• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Kepedulian Masyarakat Terhadap Energi yang Bersih (LPG Vs Minyak Tanah)

Dalam dokumen Laporan Akhir KABUPATEN MALANG Sistem Di (Halaman 55-59)

Masih Merasa Takut Jika Menggunakan LPG

2.2.8 Tinjauan Kepedulian Masyarakat Terhadap Energi yang Bersih (LPG Vs Minyak Tanah)

Elpiji merupakan energi yang bersih, ramah lingkungan dan dapat memicu peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa program konversi minyak tanah ke elpiji akan sangat menguntungkan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun pengusaha. Dengan konversi ini akan ada penghematan senilai Rp. 20.000,00,- hingga Rp. 25.000.00,- per bulan per Kepala Keluarga (KK), yang didapatkan dari hitungan jika menggunakan minyak tanah satu liter setara dengan 0,4 kg LPG. Wapres memperhitungkan, jika penggunaan minyak tanah

sebanyak 20 liter per bulan per KK, maka akan setara dengan 2,5 tabung. Selanjutnya Wakil Presiden mengatakan tidak ada lagi negara di dunia yang menggunakan minyak tanah untuk keperluan rumah tangga (Antara, 13/8/07).Selain itu dengan adanya konversi melalui energi bersih LPG ini mampu mengurangi penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi karena LPG lebih aman dari penyalahgunaan. Pengalihan ini akan memberikan manfaat kepada:

1. Masyarakat, karena masyarakat akan mendapat bahan bakar yang praktis, bersih dan efisien tanpa perlu biaya investasi.

2. Pemerintah, karena beban subsidi secara relatif akan berkurang

Persepsi masyarakat tentang energi bersih yang mahal, merepotkan serta memerlukan ekstra kerja untuk mendapatkannya. Untuk memahami bagaimana persepsi tersebut terbentuk maka akan dijelaskan lebih lanjut. Persepsi pada hakekatnya merupakan proses kognifif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkunganya, baik lewat penglihatan, pendengaran, perasaan, dan penghayatan (Walgito, 1994:8). Tak jauh dari pengertian tersebut , Young (1995: 59) memberikan pengertian bahwa persepsi berkenaan dengan aktifitas panca indera, penafsiran, dan pemahaman objek, baik fisik maupun sosial. Demikian pula menurut Sudarmo dan Sudarto, (2001:16), bahwa persepsi merupakan suatu proses memperhatikan dan menyeleksi, mengorganisasikan dan menafsirkan stimulus. Berdasarkan pengertian diatas persepsi adalah proses mengetahui dan memahami dengan alat indera. Dalam persepsi terdapat tiga komponen utama, yaitu :

1. Seleksi terhadap stimulus yang datang dari luar; 2. Interpretasi, yaitu proses pengorganisasian informasi; 3. Reaksi, bentuk tingkah laku akibat interpretasi.

Persepsi dipengaruhi oleh kerja sama faktor luar (stimulus) dan faktor dalam (personal). Faktor luar meliputi hal-hal yang berasal dari luar individu, seperti pendidikan, pengalaman, lingkungan sosial, dan lain-lain.Faktor dalam adalah semua yang berasal dari dalam individu, seperti cipta, rasa, karsa, dan keyakinan.Oleh karena itu, sesuai pendapat Soedarmo (1996:7) bahwa persepsi dapat berubah karena pengaruh pengalaman, teman, lingkungan, dan sebagainya.Demikian pula menurut Tjiptono dan Anastasia (2000:16) bahwa persepsi merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan yang memiliki harapan. Dari beberapa pengertian mengenai persepsi tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam mempersepsi individu mula-mula akan mengadakan pengamatan, kemudian mengadakan seleksi dari apa yang diamati. Setelah itu, baru mengadakan penafsiran dan kemudian baru bereaksi dalam bentuk tingkah laku. Dalam menyadari reaksi itu, seseorang akan dipengaruhi

oleh faktor-faktor yang terdapat dalam dirinya dan juga yang ada di luar dirinya. Faktor luar tersebut di antaranya lingkungan masyarakat di sekitarnya. Persepsi energi bersih tentu akan mempengaruhi aspirasi. Artinya, kemampuan orang dalam melihat pentingnya energi yang bersih akan berpengaruh pada harapan dan tujuan untuk keberhasilan pada masa yang akan datang. Yang dimaksud aspirasi disini adalah keinginan, harapan, dari masyarakat terhadap energi bersih.

Dalam mempersepsi sesuatu pada masyarakat, tidak lepas dari budaya masyarakat setempat. Energi bersih yang telah di persepsikan diawal sebagai energi yang mahal dan sulit dijangkau, membangun persepsi masyarakat tentang proses konversi LPG ini. Ketika kebijakan konversi ini diluncurkan, ketakutan dari mayarakat tentang harga yang mahal, keribetan pemakaian peralatan serta ketakutan-ketakukan lain muncul sebagai salah satu hamabatan dalam proses konversi. Tidak banyak masyarakat, pemimpin daerah serta pemangku kepentingan lain yang menolak adanya konversi. Akibat persepsi tersebut. Demikian pula ketika proses distribusi tertutup ini digulirkan, persepsi masyarakat tentang pembatasan pembelian, keruwetan cara pembelian serta lokasi pembelian yang telah ditentukan membuat sedikit banyak proses impelemetasi ini sedikit terhambat.

