salinitas media yang tinggi. Zhu et al., (2006) menyatakan bahwa kelangsungan hidup dan pertumbuhan optimum untuk juvenil udang vaname dapat tercapai dengan penambahan K+ sebesar 50-70% pada media bersalinitas rendah dengan kisaran rasio Na+/K+ antara 34,1 hingga 119,3. Kisaran rasio Na/K yang rendah

37

pada percobaan ini (7,30-25,96) disebabkan oleh perbedaan media yang digunakan, dimana air bersalinitas rendah yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari pengenceran air laut dengan air tawar. Sedangkan percobaan tentang adaptasi penurunan salinitas dan pemeliharaan udang vaname di media bersalinitas rendah sebagian besar menggunakan air laut buatan maupun sumber air tanah bersalinitas rendah dengan penambahan garam NaCl (McGraw dan Scarpa, 2003; Saoud et al., 2003; Davis et al., 2005; Roy et al., 2007).

Dersjant-Li et al., (2001) menyatakan nilai rasio Na/K yang terkandung di air berhubungan dengan energi yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara K+ dan Na+ yang sesuai di cairan intraseluler dan ekstraseluler, agar proses fisiologis dapat berjalan dengan baik. Pada penelitian ini adanya peningkatan sintasan pascalarva udang vaname selama masa adaptasi penurunan salinitas rendah dengan adanya penambahan K+ diduga dapat menyebabkan penggunaan energi yang lebih sedikit untuk pengaturan konsentrasi K+ di hemolim. Jika konsentrasi K+ dinaikkan ke level yang sesuai, pertumbuhan pascalarva udang vaname tidak dipengaruhi lagi oleh konsentrasi K+ tetapi lebih dipengaruhi oleh salinitas itu sendiri (Tantulo dan Fotedar, 2006).

McGraw et al., (2002) serta McGraw dan Scarpa (2004) menunjukkan bahwa umur pascalarva, salinitas akhir dan laju penurunan salinitas berpengaruh terhadap kelangsungan hidup pascalarva udang vaname selama aklimatisasi ke media bersalinitas rendah. Meskipun aklimatisasi dapat dilakukan selama 24 hingga 48 jam namun sintasan pascalarva masih lebih rendah jika dibandingkan dengan sintasan pascalarva hasil aklimatisasi pada rentang waktu yang lebih lama (Saoud et al., 2003). Selain itu Saoud et al., (2003) dan Davis et al., (2005) mengamati adanya korelasi positif antara kelangsungan hidup pascalarva udang vaname selama aklimatisasi ke media bersalinitas rendah dengan berbagai tingkatan konsentrasi K+.

Pengaruh tekanan osmotik media terhadap pertumbuhan (potensi tumbuh) dapat terjadi melalui pembelanjaan energi dan tingkat energi yang dikonsumsi (konsumsi pakan). Jika energi yang digunakan untuk proses osmoregulasi tinggi maka porsi energi untuk pertumbuhan makin berkurang. Penggunaan energi untuk

keperluan osmoregulasi berkaitan erat dengan tingkat kerja osmotik yang dilakukan dalam upaya melakukan respon terhadap perubahan tekanan osmotik medianya., terutama melalui transpor ion baik secara difusi maupun tranpor aktif. Tingkat kerja osmotik yang semakin rendah menyebabkan semakin sedikitnya energi yang digunakan untuk osmoregulasi sehingga porsi energi untuk pertumbuhan makin besar.

Berdasarkan data osmolaritas hemolim dan osmolaritas media pada tiap perlakuan dengan berbagai penambahan K+, ternyata menyebabkan perbedaan tingkat kerja osmotik pascalarva udang vaname yang signifikan setelah melalui masa adaptasi penurunan salinitas pada penelitian ini. Hal ini mengindikasikan bahwa pascalarva udang vaname mempunyai kemampuan osmoregulasi yang berbeda pada osmolaritas hemolimnya sehubungan dengan penambahan kalium atau dengan kata lain bahwa perbedaan konsentrasi K+ mempengaruhi kemampuan udang untuk mengatur osmolaritas hemolimnya. Tantulo dan Fotedar (2006) menyatakan bahwa osmolaritas serum juvenil udang windu akan semakin meningkat secara linear seiring dengan peningkatan salinitas.

