• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1.1 Kelembagaan dan Modal Sosial

Kelembagaan mempunyai pengertian sebagai wadah dan sebagai norma. Lembaga atau institusi adalah seperangkat aturan, prosedur, norma perilaku individual yang sangat penting bagi pengembangan pertanian (Gunadi, 1998 dalam Nasution, 2002). Sedangkan menurut Rofiq (1989) dalam Nasution (2002) lembaga kemasyarakatan adalah pranata sosial yang mengatur prilaku para anggota masyarakat. Koentjaraningrat (1964) dalam Soekanto (1982) mengatakan bahwa pranata sosial adalah “suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat”. Jadi dalam hal ini kelembagaan sosial adalah sistem norma, nilai, dan pola hubungan yang mengatur warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka memenuhi kebutuhannya.

Modal sosial diartikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial-ekonomi, seperti pandangan umum, kepercayaan, resiprositas, pertukaran ekonomi dan infomasi, kelompok-kelompok formal dan informal, serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal fisik dan modal manusia sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif dan pembangunan (Colleta and Cullen, 2000 dalam Nasdian 2005).

Menurut Nasdian (2005) Modal sosial memiliki empat dimensi: (1) integrasi, berupa ikatan-ikatan antar kekerabatan, agama, dan etnik; (2) pertalian, yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal; (3) integritas organisasional, yaitu kemampuan dan keefektifan institusi negara menjalankan fungsinya; dan (4) sinergi, yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas. Fokus perhatiannya adalah apakah negara memberikan ruang yang luas atau tidak bagi berpartisipasi warganya. Dimensi pertama dan kedua berada pada tingkat horizontal, sedangkan dimensi ketiga dan keempat, ditambah dengan pasar (market) berada pada tingkat vertikal.

Menurut Syahyuti2 ditemukan berbagai pendekatan yang keliru dalam pengembangan kelembagaan khususnya bagi kelembagaan yang tergolong ke dalam enacted institution3. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal, bukan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama dan tujuannya lebih untuk distribusi bantuan dan memudahkan kontrol dari pelaksana program, bukan untuk peningkatan social capital masyarakat. Berdasarkan studi kasus yang dilakukan oleh tim PSP3-IPB di DAS Citanduy menunjukan bahwa kelembagaan komunitas lokal umumnya belum berhasil mengembangkan jejaring (networking) antar kelembagaan tersebut, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, kelembagaan komunitas lokal yang ada belum mampu membangun dan mengembangkan jejaring dengan berbagai kelembagaan lain di luar komunitasnya. Akan tetapi kecenderungan ke arah itu sudah tampak, yakni dengan upaya diversifikasi usaha yang dilakukan oleh kelembagaan tersebut. Sedangkan secara vertikal pemerintah dengan kebijakannya masih belum memberikan ruang yang luas bagi partisipasi anggota kelembagaan komunitas lokal untuk mengembangkan kreatifitasnya dan dalam proses pengambilan keputusan.

2.1.2 Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemberdayaan Komunitas

Kapasitas kelembagaan adalah tingkat kemampuan suatu badan/lembaga/organisasi dengan struktur pengorganisasian tertentu, proses-proses kerja, dan budaya kerja yang erat hubungannya dengan keterampilan dan kualifikasi individu berupa uraian pekerjaan, motivasi, dan sikap kerja dari individu-individu yang mendukung kelembagaan tersebut. Peningkatan kapasitas kelembagaan desa merupakan suatu yang sistemik dan manajerial, yang didalamnya mengandung proses interaksi, komunikasi, dan relasi diantara tiga “ruang kekuasaan” di aras desa. Rencana strategis desa, rencana pembangunan desa, peraturan desa, dan keuangan dirancang secara partisipatif dengan peran

2

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Mono25-02.pdf [diakses pada hari Rabu, 04 Mei 2011, pukul 20:09 WIB]

3

serta multi stakeholder merupakan basis dan instrumen penguatan kapasitas kelembagaan desa (Nasdian, 2006).

Menurut Israel (1990) pengembangan atau penguatan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Proses ini dapat secara internal digerakan oleh manajer sebuah lembaga atau dicampurtangani dan dipromosikan oleh pemerintah atau oleh badan-badan pembangunan. Khasnya pengembangan kelembagaan menyangkut sistem manajemen (perencanaan, penyusunan anggaran, akunting, auditing, perawatan dan pengadaan termasuk pemantauan dan evaluasi).

