• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Efisiensi Produksi pada Berbagai Usahatani Komoditi Pertanian

Efisiensi merupakan sebuah konsep ekonomi yang penting dan digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi suatu unit produksi. Efisiensi dalam produksi biasanya diartikan sebagai efisiensi ekonomi atau efisiensi produksi perusahaan/usahatani yang berarti perusahaan/usahatani mampu menghasilkan output sebanyak mungkin dari sejumlah input tertentu. Efisiensi produksi terkait dengan kinerja relatif dari proses perubahan input menjadi output.

Studi yang terkait dengan efisiensi pada berbagai komoditi pertanian telah banyak dilakukan dengan berbagai metode dan alat analisis, sebagian besar menggunakan analisis stochastic frontier. Penelitian yang dilakukan oleh Wilson

et al. (1998), menggunakan fungsi produksi frontir stokastik untuk mengukur atau mengestimasi efisiensi teknis usahatani kentang di Inggris. Nilai efisiensi teknis usahatani kentang di Inggris berkisar antara 33 – 97 persen. Rata-rata nilai efisiensi teknis petani kentang di Inggris adalah 89.53 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas yang dicapai petani kentang di Inggris sekitar 89.53 persen dari produktivitas batas (frontier). Dengan pendekatan yang sama, Abedullah et al. (2006) juga mengukur efisiensi teknis dan determinannya pada usahatani kentang di Pakistan dan menunjukkan rata-rata nilai efisiensi teknis yang dicapai oleh petani kentang di Pakistan adalah 84 persen. Hal ini menunjukkan bahwa produksi dapat ditingkatkan sebesar 16 persen dari teknologi sekarang.

Efisiensi teknis usahatani sereal konvensional lebih tinggi dibandingkan usahatani sereal organik. Hal ini ditemukan oleh Madau (2007) yang membandingkan efisiensi usahatani sereal organik dengan usahatani konvensional di Italia. Sampel yang digunakan sebanyak 93 petani yang berusahatani organik dan 138 petani yang berusahatani konvensional dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi frontir stokastik. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa rata-rata nilai efisiensi teknis usahatani konvensional yaitu 0.92 sedangkan rata-rata efisiensi teknis usahatani organik adalah 0.83. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani konvensional lebih efisien dibandingkan usahatani organik. Artinya bahwa usahatani konvensional lebih produktif dibandingkan usahatani organik.

Untuk meningkatkan efisiensi teknis usahatani organik maka diperlukan tindakan berupa training/pelatihan bagi petani sereal organik dan perlunya peningkatan intensitas penyuluhan.

Tijani (2006) meneliti tentang analisis efisiensi teknis usahatani padi di Ijesha, Nigeria dengan menggunakan model fungsi produksi frontier stochastic. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat efisiensi teknis yang dicapai oleh petani berkisar antara 29.4 persen sampai 98.2 persen dengan rata-rata 86.8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa produksi dapat ditingkatkan sebesar 13.2 persen dari teknologi sekarang. Produksi padi di wilayah ini dapat ditingkatkan dengan level input dan teknologi yang ada dalam jangka pendek jika usahatani yang kurang efisien didorong untuk mengikuti pola penggunaan sumberdaya dari usahatani paling efisien. Oleh karena itu diperlukan kebijakan atau regulasi pemerintah yang mendorong penggunaan metode persiapan lahan tradisional yang lebih efektif dan tepat serta perlunya meningkatkan aktifitas staf penyuluh yang merupakan motivator petani dalam penerapan teknologi. Khan et al. (2010) juga menggunakan pendekatan fungsi produksi frontir stokastik untuk mengestimasi efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis produksi padi di Boro dan Aman Kabupaten Jamalpur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata efisiensi teknis petani padi di Boro adalah 95 persen dan di Aman 90 persen. Artinya bahwa petani padi di Boro dan Aman sudah efisien secara teknis. Hal ini menunjukkan bahwa ruang untuk meningkatkan produksi melalui peningkatan efisiensi teknis dengan teknologi sekarang sudah relatif terbatas yaitu masing-masing 5 persen dan 10 persen.

