• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 19 Keterkaitan sektoral tebu, industri gula pasir dan industri kaitannya

6. Unggas dan hasil-hasilnya

6. Unggas dan hasil-hasilnya

Pemusatan produksi unggas dan hasil-hasilnya, tersebar di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat dengan pemusatan jenis unggas (ayam buras/ayam ras/ ayam petelur/itik) yang berbeda-beda. Kesesuaian unggas tidak banyak bergantung pada ciri atau kualitas lahan, sehingga setiap kabupaten dapat menjadi lokasi peternakan ini, kecuali wilayah dengan pemukiman penduduk yang sangat padat. Keamanan dan penerimaan masyarakat merupakan faktor utama kesesuaian ternak unggas. Hal tersebut disebabkan polusi dan limbah kotoran unggas yang mengganggu lingkungan masyarakat menjadi faktor pembatas yang sulit diatasi. Faktor pemanfaatan lahan unggas yang dapat menempati berbagai jenis pemanfaatan lahan, menyebabkan analisis konsistensi unggas ini tidak dapat ditunjukkan dan dibutuhkan kajian lapang lebih detil.

Dari rangkaian analisis, maka sektor pertanian yang telah dibahas (dari kelompok pertanian primer dan agroindustri) merupakan sektor unggulan yang memenuhi ketiga kriteria tujuan pembangunan daerah. Industri makanan lainnya, dengan sisi positif keunggulannya, merupakan kelompok industri yang sangat berperan sebagai agroindustri pengolah dari banyak jenis pertanian primer yang telah diidentifikasi sebagai 10 sektor pertanian primer utama yang memiliki keunggulan hasil analisis I-O 86 sektor (Tabel 37).

Dengan keterbatasan informasi pada peta RTRW, maka untuk sektor agroindustri dibutuhkan kajian lebih detil untuk mengetahui kekonsistenan pemanfaatan lahan yang sesungguhnya. Pada analisis ini, sektor agroindustri diasumsikan menempati kawasan industri yang telah ditetapkan, dengan argumen bahwa kawasan industri yang telah eksis baru menempati setengah dari kawasan yang telah ditetapkan.

Lemahnya Koordinasi Antarinstansi dan Keterbatasan Peta Detil

Dari dua peta yang digunakan, yaitu Peta Arahan Pertanian dan Peta RTRW, ditemui ketidaksesuaian pemanfaatan lahan. Padahal pedoman tersebut menjadi

rujukan bagi para stakeholder dan pengambil keputusan atau kebijakan. Mengacu pada Peta Arahan Pertanian, terdapat sebagian area arahan budidaya yang menempati kawasan lindung pada peta RTRW. Sebagai contoh adalah pada area bagian selatan dari kabupaten Sukabumi, Garut, Tasikmalaya dan Cianjur. Pada Peta Arahan Pertanian, area tersebut diarahkan untuk perkebunan dataran rendah dan peternakan, tetapi pada peta RTRW ditetapkan sebagai kawasan lindung. Hal yang sama terjadi di Kabupaten Bandung bagian selatan. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa pemanfaatan lahan untuk pertanian (kondisi aktual dari peta

landuse) lebih mengacu atau sesuai dengan Peta Arahan Pertanian dibandingkan

dengan acuan Peta RTRW. Hal ini diindikasikan dengan banyak aktivitas pertanian (pada peta landuse), terutama usaha kebun campuran, yang berada di lokasi kawasan lindung (pada peta RTRW). Ketidaksesuaian informasi dapat disebabkan oleh skala peta yang beragam antar instansi dan pada umumnya belum tersedia dalam skala yang detil, sehingga memungkinkan terjadinya generalisasi yang cenderung menghasilkan interpretasi yang bias. Dengan demikian, koordinasi antar instansi yang melegalisasi pedoman tersebut menjadi penting agar tidak terjadi inkonsistensi antara rencana tata ruang yang telah ditetapkan dengan pelaksanaan riil di lapangan.

