• Tidak ada hasil yang ditemukan

0-15% 15-35% 35-60% >60% 1. 2. 3. 4. Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi C1-5 C1-5 C2-5 C2-5 C1-5 C1-5 C2-5 C5 C1, C5, C6 C1, C5, C6 C5, C6 Tidak Dipanen C5, C6 C5, C6 Tidak Dipanen Tidak Dipanen C1 Crawler Traktor C4 Hewan sarad/Manusia C6 Sistem Skyline

C2 Skidder/Forwarder C5 Helikopter

C3 Flexibke Track Machine(FMC)/Low Ground Pressure Tractors

Menurut FAO (1978), organisasi kerja sangat penting dalam pekerjaan kehutanan untuk memanfaatkan sumberdaya yang tersedia (tenaga kerja dan peralatan) dengan baik dalam produksi sesuai dengan tugas masing-masing. Organisasi kerja tersebut antara lain berupa :

Kegiatan

1. Perencanaan yang mendetail

2. Membuat rangkaian kegiatan penebangan 3. Menentukan jumlah kelompok kerja 4. Perencanaan keselamatan kerja 5. Pengorganisasian jam kerja 6. Pengaturan waktu istirahat

7. Kegiatan berkelanjutan yang positif

Dampak/Manfaat

1. Penggunaan mesin dan peralatan secara optimum

2. Keamanan kerja dan effisiensi 3. Efisiensi secara ekonomis 4. Beban kerja yang rendah

5. Kerja yang baik dengan effisiensi tinggi 6. Kepuasan pekerja dan tenaga kerja 7. Bermanfaat untuk pekerjaan berikutnya

Penyaradan dengan Kabel

Menurut FAO (1974), sistim penyaradan dengan kabel adalah metode transportasi jarak pendek bagi kondisi lapangan dimana crawler traktor atau wheeled skidders tidak dapat bekerja dengan memuaskan, seperti di rawa-rawa atau areal dengan kelerengan sangat curam (>50%). Sedangkan menurut Balitbang Kehutananan (1998), sistim penyaradan dengan kabel adalah cara mengeluarkan kayu dari tempat penebangan ke tempat pengumpulan sementara (TPn/Landing) di tepi jalan angkutan melalui kabel baja yang terbentang di udara dengan menggunakan tenaga dari mesin penggulung kabel yang disebut yarder.

Suparto dalam Elias (1999) menyebutkan beberapa pertimbangan lain dalam memilih sistim kabel selain menyelamatkan lingkungan, yaitu :

1. Lereng bukan penghalang bagi sistim kabel, sedangkan penyaradan dengan traktor terbatas maksimum pada lereng 40%, (areal HTI umumnya < 25%). 2. Sistim kabel dapat berfungsi pada medan datar sampai 100%. Namun pada

medan datar sistim kabel kurang cocok.

3. Sistim kabel dapat berfungsi di medan basah yang menyulitkan traktor. 4. Sistim kabel tidak memiliki mobilitas seperti sistem traktor.

5. Waktu siklus pada penyaradan di tanah berkisar antara 10 sampai 63 menit permuatan, sedangkan sistem kabel lebih cepat untuk jarak yang sama.

6. Biaya modal sistim kabel yang sangat tinggi ditambah biaya pasang bongkar dan pemindahan, menyebabkan biaya tetap sistim kabel jauh lebih tinggi daripada traktor, bahkan beberapa traktor.

7. Sistim kabel memerlukan pekerja sampai 10 orang, sedangkan sistim traktor untuk produktivitas yang sama hanya 5 orang.

Dari ketujuh poin tersebut, menurut Suparto dalam Elias (1999) melihat kepada kondisi medan HTI pada umumnya, hanya butir ke-5 saja yang dapat mendukung penggunaan sistim kabel di areal HTI.

