• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN DAN TINGKAT PARTISIPASI KELOMPOK DALAM PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN DAN TINGKAT PARTISIPASI KELOMPOK DALAM PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT)"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRAM SEKOLAH LAPANG

PENGELOLAAN TANAMAN

TERPADU (SL-PTT)

(Kasus: Gabungan Kelompok Tani “Jaya Tani” Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

Oleh :

ARI WAHYU WIJAKSANA I34080063

Dosen Pembimbing: Ir. Fredian Tonny, MS

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(2)

ARI WAHYU W. Institutional Sustainability Analysis and Level of Group

Participation in SL-PTT (Case: Gapoktan Jaya Tani in Cibunian Village, District Pamijahan, Bogor Regency). Supervised by FREDIAN TONNY NASDIAN.

This research analyzes the sustainability of Gapoktan ‘Jaya Tani’ institutional. This study using a quantitative approach with survey method. Respondents in this research are farmers from Gapoktan members who are currently active in the activities of the SL-PTT. They were 30 people, they came from three groups of farmers with low levels of ability, medium, and high, with the ownership of land is narrow, medium, and large. The purpose of this research are 1) Analyze the socioeconomic characteristics of Gapoktan ‘Jaya Tani’ members and its relation with the level of individual participation in the program SL-PTT, 2) Identifies the level of management, the level of democracy, the level of transparency, accountability, and the level of the power of institutional network that is built up, 3) Identify the level of group participation in SL-PTT program, and 4) analyze the extent role of institutional sustainability against the participation of the group in the program SL-PTT. The results of this research show the sustainability of Gapoktan ‘Jaya Tani’ institutional is sustain because the level of management is high, and the principles of Good Governance (democracy, transparency, and accountability) works well in Gapoktan. Sustain category of Gapoktan Jaya Tani is still at the lowest level cause of the level of group participation in SL-PTT program which is still at the level of placation (degree of tokenisme), at this level the communities have influence even though in some ways is still determined by people that has power.

Keywords: sustainability institutional, management, democracy, transparency, accountability, institutional networking and participation.

(3)

Kelompok dalam Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) (Kasus: Gabungan Kelompok Tani “Jaya Tani” Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor). Dibawah bimbingan FREDIAN TONNY

NASDIAN.

Pembangunan yang dilakukan selama ini, menempatkan unsur kelembagaan sebagai salah satu faktor penting untuk menjamin keberhasilan dan kesinambungan pembangunan dalam berbagai bidang. Kurang efektifnya beberapa program pembangunan disadari karena lemahnya kelembagaan yang menopang program tersebut. Keberhasilan program-program pemberdayaan khususnya yang ditujukan untuk petani, tidak lepas dari dukungan kelembagaan yang ada di komunitas desa tersebut.

Penelitian ini menganalisis keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani. Penelitian ini, menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu dengan metode survai. Responden dalam penelitian ini adalah petani anggota Gapoktan yang saat ini sedang aktif dalam kegiatan SL-PTT. Responden dalam penelitian ini berjumlah 30 orang, responden berasal dari tiga kelompok tani berdasarkan tingkat kemampuan rendah, sedang, dan tinggi dengan luas kepemilikan lahan sempit, sedang, dan luas.

Tujuan dari penelitian ini adalah 1) Menganalisis karakteristik sosial ekonomi petani anggota Gapoktan Jaya Tani dan hubungannya dengan tingkat partisipasi individu dalam program SL-PTT, 2) Mengidentifikasi tingkat keseimbangan pelayanan-peran serta, tingkat demokrasi, tingkat transparansi, tingkat akuntabilitas, dan kekuatan jejaring kelembagaan yang terbangun, 3) Mengidentifikasi tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT, dan 4) Menganalisis sejauh mana peran kelembagaan berkelanjutan terhadap partisipasi kelompok dalam program SL-PTT.

Penelitian ini dilaksanakan di Gabungan Kelompok Tani „Jaya Tani‟ Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Program yang saat ini sedang aktif dilaksanakan di masing-msing Poktan adalah kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu untuk komoditas padi.

