• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat pengangguran kelompok kabupaten di Provinsi Jawa Barat 2001-

Tabel 32 Sektor ekonomi Jawa Barat berdasarkan peringkat kriteria unggulan

Aspek Kriteria Keunggulan Pertanian Pertam-

bangan Industri LiGas Bangunan Perdagangan Pengang-

kutan Keuangan Jasa jasa Rata-

rata P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai 1. Kontrinbusi PDRB

- Kontb. PDRB provinsi (%) 3 13.47 7 3.07 1 43.33 6 3.22 9 2.82 2 17.56 5 5.29 8 3.02 4 8.23 - Kontb. Output (%) 3 7.48 7 3.57 1 57.20 8 3.10 6 3.83 2 12.50 5 4.10 9 2.56 4 5.69

- Kontb. NTB (%) 3 12.13 5 5.22 1 45.22 8 2.77 9 2.52 2 17.23 6 4.34 7 3.80 4 6.77

- Serapan Tenaga Kerja (%) 1 29.7 8 0.4 3 18.3 9 0.3 6 6.0 2 22.4 5 8.7 7 1.8 4 12.5 2. Sektor Basis & S.Kompetitif

- Sektor Basis / Nilai LQ - 0.97 - - 2 1.40 1 2.07 - - 3 1.22 - - - - - -

- Sektor Kompetitif / SSA - - 1 0.029 - - - - 4 0.013 3 0.018 - - 2 0.027 5 0.007

3. Keterkaitan Sektoral:

- ke belakang langsung/ DBL 9 0.12 6 0.23 1 0.53 3 0.46 2 0.53 7 0.22 4 0.32 8 0.15 5 0.30 - ke belakang total/ DIBL 9 1.196 7 1.296 2 1.888 3 1.691 1 1.932 6 1.339 4 1.527 8 1.22 5 1.496 - ke depan langsung/ DFL 8 0.095 2 0.489 1 1.288 5 0.181 9 0.02 3 0.304 6 0.136 4 0.227 7 0.113 - ke depan total/ DIBL 6 1.21 2 1.81 1 3.14 5 1.27 9 1.03 3 1.47 7 1.20 4 1.31 8 1.15 4. Dampak Pengganda:

- Pendapatan 9 1.15 6 1.31 1 1.95 3 1.70 2 1.87 7 1.29 4 1.50 5 1.39 8 1.17 1.48

- Tenaga Kerja 9 1.05 5 1.36 1 3.79 2 3.46 3 1.52 8 1.17 6 1.25 4 1.42 7 1.23 1.81 - Pajak tak langsung/ PAD 6 1.59 7 1.29 4 1.87 1 6.43 3 2.49 9 1.18 5 1.6 8 1.19 2 2.86 2.28

- PDRB 9 1.13 6 1.29 2 2.15 3 1.93 1 2.36 7 1.28 4 1.51 8 1.18 5 1.44 1.58

Keterangan: P menunjukkan peringkat

Sektor pertanian ternyata juga tidak muncul sebagai sektor kompetitif, pertumbuhan sektor pertanian Jawa Barat ini masih berada di bawah rata-rata pertumbuhan sektor pertanian nasional. Ini menjadi catatan penting bahwa ternyata sektor yang dekat dengan masyarakat Jawa Barat sendiri tidak memiliki basis yang kuat dan laju pertumbuhannya sangat lambat.

Dampak Pengganda Sektor Ekonomi

Analisis dampak pengganda (multiplier effect) mencakup dampak pengganda pendapatan, dampak pengganda serapan tenaga kerja, dampak pengganda pajak tak langsung netto (PAD) dan dampak total nilai tambah bruto (PDRB). Dari aspek dampak penggandanya, sektor industri juga merupakan sektor yang paling banyak memenuhi kriteria ini dibandingkan 8 sektor ekonomi lainnya. Angka pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerjanya adalah yang tertinggi. Sementara angka pengganda PDRB dan pengganda pajak tak langsung sektor industri masing-masing menempati posisi kedua dan keempat. Dua sektor lainnya yang menempati posisi 3 besar adalah sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor bangunan.

Sektor pertanian ternyata menempati posisi terbawah dan angka penggandanya berada di bawah rata-rata pengganda keseluruhan sektor, kecuali pengganda PAD (posisi 6). Dapat dikatakan bahwa sektor ini memiliki elastisitas peningkatan pendapatan, PDRB dan serapan tenaga kerja yang rendah, bahkan nilainya paling kecil diantara sembilan sektor perekonomian di Jawa Barat. Padahal pada sektor ini bergantung sebagian besar pekerja di Jawa Barat. Tanpa adanya perubahan besar pada teknologi dan program pembangunan pertanian, upaya peningkatan permintaan pada sektor pertanian akan kurang direspon dengan peningkatan pendapatan total rumah tangga yang signifikan.

