• Tidak ada hasil yang ditemukan

Plutella xylostella

Arti Ekonomi

Plutella xylostella merupakan hama penting di daerah pertanaman kubis di seluruh dunia (Kalshoven 1981). Hama tersebut dapat ditemukan hampir di setiap daerah tempat tanaman kubis-kubisan ditanam (Satrosiswojo & Setiawati 1993). Jika tidak ada tanaman kubis-kubisan yang ditanam, beberapa spesies Brassicaceae liar dapat menjadi inang alternatif, misalnya Nasturtium indicum (L.) dan Cardamine hirsuta (L.) (Kartosuwondo 1994).

Gejala pada tanaman inang akibat aktivitas makan larva P. xylostella sangat khas, yaitu adanya jendela-jendela yang tidak beraturan dan berwarna putih. Jendela tersebut disebabkan oleh larva yang memakan permukaan bawah daun dan menyisakan lapisan epidermis bagian atas (Kalshoven 1981). Instar I memakan daun kubis dengan mengorok ke dalam permukaan bawah daun. Larva instar I mengorok daun selama 2-3 hari (Soeroto et al. 1994). Larva instar II keluar dari liang korok dan makan jaringan daun pada permukaan bawah daun. Larva instar III dan IV akan makan bagian daun lebih banyak. Sejalan dengan pertumbuhan jaringan daun, bekas gigitan akan pecah dan menimbulkan lubang besar pada daun kubis. Jika populasi larva tinggi, kerusakan berat pada daun sering terjadi. Hampir seluruh daun dimakan larva dan hanya tinggal tulang- tulang daun yang ditinggalkan (Satrosiswojo & Setiawati 1993).

Siklus Hidup

Serangga P. xylostella mengalami metamorfosis sempurna. Telurnya berbentuk lonjong pipih, panjang sekitar 0.44 mm dan lebar 0.26 mm. Telur tersebut berwarna kuning atau hijau pucat, diletakkan secara tunggal atau dalam kelompok kecil yang terdiri atas 2-8 telur dalam cekungan permukaan daun atau di bagian lain tanaman. Imago betina dapat menghasilkan 250 hingga 300 butir telur selama hidupnya dan rata-rata menghasilkan 150 butir telur dalam rentang 5- 6 hari puncak peneluran (Capinera 2001).

Larva P. xylostella melewati empat instar. Larva instar I mengorok di dalam jaringan permukaan bawah daun. Larva keluar dari korokan pada saat instar I akhir dan berganti kulit di permukaan bawah daun. Larva instar II makan dari permukaan bawah daun. Larva instar III dan IV makan daun lebih banyak. Jika terganggu larva akan menggeliat dengan cepat, bergerak ke belakang dan memintal seutas sutera untuk turun. Secara keseluruhan panjang tubuh instar I sampai dengan IV berturut-turut 1.7, 3.5, 7.0, dan 11.2 mm. Larva tidak berwarna saat instar I, kemudian berwarna hijau, terdapat rambut pada tubuhnya, dan memiliki lima pasang tungkai palsu. Tubuh larva berbentuk lancip di kedua ujungnya, dengan sepasang tungkai palsu yang menonjol dari bagian posterior, membentuk huruf “V”.

Pada saat akan berpupa, larva instar IV akan memintal kokon berwarna putih yang longgar, biasanya terbentuk pada bagian daun terluar atau di permukaan bawah daun. Pada kol bunga dan brokoli pupa terbentuk di bunga. Pupa berwarna kekuningan, dengan panjang sekitar 7 hingga 9 mm. Rata-rata waktu berpupa 8,5 hari dengan rentang waktu sekitar 5 hingga 15 hari (Capinera 2001). Lama stadium instar I, II, dan III di Bogor masing-masing sekitar 2 hari, lama stadium instar IV sekitar 3 hari, larva stadium pupa sekitar 3 sampai 5 hari, dan lama hidup imago berkisar dari 2 sampai 4 minggu (Vos 1953)

Imago berwarna cokelat kelabu. Pada sayapnya terdapat pola seperti berlian (Kalshoven 1981). Imago mulai aktif pada sore hingga malam hari. Perkawinan terjadi pada sore hari. Imago betina memiliki masa peletakan telur 4 hari (Talekar & Shelton 1993). Siklus hidup P. xylostella di dataran tinggi lebih panjang daripada di dataran rendah. Pada ketinggian 1100 m dpl, siklus hidupnya 20-25 hari, sedangkan pada 250 m dpl hanya 12-15 hari (Kalshoven 1981).