Dalam membuka areal hutan yang akan menerapkan sistim kabel, ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan secara detil yaitu jalan hutan dan jalur saradnya maupun jalan sarad yang akan berhubungan langsung dengan rute kabel dan jarak antar setiap penggulung kabel (yarder) (FAO, 1978). Jalan hutan adalah jalan tanah yang dibuat dengan biaya minimum tanpa diperkeras, lebar 2,5

sampai 3 m atau selebar alat yang akan melewati jalan tersebut. Spasi jalan tergantung pada kondisi lapangan, biasanya sekitar 100-200 m. Adapun jalan sarad adalah koridor alam yang dibuat antara tegakan untuk mengeluarkan kayu menuju jalan hutan. Lebarnya rata-rata 2,5-3 m dengan kelonggaran 1 m. Untuk daerah curam jalur sarad dibuat dengan gradien. Belokan harus seukuran panjang kayu maksimum yang disarad. Spasi jalan dipengaruhi keadaan lapangan, namun pada tegakan muda spasi jalan harus 15-20 m.

Masih menurut FAO (1978), apabila spasi jalur sarad mencapai 100 m karena kondisi lapangan tidak memungkinkan spasi lebih dekat, maka areal tersebut harus dibuka dengan menggunakan kabel. Spasi kabel mencapai 5-10 m dengan arah kabel dipengaruhi topografi lapangan, mesin penggulung yang digunakan, tahap pekerjaan yang akan dilakukan dan tipe pembagian batang yang diinginkan. Sesuai peraturan, jalur kabel pada daerah curam diarahkan 90o hingga mencapai jalur sarad terdekat, namun bila sudut yang diperoleh lebih kecil, kabel diarahkan langsung dari landing sehingga lebih efisien. Koridor kabel ditentukan keadaan lapangan, alat yang dipakai dan sistem pemanenan yang digunakan.

Budiaman (1996) dalam Cahyana (2000) menyebutkan bahwa secara umum sistim kabel terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu :

1. Penggulung tunggal (Independent bunching winches), yaitu sistim kabel dengan penggulung (winch) di belakang traktor skidder, crawler atau unitruck berkecepatan tinggi. Bentuk penyaradan sederhana, hanya menggunakan satu unit mesin dan sebuah penggulung (drum) yang terhubung oleh kabel. Pada sistim ini kayu disarad menyentuh tanah sehingga bergesekan dengan tanah.

2. Penggulung ganda (Highlead), yaitu sistim kabel dengan dua drum. Muatan ditarik melalui tanah dengan jarak sarad relatif pendek (200 m). Sistim ini digunakan untuk kegiatan tebang habis. Dampak pemanenan cukup besar dan kerusakan tanah dengan sistim ini dapat menimbulkan masalah erosi serius. 3. Kabel Layang (Skyline). Sistim ini dapat menyarad dengan jarak lebih jauh

dari sistim highlead. Metode paling modern dilengkapi dengan skyhook yang mempunyai choker kuat sehingga kayu aman sampai ke tempat tujuan.

Ada beberapa macam sistim kabel dengan penggulung tunggal yaitu : a. Stenzel et_al (1972) menyebutnya sistim penyaradan dengan traktor yang dilengkapi sebuah penggulung (winch). Winch memegang peranan paling penting dalam menyarad secara efisien dibantu oleh gigi-gigi mesin, drum, rangka mesin dan juga rem. Dalam pelaksanaannya, traktor ditempatkan pada areal datar dan kabel dibawa atau diulurkan ke arah kayu. Kemudian kabel diikatkan pada kayu lalu ditarik dengan menggunakan winch. Sistim ini dapat digunakan pada areal berawa, pegunungan yang terjal ataupun daerah berbatu. b. Winching (Elias, 1999), yaitu sistim pengumpulan log dari beberapa jarak

dimana posisi mesin tetap. Metode ini digunakan untuk memindahkan kayu dari tunggak bila penyaradan terhambat lumpur atau tunggak, juga untuk menghindari kerusakan tegakan sisa. Jarak maksimum kayu 50 m. Winching dilakukan apabila traktor atau alat lainnya tidak dapat menuju areal tegakan. Penguluran kabel dilakukan secara manual. Apabila log sudah terkumpul di tepi jalan, kayu dibagi menjadi beberapa sortimen, sehingga pengangkutan akan lebih mudah dilakukan.