(4)

serta yang tergolong tinggi, dan prinsip-prinsip good governance (demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas) berfungsi dengan baik di Gapoktan.

Tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT masih berada pada level placation (degree of tokenisme), pada tingkat ini masyarakat memiliki pengaruh meskipun dalam beberapa hal masih ditentukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Tingkat placation ini termasuk dalam derajat penghargaan atau degree of tokenisme, yaitu suatu tingkat partisipasi di mana masyarakat dapat berpartisipasi namun mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa ide-ide mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Keberlanjutan kelembagaan memiliki peran penting dalam kaitannya dengan tingkat partisipasi kelompok dalam program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu, karena keberlanjutan kelembagaan ini terkait juga dengan kesamaan persepsi terhadap program SL-PTT dan kesamaan visi dari setiap anggota. Dengan adanya kesamaan visi maupun persepsi terhadap program maka tidak akan ada lagi petani yang merasa bahwa pertemuan-pertemuan dalam kegiatan SL-PTT mengganggu aktivitas kerja mereka. Dari hasil penelitian diperoleh suatu analisis bahwa terdapat hubungan yang kuat antara luas lahan dan rata-rata penghasilan dengan tingkat partisipasi petani dalam program SL-PTT.

(5)

PROGRAM SEKOLAH LAPANG

PENGELOLAAN TANAMAN

TERPADU (SL-PTT)

(Kasus: Gabungan Kelompok Tani “Jaya Tani” Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

ARI WAHYU WIJAKSANA I34080063

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:

Nama Mahasiswa : Ari Wahyu Wijaksana

NIM : I34080063

Judul : ANALISIS KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN DAN

TINGKAT PARTISIPASI KELOMPOK DALAM

PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN

TANAMAN TERPADU (SL-PTT) (Studi Kasus: Gabungan Kelompok Tani “Jaya Tani” Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Ir. Fredian Tonny, MS NIP. 19580214 198503 1 004

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(7)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG

BERJUDUL”ANALISIS KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN DAN

TINGKAT PARTISIPASI KELOMPOK DALAM PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) (KASUS: GABUNGAN KELOMPOK TANI “JAYA TANI” DESA CIBUNIAN, KECAMATAN PAMIJAHAN, KABUPATEN BOGOR)” BELUM PERNAH

DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Januari 2012

Ari Wahyu Wijaksana

(8)

Penulis merupakan anak pertama dari pasangan bapak Misbahudin dan ibu Wiwin Widiawati. Penulis dilahirkan 17 Februari 1990 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, menuntutnya untuk menjadi pribadi yang mandiri dan menjadi panutan di keluarganya. Mengawali pendidikan formal di SD Negeri Kaduagung Tasikmalaya, lalu melanjutkan di MTS Negeri Cipaingeun Tasikmalaya, kemudian pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren AL-AMIN Kota Tasikmalaya. Selama di Pondok Pesantren penulis aktif berorganisasi baik dalam kepengurusan OSIS MA AL-AMIN dan Kepengurusan Pesantren.

Tidak lama setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren, berkat rahmat Allah Swt penulis berhasil diterima di Institut Pertanian Bogor di Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat melalui jalur USMI tahun 2008. Pada tahun pertama kuliah penulis berhasil memperoleh beasiswa Lippo Bank, serta program beasiswa BMU dari IPB. Penulis masuk dalam Program Akselerasi mahasiswa departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat 2011 dan berusaha menyelesaikan studinya selama 3,5 tahun. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif menjadi pengurus dalam organisasi kemahasiswaan IPB. Diantaranya aktif di Himpunan Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) pada Divisi Community Development 2011. Selain itu penulis juga pernah aktif dibeberapa kepanitiaan. Diantaranya, Kemah Riset 2010, Indonesian Ecology Expo (INDEX) 2010 dan Turun Lapang Himasiera 2011.

