• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Tinjauan Literatur

1. Corporate Social Responsibility

a. Pengertian Corporate Social Responsibility

Corporate Social Responsibility dikenal dengan banyak istilah yang memiliki pengertian yang sama, diantaranya business responsibility dan corporate citizenship. Sampai sekarang belum terdapat definisi yang seragam mengenai apa yang dimaksud dengan CSR.

Dengan demikian, para pemangku kepentingan (stakeholders) mendefinisikan CSR dengan caranya sendiri. Menurut Business for Social Responsibility (BSR) (2002) CSR sebagai :

“Business practices that strengthen accountability, respecting ethical values in the interest of all stakeholders.”

Artinya, praktek bisnis yang memperkuat akuntabilitas, menghormati nilai-nilai etika dalam kepentingan semua pemangku kepentingan.

Sementara itu, ada beberapa definisi lain dari Corporate Social Responsibility menurut World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) yang dikutip dari Effendi (2009:107), yaitu:

“The continuing commitment by business to behave ethnically and contribute to economic development while improving the quality of live of the work force and their families as well as of the local community and society at large.”

Artinya, CSR adalah keterpanggilan dunia bisnis untuk bersikap etis dan berkontribusi dalam pengembangan ekonomi berkelanjutan, bersamaan

dengan kualitas hidup karyawan beserta keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas hidup komunitas setempat dan masyarakat luas.

Secara sederhana, tanggung jawab sosial dapat dikatakan sebagai timbal balik perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan sekitarnya karena perusahaan telah mengambil keuntungan atas masyarakat dan lingkungannya tersebut. Dimana dalam proses pengambilan keuntungan tersebut seringkali perusahaan menimbulkan kerusakan lingkungan ataupun dampak sosial lainnya.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan suatu kondisi dimana perusahaan harus bertanggung jawab atas setiap tindakannya yang berpengaruh terhadap masyarakat dan lingkungannya. Bukan malah berbuat eksploitasi terhadap lingkungan sekitar.

b. Konsep Corporate Social Responsibility

Konsep CSR sebagai salah satu tonggak penting dalam manajemen korporat. Meskipun konsep CSR baru dikenal pada awal tahun 1970-an, namun konsep tanggung jawab sosial sudah dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 (Kartini, 2009:5).

Menurut Carroll dalam Kartini (2009:14), konsep CSR memuat komponen-komponen sebagai berikut:

1) Economic responsibilities

Tanggung jawab sosial perusahaan yang utama adalah tanggung jawab ekonomi karena lembaga bisnis terdiri dari aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat secara menguntungkan. 2) Legal responsibilities

Masyarakat berharap bisnis dijalankan dengan mentaati hukum dan peraturan yang berlaku yang pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legislatif.

3) Ethical responsibilities

Masyarakat berharap perusahaan menjalankan bisnis secara etis yaitu menunjukan refleksi moral yang dilakukan oleh pelaku bisnis secara perorangan maupun kelembagaan untuk menilai suatu isu dimana penilaian ini merupakan pilihan terhadap nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat.

4) Discretionary responsibilities

Masyarakat mengharapkan keberadaan perusahaan dapat memberikan manfaat bagi mereka.

Perkembangan CSR secara konseptual menurut (Nurlela dan Islahuddin, 2008:2) mulai dibahas sejak tahun 1980-an yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

1) Runtuhnya tembok Berlin yang merupakan simbol tumbangnya paham komunis dan bergantinya ke imperium kapitalisme secara global.

2) Meluasnya operasi perusahaan multinasional di negara berkembang sehingga dituntut memperhatikan keadaan sosial, lingkungan dan hakasasi manusia.

3) Globalisasi dan berkurangnya peran pemerintah telah menyebabkan munculnya lembaga sosial masyarakat (LSM) yang lebih memperhatikan isu kemiskinan sampai kekhawatiran punahnya spesies tumbuhan dan hewan akibat ekosistem yang semakin labil.

4) Kesadaran perusahaan akan pentingnya citra perusahaan dalam membawa perusahaan menuju bisnis berkelanjutan.

Selain itu menurut Deegan dalam Ghozali dan Chariri (2007) alasan yang mendorong praktik pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan antara lain:

1) Mematuhi persyaratan yang ada dalam Undang-undang 2) Pertimbangan rasionalitas ekonomi

3) Mematuhi pelaporan dan proses akuntabilitas 4) Mematuhi persyaratan peminjaman

5) Mematuhi harapan masyarakat

6) Konsekuensi ancaman atas legitimasi perusahaan 7) Mengelola kelompok stakeholder tertentu

8) Menarik dana investasi

9) Mematuhi persyaratan industry

Menurut The World Business Council for Sustainable Development, Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan. Hal tersebut dilakukan melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.

Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Sosial Responsibility (CSR) merupakan komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan yang disebut Sustainability Report.

Sustainability Report atau laporan berkelanjutan adalah suatu laporan yang bersifat non financial yang dapat dipakai sebagai acuan oleh perusahaan untuk melihat pelaporan dari dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sustainability report menjadi dokumen strategi yang berlevel tinggi yang menempatkan isu, tantangan dan peluang Sustainability Development yang membawanya menuju kepada core business dan sektor industrinya serta mendorong para investor terutama pihak asing untuk

menanamkan investasinya pada perusahaan yang telah menerapkan CSR dengan baik (Effendi, 2009:109).

c. Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan

Laporan tahunan berisi pengungkapan informasi yang dapat membantu stakeholders dalam pengambilan keputusan. Informasi yang diungkapkan tidak hanya berupa informasi keuangan saja, tetapi juga berupa informasi non keuangan. Selain digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, pengungkapan dalam laporan tahunan juga digunakan sebagai bentuk akuntabilitas manajemen atas kinerjanya sebagai pengelola perusahaan kepada investor sebagai pemilik.

Di Indonesia, BAPEPAM telah mengatur bentuk dan isi laporan tahunan yang wajib diungkapkan melalui Keputusan Ketua BAPEPAM dan Lembaga Keuangan No.KEP-134/BL/2006 peraturan X.K.6 tanggal 07 Desember 2006 tentang kewajiban penyampaian laporan tahunan bagi emiten atau perusahaan-perusahaan publik. Dalam ketentuan umum bentuk dan isi laporan tahunan wajib memuat ikhtisar data keuangan penting, laporan, dewan komisaris, laporan direksi, profil perusahaan, analisis dan pembahasan manajemen, tata kelola perusahaan, tanggung jawab direksi atas laporan keuangan, dan laporan keuangan yang telah diaudit.

Hal itu menunjukkan bahwa setiap perusahaan di Indonesia wajib membuat laporan tahunan perusahaan yang terdiri dari:

1. Ikhtisar data keuangan penting 2. Laporan dewan komisaris 3. Laporan dewan direksi 4. Profil perusahaan

5. Analisis dan pembahasan manajemen 6. Tata kelola perusahaan

7. Tanggung jawab direksi atas laporan keuangan 8. Laporan keuangan yang telah diaudit

Pengungkapan dalam laporan keuangan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu pengungkapan wajib (Mandatory Disclosure) dan pengungkapan sukarela (Voluntary Disclosure). Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan minimum yang disyaratkan oleh standar akuntansi yang berlaku (peraturan mengenai pengungkapan laporan keuangan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui keputusan ketua BAPEPAM No.SE-02/PM/2002. Sedangkan pengungkapan sukarela merupakan pilihan bebas manajemen perusahaan untuk memberikan informasi akuntansi dan informasi lainnya yang dipandang relevan untuk keputusan oleh para pemakai laporan keuangan tersebut.

Selain itu di Indonesia pengungkapan dalam laporan keuangan baik yang bersifat wajib maupun sukarela telah diatur dalam PSAK No.1. Setiap pelaku ekonomi selain berusaha untuk kepentingan pemegang saham dan berfokus pada pencapaian laba disamping itu juga mempunyai tanggung

jawab sosial terhadap masyarakat sekitar, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan, sebagaimana dinyatakan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (Revisi 2009) Paragraf kedua belas:

Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap karyawan sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting. Laporan tambahan tersebut di luar ruang lingkup Standar Akuntansi Keuangan.

PSAK No. 1 (revisi 2009) tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang ada di Indonesia diberi suatu kebebasan dalam mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan keuangan tahunan perusahaan.