Ada dua komponen utama dalam sistim ini, yaitu drum yang mendapat tenaga dari mesin untuk menarik dan mengulurkan kabel serta kabel dengan panjang dan ketebalan yang bervariasi. Umumnya digunakan kabel dengan panjang 30 m dan diameter 19 mm. Pada ujung kabel ada pengait untuk mengaitkan kabel saat dilingkarkan pada kayu ketika akan disarad.

c. Independent Bunching Winches. FAO (1981). Sistim digunakan untuk mengumpulkan kayu-kayu berukuran kecil ke sisi jalan dengan menggunakan traktor, skidder atau forwarder pada areal rata maupun dengan derek dan kabel pada areal curam agar pengumpulan dapat berjalan lebih efisien dan ekonomis. Winch berfungsi memperpendek jarak sarad sehingga kayu langsung dapat dimuat ke atas trailer atau truk untuk diangkut. Karena tidak memiliki kabel haul back, maka kabel sarad harus dibawa ke arah kayu secara manual. Sistim minimal memerlukan seorang operator dan seorang chokerman. Untuk memudahkan penyaradan dari berbagai arah digunakan katrol untuk merubah arah kabelnya sedangkan derek tetap pada posisi sebelumnya.

d. Tinambunan (1989) menyebut sistim kabel ini sebagai sistim "Jammer" . Sistim ini adalah sistim ekstrasi kayu jarak pendek yang merupakan perpaduan sistim traktor dan sistim kabel. Mesin dilengkapi drum dan menggunakan tower atau tiang kerekan. Ketika dioperasikan, "Jammer" ditempatkan di tepi jalan hutan, kabel dari drum dilewatkan melalui katrol pada tiang terus ditarik secara manual ke arah kayu yang akan diambil. Kayu dicekam dengan penjepit kemudian kabel digulung kembali ke drum dengan tenaga mesin sehingga kayu terseret ke pinggir jalan. Sistim ini hanya bisa menanjak dan apabila dilengkapi kabel haul back sistim dapat mencapai jarak sarad 90 sampai 215 m, tetapi apabila tidak jangkauannya hanya mencapai 30- 90 m. Keuntungan dari sistim ini adalah :

a. Biaya investasi dan operasi kecil b. Mudah dipindah-pindahhkan

c. Pemeliharaannya mudah sehingga dapat ditangani operator sendiri d. Hanya memerlukan sedikit pekerja

Adapun kelemahannya adalah :

a. Karena jarak sarad maksimum pendek maka intensitas jalan tinggi

b. Karena kabel dan muatan bergerak di permukaan tanah kecepatannya akan rendah sehingga tanah terganggu dan muatan sering tersangkut di tunggak. Sistim ini adalah sistim sederhana, mudah dioperasikan dan hanya digunakan

untuk operasi berskala kecil (McGonagill, 1978 dalam Tinambunan, 1989). Penyaradan dengan sistim kabel berdrum tunggal umumnya dilakukan naik lereng. Ada beberapa keuntungan maupun kelemahan dari penyaradan naik lereng ini, Dykstra et_al (1996) merumuskan hal tersebut sebagai berikut :

KEUNTUNGAN KELEMAHAN

1. Air tidak terkonsentrasi di landing penyebab tanah basah dan lembek, karena letak landing di atas lereng 2. Kayu yang disarad lebih mudah

untuk dikontrol

3. Lereng yang terlalu curam dapat dihindari agar penyaradan dapat berlangsung secara aman

1. Menarik naik lereng memerlukan tenaga yang lebih besar daripada turun lereng

2. Alat yang digunakan mungkin akan merusak tanah bila bekerja secara langsung di lereng karena akan memindahkan top soil pada saat alat memperbaiki traksinya

Membuka areal yang akan diekstrasi dengan kabel harus direncanakan secara detail, FAO (1978) mengurutkan setiap detilnya sebagai berikut :