(9)

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Keberlanjutan Kelembagaan dan Tingkat Partisipasi Kelompok dalam Program Pemberdayaan Petani di Komunitas (Kasus : Gabungan Kelompok Tani “Jaya Tani” Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

Terimakasih yang setulus-tulusnya penulis ucapkan kepada pembuatan skripsi ini. Terimakasih kepada Ir. Fredian Tonny MS, sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan bimbingan, meluangkan waktu, dan berbagi ilmu sehingga penulis dapat lebih memahami topik bahasan dan dapat menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada bapak Edi (ketua Gapoktan), bapak Supanji (ketua Poktan Karya Tani), Uci (ketua Poktan Subur Tani), bapak Odih (ketua Poktan Adil Tani), bapak Jasiman, SP (PPL Desa Cibunian), bapak Apik (BPD) atas kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana peran keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani terhadap tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT. Peneliti mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi dapat menghasilkan laporan yang bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Januari 2012

Ari Wahyu Wijaksana

(10)

Penulis menyadari skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan dari berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut telah membantu penulis dengan menyumbangkan pemikiran, memberikan masukan, dan mendukung penulis baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Kedua orang tuaku bapak Misbahudin dan ibu Wiwin Widiawati, yang selalu menyayangi, memberikan motivasi, dukungan moril dan materil. Terimakasih atas untaian doa yang tidak pernah putus;

2. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS sebagai dosen pembimbing, atas segala arahan, motivasi, saran, dan pemikirannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

3. Dr.Ir. Saharudin selaku dosen penguji utama, Heru Purwandari, S.P, MSi selaku dosen penguji wakil departemen SKPM dan Ir. Hadianto, MS selaku dosen uji petik Skripsi, terimakasih atas masukan, kritik dan arahannya yang sangat berharga dalam penulisan Skripsi;

4. Bapak Edi ketua Gapoktan, beserta anggota bapak Uci, bapak Supanji, bapak Odih, bapak Apik (ketua BPD), dan bapak Jasiman, SP selaku PPL di Desa Cibunian;

5. Ruly dan Angga adiku yang selalu menjadi motivasi untuk bisa menjadi kakak yang baik;

6. Mang Asep, bi Ida dan semua keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan moril dan materil;

7. Nur Apriandini yang selalu memberi semangat dan meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan-keluhan penulis. Cepat selesai skripsinya ya; 8. Teman-teman Kuil Cinta, M.Rizki Pratama, Bejo, Ucup, Giway, Itaw,

Reza, Jabbar, Ozi, Gaung, Malih, Ahong, Robi, Farhan;

9. Teman-teman KPM 45 terimakasih banyak atas pengalaman-pegalaman menarik dan kebersamaan kita selama kuliah;

10. Teman-teman Comdev Himasiera, Ageu, Hamdani, Siti, Tanti, Tri, Opang, dan Melisa terimakasih atas kebersamaan, pengalaman dan ilmunya.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Masalah Penelitian... 3 1.3 Tujuan Penelitian... 5 1.4 Kegunaan Penelitian... 5

BAB II PENDEKATAN TEORITIS... 7

2.1 Tinjauan Pustaka... 7

2.1.1 Kelembagaan dan Modal Sosial... 7

2.1.2 Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat... 8

2.1.3 Tipologi Kelembagaan Komunitas Lokal... 9

2.1.4 Partisipasi... 10

2.1.5 Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat... 14

2.1.6 Model-model Pengembangan Masyarakat... 15

2.1.7 Komunitas... 18

2.1.8 Kemitraan... 18

2.1.9 SL-PTT : Definisi, Tujuan, dan Azas... 19

2.2 Kerangka Pemikiran... 22

2.3 Hipotesis Penelitian... 25

2.4 Definisi Konseptual... 25

2.5 Definisi Operasional... 26

BAB III PENDEKATAN LAPANG... 31

3.1 Metode Penelitian... 31

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 31

3.3 Penentuan Responden dan Informan... 32

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 32

3.5 Teknik Analisis Data... 33

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI... 34

4.1 Profil Desa Cibunian... 34

4.1.1 Keadaan Alam dan Letak Geografis... 34

4.1.2 Struktur Sosial Masyarakat Desa Cibunian... 35

4.1.3 Pola Adaptasi Ekologi... 36

4.2 Profil Gapoktan Jaya Tani... 36

4.3 Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu... 38

4.4 Ikhtisar... 40

BAB V KARAKTERISTIK PETANI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT PARTISIPASI DALAM PROGRAM SL-PTT... 41

(12)