Orewa and Izekor (2012) menggunakan pendekatan stochastic frontier

untuk mengestimasi efisiensi teknis pada produksi ubi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa input produksi yang dapat menyebabkan peningkatan produksi ubi adalah perluasan lahan pertanian, peningkatan penggunaan bibit ubi, pupuk dan tenaga kerja. Rata-rata nilai efisiensi teknis yang dicapai oleh petani adalah 69 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat 31 persen peluang untuk meningkatkan produksi ubi dengan teknologi sekarang. Sementara Ogundari and Ojo (2006) menggunakan model fungsi produksi frontir stokastik dan fungsi biaya untuk mengukur efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi

ekonomi usahatani singkong di Nigeria. Penelitian ini menyimpulkan bahwa rata- rata efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi adalah 90 persen, 89 persen dan 81 persen. Hasil studi ini konsisten dengan hipotesis “shultz poor – but – efficient

bahwa petani gurem atau petani kecil adalah efisien dalam perilaku alokasi penggunaan sumberdaya jika mempertimbangkan ukuran relatif dari efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi. Dari studi ini juga diperoleh hasil bahwa rata-rata usahatani dalam wilayah sampel adalah efisien secara teknis, alokatif dan ekonomi. Secara keseluruhan efisiensi ekonomi dari usahatani singkong dapat ditingkatkan dan efisiensi alokatif merupakan masalah yang lebih serius dibandingkan efisiensi teknis karena efisiensi teknis nampak lebih signifikan dibandingkan efisiensi alokatif sebagai sumber pencapaian efisiensi ekonomi. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa dengan sumberdaya produksi yang ada, petani yang kecil atau petani miskin dengan sumberdaya terbatas adalah cukup efisien dalam menggunakan sumberdayanya.

Penelitian yang dilakukan oleh Oyewa and O.Isaac (2011) tentang efisiensi teknis produksi jagung di negara bagian Oyo, menggunakan data cross section dan dianalisis dengan menggunakan fungsi produksi frontir stokastik. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas lahan dan benih berpengaruh secara statistik dan signifikan masing-masing pada level 10 persen dan 1 persen. Rata- rata efisiensi teknis yang dicapai petani adalah 0.961 dan nilai skala pengembalian (Return to Scale) sebesar 0.587. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk meningkatkan produksi jagung dengan teknologi yang ada sebesar 39 persen. Untuk meningkatkan produksi jagung maka perlu dilakukan perluasan lahan dan peran penyuluh pertanian untuk meningkatkan pengetahuan petani dan memperbaiki teknik budidaya jagung sehingga dapat meningkatkan efisiensi.

Selain menggunakan pendekatan frontir stokastik, efisiensi ekonomi juga dapat diukur dengan menggunakan teknik dekomposisi parametrik seperti studi yang dilakukan oleh Nyagaka, et al. (2009) pada usahatani kentang Irlandia di Kenya : studi kasus Distrik Utara Nyandarua. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 127 petani kecil. Studi ini menyimpulkan bahwa efisiensi ekonomi petani kentang berkisar antara 12.3 persen – 66.1 persen dengan rata-rata efisiensi ekonomi 39.1 persen. Efisiensi ekonomi yang diperoleh petani kentang di Irlandia

masih tergolong rendah sehingga diperlukan peran pemerintah Kenya untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dengan cara menciptakan lingkungan kelembagaan yang dapat memfasilitasi aksesibilitas petani terhadap penyuluhan serta meningkatkan akses ke kredit formal.