Pada salinitas 2 ppt pascalarva udang vaname melakukan kerja hiperosmotik terhadap medianya yang terlihat dari osmolaritas hemolimnya lebih tinggi dari osmolaritas media (Lampiran 9). Kisaran tingkat kerja osmotik pascalarva udang vaname di media bersalinitas 2 ppt pada penelitian ini (612 hingga 783 mOsm/l H2O) lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kerja osmotik juvenil udang windu

di media bersalinitas 5 ppt yang berkisar antara 500 hingga 600 mOsm/l H2O

(Tantulo dan Fotedar, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa tingkat kerja osmotik juvenil udang windu di salinitas 25 ppt lebih rendah jika dibandingkan di salinitas 5 dan 45 ppt. Pada salinitas 25 ppt, aktifitas osmoregulasi juvenil lebih sedikit untuk menjaga osmolaritas serum pada kisaran isoosmotik sehingga pertumbuhannya pun lebih tinggi. Hagman dan Uglow (1982) dalam Tantulo dan Fotedar (2006) menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk menjaga komposisi hemolim merupakan bagian yang perlu diperhatikan dari total produksi energi

Konsentrasi K+ merupakan komponen penting dalam memulai fungsi normal dari NaCl di dalam tubuh udang dan menjaga efisiensi neuromuscular pada

39

aktifitas krustase (Gong et al., 2004). Penambahan K+ di air bersalinitas rendah dapat meningkatkan kemampuan pascalarva udang vaname dalam proses osmoregulasi, sehingga energi yang berasal dari pakan secara efisien digunakan untuk pertumbuhan. Hal ini berarti pascalarva udang vaname yang diaklimatisasikan di media bersalintas rendah melalui penambahan kalium pada air tawar pengencer sebesar 25-50 ppm dengan tingkat kerja osmotik terendah (612-659 mOsm/l H2O) akan menghasilkan potensi hidup dan tumbuh yang lebih

baik karena beban osmotik yang lebih rendah akan mengurangi beban kerja enzim Na+K+ATPase serta pengangkutan aktif Na+, K+ dan Cl-. Akibatnya energi (ATP) yang digunakan untuk osmoregulasi mengecil dan sebaliknya makin banyak porsi yang tersedia untuk pertumbuhan. Payne et al., (1988) dalam Darwisito (2006) menyatakan bahwa penggunaan energi berhubungan dengan osmoregulasi, dimana bila kebutuhan energi untuk osmoregulasi tinggi maka pembagian energi untuk pemeliharaan dan pertumbuhan menjadi berkurang yang mengakibatkan pertumbuhan terhambat.

Kalium merupakan ion esensial untuk pertumbuhan, kelangsungan hidup dan fungsi osmoregulasi dari krustase secara normal (Mantel dan Farmer, 1983; dan Pequeux, 1995). Selain itu kalium merupakan kation intraseluler utama dan berperan penting dalam aktifasi Na+K+ATPase dan pengaturan volume ekstraseluler (Mantel dan Farmer, 1983). Kekurangan K+ di perairan dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan osmoregulasi karena aktifitas enzim berhubungan secara langsung dengan konsentrasi K+ (Bursey dan Lane, 1971 dalam Roy et al., 2007) terutama aktifitas enzim Na+K+ATPase (Mantel dan Farmer, 1983; Pequex, 1995; Furriel et al., 2000).

Nilai rataan kadar glukosa darah pascalarva udang vaname tanpa penambahan kalium selama masa adaptasi penurunan salinitas pada penelitian ini menghasilkan nilai rataan glukosa darah tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 223,19 mg/dl. Penambahan K+ sebanyak 50 ppm (kadar K+ air 87,71 ppm) menghasilkan kadar glukosa darah terendah yaitu 163,04 mg/dl, sedangkan penambahan K+ sebesar 25 ppm dan 75 ppm masing-masing menyebabkan kadar glukosa darah menjadi 171,50 mg/dl dan 193,72 mg/dl. Berdasarkan uji lanjut

Duncan, penambahan kalium sebanyak 25 ppm dan 50 ppm tidak mengakibatkan perbedaan kadar glukosa darah di akhir masa adaptasi penurunan salinitas, sehingga penambahan kalium sebanyak 25 ppm sudah dapat mengurangi tingkat stres pascalarva udang vaname.

Perubahan salinitas media secara gradual dari 25 ppt hingga 2 ppt menghasilkan kisaran nilai rataan glukosa darah antara 163,04 mg/dl hingga 223,19 mg/dl. Perubahan salinitas ini direspons oleh tubuh pascalarva udang vaname dengan mensekresikan hormon glukokortikoid (kortisol) dan katekholamin yang mengontrol tubuh untuk mengatasi terjadinya stres (Barthon et al., 1980; Woodward, 1982), sehingga stres dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah. Cuzon et al., (2004) menyatakan bahwa pada golongan udang jika kadar glukosa hemolim melebihi 150 mg/dl mengindikasikan udang tersebut membutuhkan sumber energi yang lebih tinggi seperti halnya saat pembentukan kulit baru setelah proses moulting maupun mekanisme dalam mempertahankan homeostatis kadar glukosa yang telah tinggi dalam hemolim itu sendiri.

Brown (1993) menyatakan bahwa kadar glukosa darah yang tinggi dan bertahan lama pada tingkat yang tinggi mengindikasikan terjadinya tingkat stres yang sangat tinggi. Penyebab stres dapat berasal dari perubahan lingkungan dan respons organisme lain (Wedemeyer dan Mc Leay, 1981). Kadar glukosa darah dapat digunakan sebagai parameter stres yang sederhana, efektif, dan memadai untuk berbagai macam stresor, sementara itu pengukuran kortikosteroid dan katekholamin biayanya sangat mahal dan tidak praktis dalam aplikasi untuk pembenihan udang (Darwisito, 2006).