5.2 Usia Responden... 42

5.3 Tingkat Pendidikan Responden... 42

5.4 Jenis Pekerjaan Responden... 43

5.5 Luas Lahan Responden... 43

5.6 Rata-rata Penghasilan Responden... 44

5.7 Hubungan Karakteristik Petani dengan Tingkat Partisipasi dalam SL-PTT... 44

5.7.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Tingkat Partisipasi... 44

5.7.2 Hubungan Usia dengan Tingkat Partisipasi... 45

5.7.3 Hubungan Pendidikan dengan Tingkat Partisipasi... 46

5.7.4 Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Partisipasi... 47

5.7.5 Hubungan Tingkat Penghasilan dengan Tingkat Partisipasi... 48

5.8 Ikhtisar... 49

BAB VI KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN ... 50

6.1 Tingkat Keseimbangan Pelayanan-Peran Serta... 50

6.2 Tingkat Demokrasi... 51

6.3 Transparansi... 52

6.4 Akuntabilitas ... 53

6.5 Jejaring Kelembagaan ... 53

6.6 Tingkat Partisipasi Kelompok dalam Program SL-PTT... 54

6.7 Keberlanjutan Kelembagaan... 62

6.8 Ikhtisar... 62

BAB VII KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN DAN PARTISIPASI KELOMPOK... 64

BAB VIII PENUTUP ... 67

8.1 Simpulan... 67

8.2 Saran... 68

DAFTAR PUSTAKA... 70

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011-2012 ... 32 Tabel 2. Luas dan Persentase Penggunaan Lahan Desa Cibunian 2010... 35 Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Cibunian Menurut Jenis

Mata Pencaharian 2010... 35 Tabel 4. Jumlah Anggota Berdasarkan Kelompok Tani, Ketua, dan Alamat di

Gapoktan Jaya Tani 2011... 36 Tabel 5. Tingkat Kemampuan dan Nama Kelompok Tani 2011... 37 Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Jenis Kelamin di

Gapoktan Jaya Tani ... 41 Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Usia di Gapoktan Jaya

Tani... 42 Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

di Gapoktan Jaya Tani... 43 Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di

Gapoktan Jaya Tani... 43 Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kepemilikan Luas

Lahan... 44 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Rata-rata

Penghasilan/Bulan... 44 Tabel 12. Jumlah dan Persentase Tingkat Partisipasi Responden Menurut Jenis

Kelamin... 45 Tabel 13. Jumlah dan Persentase Tingkat Partisipasi Responden Menurut

Usia... 46 Tabel 14. Jumlah dan Persentase Tingkat Partisipasi Responden Menurut

Tingkat Pendidikan... 47 Tabel 15. Jumlah dan Persentase Tingkat Partisipasi Responden Menurut Luas

Lahan... 48 Tabel 16. Jumlah dan Persentase Tingkat Partisipasi Responden Menurut

Tingkat Penghasilan... 49 Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Keseimbangan

Pelayanan-Peran Serta dalam Gapoktan... 50 Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Penerapan

Prinsip-Prinsip Demokrasi... 51 Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Penerapan

Prinsip-Prinsip Transparansi... 52 Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Penerapan

Prinsip-Prinsip Akuntabilitas dalam Gapoktan Jaya Tani... 53 Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Kekuatan

Jejaring yang Terbangun Gapoktan Jaya Tani... 53 Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Kehadiran

dalam Pertemuan... 55 Tabel 23. Jumlah Skor Tingkat Partisipasi... 56 Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Keaktifan dalam

Berdiskusi dan Mengemukakan Pendapat... 58 Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Keaktifan

(14)

Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Kesediaan

Untuk Membayar... 60 Tabel 27. Tingkat Partisipasi Kelompok dalam Program SL-PTT... 61 Tabel 28. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Keberlanjutan

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1. Gambar 1. Tipologi kelembagaan komunitas lokal ... 10 Gambar 2. Gambar 2. Delapan Tangga Tingkat Partsipasi Masyarakat... 14 Gambar 3. Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 24

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1. Hasil Olah Data Statistik ... 71