Tanjung (2003) mengukur efisiensi usahatani kentang di Kabupaten Solok, Sumatera Barat dengn menggunakan fungsi produksi stochastic frontier dan fungsi biaya dual. Fungsi produksi stochastic frontier digunakan untuk menganalisis efisiensi teknis dari sisi output sedang analisis fungsi biaya dual digunakan untuk mengukur efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi dari sisi input. Data dikumpulkan dari 50 petani kentang dari dua kecamatan yaitu Kecamatan Lembah Gumanti dan Kecamatan Danau Kembar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani kentang di Kabupaten Solok sudah efisien secara teknis dengan nilai rata-rata efisiensi teknis yang diperoleh petani dengan menggunakan indeks Timmer (pendekatan output) dan indeks Kopp (pendekatan input) adalah 0.756 dan 0.680. Untuk mengurangi kesenjangan efisiensi teknis yang terjadi antar petani maka perlu dilakukan peningkatan atau perbaikan teknik pembinaan yang dilakukan oleh PPL dan perlunya petani saling berbagi pengalaman dan pengetahuan.

Analisis efisiensi usahatani padi dan palawija (jagung dan kedelei) juga dilakukan oleh Wahida (2005) dengan menggunakan pendekatan stochastic production frontier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai efisiensi teknis usahatani padi, jagung dan kedelei berturut-turut adalah 0.76, 0.80 dan 0.53. Hal ini menunjukkan bahwa ruang untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi dan jagung relatif sempit namun ruang untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelei masih relatif luas. Meskipun input yang digunakan sudah menunjukkan efisien secara teknis namun secara alokatif tidak efisien disebabkan karena nilai produk marjinalnya masih lebih rendah dibandingkan dengan harga inputnya (seperti input pupuk P, K dan tenaga kerja).

Sukiyono (2005) juga melihat efisiensi teknis usahatani cabai merah di Kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan fungsi produksi frontier dan diduga dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Hasil studi menunjukkan bahwa rata-rata nilai efisiensi teknis petani adalah 65 persen dan

secara umum sudah tergolong tinggi. Dari hasil penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa meskipun lahan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi teknis namun luas lahan yang sempit sering dianggap sebagai faktor utama rendahnya tingkat efisiensi. Padahal beberapa penelitian menunjukkan bahwa lahan yang sempit lebih efisien dibandingkan dengan lahan yang luas. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Bozoglu and Ceyhan (2006), Herdt and Mandac (1981), Warsana (2007) yang menyimpulkan bahwa lahan sempit lebih efisien dibandingkan lahan yang luas.

Penelitian-penelitian tersebut di atas sebagian besar menggunakan metode

frontier parametrik stokastik. Hal ini sesuai dengan hasil studi yang dilakukan oleh Bravo-Ureta et al. (2007) yang mengkaji sebanyak 167 hasil studi empiris yang terdiri atas 42 studi yang menggunakan metode non parametrik, 32 studi yang menggunakan metode parametrik deterministik dan 117 menggunakan metode frontier parametrik stokastik (Tabel 5). Model frontier parametrik stokastik adalah model yang paling banyak digunakan peneliti di bidang pertanian.

Tabel 5. Ringkasan Beberapa Studi Empiris Efisiensi Teknik untuk Beberapa Komoditi Pertanian.

Penulis Tahun Negara Produk JumlahO

bservasi

Rata-rata TE I. Non Parametrik

Abay 2004 Turki Other crops 300 300

Asmild 2003 Belanda Peternakan sapi perah 1 808 80.5

Bru¨mmer 2001 Slovenia Seluruh pertanian 185 44.0

de Koeijer 2002 Belanda Other crops 467 63.0

de Koeijer 2003 Belanda Seluruh pertanian 57 55.0 Fletschner 2002 Paraguay Seluruh pertanian 283 84.0 Lansink 2002 Finlandia Seluruh pertanian 2,014 92.0 Reinhard 2000 Belanda Peternakan sapi perah 1 535 79.7

Sherlund 2002 Cote d’Ivoire Padi 464 35.0

Shafiq 2000 Pakistan Kapas 117 77.0

Wu 2003 USA Other crops 147 88.0

Wadud 2000 Jerman Padi 150 85.6

II. Parametrik

Deterministik Frontier

Alvarez 2004 Spanyol Peternakan sapi perah 196 70.0 Alvarez 1999 Spanyol Peternakan sapi perah 410 72.0