Pengendalian

Sistem PHT terhadap hama P. xylostella telah lama dikembangkan. Penggunaan insektisida dapat dilakukan bila populasi larva mencapai ambang pengendalian, yaitu 5 larva per 10 tanaman, dengan mempertimbangkan tingkat parasitisasi oleh D. semiclausum. Insektisida yang dapat digunakan terhadap hama P. xylostella dalam PHT kubis ialah insektisida selektif termasuk

bioinsektisida B. thuringiensis dan insektisida kelompok penghambat perkembangan serangga. Pengendalian lainnya antara lain adalah pengendalian secara kultur teknis, hayati, dan kimiawi. Pengendalian kultur teknis dapat dilakukan dengan menerapkan sistem tumpang sari, mengatur waktu tanam, dan menanam tanaman perangkap (Satrosiswojo & Setiawati 1993).

Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami, terutama parasitoid larva Diadegma semiclausum yang mampu menekan populasi hama P. xylostella dengan tingkat parasitisasi hingga 86% bila insektisida tidak digunakan (Sastrosiswojo & Satrodihardjo 1986). Kartosuwondo (1994) melaporkan bahwa tumbuhan Brassicaceae liar seperti N. indicum dan C. hirsuta dapat berperan sebagai reservoir dan faktor penstabil populasi parasitoid D. semicalusum. Namun cara yang sering dilakukan petani adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida sintetik yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif (Rauf et al. 2005).

Insektisida nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang relatif aman dan sesuai dengan konsep PHT. Ekstrak tumbuhan yang dilaporkan efektif terhadap hama P. xylostella antara lain Tephrosia vogelii (Fabaceae), Calophyllum soulattri (Clusiaceae), Swietenia mahogani (Meliaceae), Azadirachta indica (Meliaceae), Aglaia harmsiana (Meliaceae), Dysoxylum acutangulum (Meliaceae), P. retrofractum (Piperaceae) (Soeroto et al. 1994; Dadang & Ohsawa 2000; Yuswanti 2002; Zarkani 2008).

Ciri Umum dan Sifat Insektisida Annona squamosa

Tanaman Annona squamosa (srikaya) berbentuk perdu hingga pohon dengan tinggi tanaman sekitar 4-6 m. Tanaman tersebut merupakan anggota dari suku Annonaceae yang tersebar paling luas di dunia (Garner & Chaundri 1977). A. squamosa ditanam untuk diambil buahnya dan biasanya dikonsumsi langsung. Buah majemuk berbentuk bulat dengan jari tengah 5-10 cm, kulit luar berlilin. Buah masak berwarna hijau kebiru-biruan, biji dari buah masak berwarna hitam mengkilat dan daging buah berwarna putih (van Steenis et al. 1975)

Ekstrak air dan ekstrak pelarut organik dari akar, daun, buah, dan biji A. squamosa dilaporkan bersifat insektisida, antifeedant, dan repelen terhadap

beberapa jenis hama penting pertanian dan hama dalam penyimpanan (Prakash & Rao 1997). Ekstrak air A. squamosa pada konsentrasi 5-10 g biji/liter menunjukkan aktivitas insektisida dan penghambat makan terhadap beberapa serangga (Prijono 1998).

Prijono et al. (1994) melaporkan bahwa ekstrak aseton biji srikaya pada konsentrasi 0.25% efektif terhadap wereng cokelat Nilaparvata lugens dengan perlakuan celup bibit padi. Pada penelitian lain, Prijono & Manuwoto (1995) melaporkan bahwa perlakuan dengan ekstrak aseton biji A. squamosa pada konsentrasi 0.4% menyebabkan kematian kumbang Callosobruchus maculatus sebesar 90% pada 3 hari setelah perlakuan dan meningkat menjadi 100% pada 5 hari setelah perlakuan.