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan tim PSP3-IPB di lima provinsi, yaitu: Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali, dan Papua. Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan desa tidak cukup hanya dengan sekedar melaksanakan program-program pendidikan, pelatihan, penataran, penyuluhan, sosialisasi dan lain-lain. Akan tetapi peningkatan kapasitas kelembagaan desa sebagai wujud pemberdayaan komunitas desa merujuk kepada reformasi kelembagaan desa, sehingga dapat terpenuhinya tuntutan dan kebutuhan otonomi desa, sebagai suatu cara pendekatan ke arah pemerintahan (pengaturan), administrasi, dan pengembangan mekanisme-mekanisme partisipatif yang tepat guna dan lebih demokratis.

Dalam upaya pemberdayaan komunitas desa dan pengembangan kelembagaan yang berkelanjutan maka dikemukakan tiga alternatif yang dapat dilakukan yaitu: (1) Membangun dan mengembangkan kelembagaan kooperatif dan produktif di tingkat komunitas berbasis kemitraan; (2) Membangun dan mengembangkan manajemen pembangunan pedesaan (kawasan) di tingkat kabupaten sebagai wujud dari local goverment policies, dan (3) Membangun dan mengembangkan jejaring kelembagaan yang berbasis komunitas.

2.1.3 Tipologi Kelembagaan Komunitas Lokal

Menurut Nasdian (2005) tipologi kelembagaan komunitas lokal „dikonstruksi‟ berdasarkan dua variabel pokok, yaitu: tinggi rendahnya “keseimbangan pelayanan-peranserta” dalam suatu kelembagaan dan (2) berfungsi-tidaknya good governance dalam suatu kelembagaan. Berdasarkan kedua variabel tersebut dapat

diidentifikasi empat tipe kelembagaan yakni: (1) Tipe-1, kelembagaan yang sustain; (2) Tipe-2, kelembagaan yang semi sustain dengan kendala manajemen; (3) Tipe-3, kelembagaan yang tidak sustain; dan (4) Tipe-4, kelembagaan semi-sustain dengan kendala good governance. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah:

Gambar 1. Tipologi kelembagaan komunitas lokal

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal, yaitu: (1) jejaring kerjasama; (2) intervensi positif pemerintah; (3) kecukupan anggaran; dan (4) aturan-aturan tertulis. Dengan demikian melalui program-program pengembangan jejaring kerjasama, intervensi pemerintah, kecukupan pangan, dan aturan-aturan tertulis akan dapat meningkatkan keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal.

2.1.4 Partisipasi

Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif yang diambil warga sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: pertama, warga komunitas

SUSTAINABLE UNSUSTAINABLE (4) “Keseimbangan Pelayanan-Peranserta” (1) (3) (2)

Berfungsi “good governance”

“bad governance”

dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar (Nasdian, 2006).

Partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Dengan kata lain,batasan dari partisipasi adalah keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyekpembangunan (Keith Davis, dalam Sastropoetro 1988)

Dalam makalahnya yang berjudul ” A Ladder of Citizen Participation” dalam Journal of the American Planning Association (1969), Sherry Arstein mengemukakan delapan tangga atau tingkatan partisipasi. Kedelapan tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Manipulation

Dengan mengatasnamakan partisipasi, masyarakat diikutkan sebagai ‟stempel karet‟ dalam badan penasihat. Tujuannya adalah untuk dipakai sebagai formalitas semata dan untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah tingkat partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa.

2) Therapy

Pada tingkat therapy atau pengobatan ini, pemegang kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdayaan sebagai penyakit mental. Dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu perencanaan, mereka sebenarnya menganggap masyarakat sebagai sekelompok orang yang memerlukan pengobatan. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam berbagai kegiatan namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya dan bukannya menemukan penyebab lukanya.

3) Informing

Dengan memberi informasi kepada masyarakat akan hak, tanggung jawab, dan pilihan mereka merupakan langkah awal yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Namun acapkali pemberian informasi dari penguasa kepada masyarakat tersebut bersifat satu arah. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik dan tidak memiliki kekuatan untuk negosiasi. Apalagi ketika informasi disampaikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi program. Komunikasi satu arah ini biasanya dengan menggunakan media pemberitaan, pamflet,dan poster.