1. Memastikan daerah yang akan dibuka dan diekstrasi 2. Memastikan arah pengekstrasian kayu

3. Penetapan batas-batas daerah yang akan diekstrasi (titik awal dan akhir) 4. Meninjau ulang areal dan memilih jalan terbaik. Fokus pada jalan yang

sudah ada

5. Penentuan metode ekstrasi (jalan hutan, jalur sarad, rute kabel dan koridor) 6. Penetapan lokasi landing dan mengetahui letak pabrik

7. Penandaan jalur dan rute kabel termasuk pohon yang akan ditebang atau digunakan

8. Memutuskan apakah ujung log harus diarahkan pada jalur ekstrasi atau sebaliknya

9. Penentuan arah rebah

Dalam memutuskan apakah penyaradan akan naik lereng ataupun turun lereng harus dilakukan evaluasi atas keduanya, FAO (1996). Ada beberapa pertimbangan agar penyaradan berlangsung optimum (FAO, 1978), yaitu :

1. Kerusakan tegakan harus seminimum mungkin

2. Penyaradan seharusnya tidak menyebabkan erosi dikemudian hari

3. Para pekerja jangan mendapat tekanan yang berlebihan atau dimanfaatkan untuk kegiatan berbahaya dalam suatu rangkaian penyaradan

4. Penyaradan seharusnya dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Kondisi kayu seharusnya tidak menghambat penyaradan

5. Saat sistim penyaradan telah dipilih, ukuran kayu ikut menentukan

6. Biaya penyaradan seharusnya dijaga serendah mungkin, namun bagaimanapun juga biaya ini ikut mempengaruhi biaya total pemanenan

Menurut Stenzel et_al (1985) dalam Cahyana (2000) penyaradan kayu dengan menggunakan kabel mempunyai keuntungan sebagai berikut :

1. Karena log disarad tidak menyentuh tanah, maka sistim dapat digunakan di daerah berawa, berbatu, lereng terjal dan tempat lain dengan topografi kasar 2. Dapat digunakan untuk turun lereng atau naik lereng serta menyusuri kontur 3. Dapat dioperasikan untuk segala macam musim

Sedangkan kerugian menggunakan sistim ini adalah :

1. Jarak penyaradan pada kabel dibatasi oleh panjang kabel pada drum 2. Sistim highlead hanya cocok untuk sistem tebang habis dan dapat

menyebabkan kerusakan tegakan tinggal sedang sistem skyline tidak. 3. Memerlukan banyak tenaga kerja dengan depresiasi alat dan biaya

pemeliharaan yang tinggi

4. Biaya penyaradan, perlengkapan dan pembongkaran serta pemasangan sistem kabel tetap perhektar tanpa memperhatikan potensi tegakan akibatnya biaya per unit volume naik jika volume tegakan per hektar turun

Penyaradan dengan Traktor

Traktor adalah alat yang dapat merubah tenaga mesin menjadi tenaga traksi dan digunakan sebagai tenaga penarik atau pendorong (Rahmanto, 1996). Juta (1954) membedakan traktor dari tipe bannya, yaitu traktor berban karet (wheel tractor) dan traktor berban baja (crawler traktor). Sedangkan menurut besarnya tenaga yang dimiliki, Simmons (1951) membedakan traktor menjadi traktor ringan (17-25 hp), traktor sedang (40-70 hp) dan traktor berat (>80 hp).

Elemen kerja penyaradan dengan traktor dibagi menjadi (Conway, 1982) : 1. Menuju tempat penyaradan (return). Kegiatan dimulai dari landing sampai ke

tempat penebangan. Membuat jalan sarad baru bila diperlukan.

2. Pengumpulan (bunching) dan pemuatan (loading). Kegiatan dimulai ketika traktor masuk areal tebangan, dilanjutkan dengan maneuver-manuver persiapan menyarad seperti memasang capit, memasang choker dan lainnya. 3. Menyarad (skidding), dimulai dari areal tebangan sampai tujuan yaitu landing. 4. Pembongkaran muatan (unloading), kegiatan antara lain melepas kait,

penurunan muatan dan gerakan-gerakan lain untuk mengatur kayu sebelum pengangkutan.