Bakhshoodeh 2001 Iran Gandum 164 92.0

Dawson 1991 Pilipina Padi 22 59.0

Hallam perah 1996 Portugal Peternakan sapi 340 62.5 Karagiannis 2002 UK Peternakan sapi perah 2 147 77.6 Maietta 2000 Italia Peternakan sapi perah 533 55.0

Rebelo 2000 Portugal Seluruh pertanian 281 84.1

Shah 1994 Pakistan Jagung 380 66.6

Tabel 5. Lanjutan

Penulis Tahun Negara Produk Jumlah

Observasi

Rata-rata TE

Stochastic Frontier

Abdulai 2001 Nicaragua Jagung 120 72.0

Ahmad 1996 1996 Peternakan sapi perah 1 072 81.0

Ali 1994 Pakistan Tanaman 436 24.0

Bakhshoodeh 2001 Iran Other grains 164 33.0

Battese 1992 India Padi 129 89.1

Battese 1996 Pakistan Gandum 400 68.0

Binam 2004 Kamerun Other crops 150 75.0

Bravo-Ureta 1997 Republik Dominika

Jagung, padi, kentang dll

60 70.0

Coelli 2004 Papua New

Guinea

Other crops 72 78.0

Ekanayake 1987 Sri Lanka Padi 62 75.0

Kaalirajan 2001 India Padi 500 67.5

Kumbhakar 1994 India Padi 227 75.5

Parikh 1995 Pakistan Other crops 436 88.5

Reinhard 1999 Belanda Peternakan sapi perah 1 545 89,4 Reinhard 2000 Belanda Peternakan sapi perah 535 89.5

Seyoum 1998 Ethiopia Jagung 20 86.6

Sherlund 2002 Cote d’Ivoire Padi 464 43.0

Wadud 2000 Bangladesh Padi 150 79.1

Wilson 1998 UK Kentang 140 89.5

Msuya et al. 2008 Tanzania Jagung 233 60.6

Omonona et al.* 2010 Nigeria Kopi 120 87.0

Hasan* 2010 Bangladesh Gandum 293 84.0

Ahmed* 2011 Bangladesh Crops 80 69.0

Orewa and Izekor* 2012 Edo State Ubi 180 69.0

Oyewa and Isaac* 2011 Oyo State Jagung 120 96.0

Sukiyono 2005 Indonesia Cabe merah 60 64.9

Tijani 2006 Nigeria Padi 50 86.6

Udoh 2005 Nigeria Sayuran 320 65.1

Sumber : Bravo-Ureta et al. 2007 (hanya sebagian diadaptasi) Tanda* menunjukkan data dan informasi terbaru

Pada saat efisiensi teknis tidak tercapai, berarti produsen atau petani telah menggunakan sumberdayanya pada tingkat dimana produksi masih memungkinkan untuk ditingkatkan, namun karena adanya faktor-faktor penghambat maka efisiensi teknis tidak tercapai. Faktor-faktor tersebut berupa variabel sosial ekonomi seperti umur, pendidikan, pengalaman usahatani, jarak lahan dari rumah, jumlah anggota keluarga, intensitas penyuluhan, keikutsertaan dalam kelompok tani, akses terhadap sumber-sumber kredit dan sebagainya.

Studi yang dilakukan oleh Orewa and Izekor (2012) dengan memasukkan variabel umur, tingkat pendidikan, pengalaman usahatani dan ukuran rumahtangga sebagai variabel yang berpengaruh terhadap inefisiensi teknis usahatani ubi di Edo State. Hasil studi menunjukkan bahwa pendidikan, pengalaman usahatani dan ukuran rumahtangga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inefisiensi teknis usahatani ubi di Edo State. Demikian pula

studi Oyewa and O.Isaac (2011), Maganga (2012) juga menunjukkan bahwa pendidikan dan pengalaman usahatani berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inefisiensi usahatani jagung di negara bagian Oyo dan usahatani kentang di Irlandia. Artinya bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman berpengaruh menurunkan inefisiensi teknis usahatani ubi atau jagung. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman usahatani berpengaruh terhadap kapabilitas manajerial dan kualitas pengambilan keputusan petani yang akhirnya berdampak pada penurunan inefisiensi teknis usahatani.