4) Consultation

Meminta pendapat masyarakat merupakan suatu langkah logis menuju partisipasi penuh. Namun konsultasi ini masih merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan. Cara yang sering digunakan dalam tingkat ini adalah jejak pendapat, pertemuan warga, dan dengar pendapat. Jika pemegang kekuasaan membatasi usulan masyarakat, maka kegiatan tersebut hanyalah merupakan suatu partisipasi palsu. Masyarakat pada dasarnya hanya dianggap sebagai abstraksi statistik, karena partisipasi hanya diukur dari frekuensi kehadiran dalam pertemuan, seberapa banyak brosur yang dibawa pulang dan juga dari seberapa banyak kuesioner dijawab. Dengan demikian, pemegang kekuasaan telah merasa memiliki bukti bahwa mereka telah mengikuti rangkaian pelibatan masyarakat.

5) Placation

Pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun dalam beberapa hal pengaruh tersebut tidak memiliki jaminan akan diperhatikan. Masyarakat memang diperbolehkan untuk memberikan masukan atau mengusulkan rencana akan tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan. Salah satu strateginya adalah dengan memilih masyarakat miskin yang layak untuk dimasukkan ke dalam suatu lembaga. Jika mereka tidak bertanggung jawab dan jika pemegang kekuasaan memiliki mayoritas kursi, maka mereka akan dengan mudah dikalahkan dan diakali.

6) Partnership

Pada tingkat ini, kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat. Mereka sepakat untuk sama-sama memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aturan ditentukan dengan melalui mekanisme take and give, sehingga diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak. Partnership dapat berjalan efektif bila dalam masyarakat ada kekuasaan yang terorganisir, pemimpinnya bertanggung jawab, masyarakat mampu membayar honor yang cukup bagi pemimpinnya serta adanya sumber dana untuk menyewa teknisi, pengacara dan organisator masyarakat. Dengan demikian, masyarakat benar-benar memiliki posisi tawar-menawar yang tinggi, sehingga akan mampu mempengaruhi suatu perencanaan.

7) Delegated Power

Negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah bisa mengakibatkan terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atau program tertentu. Pada tingkat ini masyarakat menduduki mayoritas kursi, sehingga memiliki kekuasaan dalam menentukan suatu keputusan. Selain itu, masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjamin akuntabilitas program tersebut. Untuk mengatasi perbedaan, pemegang kekuasaan tidak perlu meresponnya akan tetapi dengan mengadakan proses tawar-menawar.

8) Citizen Control

Pada tingkat ini, masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka, bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan dan aspek-aspek manajerial dan bisa mengadakan negosiasi apabila ada pihak ketiga akan mengadakan perubahan. Dengan demikian, masyarakat dapat berhubungan langsung dengan sumber-sumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati pihak ketiga.

Manipulasi dan terapi termasuk kedalam level non-participation, inisiatif pembangunan tidak bermaksud untuk memberdayakan masyarakat akan tetapi membuat pemegang kekuasaan untuk “menyembuhkan” atau “ mendidik” komunitas. Informasi dan konsultasi (tokenism), komunitas bisa mendapatkan

informasi dan menyuarakan pendapat akan tetapi tidak ada jaminan kalau pendapat komunitas akan diakomodasi. Placation (level tertinggi tokenism), komunitas bisa memberikan saran kepada pemegang kekuasaan, akan tetapi kewenangan menentukan tetap ada pada pemegang kekuasaan. Partnership, membuat komunitas dapat bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendelegasian kewenangan dan kontrol, komunitas memegang mayoritas pengambilan keputusan dan kekuasaan pengelolaan. Secara jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:

Sumber : Arstein, 1969

Gambar 2. Delapan Tangga Tingkat Partsipasi Masyarakat

2.1.5 Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat

Pengembangan masyarakat adalah salah satu metode pekerjaan sosial yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial. Pengembangan masyarakat merupakan suatu proses swadaya masyarakat yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kondisi masyarakat pada bidang sosial, politik, kultural, dan ekonomi (Suharto, 2005). Masih menurut Suharto (2005) pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau

Manipulasi Terapi Informasi Konsultasi Placation Partnership Delegasi Kewenangan Kontrol 1 2 3 4 5 6 7 8 Nonparticipation Tokenism Citizen Power

kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan(freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Secara umum istilah pengembangan masyarakat merujuk kepada usaha-usaha yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat bersama dengan pemerintah setempat untuk meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, dan kultural serta untuk mengintegrasikan masyarakat yang ada ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan memberi kesempatan yang memungkinkan masyarakat tersebut membantu secara penuh pada kejayaan dan kemakmuran bangsa (Conyers, 1996 dalam Nasdian, 2006).

Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan, dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Suharto, 2005).