Rendahnya dampak pengganda tenaga kerja pada sektor pertanian akibat kemampuan lahan pertanian, yang menjadi faktor produksi sektor ini, sudah berada di ambang batas kejenuhan. Artinya penambahan tenaga kerja pada petakan lahan pertanian yang sempit sudah sulit untuk memberikan tambahan unit output. Dengan output yang tidak bertambah akan menghasilkan return yang tetap, namun

harus dibagi dengan jumlah tenaga kerja yang terus bertambah. Akibat dari kondisi ini maka penerimaan petani menjadi semakin rendah.

Temuan analisis dampak pengganda ini bahwa sektor pertanian agregat sudah tidak elastis untuk serapan tenaga kerja dan memiliki elastisitas yang rendah terhadap peningkatan pendapatan. Elastisitas yang cukup tinggi dari sektor pertanian justru dari aspek pengganda pajak tak langsung (PAD), yang belum tentu dapat dinikmati oleh masyarakat tani. Implikasi dari analisis ini adalah bahwa dengan kondisi pertanian sekarang, sudah tidak layak lagi bagi pembuat kebijakan untuk menjadikan sektor pertanian sebagai katup pengaman masalah pengangguran, yang selama ini masih didengungkan. Sifat akomodatif sektor pertanian dalam menerima limpahan tenaga kerja yang tidak tertampung sektor lainnya, justru makin menambah beban petani yang berada di dalamnya. Implikasi lainnya adalah perlu dilakukan pembenahan orientasi pembangunan pertanian, agar sektor pertanian mampu memberikan dampak pengganda pendapatan yang layak bagi masyarakatnya. Aplikasi teknologi yang timpang antara sektor industri dan sektor pertanian merupakan salah satu faktor yang memperlebar kesenjangan produktivitas dan nilai tambah kedua sektor tersebut. Apabila permasalahan ini tidak segera disadari, maka sektor pertanian akan terus tertinggal dan kantung- kantung kemiskinan akan terus bertambah di wilayah pertanian.

Keterkaitan Sektoral

Keunggulan suatu sektor dilihat juga dari tingkat kekuatan antara sektor tersebut dengan sektor lainnya dalam aktivitas perekonomian. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat, berarti peningkatan output sektor tersebut dapat menarik aktivitas sektor-sektor di belakangnya (hulu). Sebaliknya sektor yang memiliki keterkaitan ke depan yang kuat, berarti peningkatan output sektor tersebut dapat mendorong aktivitas sektor-sektor di depannya (hilir). Dengan keterkaitan demikian, maka roda perekonomian dapat bersinergi dengan baik. Antara sektor perekonomian dapat saling melengkapi dan memanfaatkan seoptimal mungkin input sumberdaya alam domestik atau output sektor perekonomian di dalam wilayahnya sendiri. Dengan demikian, nilai tambah yang dihasilkan dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayah itu sendiri. Makin kuat

keterkaitan antarsektor, maka makin kecil ketergantungan suatu sektor pada barang impor sekaligus memperkecil kebocoran modal wilayah yang mengalir ke negeri lain. Dan makin bersinergi keterkaitan antarsektor, maka makin kecil jumlah produk yang diekspor dalam bentuk mentah (segar) yang bernilai tambah rendah.

Dari aspek keterkaitan sektoralnya, ternyata sektor industri juga merupakan sektor yang memiliki keterkaitan terkuat, kecuali keterkaitan ke belakang totalnya yang menempati posisi kedua setelah sektor bangunan. Sektor yang memiliki keterkaitan terkuat ke depan lainnya selain sektor industri adalah sektor pertambangan dan penggalian. Dari keterkaitan sektoral ke belakangnya, dua sektor yang termasuk ke dalam 3 sektor dengan keterkaitan ke belakang terkuat adalah sektor bangunan/konstruksi dan sektor listrik, gas, air bersih.

Tetapi ditemukan indikasi negatif dari sektor-sektor yang memiliki keterkaitan sektoral terkuat tersebut. Keterkaitan dari sektor-sektor tersebut ternyata hanya dengan sektor tertentu saja. Pada sektor industri, keterkaitan langsung terkuatnya cenderung dengan kelompok sektornya sendiri. Hal tersebut terungkap dari tabel transaksi domestik input-output. Dengan menurunkannya menjadi ’tabel persentase nilai input sektor pengguna yang berasal dari output sektor pemasok’ (Tabel 33), diketahui bahwa sekitar 63.7 persen pasokan input sektor industri pengolahan berasal dari kelompok sektornya sendiri.