Penelitian yang dilakukan oleh Prijono et al. (1997) menunjukkan bahwa ekstrak aseton biji A. squamosa dan memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva Crocidolomia pavonana dan lebih aktif daripada ekstrak akar tuba, Derris elliptica. Pada penelitian lain, Herminanto et al. (2004) melaporkan bahwa ekstrak biji A. squamosa sangat nyata mempengaruhi pembentukan pupa dan imago C. pavonana.

Baru-baru ini Deshmukhe et al. (2010) melaporkan bahwa perlakuan dengan esktrak etil alkohol biji A. squamosa pada konsentrasi antara 0.5% dan 25% secara kontak menyebabkan kematian larva Spodoptera litura sebesar 61.7% dan meningkat menjadi 80% selama masa perkembangannya. Larva yang diberikan perlakuan melalui makanan menunjukkan kematian sebesar 76.7% pada konsentrasi 25%.

Senyawa insektisida dalam biji A. squamosa adalah skuamosin dan asimisin yang memiliki sifat insektisida dan menghambat perkembangan. Senyawa tersebut bersifat insektisida terhadap larva instar II P. xylostella. LD50 skuamosin

dan asimisin terhadap larva P. xylostella masing-masing 20 µg/cm2, (Ohsawa et al. 1994). Senyawa asetogenin, termasuk squamosin dan asimisin, bekerja dengan menghambat respirasi sel pada rantai transpor elektron di dalam mitokondria sehingga menyebabkan habisnya cadangan energi (Zafra-Polo et al. 1996).

Ciri Umum dan Sifat Insektisida Cinnamomum multiflorum

Thantsin et al. (2008) melaporkan bahwa ekstrak eter kulit batang C. multiflorum mengandung senyawa sinamaldehida 29.6%, eugenol 2.95%, dan asam palmitat 4.18%. Namun hingga saat ini sifat insektisida C. multiflorum belum pernah dilaporkan. Perlakuan dengan minyak atsiri salah satu spesies Cinnamomum lain, yaitu C. aromaticum, menyebabkan mortalitas sebesar 94,4% pada imago Callosobruchus maculatus (Islam et al. 2009). Kim et al. (2001) juga melaporkan bahwa perlakuan dengan ekstrak kulit akar C. sieboldii menyebabkan kematian Sitophilus oryzae dan C. chinensis sebesar 100% pada 2 hari setelah perlakuan. Prajapati et al. (2005) melaporkan bahwa minyak atsiri kulit kayu C. zeylanicum menunjukkan aktivitas penghambat peneluran dan repelen yang tinggi terhadap nyamuk Anopheles stephensi, Aedes aegepti, dan Culex quinquefasciatus. Ekstrak biji C. camphora menujukkan aktivitas insektisida dan repelen terhadap hama gudang S. oryzae dan Bruchus rugimanus (Liu et al. 2006).

Sinamaldehida atau sinamil asetat dari minyak atsiri daun C. osmophloeum bersifat menghambat perkembangan larva nyamuk A. albopictus. Benzaldehida dalam minyak atsiri tersebut juga memiliki sifat larvasida yang tinggi terhadap nyamuk C. quinquefasciatus dan Armigeres subalbatus (Cheng et al. 2009). Sampai sekarang sifat insektisida minyak atsiri C. multiflorum terhadap ulat pamakan daun belum pernah dilaporkan.

Ciri Umum dan Sifat Insektisida Tephrosia vogelii

T. vogelii berasal dari Afrika, dan ditemukan tumbuh dalam berbagai macam habitat, termasuk savana, padang rumput, daerah terlantar maupun tanah tandus. Tanaman tersebut dapat tumbuh di ketinggian dari 0 sampai 2100 m dpl, dengan suhu 12-27 ºC. Curah hujan yang sesuai untuk T. vogelii adalah 850-2650 mm/tahun (Anonim 2010).

Delobel dan Malonga (1987) melaporkan bahwa perlakuan dengan menggunakan bubuk T. vogelii pada dosis 2.5 g/100 g benih , dapat membunuh kumbang Caryedon serratus sebesar 98% serta melindungi kacang tanah di penyimpanan dari serangan kumbang tersebut. Koona dan Dorn (2005)

melaporkan bahwa ekstrak heksana daun T. vogelii dengan dosis 10 g/kg biji kacang tanah lebih efektif daripada ekstrak aseton dan etanol dalam melindungi kacang tanah di penyimpana dari serangan kumbang Acanthoscelides obtectus, Callosobruchus maculatus, dan C. chinensis.