Pada dasarnya setiap individu dan kelompok memiliki daya. Akan tetapi kadar daya itu akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait antara lain seperti pengetahuan, kemampuan, status, dan gender. Bentuk relasi sosial yang dicirikan dengan dikotomi subyek dan obyek merupakan relasi yang ingin “diperbaiki” melalui proses pemberdayaan.

2.1.6 Model-Model Pengembangan Masyarakat

Suharto (2005) mengemukakan tiga model dalam memahami konsep pengembangan masyarakat, yaitu: (1) pengembangan masyarakat lokal (locality development); (2) perencanaan sosial (social planning); dan (3) aksi sosial (social action).

1. Pengembangan masyarakat lokal

Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditujukan untuk menciptakan kejayaan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Anggota masyarakat dipandang bukan sebagai sistem klien yang bermasalah melainkan sebagai masyarakat yang unik dan memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan.

Pengembangan masyarakat lokal pada dasarnya merupakan proses interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial. Pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada ”tujuan proses” (process goal) daripada tujuan tugas atau tujuan hasil (task or product goal). Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi, komunikasi, relasi, dan keterlibatan anggota masyarakat merupakan inti dari proses pengembangan masyarakat yang bernuansa bottom up.

2. Perencanaan sosial

Perencanaan sosial menunjuk pada proses pragmatis untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan dalam memecahkan masalah sosial tertentu. Perencanaan sosial lebih berorientasi pada ”tujuan tugas” (task goal) daripada ”tujuan proses”. Sistem klien perencanaan sosial umumnya adalah kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups) atau kelompok-kelompok rawan sosial ekonomi. Pekerja sosial berperan sebagai perencana sosial yang memandang mereka sebagai “konsumen” atau “penerima pelayanan”. Keterlibatan para penerima pelayanan dalam proses pembuatan kebijakan, penentuan tujuan, dan pemecahan masalah bukan merupakan prioritas karena pengambilan keputusan dilakukan oleh para pekerja sosial di lembaga-lembaga formal. Para perencana sosial dipandang sebagai ahli (expert) dalam melakukan penelitian, menganalisis masalah dan kebutuhan masyarakat, serta dalam

mengidentifikasi, melaksanakan, dan mengevaluasi program-program pelayanan kemanusiaan.

3. Aksi sosial

Tujuan dan sasaran utama aksi sosial adalah perubahan-perubahan fundamental dalam kelembagaan dan struktur masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan, pendistribusian sumber, dan pengambilan keputusan. Pendekatan aksi sosial didasari oleh suatu pandangan bahwa masyarakat adalah sistem klien yang seringkali menjadi “korban” ketidakadilan struktur. Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses maupun hasil. Masyarakat diorganisir melalui proses penyadaran, pemberdayaan, dan tindakan-tindakan aktual untuk mengubah struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip demokrasi dan keadilan.

Berdasarkan model-model pengembangan masyarakat yang diungkapkan Suharto (2005), dapat dianalisis bahwa pola pemberdayaan yang dilakukan oleh tim PSP3-IPB merupakan salah satu model aksi sosial dimana proses pemberdayaan komunitas desa dilakukan dengan peningkatan atau penguatan kapasitas kelembagaan desa. Hal tersebut dilakukan karena kenyataan di lapangan komunitas desa sebagai stakeholders berada pada posisi yang lemah. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut dipandang dari dimensi sturktural-kultural. Dimensi struktural dalam arti masyarakat lapisan bawah di tingkat komunitas tidak berdaya mengahadapi lapisan yang lebih kuat. Akibatnya adalah upaya-upaya pemberdayaan masyarakat lapisan bawah tidak berjalan sebagaimana tujuannya karena kendala sturuktural tersebut. Masalah struktural tersebut mengalahkan interes pribadi dari aparatur pemerintah yang lebih kuat.

Melalui peningkatan kapasitas kelembagaan diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan komunitas desa, sehingga terjadi perubahan dan memiliki peran yang sebanding dengan stekeholders lainnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan jalan meningkatkan kapasitas kelembagaan. Peningkatan kapasitas kelembagaan terkait dengan peningkatan kemampuan pemerintah desa mendistribusikan atau pembagian sumberdaya desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan komunitas desa. Kemudian peningkatan kemampuan untuk peka dan tanggap terhadap aspirasi warga masyarakat serta peningkatan kapasitas jejaring dan kerjasama. Sehingga pada akhirnya upaya atau

program pemberdayaan masyarakat benar-benar dapat teraktualisasi dengan baik serta partisipasi komunitas desa semakin meningkat.