Lampiran 2. Struktur Organisasi Gapoktan Jaya Tani ... 77

Lampiran 3. Sketsa Lokasi ... 78

Lampiran 4. Kerangka Sampling ... 79

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan yang dilakukan saat ini, menempatkan unsur kelembagaan sebagai salah satu faktor penting untuk menjamin keberhasilan dan kesinambungan pembangunan dalam berbagai bidang. Hal ini mengingat sifat kelembagaan merupakan unsur esensial yang tidak dapat dijiplak secara mentah-mentah atau dipinjam dari negara lain, melainkan harus digali dan dibentuk berdasarkan atas potensi dan sumberdaya lokal dengan mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan budaya yang melekat pada masyarakat dan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya kelembagaan itu harus diarahkan dan digerakan agar dapat mengimbangi dinamika dalam bidang ekonomi, mampu mengantisipasi berbagai perubahan-perubahan yang cepat dan mampu memanfaatkan berbagai masukan terutama informasi teknologi yang diperlukan guna menunjang pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan yang berdayaguna dan berhasil guna (Nasution, 2002).

Seiring terjadinya pergeseran paradigma pembangunan nasional ke arah demokratisasi dan desentralisasi, sudah selayaknya kalau konsep pembangunan berorientasi kepada konsep pemberdayaan masyarakat. Namun pada kenyataannya tidak semua program pemberdayaan masyarakat yang diupayakan berjalan baik, hal tersebut salah satunya dikarenakan masih lemahnya kelembagaan yang ada di tingkat komunitas. Seperti yang diungkapkan Syahyuti1 jika dicermati secara mendalam, pada hakikatnya pengembangan kelembagaan masih merupakan jargon politik daripada kenyataan riil di lapangan. Dengan membungkus suatu kebijakan dengan “pengembangan kelembagaan” seolah-olah pelaksana program telah bersifat menghargai kearifan lokal, lebih sosial, dan lebih partisipatif. Kenyataanya mungkin teknologi sebagai entry point-nya, bukan kelembagaan. Padahal kelembagaan merupakan faktor yang mendasar untuk

1

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Mono25-02.pdf [diakses pada hari Rabu, 04 Mei 2011, pukul 20:09 WIB]

(18)

mengembangkan potensi individu maupun kelompok pemanfaat, serta membentuk solidaritas antar pihak.

Pernyataan di atas diperkuat dari hasil penelitian Tim Studi Aksi PSP3 IPB di DAS Citanduy. Ditemukan bahwa kelembagaan komunitas lokal masih belum mampu mengembangkan jejaring kelembagaan baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, kelembagaan komunitas lokal yang ada belum mampu membangun dan mengembangkan jejaring dengan berbagai kelembagaan lain di luar komunitasnya. Sedangkan secara vertikal pemerintah dengan kebijakannya masih belum memberikan ruang yang luas bagi partisipasi anggota kelembagaan komunitas lokal untuk mengembangkan kreatifitasnya dan dalam proses pengambilan keputusan.

Menurut Nasdian (2006) Peningkatan kapasitas kelembagaan desa merupakan suatu proses dalam pemberdayaan komunitas desa. Dalam pendekatan kolaboratif prinsip kesetaraan bagi para stakeholder adalah kunci keberhasilan dalam mewujudkan kemitraan. Namun pada kenyataannya komunitas desa sebagai stakeholder berada pada posisi paling lemah sehingga diperlukan upaya pemberdayaan agar prinsip kesetaraan tercapai dan masyarakat dapat berperan sejajar dengan stakeholder lainnya.

Pada dasarnya kegiatan pemberdayaan masyarakat di komunitas tidak hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan NGO. Bahkan, sekarang oleh pihak-pihak swasta yang berkepentingan di wilayah komunitas tersebut sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya. Sebagai suatu metode, pemberdayaan masyarakat menekankan adanya proses partisipasi dan peranan langsung dari warga komunitas (Suharto, 2005).