d. Pengungkapan Corporate Social Responsibility

Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR) atau sering kali disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan telah banyak disampaikan oleh para pakar maupun lembaga internasional. Magnan dan Ferrel mengartikannya sebagai perilaku bisnis, di mana pengambilan keputusannya mempertimbangkan tanggung jawab sosial dan memberikan perhatian secara lebih seimbang terhadap kepentingan stakeholders yang beragam (Mursitama dan Tirta, 2011:23). Dalam implementasi praktik CSR di sebuah entitas, perusahaan harus membuat laporan untuk mempertanggungjawabkan kegiatan sosial yang telah dilakukan entitas tersebut. Laporan tanggung jawab sosial merupakan laporan aktivitas tanggung jawab sosial yang telah

dilakukan perusahaan baik berkaitan dengan perhatian masalah dampak sosial maupun lingkungan. Laporan tersebut dilampirkan dalam laporan tahunan (annual report) yang dipertanggungjawabkan direksi sebagai agen di depan sidang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Association of Chartered Certified Accountants (ACCA) menyatakan bahwa pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan Sustainability Reporting, yang merupakan pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Sustainability Reporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan dan pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi. Badan yang aktif menerbitkan pedoman bagi perusahaan terkait pengungkapan lingkungan hidup adalah Global Reporting Initiative (GRI). Dalam Standar GRI indikator kinerja dibagi menjadi 3 komponen utama yaitu:

1) Ekonomi

2) Lingkungan hidup

3) Sosial yang mencakup hak asasi manusia, praktek ketenagakerjaan dan lingkungan kerja, tanggung jawab produk, dan masyarakat.

Ada berbagai motivasi yang mendorong manajer secara sukarela mengungkapkan informasi sosial dan lingkungan. Di Indonesia pada khususnya, peraturan terkait mengenai pengungkapan informasi tanggung

jawab sosial dan lingkungan telah diatur dalam peraturan pemerintah pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Pasal 74. Sejalan dengan UU No.40 Tahun 2007, lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor KEP-134/BL/2006 juga mewajibkan perusahaan untuk mengungkapan informasi terkait tata kelola perusahaan dimana di dalamnya juga menjelaskan uraian mengenai aktivitas dan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan pada laporan tahunan perusahaan.

e. General Reporting Initiative (GRI)

Global Reporting Initiative (GRI) adalah sebuah jaringan berbasis organisasi yang telah mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terus menerus melakukan perbaikan dan penerapan di seluruh dunia. Terdapat 6 indikator di dalam GRI dan jumlah pengungkapannya ada 78 item (Sembiring, 2005:393). Berikut item-item yang digunakan dalam :

1) Indikator Kinerja Ekonomi (economic performance indicator) (a) Perolehan distribusi nilai ekonomi

(b) Implikasi finansial akibat perubahan iklim (c) Dana pensiun karyawan

(d) Bantuan financial dari pemerintah (e) Standar upah minimum

(g) Rasio karyawan lokal

(h) Pengaruh pembangunan infrastruktur (i) Dampak pengaruh ekonomi tidak langsung

2) Indikator Kinerja Lingkungan (environment performance indicator) (a) Pemakaian material

(b) Pemakaian material daur ulang (c) Pemakaian energi langsung (d) Pemakaian energi tidak langsung (e) Penghematan energi

(f) Inisiatif penyediaan energi terbaru

(g) Inisiatif mengurangi energi tidak langsung (h) Pemakaian air

(i) Sumber air yang terkena dampak (j) Jumlah air daur ulang

(k) Kuasa tanah di hutan lindung

(l) Perlindungan keanekaragaman hayati (m) Pemulihan habitat

(n) Strategi menjaga keanekaragaman hayati (o) Spesies yang dilindungi

(p) Total gas rumah kaca

(q) Total gas tidak langsung yang berhubungan dengan gas rumah kaca

(r) Inisiatif pengurangan efek gas rumah kaca (s) Pengurangan emisi ozon

(t) Jenis-jenis emisi udara

(u) Kualitas pembuangan air dan lokasinya (v) Klasifikasi limbah dan metode pembuangan (w) Total biaya dan jumlah yang tumpah (x) Limbah berbahaya yang ditransportasikan (y) Keanekaragaman hayati

(z) Inisiatif mengurangi dampak buruk pada lingkungan

(aa) Persentase produk yang terjual dan materi kemasan dikembalikan berdasarkan kategori

(bb) Nilai moneter akibat pelanggaran peraturan dan hukum lingkungan hidup

(cc) Dampak signifikan terhadap lingkungan akibat transportasi produk

(dd) Biaya dan investasi perlindungan lingkungan

3) Indikator Kinerja Tenaga Kerja (labor practices performance indicator)

(a) Jumlah karyawan

(b) Tingkat perputaran karyawan (c) Kompensasi bagi karyawan tetap (d) Perjanjian kerja sama

(e) Pemberitahuan minimum tentang perubahan operasional (f) Majelis kesehatan dan keselamatan kerja

(g) Tingkat kecelakaan kerja

(h) Program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan (i) Kesepakatan kesehatan dan keselamatan kerja (j) Rata-rata jam pelatihan