5. Waktu-waktu tertunda (delay), yang dapat terjadi pada setiap elemen kerja penyaradan. Waktu tertunda produktif antara lain membuat jalan sarad baru, sedang yang tidak produktif dimisalkan karena kerusakan mesin dan menunggu alat lain membereskan log untuk disarad (prebunching)

Simmons (1951) mengemukakan beberapa faktor ekonomi yang harus diperhatikan dalam menggunakan traktor sebagai alat sarad, yaitu :

1. Investasi modal yang besar

2. Memerlukan kerja kontinyu untuk menghindarkan biaya penyusutan yang besar

3. Penebangan dan pembagian batang harus ditingkatkan untuk mengimbangi biaya traktor

4. Memerlukan tenaga kerja dengan keahlian tinggi

5. Tidak bekerjanya traktor lebih berakibat serius dibandingkan hewan 6. Traktor bisa bekerja dengan baik tanpa istirahat (dua atau tiga shift sehari) 7. Dapat menarik beban yang lebih besar

8. Traktor bertenaga sarad lebih besar dibandingkan dengan tenaga hewan, Ada beberapa istilah digunakan dalam menyarad kayu dengan traktor menurut Brown (1949) dan Conway (1976). Istilah tersebut adalah :

1. Hauling, yaitu pemindahan kayu dari dalam hutan ke tempat penimbunan kayu (TPK ataupun logpond) atau ke tempat penggergajian.

2. Bunching, yaitu pengumpulan kayu hasil tebangan dari tunggak ke tempat pengumpulan sementara atau tempat pengumpulan kayu (TPn)

3. Skidding, yaitu proses pegumpulan kayu dari tunggak ke landing dengan cara disarad oleh traktor, dimana kayu menyentuh tanah seluruhnya atau sebagian

Waktu Kerja

Waktu kerja menurut Sanjoto (1958) adalah waktu yang benar-benar dipakai mengerjakan pekerjaan dengan waktu istirahat atau waktu diam. Waktu kerja terbagi dua yaitu analitical work yang menentukan apa yang harus dikerjakan dan constructive work yang menentukan waktu standar sebenarnya untuk setiap pekerjaan. Menurut Barnes (1986), waktu kerja dapat digunakan untuk mengetahui :

1. Pengaruh penambahan kondisi kerja terhadap hasil kerja 2. Akibat dari kondisi kerja

3. Waktu yang diperlukan untuk melakukan suatu pekerjaan

Wiradinata (1981) menuturkan bahwa dalam pemanenan hasil hutan, waktu erat hubungannya dengan biaya. Untuk itu ada tiga golongan waktu, yaitu : 1. Waktu total, yaitu seluruh waktu yang diperlukan untuk melakukan suatu

2. Waktu tetap, yang merupakan bagian dari waktu total yang dianggap tetap tetapi tidak dipengaruhi jarak, diameter dan lain-lain

3. Waktu variabel, yaitu waktu yang dipengaruhi jarak, diameter dan lain-lain Sanjoto (1958) membagi waktu kerja menjadi dua golongan, yaitu:

1. Waktu kerja murni, yaitu waktu untuk mengerjakan pekerjaan pokok.

2. Waktu kerja umum, yaitu waktu untuk pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan produktif, tetapi diperlukan untuk kelancaran pekerjaan, dimana besarnya adalah 15 - 20 persen dari waktu kerja murni. Waktu kerja umum terbagi lagi menjadi:

a. Waktu berhenti atau waktu diam, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk persiapan pekerjaan pokok dan perbaikan pada akhir pekerjaan.

b. Waktu hilang, yaitu waktu berhenti bekerja terbagi menjadi dua yaitu: (1) Waktu hilang yang dapat dihindarkan.

(2) Waktu hilang yang tidak dapat dihindarkan.