Jaya Tani adalah Gabungan Kelompok Tani yang ada di Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Program pemberdayaan yang sedang aktif saat ini adalah kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu untuk Padi.Program SL-PTT bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengelola usaha taninya melalui berbagai macam strategi salah satunya adalah melalui penguatan kelembagaan pertanian yang meliputi kelembagaan penyuluhan, kelompok tani (Poktan), gabungan kelompok tani (Gapoktan), koperasi tani (Koptan), penangkar benih, pengusaha benih, KUD,

(19)

dan lain-lain serta pembiyaan usaha tani melalui KKP-E, LM3, Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan PUAP.

Kegiatan SL-PTT di Desa Cibunian dilaksanakan pada masing-masing kelompok tani anggota Gapoktan Jaya Tani. Keberhasilan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu ini tidak lepas dari dukungan kelembagaan yang ada di tingkat lokal salah satunya adalah Gapoktan Jaya Tani. Oleh karena itu, keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani dipandang menarik

untuk diteliti lebih lanjut dan kaitannya dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) di Gapoktan Jaya Tani.

1.2 Masalah Penelitian

Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan sekolah lapangan bagi petani dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan.Dalam SL-PTT petani dapat belajar langsung di lapangan melalui pembelajaran dan penghayatan langsung (mengalami), mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan (melakukan/mengalami kembali), menghadapi dan memecahkan masalah-masalah terutama dalam hal teknik budidaya dengan mengkaji bersama berdasarkan spesifik lokasi. SL-PTT dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip partisipatif. Pada pelaksanaan SL-PTT petani berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan.

Setiap petani anggota Gapoktan atau Poktan berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang berbeda-beda misalnya tingkat pendididikan, luas lahan dan sebagainya. Menurut Slamet (1993) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan mata pencaharian. Oleh karena itu, secara garis besar, pertanyaan yang akan dikaji lebih lanjut adalah bagaimana karakteristik sosial

ekonomi petani anggota Gapoktan Jaya Tani dan hubungannya dengan tingkat partisipasi individu dalam program SL-PTT?

(20)

Keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani dianggap begitu penting mengingat lembaga ini adalah lembaga yang paling representatif dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat khususnya petani mengenai berbagai macam informasi yang mendukung kegiatan atau pengembangan pertanian di Desa Cibunian. Melihat peran dan fungsinya yang cukup sentral di masyarakat, maka muncul pertanyaan: Bagaimana tingkat keseimbangan pelayanan-peran serta,

tingkat demokrasi, tingkat transparansi, tingkat akuntabilitas, dan kuat jejaring kelembagaan yang terbangun?

Dalam penerapannya, SL-PTT tidak lepas dari prinsip-prinsip partisipasi. Hal itu dimulai dengan proses diskusi untuk mengidentifikasi masalah dan peluang antara petani dengan penyuluh lapang, kemudian menentukan komponen teknologi PTT berdasarkan kesepakatan kelompok, penyusunan RUK, penerapan PTT dan sampai pada pengembangan PTT ke petani lainnya. Melihat proses tersebut penting untuk mengetahui sejauh mana tingkat partisipasi kelompok

dalam program SL-PTT?

Keberhasilan program SL-PTT dilihat dari meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam menentukan teknologi pengelolaan tanaman terpadu yang sesuai dengan situasi dan kondisi alam pada masing-masing kelompok tani, selain itu keberhasilan program ini juga dapat dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap rangkaian kegiatan. Keberhasilan program ini juga tidak lepas dari bagaimana faktor eksternal dan internal, faktor eksternal misalnya keterampilan penyuluh dalam menarik minat, mengidentifikasi masalah dan kemampuan bekerjasama bersama petani, dari faktor internal salah satunya adalah kondisi dari Gapoktan itu sendiri baik itu dari aspek manajemen dan good governance. Oleh karena itu, menjadi penting untuk dilihat sampai sejauh mana

peran kelembagaan berkelanjutan terhadap partisipasi kelompok dalam program SL-PTT?