2.1.7 Komunitas

Jim Ife (1989) dalam Nasdian (2006) menyebutkan pengertian komunitas dengan warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat lebih luas (society) melalui kedalaman perhatian bersama (a community of interest) atau oleh tingkat interaksi yang tinggi. Para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama (common needs). Jika tidak ada kebutuhan bersama maka bukan suatu komunitas. Aktivitas anggota komunitas dicirikan dengan partisipasi dan keterlibatan langsung anggota komunitas dalam kegiatan/program yang dijalankan. Suatu komunitas mempunyai lokalitas atau tempat tinggal tertentu. Komunitas yang mempunyai tempat tinggal tetap dan permanen biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Di samping iu, harus ada suatu perasaan diantara anggota bahwa mereka saling memerlukan dan bahwa lahan yang mereka tempati memberikan kehidupan bagi semuanya. Unsur-unsur perasaan komunitas (community sentiment) dijelaskan oleh Nasdian (2006) antara lain seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan.

2.1.8 Kemitraan

Menurut Nasution (2002) kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang menganut asas kesetaraan dan saling ketergantungan antar anggota dan antar kelompok dalam masyarakat. Kemitraan dalam hal ini adalah kerjasama sinergi berkaitan dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki masing-masing pihak, sehingga setiap komponen anggota dan kelompok yang bekerjasama akan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan apabila mereka bekerja sendiri-sendiri. Kemitraan tersebut akan meningkatkan efisiensi dan memberikan keuntungan yang lebih tinggi.

Pembentukan kemitraan akan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan strategi lainnya yaitu karena lebih mudah dibentuk, lebih luwes diimplementasikan, tidak memerlukan dana yang besar, beresiko kecil, serta menimbulkan beberapa efek ganda yang cukup berarti bagi perusahaan(Wahyudi, 1997 dalam Nasution, 2002).

2.1.9 SL-PTT : DEFINISI, TUJUAN DAN AZAS4

SL-PTT adalah bentuk sekolah yang seluruh proses belajarmengajarnya dilakukan di lapangan. Hamparan sawah milik petani peserta program penerapan PTT disebut hamparan SL-PTT, sedangkan hamparan sawah tempat praktek sekolah lapang disebut laboratorium lapang (LL). Sekolah lapang seolah-olah menjadikan petani peserta sebagai murid dan pemandu lapang (PL I atau PL II) sebagai guru. Namun pada sekolah lapang tidak dibedakan antara guru dan muridkarena aspek kekeluargaan lebih diutamakan, sehingga antara guru dan murid. saling memberi pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman. SL-PTT juga mempunyai kurikulum, evaluasi pra dan pasca kegiatan, dan sertifikat. Bahkan sebelum SL-PTT dimulai perlu dilakukan registrasi terhadap peserta yang mencakup nama dan luas lahan sawah garapan, pembukaan, dan studi banding atau kunjungan lapang (field trip). Penciri SL-PTT adalah sebagai berikut:

1. Peserta dan pemandu saling memberi dan menghargai.

2. Perencanaan dan pengambilan keputusan dilakukan bersama dengan kelompok tani (poktan) atau gabungan kelompok tani (gapoktan).

3. Komponen teknologi yang akan diterapkan berdasarkan hasil PRA yang dilakukan oleh petani peserta.

4. Pemandu tidak mengajari petani, akan tetapi petani belajar dengan inisiatif sendiri, pemandu sebagai fasilitator memberikan bimbingan. 5. Materi latihan, praktek, dan sarana belajar ada di lapangan.

6. Kurikulum dirancang untuk satu musim tanam, sehingga dalam periode tersebut diharapkan terdapat 10-18 kali pertemuan antara peserta dengan pemandu.

Sasaran dan Tujuan

Pada tahun 2011 diharapkan dapat terselenggara SL-PTT di 60.000 unit. Satu unit SL-PTT padi inbrida dilaksanakan pada hamparan lahan sawah seluas 25 ha, 24 ha di antaranya untuk SL-PTT dan 1 ha untuk Laboratorium Lapang. Untuk padi hibrida, satu unit SLPTT dilaksanakan pada lahan sawah seluas 15 ha. Luas lahan sawah yang akan menerapkan PTT melalui SL-PTT diperkirakan 1,58

4

http://bptpbogor.litbang.dephut.go.id/[diakses pada hari Sabtu, 07 Januari 2012, pukul 23:50 WIB]

juta ha. Strategi ini diharapkan dapat memperluas penyebaran PTT yang akan

Dokumen terkait