Permasalahan lainnya adalah tidak tersedianya peta skala detil pada instansi-instansi di tingkat provinsi atau tersedia dengan tingkat kedetilan yang berbeda-beda. Peta existing landuse, yang diinterpretasikan dari hasil citra, pada umumnya memiliki skala yang lebih detil. Namun ketersediaan peta ini tidak diimbangi dengan ketersediaan peta RTRW dengan kedetilan yang sama. Keberagaman tingkat kedetilan peta seperti ini menjadi kendala untuk menggali lebih dalam kekonsistenan pemanfaatan lahan di tingkat provinsi. Sehingga untuk mengkaji konsistensi pemanfaatan lahan aktual tingkat provinsi harus merujuk pada peta-peta di tingkat kabupaten. Bahkan kondisi yang sering terjadi bahwa data detil di wilayah administratif yang lebih rendah, tidak dimiliki oleh instansi dengan jenjang administratif yang lebih tinggi. Pada abad serba teknologi ini, keterbatasan yang dulu memang menjadi kendala dalam penyediaan dan kompilasi data, seharusnya saat ini sudah dapat dipecahkan.

Peta detil tidak akan menjeneralisasi lahan budidaya yang berada di dekat kawasan lindung menjadi seluruhnya kawasan lindung atau sebaliknya. Dari peta

RTRW provinsi, dapat dilihat bahwa lebih dari separuh wilayah Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut Tasikmalaya dan Ciamis, terutama di bagian selatan sampai tengah kabupaten, ditetapkan sebagai kawasan lindung. Dari informasi ini saja, tanpa mengaitkan dengan kondisi sebenarnya di lapangan, sudah dapat disimpulkan bahwa kondisi demikian tidak akan memberikan ruang leluasa bagi masyarakat setempat untuk melakukan kegiatan usahanya. Padahal kabupaten ini seluruhnya merupakan kabupaten pertanian yang masyarakatnya sangat bergantung pada lahan pertanian.

Aspek kekonsistenan dengan tata ruang, yang menunjukkan bahwa pada umumnya aktivitas sektor pertanian tidak menempati kawasan lindung; penerimaan masyarakat akan aktivitas pertanian unggulan; dan dukungan kesesuaian lahan; hanyalah sebagian dari banyak kriteria keunggulan sektor untuk tujuan pembangunan keberlanjutan. Dengan demikian, keterbatasan aspek analisis ini dan juga penggunaan data tingkat provinsi yang tidak dapat menjangkau informasi detil, tidak dapat menunjukkan secara tepat kelayakan suatu sektor di lokasi yang sebenarnya. Hanya saja hasil analisis ini dapat menjadi informasi awal untuk kajian yang lebih detil dan menjadi bukti akan kebutuhan data yang detil, saling terkait/terkoordinasi antar instansi yang berwenang mengeluarkannya.

Gambar 25 Peta kesesuaian tembakau dan lokasi pemusatannya.

Gambar 27 Peta kesesuaian tebu dan lokasi pemusatannya.

Diketahui dari analisis I-O sebelumnya bahwa dampak pengganda pendapatan dan keterkaitan sektoral sektor pertanian primer rendah, walaupun sebenarnya sektor ini memiliki potensi keterkaitan sektoral yang kompleks. Tetapi diketahui bahwa pertanian primer unggulan ini ternyata merupakan sektor hulu dari agroindustri unggulan, yang memiliki keunggulan tersebut (termasuk pengganda pendapatan) selain unggul dalam aspek keterkaitan sektoralnya. Implikasi hasil analisis ini adalah pentingnya upaya mengaitkan usaha (diversifikasi usaha) budidaya pertanian primer petani ke arah agroindustri hilir. Hal itu tidak hanya akan memberikan perbaikan nilai tambah produk dan pendapatan petani, tetapi juga akan memperkuat keterkaitan sektoral sektor pertanian primer, terutama dengan industri utama kaitannya.

Pada pembahasan analisis kinerja pembangunan, diketahui bahwa sektor pertanian dan wilayah pertanian (termasuk masyarakat di dalamnya) mengalami ketertinggalan dibandingkan sektor industri /jasa dan wilayah basis jasa/industri. Hal tersebut disebabkan program percepatan pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan, yang pada umumnya didukung oleh sektor industri dan jasa. Oleh karena itu arahan pembangunan yang terkait dengan pengembangan sektor unggulan adalah memperkuat sektor pertanian, termasuk wilayah pertanian dan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Untuk prioritas pembangunan, hal tersebut dapat dilakukan dengan: (1) pengembangan sektor unggulan dengan menyesuaikan antara karakteristik sektor unggulan dengan permasalahan spesifik wilayah dan (2) penguatan keterkaitan sektoral dan antarwilayah dari masing-masing sektor unggulan dan (3) pembangunan fasilitas urban di wilayah perdesaan pertanian.