(21)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji sampai sejauh

mana keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani dan tingkat partisipasi kelompok dalam program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. Tujuan utama ini akan dijawab melalui tujuan-tujuan khusus penelitian,

yaitu:

1) Menganalisis karakteristik sosial ekonomi petani anggota Gapoktan Jaya Tani dan hubungannya dengan tingkat partisipasi individu dalam program SL-PTT;

2) Mengidentifikasi tingkat keseimbangan pelayanan-peran serta, tingkat demokrasi, tingkat transparansi, tingkat akuntabilitas, dan kuat jejaring kelembagaan yang terbangun;

3) Mengidentifikasi tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT; dan

4) Menganalisis sejauh mana peran kelembagaan berkelanjutan terhadap tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

1) Bagi Akademisi

Hasil penelitian berjudul “Analisis Keberlanjutan Kelembagaan dan Tingkat Partisipasi Kelompok Dalam Program Pemberdayaan Petani di Komunitas” dapat digunakan untuk memahami hubungan antara tingkat partisipasi kelompok dalam program pemberdayaan petani di komunitas dengan keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu pengembangan masyarakat.

2) Bagi Masyarakat

Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai peran penting penguatan kelembagaan lokal sehingga berkelanjutan untuk menciptakan kesetaraan komunitas

(22)

dengan stakeholders lain dalam mewujudkan kolaborasi dan kemitraan.

3) Bagi Pihak Swasta

Melalui hasil penelitian ini, diharapkan program pemberdayaan yang akan diupayakan di komunitas, memperhatikan kelembagaan yang ada tingkat komunitas tersebut, sehingga program pemberdayaan yang diupayakan dapat berkelanjutan.

4) Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah dalam penyusunan program pemberdayaan di komunitas yang melibatkan berbagai stakeholders. Sehingga diharapkan setiap stakeholders dapat berperan aktif dan saling mendukung.

(23)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Kelembagaan dan Modal Sosial

Kelembagaan mempunyai pengertian sebagai wadah dan sebagai norma. Lembaga atau institusi adalah seperangkat aturan, prosedur, norma perilaku individual yang sangat penting bagi pengembangan pertanian (Gunadi, 1998 dalam Nasution, 2002). Sedangkan menurut Rofiq (1989) dalam Nasution (2002) lembaga kemasyarakatan adalah pranata sosial yang mengatur prilaku para anggota masyarakat. Koentjaraningrat (1964) dalam Soekanto (1982) mengatakan bahwa pranata sosial adalah “suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat”. Jadi dalam hal ini kelembagaan sosial adalah sistem norma, nilai, dan pola hubungan yang mengatur warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka memenuhi kebutuhannya.

Modal sosial diartikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial-ekonomi, seperti pandangan umum, kepercayaan, resiprositas, pertukaran ekonomi dan infomasi, kelompok-kelompok formal dan informal, serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal fisik dan modal manusia sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif dan pembangunan (Colleta and Cullen, 2000 dalam Nasdian 2005).

Menurut Nasdian (2005) Modal sosial memiliki empat dimensi: (1) integrasi, berupa ikatan-ikatan antar kekerabatan, agama, dan etnik; (2) pertalian, yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal; (3) integritas organisasional, yaitu kemampuan dan keefektifan institusi negara menjalankan fungsinya; dan (4) sinergi, yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas. Fokus perhatiannya adalah apakah negara memberikan ruang yang luas atau tidak bagi berpartisipasi warganya. Dimensi pertama dan kedua berada pada tingkat horizontal, sedangkan dimensi ketiga dan keempat, ditambah dengan pasar (market) berada pada tingkat vertikal.

(24)

Menurut Syahyuti2 ditemukan berbagai pendekatan yang keliru dalam pengembangan kelembagaan khususnya bagi kelembagaan yang tergolong ke dalam enacted institution3. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal, bukan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama dan tujuannya lebih untuk distribusi bantuan dan memudahkan kontrol dari pelaksana program, bukan untuk peningkatan social capital masyarakat. Berdasarkan studi kasus yang dilakukan oleh tim PSP3-IPB di DAS Citanduy menunjukan bahwa kelembagaan komunitas lokal umumnya belum berhasil mengembangkan jejaring (networking) antar kelembagaan tersebut, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, kelembagaan komunitas lokal yang ada belum mampu membangun dan mengembangkan jejaring dengan berbagai kelembagaan lain di luar komunitasnya. Akan tetapi kecenderungan ke arah itu sudah tampak, yakni dengan upaya diversifikasi usaha yang dilakukan oleh kelembagaan tersebut. Sedangkan secara vertikal pemerintah dengan kebijakannya masih belum memberikan ruang yang luas bagi partisipasi anggota kelembagaan komunitas lokal untuk mengembangkan kreatifitasnya dan dalam proses pengambilan keputusan.