Salah satu akar budaya indonesia, yaitu budaya kerajaan serta keningratan, sebagai salah satu akar persepsi yang cukup menyulitkan untuk mengajak masyarakat menengah bawah kepada energi bersih. Anggapan bahwa masyarakat yang pantas menggunakan energi bersih adalah kalangan menegah atas serta kalangan ningrat saja serta tidak pantas bagi kalangan menengah bawah, membuat proses pelaksanaan energi bersih ini cukup mengalami kesulitan ketika ingin melaksanakan sosialisasi serta edukasi mengenai penggunaan energi bersih.

Persepsi masyarakat melihat keberhasilan atau kegagalan yang dialami sebelumnya, baik yang dialami oleh dirinya sendiri maupun dialami oleh orang lain akhirnya dijadikan cermin pengalaman bagi dirinya. Pengalaman seseorang yang dirasakan sebagai kesuksesan akan meningkatkan aspirasinya dan disinilah individu akan memiliki persepsi bahwa energi bersih memiliki manfaat yang penting. Namun, jika pengalaman seseorang yang dirasa sebagai kegagalan aspirasinya akan turun drastis, bahkan individu akan memiliki persepsi bahwa energi bersih tak begitu bermanfaat. Persepsi individu terhadap energi bersih dapat diamati dari cara individu itu menilai arti penting energi bersih dan dapat pula dilihat dari cara memahami nilai fungsional energi bersih bagi kehidupan. Persepsi individu terhadap fungsi energi bersih ialah anggapan atau pendapat individu sebagai pengamatan sehari-hari tentang energi bersih. Persepsi individu terhadap energi bersih anak merupakan suatu konsep pikir mengenai makna dan arti penting proses energi bersih; kaitannya dengan relevansi energi bersih serta biaya yang harus

dikeluarkan. Jika persepsi individu terhadap energi bersih baik maka akan menopang munculnya aspirasi yang tinggi maka kesadaran untuk melanjutkan penggunaan energi bersih.

Ketika kompor LPG banyak diberitakan meledak, banyak sekali membangun persepsi bahwa energi bersih LPG membahayakan serta tidak layak digunakan.Hal ini berdampak pada banyaknya kasus peralatan LPG yang dibagiakan tidak digunakan secara maksimal. Disisi lain masyarakat yang telah merasakan keuntungan dari energi bersih ini adalah terlihat jelas pada masyarakat pedagang, seperti yang dikemukkan ketua Kowantara (Koperasi Warteg Nusanatara), melalui energi bersih ini mampu meningkatakan omset penjualan hingga Rp. 300.000/bulan serta menambah harmonisasi hubungan keluarga, akibat bau serta uap panas yang dikeluarkan tidak mengganggu kebersihan rumah maupun kebersihan fisik pengguna.

Selanjutnya hal yang mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap energi bersih adalah kondisi lingkungan yang meliputi kemampuan sosial ekonomi masyarakat dalam memahami energi bersih.Kemampuan ini ditunjukan oleh latar belakang situasi sosial ekonomi individu.Status sosial ekonomi yaitu kedudukan tertentu seseorang terhadap lainya dalam suatu kelompok atau kelas masyarakat.Syarat menjadi anggota kelas masyarakat ialah menjalankan beberapa aktifitas ekonomi, bentuk dan jumlah pendidikan resmi, jumlah penghasilan, bentuk perumahan, dan lain-lain.Permasalahan status sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat di daerah pedesaan tampaknya masih merupakan suatu permasalahan yang sangat kompleks yang pemecahanya banyak bergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah setempat.Dunia pedesaan menurut Malassis (1981:105) masih ditandai dengan kemiskinan dalam bidang kebendaan, rendahnya pendapatan keluarga, rendahnya tingkat penanaman modal umum (seperti air dan listrik), dan persediaan keperluan hidup yang terbatas.Status sosial keluarga yang rendah menyebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan fasilitas energi bersih.Permasalahan keadaan sosial ekonomi ini tampaknya, di samping permasalahan aspirasi dan persepsi tentang energi bersih ini juga sangat mempengaruhi kelanjutan penggunaan energi bersih.Seperti dikatakan Laurie dan Reif, yang dikutip Sudarto (1989:15) kemiskinan, yaitu taraf orang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, merupakan kendala utama dalam pelaksanaan pemenuhan kebutuhan lainnya. Dengan demikian, masalah kesulitan ekonomi keluarga menyebabkan turunya kuantitas serta kualitas pemenuhan akan energi bersih. Menurut Ali Imron (1991:21) masalah ekonomi sering kali menimbulkan masalah sosial, seperti ketidakstabilan keluarga.Masyarakat berkembang dalam budaya kemiskinan dan bahkan banyak di antaranya yang hidup tanpa harapan serta bersikap acuh tak acuh.Di daerah pedesaan selain sarana energi bersih masih kurang, keadaan ekonomi masyarakat juga masih rendah.Hal ini dinyatakan oleh Gafar (1990:19), bahwa penduduk pedesaan

kebanyakan hidup sebagai petani, nelayan, termasuk dalam katagori berpenghasilan rendah.Lebih lanjut Mubyarto (1992:13) menyatakan bahwa karena berpenghasilan rendah.

2.2.9 Tinjauan Kepedulian Masyarakat Terhadap Mekanisme Subsidi

Dalam dokumen Laporan Akhir KABUPATEN MALANG Sistem Di (Halaman 55-59)