Serupa dengan keterkaitan langsung ke belakangnya, keterkaitan langsung ke depan terkuat dari sektor industri pengolahan adalah dengan kelompok sektornya sendiri. Tabel 35 yang diturunkan dari tabel transaksi domestik menjelaskan hal tersebut. Sekitar 80.6 persen output sektor industri pengolahan menjadi input bagi sektor industri pengolahan lainnya. Hanya 2.2 persen dari outputnya yang dimanfaatkan oleh sektor pertanian.

Sektor bangunan, yang merupakan sektor dengan keterkaitan terkuat kedua, keterkaitan eratnya cenderung hanya dengan sektor industri pengolahan. Sebesar 79.3 persen input sektor bangunan diperoleh dari sektor industri. Sementara sektor listrik, gas dan air bersih, kaitan terkuatnya hanya dengan sektor pertambangan dan sektornya sendiri. Sektor pertambangan memasok 50.9 persen dan dari sektornya sendiri sebesar 23.5 persen. Kedua sektor ini bahkan sangat kecil keterkaitanya dengan sektor pertanian. Padahal kedua sektor ini dan sektor industri, dalam analisis sebelumnya merupakan sektor yang memiliki dampak pengganda terbesar.

Dengan nilai koefisien keterkaitan totalnya yang tinggi dan pendapatan rumah tangga sektor ini yang juga relatif lebih tinggi, maka dampak pendapatan (upah dan gaji) akan lebih banyak dinikmati oleh sektor-sektor tersebut.

Sementara dari keterkaitan totalnya, ditemui kondisi yang tidak berbeda. Sektor industri merupakan sektor yang memiliki keterkaitan total ke depan terkuat dan keterkaitan ke belakang terkuat kedua setelah sektor bangunan, dengan koefisien keterkaitannya masing-masing sebesar 3.14 dan 1.89. Ini menunjukkan bahwa kenaikan permintaan akhir sektor industri mampu memberikan pengaruh (langsung dan tidak langsung) terbesar terhadap peningkatan total output seluruh sektor perekonomian. Dapat pula dikatakan bahwa sektor ini adalah sektor yang paling kuat dalam mendorong atau menarik (sesudah sektor bangunan) peningkatan output seluruh sektor perekonomian. Dengan hanya mengacu dari informasi nilai koefisien ini, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang dipacu melalui peningkatan permintaan akhir output sektor industri, akan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan output sektor perekonomian lainnya.

Tanpa melakukan penelusuran data dan proses olahan antara, sektor industri nampak sebagai sektor unggulan yang dapat diandalkan untuk memacu pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Mirip dengan keterkaitan langsungnya, ditemui indikasi negatif dari keterkaitan kuat sektor industri ini. Adanya petunjuk negatif di balik keunggulan tersebut, terungkap dari hasil penelusuran proses olahan antara analisis input output (koefisien inputnya). Secara matematis, jika mengacu kembali notasi matriks dari tabel I-O dalam persamaan (4) pada bab Metoda Penelitian (halaman 41), dapat diturunkan persamaan matriks sebagai berikut:

(I – A)-1 . Y = X atau B . Y = X (1)

atau

(2)

Jika matriks tersebut diuraikan dalam bentuk persamaan matematis, diperoleh:                   =                                     n i n i nn n n ij n n X X X X Y Y Y Y b b b b b b b b b b 2 1 2 1 2 1 2 22 21 1 12 11 * : M

b11Y1 + b12Y2 + … b1jYj …+ b1nYn = X1 b21Y1 + b22Y2 + … b2jYj …+ b2nYn = X2 : : : (3) b31Y1 + b32Y2 + … b3jYj …+ b3nYn = X3 : : : bn1Y1 + bn2Y2 + … bnjYj …+ bnnYn = Xn + Xn

Subskrip 2 ditentukan sebagai sektor industri. Persamaan (2) dan (3) menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan permintaan akhir satu unit output sektor industri (Y2) pada persamaan (2), maka akan mempengaruhi (secara langsung dan

tidak langsung) terhadap peningkatan total output seluruh sektor perekonomian (∑Xn) pada persamaan (3). Semua output sektor ekonomi (X1 sampai Xn) akan

mengalami peningkatan, akibat tarikan permintaan akhir output sektor industri tersebut, tetapi dengan proporsi yang berbeda-beda, tergantung pada koefisien keterkaitannya (nilai bij).