Obare, Nyagaka, Nguyo dan Mwakubo (2010) melakukan penelitian untuk melihat tingkat efisiensi alokatif sumberdaya dari petani kentang dan melihat faktor yang mempengaruhi efisiensi alokatif. Pendekatan yang digunakan adalah fungsi dual stochastic frontier dan model two-limit tobit. Sampel diambil secara random sebanyak 127 petani kentang. Hasil studi menunjukkan pengalaman, akses terhadap kredit, akses terhadap penyuluhan, keanggotaan dalam kelompok tani berpengaruh positif dan signifikan mempengaruhi efisiensi alokatif. Hasan and Islam (2010) menggunakan data cross section dari tiga daerah di Bangladesh dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb Douglas menyimpulkan bahwa pendidikan dan pelatihan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap inefisiensi teknis..

Hasil Estimasi inefisiensi pada usahatani kentang dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier menunjukkan bahwa umur, konsultasi dengan penyuluh dan luas areal berpengaruh negatif dan signifikan sedangkan pendidikan berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap inefisiensi teknis usahatani kentang. Perlunya meningkatkan peran jasa penyuluhan karena hanya 37 persen petani yang sering melakukan kontak dengan penyuluh. Namun dari hasil koefisien yang besar dari jasa penyuluhan menunjukkan bahwa peningkatan dalam penyuluhan ini dapat secara signifikan meningkatkan efisiensi teknis dari produksi kentang (Abedullah, Bakhsh dan Ahmad, 2006).

Studi tentang hubungan antara efisiensi teknis dengan kemampuan manajerial dari petani wortel di Pakistan dilakukan oleh Bakhsh and Hassan (2008) dengan menggunakan sampel sebanyak 100 petani wortel dari dua kabupaten yaitu Kabupaten Kasur dan Kabupaten Sheikhupura. Hasil studinya

menunjukkan bahwa pendidikan dan penyuluhan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap efisiensi teknis. Dengan demikian peningkatan pendidikan dan perluasan penyuluhan dapat meningkatkan efisiensi teknis dan mengurangi penggunaan sumberdaya yang berlebihan.

Beberapa studi empiris tentang faktor-faktor sosial ekonomi yang menentukan inefisiensi teknis disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Ringkasan Beberapa Studi Empiris Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang Menentukan Inefisiensi Teknis dengan Pendekatan Stochastic Frontier.

Penulis Lokasi/

Negara Tahun

Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis

Abedullah, Baksh&Ahmad

Pakaistan 2006 Umur (-)*, pendidikan (-), status pemilik (+),

konsultasi ke penyuluh (-)*, konsultasi ke dealer input (-), status kepemilikan lahan (+), areal sayuran (-)**

Hasan and Islam Bangladesh 2010 Luas lahan (+), umur (-), pendidikan (-)**,

pengalaman (-)*, jumlah tanggungan (-), penyuluhan (+), pelatihan gandum (-)

Sukiyono Indonesia 2005 Umur (-), pendidikan (+)*, pengalaman (-),

luas lahan (+) Kalirajan dan

Flinn

Pilipina 1983 Pendidikan (-), umur (-), pengalaman (-)**,

pengetahuan (-), kontak penyuluhan (-)**, metode tanam (-)**

Wilson et al. Inggris 1998 Proporsi lahan irigasi (-)*, keikutsertaan

kelembagaan koperasi (-)*, rotasi tanaman(-)*

Maganga et al. Malawi 2012 Pekerjaan di luar usahatani (+)*, pendidkan (-

)*, kunjungan penyuluh (-), kredit (-), pengalaman (-)*, tingkat spesialisasi (-)*, umur (+)**, Ukuran keluarga (+)***, frekuensi penyaiangan gulma (-)