Untuk percepatan pembangunan, upaya diversifikasi usaha atau pemantapan agroindustri hilir unggulan yang telah ada, dapat diterapkan dengan menyesuaikan karakteristik keunggulan sektor tersebut dengan permasalahan wilayah. Industri unggulan yang memiliki dampak pengganda pendapatan yang tinggi, dapat dikembangkan di pusat-pusat budidaya pertanian primer unggulan yang memiliki tingkat kesejahteraan rendah. Khusus untuk industri yang juga berpotensi dalam serapan tenaga kerja, dapat dikaji kemungkinan pengembangannya di kabupaten yang memiliki permasalahan tingkat pengangguran tinggi disamping tingkat

kesejahteraan yang rendah. Industri yang telah ada didorong untuk meningkatkan kinerja usahanya. Industri ini juga dapat dikembangkan di wilayah pertanian untuk menyerap kelebihan tenaga kerja (setengah pengangguran) di sektor pertanian.

Penguatan keterkaitan antarsektor dan antarwilayah di Jawa Barat dapat diupayakan dengan mengoptimalkan produktivitas dan kinerja usaha sektor ungulan di masing-masing lokasi pemusatannya. Pada lokasi pemusatan pertanian primer, upaya itu dapat dilakukan melalui perbaikan teknologi budidaya hingga pemasaran, sehingga dapat berproduksi secara optimal dengan produk berkualitas dan dapat memenuhi permintaan agroindustri hilirnya di lokasi pemusatan. Pada lokasi pemusatan industri kaitan pertanian primer unggulan tersebut, industri unggulan tersebut perlu didorong untuk berproduksi optimal dengan memenuhi kapasitas terpasang industri. Dengan kerja sama seperti ini, maka masing-masing sektor unggulan di wilayahnya dapat memperkuat keterkaitan sektoral dan antarwilayah sehingga mampu menyumbang terwujudnya perekonomian provinsi yang kokoh dan mandiri.

Kerja sama antarsektor dan antarwilayah dari masing-masing lokasi pemusatan sektor unggulan haruslah merupakan kerja sama yang berimbang posisi tawarnya. Dari hasil analisis kinerja pembangunan terungkap bahwa kesempatan masyarakat di wilayah pertanian untuk mengakses fasilitas pelayanan pokok masih rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan reorientasi kebijakan dan realokasi anggaran pembangunan ke wilayah pertanian, melalui pembangunan fasilitas urban di wilayah perdesaan pertanian dan perbaikan teknologi pertanian. Dengan terbentuknya replikasi kota di daerah perdesaan pertanian dan aplikasi teknologi pertanian yang kompetitif, diharapkan setiap wilayah dengan kekuatan yang berimbang dan keunggulan basis sumberdaya yang berbeda, dapat saling memperkuat dan menjalin kerja sama tersebut. Dengan kondisi ini maka berbagai permasalahan yang pernah terjadi, seharusnya secara berangsur-angsur akan berkurang dan kinerja pembangunan di Jawa Barat dapat lebih ditingkatkan.

Penguatan Keterkaitan Sektoral dan Keterkaitan Antarwilayah Sektor Unggulan

Potensi keterkaitan sektoral dan regional kabupaten dari sektor unggulan ditunjukkan pada Peta Pemusatan Komoditi Pertanian Primer, Industri Kaitannya

dan Tingkat Kesejahteraan di Jawa Barat (Gambar 29 sampai dengan Gambar 34). Peta ini memuat informasi (1) tingkat kesejahteraan, (2) tingkat pengangguran, (3) lokasi pemusatan pertanian primer, (4) industri olahan primer dan (5) industri olahan antara atau olahan lanjutan, yang sudah terkait jauh dengan pertanian primernya. Data pendukung peta ditampilkan pada Tabel 53 sampai Tabel 58. Lokasi pemusatan yang disajikan adalah lokasi (kabupaten/kota) yang diidentifikasi memiliki lahan yang sesuai (S2) atau sesuai marjinal (S3) untuk komoditi pertanian unggulan tersebut.

Dokumen terkait