Penelitian Waktu Kerja

Menurut Juta (1954), penelitian waktu kerja adalah teknik pengukuran kerja untuk mencatat jangka waktu dan perbandingan kerja mengenai unsur pekerjaan tertentu yang dilaksanakan dalam keadaan tertentu pula serta menganalisa keterangan sampai ditemukan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan itu pada tingkat prestasi tertentu, sedangkan tujuannya adalah untuk menetapkan waktu yang diperlukan oleh pekerja normal dalam keadaan baik untuk menyelesaikan pekerjaan.

Menurut ILO (1976), penelitian waktu kerja adalah teknik pengukuran kerja untuk mencatat jangka waktu dan perbandingan kerja mengenai suatu unsur pekerjaan tertentu serta untuk menganalisa keterangan sehingga ditemukan waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan pada tingkat prestasi tertentu.

Lain lagi dengan Soemitro (1976), yang mengatakan bahwa penelitian waktu kerja (time study) adalah teknik menentukan waktu untuk mengerjakan suatu tugas tertentu berdasarkan isi pekerjaan tersebut ditambah prosentase kelelahan dan keterlambatan. Tujuannya untuk menentukan waktu standar suatu pelaksanaan kerja, yaitu waktu yang diperlukan seorang pekerja berpengalaman dan ahli dalam pelaksanaan kerja dengan cara tertentu dan kecepatan normal.

Lebih lanjut Soemitro (1976) mengemukakan bahwa maksud dari penyelidikan waktu kerja adalah untuk melaksanakan pekerjaan dengan usaha yang efisien, sehingga tidak terdapat kerugian waktu dan energi. Sedangkan menurut Barnes (1980), dengan penelitian waktu kerja dapat diadakan perubahan cara kerja yang akan mengurangi hilangnya waktu, sehingga output lebih tinggi dan efisiensi data dapat ditingkatkan.

Sanjoto (1958) dan ILO (1976) menjelaskan tentang metode pengukuran waktu kerja yang terpenting adalah sebagai berikut :

Metode berturut-turut (cummulative method). Pelaksanaan metode ini menggunakan satu stopwatch yang jarumnya terus bergerak tanpa kembali ke nol pada akhir tiap unsur. Waktu untuk setiap unsur didapat dengan mengurangi tiap unsur kerja berurut. Keuntungan dari metode ini adalah meski ada unsur yang tercecer tidak akan berpengaruh pada waktu keseluruhan. Metode berulang kembali (nullstop method). Metode ini menggunakan dua

stopwatch yang beroperasi bergantian, jika yang satu hidup maka yang lainnya mati. Pada pelaksanaannya jarum stopwatch dikembalikan ke nol pada akhir setiap unsur kerja, sehingga waktu untuk tiap unsur kerja langsung diperoleh.

Soemitro (1976) dan Barnes (1968) memberikan suatu rumusan untuk menentukan jumlah pengukuran terhadap siklus pekerjaan dan memeriksa apakah jumlah pengamatan telah memenuhi tingkat kepercayaan yang diharapkan. N’ = [ k/s • {N(•x2) – (•x)2}]2 , Dimana N’ = jumlah siklus yang diperlukan

• x k/s = tingkat kepercayaan & kecermatan x = waktu representatif dari unsur kerja N = jumlah siklus yang terkumpul

Jika N > dari N’ berarti siklus kerja sudah cukup, demikian sebaliknya. Menurut Somitro (1976), x diisi unsur kerja yang paling besar variasi waktunya, sehingga perlu contoh uji yang banyak. Untuk mengetahui variasi, maka ditetapkan koefisien variasi yang diperoleh dari hasil bagi antara simpangan baku dengan nilai tengahnya. Nilai k tergantung dari tingkat kepercayaan yang diharapkan. Jika tingkat kepercayaan 95 % maka k = 2 dan jika tingkat kepercayaan 99 % maka k = 3. Nilai s menujukkan kecermatan yang diharapkan. Biasanya nilai kecermatan 5 % atau 10 %.