(k) Program persiapan pensiun

(l) Penilaian kinerja dan pengembangan karir (m) Keanekaragaman karyawan

(n) Rasio gaji dasar pria terhadap wanita

4) Indikator Kinerja Hak Asasi Manusia (human rights performance indicator)

(a) Perjanjian dan investasi menyangkut HAM

(b) Persentase pemasok dan kontraktor menyangkut HAM (c) Pelatihan karyawan tentang HAM

(d) Kasus diskriminasi (e) Hak berserikat

(f) Pekerja di bawah umur (g) Pekerja paksa

(h) Tenaga keamanan terlatih HAM (i) Pelanggaran hak penduduk asli

5) Indikator Kinerja Sosial (social performance indicator) (a) Dampak program pada komunitas

(b) Hubungan bisnis dan resiko korupsi (c) Pelatihan anti korupsi

(d) Pencegahan tindakan korupsi

(e) Partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik (f) Sumbangan untuk partai politik

(g) Hukuman akibat pelanggaran persaingan usaha

(h) Hukuman atau denda pelanggaran peraturan perundangan

6) Indikator Kinerja Produk (product responsibility performance indicator)

(a) Perputaran dan keamanan produk (b) Pelanggaran peraturan dampak produk (c) Informasi kandungan produk

(d) Pelanggaran penyediaan info produk (e) Tingkat kepuasan pelanggan

(f) Kelayakan komunikasi pemasaran (g) Pelanggaran komunikasi pemasaran

(h) Pengaduan tentang pelanggaran privatisasi pelanggan (i) Denda pelanggaran pengadaan dan penggunaan produk

2. Good corporate governance

Good corporate governance (GCG) adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar. Dimana ia berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu negara. Penerapan GCG dapat mendorong terciptanya persaingan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif. Oleh karena itu diterapkannya GCG oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia sangat penting untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkesinambungan. Penerapan GCG juga diharapkan dapat menunjang upaya pemerintah dalam menegakkan good governance pada umumnya di Indonesia. Saat ini Pemerintah sedang berupaya untuk menerapkan good governance dalam birokrasinya dalam rangka menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa.

Pengertian Corporate Govercance yang dikutip dalam (Effendi, 2009:1) “Corporate governance is a company’s system of internal control, wich has as its principal aim the management of risk that are significant to the fulfillment of its business objectives, with a view to safeguarding the companiy’s assets and enhancing over time the value of the shareholders investment”.

Corporate governance adalah suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengamanan asset perusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan corporate governance sebagai berikut:

“Corporate governance is the system by which business corporations are directed and controlled. The corporate governance structure specifies the distribution of right and responsibilities among different participants in the corporation, such as the board, managers, shareholders and other stakeholders, and spells out the rules and procedures for making decisions on corporate affairs. By doing this, it also provides the structure through which the company objectives are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance” (OECD, 1999:9).

OECD melihat corporate governance sebagai suatu sistem dimana sebuah perusahaan atau entitas bisnis diarahkan dan diawasi. Sejalan dengan itu, maka struktur dari corporate governance menjelaskan distribusi hak-hak dan tanggung jawab dari masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah bisnis, yaitu antara lain dewan komisaris dan direksi, manajer, pemegang saham, serta pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders. Selanjutnya, struktur dari corporate governance juga menjelaskan bagaimana aturan dan prosedur dalam pengambilan dan pemutusan kebijakan sehingga dengan melakukan itu semua maka tujuan perusahaan dan pemantauan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan dan dilakukan dengan baik.

Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan Good Corporate Governance (GCG) sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang

berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.

Menurut FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) dalam Kuncoro (2006:186) Corporate Governance didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa CGC pada dasarnya merupakan suatu hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan yang efektif yang bersumber dari budaya perusahaan, etika, sistem nilai, proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kinerja perusahaan dan menghindari benturan kepentingan antara kepentingan ekonomi, serta untuk mengatur dan mengendalikan perusahaan (Alijoyo, 2004:31). Dengan demikian, GCG dapat dijadikan sebagai pedoman atau acuan sehingga proses pelaksanaan kinerja yang ada dalam perusahaan dapat berjalan efektif dan terjadi keseimbangan kepentingan diantara pihak-pihak yang saling terkait di dalamnya, tidak terkecuali hubungan dengan publik atau masyarakat.

Dari uraian diatas menyatakan bahwa Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ

perusahaan (pemegang saham/pemilik modal, komisaris/dewan pengawas, dan direksi) untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika (Komalasari, 2014:4). Dengan penerapan Good Corporate Governance diyakini dapat menciptakan kondisi yang kondusif dan landasan yang kokoh untuk menjalankan operasional perusahaan dengan baik, efisien, dan menguntungkan.