Fauziyah Indonesia 2010 Umur (+)*, pendidikan (-)*, pendapatan non

pertanian (-)*, teknik budidaya (-)**,

kelompok tani (-)*, penyuluhan pertanian (-)*

Wahida Indonesia 2005 Jumlah anggota rumahtangga usia kerja (+)*,

aksessibilitas terhadap saluran kuarter (-)*, tingkat pendidikan KK(-)*, total biaya usahatani (-)*, pendapatan dari sektor pertanian (-)*

Bakhsh, et al. Pakistan 2008 Umur (-), pendidikan (-)*, luas lahan (-),

akses penyuluhan (-), dummy distrik (-)*, dummy input (+), kepemilikan lahan (+)*

Saptana Indonesia 2011 Rasio pendapatan (-)**, luas lahan garapan (-

)***,pendidikan (-)***, pengalaman (-)**

Villano and

Fleming

Pilipina 1990 Umur (+), pendidikan (-), rasio ART dewasa

(-)**, pendapatan non pertanian (+)** Catatan : *, **, dan *** masing-masing berbeda nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Sumber : Diadaptasi dari berbagai sumber

2.2. Perilaku Petani dalam Menghadapi Risiko Produksi

Setiap aktivitas atau kegiatan yang diambil oleh pengambil keputusan atau petani selalu dihadapkan pada risiko. Setiap pengambil keputusan atau petani memiliki perilaku yang berbeda-beda dalam menghadapi risiko. Ada petani yang berperilaku sebagai penggemar risiko, netral terhadap risiko dan menghindari risiko. Syafaat (1990) menganalisis sikap petani dalam menghadapi risiko produksi pada usahatani padi sawah di lahan beririgasi teknis. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa petani pemilik dan penyewa bersifat sebagai penggemar risiko (risk taker) dalam penggunaan pupuk anorganik, sedangkan petani gadai bersikap sebagai penghindar risiko produksi (risk averse) dalam penggunaan pupuk anorganik. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penguasaan lahan untuk petani pemilik dan penyewa lebih pasti sehingga mereka lebih berani mengambil risiko produksi sedangkan penguasaan lahan bagi petani gadai kurang pasti karena sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh pemiliknya sehingga petani gadai kurang berani mengambil risiko produksi. Petani yang sumber pendapatannya berasal dari pertanian dan dari luar pertanian bersikap sebagai penggemar risiko dalam penggunaan pupuk anorganik. Hal ini menunjukkan bahwa petani yang sumber pendapatannya bukan hanya dari pertanian memiliki modal yang cukup untuk membiayai usahataninya. Sedangkan petani yang sumber pendapatannya hanya berasal dari pertanian saja bersikap sebagai penghindar risiko sebab mereka memiliki modal yang kurang untuk membiayai usahataninya. Petani yang menggemari risiko produksi menggunakan pupuk anorganik relatif lebih tinggi dibanding petani penghindar risiko produksi.

Luas lahan yang dimiliki oleh petani berpengaruh terhadap perilaku petani dalam menghadapi risiko. Penelitian yang dilakukan oleh Purwoto (1990) pada usahatani padi di Jawa Tengah menunjukkan bahwa petani yang memiliki lahan yang lebih luas relatif lebih bersikap sebagai risk taker (penggemar risiko). Hal ini dapat dijelaskan bahwa petani yang memiliki lahan luas menunjukkan bahwa petani tersebut memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik. Temuan lain dari penelitian ini adalah semakin menyebar luas lahan garapan petani maka petani bersikap takut atau menghindari risiko dan akan memilih untuk menggunakan varietas lokal atau varietas yang menunjukkan koefisien variasi hasil produksi

yang rendah sedangkan petani yang relatif berani terhadap risiko akan memilih varietas yang menunjukkan variasi hasil produksi yang tinggi atau menggunakan varietas unggul.

Khumbakar (2002) menghubungkan antara risiko produksi, pilihan risiko dan efisiensi produksi. Menggunakan model yang dikembangkan dari Just and Pope. Data yang digunakan adalah data cross section nelayan yang membudidayakan ikan salmon di Norwegia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan bersifat sebagai penghindar risiko (risk averse). Pakan ikan memiliki potensi untuk meningkatkan risiko produksi sedangkan tenaga kerja manusia dapat menurunkan risiko produksi karena dengan menggunakan tenaga kerja yang lebih terampil dapat menurunkan risiko produksi pada usaha budidaya ikan.