Morallo-Rejesus (1986) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii dapat membunuh dan menghambat makan larva P. xylostella. Zarkani (2008) melaporkan bahwa fraksi 2-4 kromatografi kolom T. vogelii memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva P. xylostella dengan LC95 pada 72 jam setelah

perlakuan hanya sekitar 0.031%. Baru-baru ini, Abizar dan Prijono (2010) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii bunga ungu lebih aktif terhadap larva C. pavonana dibandingkan dengan ekstrak daun T. vogelii bunga putih, serta ekstrak biji T. vogelii bunga ungu dan bunga putih.

Daun T. vogelii mengandung senyawa rotenoid, termasuk rotenon, tefrosin, dan deguelin (Delfel et al. 1970; Lambert et al.1993), yang memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap berbagai jenis serangga baik sebagai racun perut maupun racun kontak (Prakash & Rao 1997; Djojosumarto 2008). Rotenoid terdapat pada seluruh bagian tanaman T. vogelii, namun kandungan tertinggi terdapat pada bagian daun dan yang terendah pada bagian akar (Delfel et al. 1970). Kandungan rotenoid akan meningkat seiring dengan perkembangan tanaman (Kamal & Mangla 1993). Rotenon dan rotenoid sangat mudah terdegradasi oleh sinar matahari (Cabizza et al. 2004).

Penggunaan Ekstrak Campuran

Insektisida campuran pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu campuran yang terdiri atas dua jenis atau lebih insektisida yang memiliki cara kerja yang berbeda dan cara kerja yang sama. Campuran yang memiiki cara kerja yang berbeda umumnya memiliki kerja bersama bebas (independent joint action) dan campuran yang memiliki cara kerja yang sama umumnya memiliki kerja bersama serupa (similar joint action) (Robertson et al. 2007).

Pencampuran beberapa senyawa aktif tumbuhan dapat memberikan efek sinergis, antagonis, atau aditif. Penggunaan ekstrak campuran yang bersifat sinergistik dapat meningkatkan efisiensi , karena mengurangi jumlah pemakaian

bahan baku dibandingkan dengan insektisida botani yang mengandung ekstrak tunggal. Hal tersebut dapat mengatasi keterbatasan bahan baku insektisida botani di tingkat petani karena tumbuhan sumber insektisida botani tidak selalu terdapat melimpah di suatu daerah. Penggunaan campuran insektisida botani pada dosis yang lebih rendah juga dapat mengurangi dampak samping terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan. Selain itu, penggunaan campuran insektisida botani yang komponennya memiliki cara kerja berbeda dapat menunda terjadinya resistensi hama (Dadang & Prijono 2008).

Yuswanti (2002) melaporkan bahwa campuran fraksi asetil asetat biji Aglaia harmsiana dan tangkai daun Dysoxilum acutangulum bersifat sinergis terhadap larva instar III P. xylostella pada LC50 tetapi bersifat antagonis pada LC95. Isnaeni

(2006) mengemukakan bahwa perlakuan dengan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa pada konsentrasi 0,05% mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana sebesar 100%. Campuran ekstrak tersebut juga efektif pada pengujian semi lapangan.

Beberapa campuran ekstrak tanaman memiliki aktivitas yang tinggi terhadap larva C. pavonana. Campuran ekstrak P. retrofractum dan Swietenia mahogani (1:1), S. mahogani dan A. squamosa (3:7), Aglaia odorata dan A. squamosa (3:7 dan 1:1), serta P. retrofractum dan A. squamosa (3:7, 1:1, dan 7:3) pada konsentrasi 0.05% mengakibatkan kematian larva sebesar 90% pada 48 JSP (Dadang et al. 2007)

Zarkani (2008) melaporkan bahwa campuran fraksi 2 kromatografi vakum cair P. retrofractum dan fraksi 2-4 kromatografi kolom T. vogelii dengan perbandingan 8:5 dan 5:1 bersifat antagonis terhadap larva P. xylostella. Baru- baru ini Abizar dan Prijono (2010) mengemukakan bahwa pada taraf LC50

campuran ekstrak daun T. vogelii dan buah P. cubeba bersifat sinergistik kuat terhadap larva C. pavonana.

Dokumen terkait