3. Mekanisme Corporate Governance a. Dewan Komisaris Independen

Istilah dan keberadaan Komisaris Independen baru muncul setelah terbitnya surat edaran Bapepam Nomor: SE03/PM/2000 dan Peraturan Pencatatan Efek Nomor 339/BEJ/07-2001 tgl 21 Juli 2001. Menurut ketentuan tersebut perusahaan publik yang tercatat di bursa wajib memiliki beberapa anggota dewan komisaris yang memenuhi kualifikasi sebagai komisaris independen. Keberadaan komisaris independen ini rupanya berhubungan dengan ketentuan penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (GCG), yaitu jumlah komisaris independen adalah sekurang-kurangnya 30% dari seluruh jumlah anggota komisaris.

Beberapa kriteria lainnya tentang komisaris independen berdasarkan Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor Kep29/PM/2004 tentang pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja komite audit Nomor IX.I5 adalah sebagai berikut:

a) Komisaris Independen tidak memiliki saham baik langsung

maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik; b) Komisaris Independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan

emiten atau perusahaan publik, komisaris, dan direksi;

c) Komisaris Independen harus berasal dari luar emiten atau

perusahaan publik;

d) Tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak

langsung yang berkitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik.

Fungsi dewan komisaris termasuk anggota komisaris independen adalah mencakup dua peran sebagai berikut:

1) Mengawasi Direksi perusahaan dalam mencapai kinerja dalam business plan dan memberikan nasehat kepada direksi mengenai penyimpangan pengelolaan usaha yang tidak sesuai dengan arah yang ingin dituju oleh perusahaan.

Terkait dengan bentuk dewan dalam sebuah perusahaan, terdapat dua sistem yang berbeda yang berasal dari dua sistem hukum berbeda, yaitu Anglo saxon dan continental eropa. Sistem hukum anglo saxon mempunyai sistem satu tingkat atau one tier system. Di sini perusahaan hanya mempunyai satu dewan direksi yang pada umumnya merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif) dan direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu (non direktur eksekutif). Pada dasarnya yang disebut belakangan ini diangkat karena kebijakannya, pengalamannya dan relasinya. Negara-negara dengan one tier system misalnya Amerika serikat dan Inggris.

Sistem hukum Continental Eropa mempunyai sistem dua tingkat atau two tier system. Disini perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi), dimana dewan direksi mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan dewan komisaris. Dalam sistem two tiers system, anggota dewan direksi dianggak dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas (dewan direksi). Dewan direksi juga harus memberikan informasi kepada dewan komisaris dan menjawab hal-hal yang diajukan oleh dewan komisaris, sehingga dewan komisaris terutama bertanggung jawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen. Dalam hal ini dewan komisaris tidak boleh melibatkan diri dalam tugas-tugas manajemen dan tidak boleh melakiti perusahaan dengan pihak ketiga (Sari et al, 2013).

Forum Corporate Governance Indonesia (2002) mengemukakan bahwa ada dua sistem manajemen yang berbeda yang mengakibatkan berbedanya sistem pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris. Perbedaan dari kedua system tersebut adalah pada tingkat pengawasan, yaitu satu tingkat pengawasan (one tier sistem) dan dua tingkat (two tier sistem).

1) Sistem Satu Tingkat (One Tier Sistem)

Sistem ini menggunakan satu sistem pengawasan. Biasanya perusahaan hanya memiliki satu dewan direksi yang umumnya merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (Direktur Eksekutif) dan direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu (Non-Direktur Eksekutif). Sistem satu tingkat ini berasal dari sistem hukum Anglo Saxon dan negara yang menerapkan sistem ini antara lain adalah Amerika Serikat dan Inggris.

2) Sistem Dua Tingkat (Two Tier Sistem)

Sistem ini menggunakan dua sistem pengawasan yang terpisah. Dalam sistem ini perusahaan memiliki dua badan terpisah yaitu Dewan Pengawas (Dewan Komisaris) dan Dewan Manajemen (Dewan Direksi). Dewan Komisaris bertugas mengawasi dan mengarahkan dewan direksi, yang mana dewan direksi ini bertugas untuk mengelola dan mewakili perusahaan (FCGI, 2002).

Di Indonesia two tier sistem diterapkan dengan beberapa penyesuaian. Dewan komisaris tidak secara langsung membawahi

dewan direksi, namun memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk

Dokumen terkait