Bokusheva and Hockmann (2006) menggunakan model Just and Pope dan model Kumbhakar untuk melihat dampak risiko produksi dan inefisiensi teknis pada produsen pertanian di Rusia. Wilayah sampel yang dipilih adalah Krasnodar, Oroel dan Samara. Hasil yang diperoleh dari analisis dengan menggunakan data panel sebanyak 443 menunjukkan bahwa inefisiensi teknis meningkatkan variabilitas produksi pertanian di Rusia. Selain itu, risiko produksi juga berkontribusi terhadap volatilitas produksi pertanian di Rusia. Hampir pada semua wilayah sampel (Krasnodar, Oroel, dan Samara) menunjukkan bahwa variabilitas output dapat dijelaskan oleh risiko produksi. Oleh karena itu, dengan mengabaikan risiko dapat menyebabkan estimasi efisiensi teknis yang salah atau bias. Jadi risiko produksi memainkan peranan yang penting dalam pembangunan pertanian. Usahatani harus mencari alternatif untuk memperbaiki respon mereka terhadap risiko produksi diantaranya dengan memperkenalkan teknologi produksi yang lebih moderen dan praktek-praktek yang dapat menurunkan ketidakstabilan produksi dan memfasilitasi penggunaan faktor produksi yang lebih fleksibel.

Risiko produksi, preferensi risiko dan efisiensi teknis usahatani padi di dataran rendah pada sawah tadah hujan di Pilipina juga dikaji oleh Villano et al.

(2005) dengan menggunakan model fungsi risiko produksi yang dikembangkan oleh Kumbhakar (2002). Selain itu, kerangka heteroskedastis dan stochastic frontier ditambahkan dan diperluas untuk mengakomodasi preferensi risiko

petani dalam analisis risiko produksi. Menggunakan data panel selama 8 tahun dari 46 petani padi. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa inefisiensi teknis sangat ditekankan dalam lingkungan produksi oleh petani yang berperilaku

risk averse. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tenaga kerja dan pupuk adalah input yang dapat meningkatkan risiko (risk-increasing) sedangkan herbisida merupakan input yang dapat menurunkan risiko (risk-decreasing).

Penelitian yang dilakukan oleh Abedullah (2004) dengan menggunakan

pooled data (gabungan data cross section dan data time series) pada usahatani padi sawah tadah hujan di Tarlac, Pilipina menunjukkan bahwa pupuk merupakan input yang dapat meningkatkan risiko produksi. Karena penggunaan pupuk yang berlebihan akan menyebabkan penurunan kualitas fisik dan kimia tanah. Turunnya kualitas fisik dan kimia tanah akan berakibat pada turunnya produktivitas tanaman. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dampak dari perilaku petani yang risk averse terhadap penggunaan pupuk yang optimal pada sawah tadah hujan adalah umumnya kecil. Hal tersebut hanya berlaku pada wilayah Tarlac di Pilipina karena didukung oleh kondisi lingkungan yang lebih baik atau menguntungkan dimana curah hujan rata-rata selama musim pertumbuhan tanaman padi lebih tinggi dari curah hujan minimum yang diperlukan untuk produksi padi. Sedangkan untuk wilayah dengan kondisi lingkungan yang kurang baik, efek dari risk averse mungkin lebih besar terhadap penggunaan input pada sawah tadah hujan.

Petani dengan skala usaha kecil cenderung menghindari risiko tidak sesuai dengan hasil penelitian Ayinde et al. (2008). Penelitian ini dilakukan di Kwara, Nigeria dimana sampel diambil berdasarkan agroekologi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku petani dengan skala usaha kecil lebih bervariasi dimana ada petani yang menghindari atau takut dengan risiko, ada petani yang netral dengan risiko dan ada pula petani yang menggemari atau berani terhadap

Dokumen terkait