Kadar glukosa darah yang tinggi pada penelitian ini mengindikasikan tingginya tingkat stres akibat menurunnya salinitas media. Pada tingkat stres yang sangat tinggi, akan diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah yang cepat dan tetap berada pada tingkat yang tinggi, selanjutnya akan diikuti oleh kematian udang (Brown, 1993). Penurunan salinitas secara gradual mengakibatkan naiknya kadar glukosa darah pascalarva udang vaname pada akhir masa aklimatisasi. Naiknya kadar glukosa darah pascalarva udang vaname tersebut menunjukan

41

terjadinya stres akibat perlakuan penurunan salinitas media dari kisaran yang cukup tinggi yaitu dari 25 ppt menjadi 2 ppt. Penambahan kalium hingga kadar tertentu pada penelitian ini dapat mengurangi tingkat stres, tetapi penambahan kalium pada kadar yang lebih tinggi tidak selalu memberikan respon biologis yang lebih baik, namun dapat sama atau bahkan berakibat sebaliknya. Selain itu Mazeaud dan Mazeaud (1981) menyatakan bahwa kadar glukosa darah ditentukan oleh pakan, waktu akhir makan, status simpanan glikogen hati, stadia perkembangan, dan musim.

Respons stres sekunder dapat berupa mobilisasi substrat kaya energi dengan menurunkan cadangan glikogen hati, meningkatkan kadar glukosa plasma, mempengaruhi asam lemak bebas yang beredar, dan menghambat sintesis protein. Stres juga terlihat pada keseimbangan hidromineral, yaitu menyebabkan kelebihan air pada udang yang hidup di air tawar dan kehilangan air pada udang yang hidup di air laut. Stres juga dapat mengganggu sistem imunitas, dimana stres umumnya diyakini menurunkan kemampuan imunitas yang akan berdampak buruk pada pertumbuhan maupun reproduksi ikan (Darwisito, 2006).

Selain itu adanya perubahan salinitas dalam kisaran yang tinggi dapat meningkatkan laju metabolisme sehingga memicu pergerakan pernapasan dan konsumsi oksigen lebih tinggi. Tingkat konsumsi oksigen dapat digunakan sebagai parameter untuk mengetahui laju metabolisme organisme air. Semakin rendah tingkat konsumsi oksigen maka semakin sedikit energi yang digunakan untuk metabolisme sehingga semakin banyak energi yang tersedia untuk pertumbuhan.

Tingkat konsumsi oksigen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti salinitas, pakan, tingkatan aktifitas, suhu dan bobot tubuh (Mantel dan Farmer, 1983; dan Brett, 1987). Tingkat konsumsi oksigen pascalarva udang vaname terendah pada penelitian ini dijumpai pada perlakuan dengan penambahan K+ 50 ppm (0,313 mg O2/g/jam), sedangkan tertinggi pada

perlakuan tanpa penambahan K+ ke air tawar pengencer air laut (0,385 mg O2/g/jam). Menurut Zonneveld et al., (1991) bahwa produksi panas per ml

penambahan kalium dapat menekan produksi panas lebih rendah pada perlakuan B, C dan D (1,47-1,59 kalori/g/jam) dibandingkan tanpa penambahan kalium pada perlakuan A (1,81 kalori/g/jam). Hal ini dapat diartikan bahwa adanya penambahan K+ ke media aklimatisasi dapat menurunkan laju metabolisme standar sehingga tingkat konsumsi oksigen atau produksi panas lebih rendah dibandingkan tanpa penambahan K+. Roy et al., (2007) menyatakan bahwa tingkat konsumsi oksigen juvenil udang vaname di media bersalinitas 4 ppt tidak berbeda nyata, tetapi terdapat kecenderungan semakin tinggi kadar kalium di media (hingga 40 ppm) maka semakin rendah tingkat konsumsi oksigen juvenil udang vaname yang diuji.

Penelitian Tahap Kedua Hasil

Dari hasil pengamatan dan pengukuran selama penelitian tahap kedua yaitu tentang pengaruh waktu penggantian pakan alami oleh pakan buatan terhadap performa pascalarva udang vaname di media bersalinitas rendah, didapatkan data tingkat konsumsi pakan, retensi protein, retensi energi, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, sintasan dan fisika kimia media. Pascalarva 25 udang vaname dan media pemeliharaan yang dipergunakan selama percobaan mengacu pada hasil terbaik yang didapatkan dari penelitian tahap ke-1 yaitu berupa pascalarva hasil aklimatisasi di media bersalinitas 2 ppt dengan kandungan kalsium 37 ppm dan kalium 51 ppm. Hasil analisis proksimat pakan alami Chironomous sp, pakan buatan serta proksimat tubuh pascalarva udang vaname pada awal dan akhir penelitian, secara terperinci disajikan pada Lampiran 14.

Dokumen terkait