Nilai bij terbesar dimiliki oleh sektor industri, yaitu elemen b22 pada persamaan (2) dan (3) dengan nilai sebesar 1.53 (Lampiran 17). Persamaan (3) memperlihatkan bahwa nilai b22 yang cukup besar, hanya akan berpengaruh terhadap total output sektor industri saja (X2), sehingga menghasilkan proporsi total

output sektor industri (X2) terhadap total output seluruh sektor ekonomi (∑Xn) yang terbesar. Proporsinya sebesar 23.1 persen untuk dampak keterkaitan total ke depan dan sebesar 13.9 persen untuk dampak keterkaitan total ke belakangnya (Lampiran 17). Nilai ini masih cukup besar dibandingkan dengan proporsi sektor lain yang terkena dampak peningkatan permintaan tersebut.

Proporsi yang cukup mencolok terlihat pada keterkaitan langsung sektor industri, di mana proporsi peningkatan outputnya sebesar 45.13 persen (untuk keterkaitan ke depan) dan 18.41 persen (untuk keterkaitan ke belakang). Nilai tersebut cukup signifikan perbedaannya, jika dibandingkan dengan dampak yang terimbas kepada sektor pertanian primer, yaitu sebesar 13.5 kalinya (pada keterkaitan total ke depan) dan 4.4 kalinya (pada keterkaitan total ke belakang) dari proporsi kenaikan sektor pertanian primer. Diketahui bahwa pada sektor pertanian primer, proporsinya hanya sebesar 3.34 persen (untuk dampak keterkaitan langsung ke depan) dan 4.16 persen (untuk dampak keterkaitan langsung ke belakangnya).

Hasil penelusuran data transaksi domestik input-output telah menunjukkan bahwa keterkaitan terkuat sektor industri cenderung terjadi di antara kelompok sektornya sendiri dan sangat lemah kaitannya dengan sektor pertanian. Kondisi ini menunjukkan fakta transaksi riil yang sebenarnya. Sedangkan penelusuran terhadap koefisien keterkaitannya (elemen matrik A dan matriks B), lebih menunjukkan pada tingkat elastisitas dan besarnya dampak akibat upaya peningkatan 1 unit output sektor ekonomi tertentu. Ditunjukkan bahwa dampak akibat upaya pengembangan sektor industri akan lebih besar mengimbas kepada sektor itu sendiri dan tidak cukup besar bagi sektor pertanian primer. Dengan demikian, sekalipun nilai gradien (elastisitas) ini tidak cukup mencolok, tetapi fakta nilai transaksi domestik menunjukkan keterkaitan asimetris yang cukup signifikan antara sektor industri dan sektor pertanian primer. Keterkaitan asimetris yang dimaksud adalah di satu sisi keterkaitan sektor industri dengan kelompoknya sendiri sangat kuat, sementara keterkaitannya dengan sektor pertanian sangat lemah.

Tidak ada satu sektor ekonomi pun yang benar-benar memanfaatkan produk pertanian domestik. Dari Tabel 33 terungkap bahwa tidak ada satu sektor pun yang memiliki kaitan langsung yang kuat dengan sektor pertanian. Produk sektor pertanian yang menjadi input sektor industri hanya sebesar 9.0 persen dari total input yang digunakannya, porsinya masih lebih kecil dibandingkan dengan input yang berasal dari sektor perdagangan, hotel dan restoran (11.2 %). Rendahnya persentase nilai transaksi dari sektor pertanian menunjukkan bahwa industri pengolahan di provinsi ini tidak banyak menggunakan output dari sektor pertanian primer. Hal tersebut karena jumlah industri yang banyak terdapat di provinsi ini adalah industri nonpertanian yang tidak memiliki keterkaitan erat dengan sektor pertanian primer. Data publikasi BPS Provinsi Jawa Barat (2006) menunjukkan bahwa sekitar 72.02 persen dari total industri di Jawa Barat merupakan industri nonpertanian. Lemahnya keterkaitan tersebut juga memberikan isyarat telah terjadinya kesenjangan teknologi yang diterapkan antara sektor pertanian dengan sektor industri. Kondisi ini menyebabkan kuantitas dan kualitas output sektor pertanian yang dihasilkan tidak dapat memenuhi persyaratan standar input sektor industri.

Di sisi lain, sebenarnya sektor pertanian memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan sektor industri. Dari Tabel 34 terungkap bahwa produk antara yang

Dokumen terkait