Prestasi Kerja

Menurut Wasono (1965) dalam Andhika (2003), prestasi kerja adalah hasil kerja atau produksi dalam satuan kerja persatuan waktu, sedangkan banyaknya hasil kerja yang diperoleh tergantung alat kerja, kecakapan dan kemampuan serta keadaan dimana ia bekerja. Sanjoto (1958) mengatakan bahwa prestasi kerja ditentukan faktor yang dapat diubah, seperti alat yang digunakan, metode kerja, tempo dan efek yang digunakan pekerja dan faktor lain yang dapat dirubah, seperti iklim, cuaca, keadaan tempat kerja dan teknik kerja alami. Wasono (1965) menghitung prestasi kerja dengan rumus berikut:

P = Hs x 60 , dimana P = prestasi kerja per jam yag dicapai (unit/jam) h Hs = hasil kerja (jumlah komponen per unit)

h = waktu kerja (menit)

60 = konversi waktu kedalam satuan jam (60 menit) Prestasi kerja dinyatakan dalam produktivitas yang mencakup aspek daya guna (efesiensi) dan hasil guna (efektivitas). Daya guna menggambarkan tingkat sumber daya manusia dan alam yang diperlukan untuk mendapatkan hasil tertentu, sedang hasil guna menggambarkan akibat dan kualitas dari hasil yang diusahakan.

Produktivitas

Menurut ILO (1975), produktivitas adalah perbandingan antara jumlah yang dihasilkan dengan jumlah setiap sumber yang digunakan dalam produksi. Sumber tersebut dapat berupa tanah, bahan baku, pabrik, mesin dan alat, jasa manusia atau semuanya. Syarif (1987) menambahkan bahwa produktivitas juga dipengaruhi oleh faktor teknologi, kapasitas produksi, modal yang ditanam pertenaga kerja dan keterampilan manajemen pengusaha. Sedangkan Gani (1990) menganggap produktivitas merupakan perbandingan antara efektifitas membuat dan menjual keluaran dengan membuat efisiensi menggunakan sumber-sumber masukan. FAO (1981) membagi faktor yang mempengaruhi produktifitas penyaradan menjadi tiga :

1. Faktor-faktor penting natural, seperti :

a. Berat, ukuran dan bentuk pohon. e. Topografi dan Jarak lereng b. Luas areal dan letak pohon berdiri f. Banyaknya rintangan c. Distribusi kelas hutan dan log tegakan g. kerapatan vegetasi d. Volume pohon per hektar h. Iklim

2. Faktor-faktor penting yang dibangun atau dibuat, seperti :

a. Lokasi jalan, standard dan spasi jalan d. Sistem penebangan yang dilakukan b. Jarak angkut, daya angkat, belokan e. perlakuan silvikultur yang diberikan c. Kemampuan, pengalaman dan pengorganisasian pekerja

3. Faktor-faktor mekanik :

a. Tenaga tarik maksimum setiap kabel d. Tenaga mesin dan Tinggi menara b. Kecepatan kabel maksimum e. Tipe drum yang digunakan c. Kapasitas maksimum kabel f. Berat unit secara keseluruhan

Masih menurut FAO (1981), untuk Independent Bunching Winches, produktifitas tergantung kepada kekuatan tarik kabel, jarak tariknya, kondisi lapangan, ukuran log serta volume kayu perhektarnya. Data lain yang akan berguna yaitu tipe kabel yang digunakan, topografi lapangan, kerapatan tegakan serta suhu atau cuaca. Data yang diperoleh berupa volume kayu (m3), produktifitas pershift, banyaknya siklus/shift per hari, waktu ikat, waktu lepas dan waktu tarik tiap shift.

Untuk penyaradan dengan traktor, Matthews (1942) menyebutkan faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas traktor yaitu topografi, keadaan tanah, tanaman bawah, jenis kayu dan ukuran kayu. Sedangkan Kartika (1996) menyimpulkan bahwa produktivitas penyaradan dengan traktor tergantung kepada jarak. Semakin jauh jarak yang ditempuh maka produktivitas akan semakin menurun.

Dokumen terkait