2.1.2 Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemberdayaan Komunitas

Kapasitas kelembagaan adalah tingkat kemampuan suatu badan/lembaga/organisasi dengan struktur pengorganisasian tertentu, proses-proses kerja, dan budaya kerja yang erat hubungannya dengan keterampilan dan kualifikasi individu berupa uraian pekerjaan, motivasi, dan sikap kerja dari individu-individu yang mendukung kelembagaan tersebut. Peningkatan kapasitas kelembagaan desa merupakan suatu yang sistemik dan manajerial, yang didalamnya mengandung proses interaksi, komunikasi, dan relasi diantara tiga “ruang kekuasaan” di aras desa. Rencana strategis desa, rencana pembangunan desa, peraturan desa, dan keuangan dirancang secara partisipatif dengan peran

2

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Mono25-02.pdf [diakses pada hari Rabu, 04 Mei 2011, pukul 20:09 WIB]

3

(25)

serta multi stakeholder merupakan basis dan instrumen penguatan kapasitas kelembagaan desa (Nasdian, 2006).

Menurut Israel (1990) pengembangan atau penguatan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Proses ini dapat secara internal digerakan oleh manajer sebuah lembaga atau dicampurtangani dan dipromosikan oleh pemerintah atau oleh badan-badan pembangunan. Khasnya pengembangan kelembagaan menyangkut sistem manajemen (perencanaan, penyusunan anggaran, akunting, auditing, perawatan dan pengadaan termasuk pemantauan dan evaluasi).

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan tim PSP3-IPB di lima provinsi, yaitu: Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali, dan Papua. Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan desa tidak cukup hanya dengan sekedar melaksanakan program-program pendidikan, pelatihan, penataran, penyuluhan, sosialisasi dan lain-lain. Akan tetapi peningkatan kapasitas kelembagaan desa sebagai wujud pemberdayaan komunitas desa merujuk kepada reformasi kelembagaan desa, sehingga dapat terpenuhinya tuntutan dan kebutuhan otonomi desa, sebagai suatu cara pendekatan ke arah pemerintahan (pengaturan), administrasi, dan pengembangan mekanisme-mekanisme partisipatif yang tepat guna dan lebih demokratis.

Dalam upaya pemberdayaan komunitas desa dan pengembangan kelembagaan yang berkelanjutan maka dikemukakan tiga alternatif yang dapat dilakukan yaitu: (1) Membangun dan mengembangkan kelembagaan kooperatif dan produktif di tingkat komunitas berbasis kemitraan; (2) Membangun dan mengembangkan manajemen pembangunan pedesaan (kawasan) di tingkat kabupaten sebagai wujud dari local goverment policies, dan (3) Membangun dan mengembangkan jejaring kelembagaan yang berbasis komunitas.

2.1.3 Tipologi Kelembagaan Komunitas Lokal

Menurut Nasdian (2005) tipologi kelembagaan komunitas lokal „dikonstruksi‟ berdasarkan dua variabel pokok, yaitu: tinggi rendahnya “keseimbangan pelayanan-peranserta” dalam suatu kelembagaan dan (2) berfungsi-tidaknya good governance dalam suatu kelembagaan. Berdasarkan kedua variabel tersebut dapat

(26)

diidentifikasi empat tipe kelembagaan yakni: (1) Tipe-1, kelembagaan yang sustain; (2) Tipe-2, kelembagaan yang semi sustain dengan kendala manajemen; (3) Tipe-3, kelembagaan yang tidak sustain; dan (4) Tipe-4, kelembagaan semi-sustain dengan kendala good governance. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah:

Gambar 1. Tipologi kelembagaan komunitas lokal

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal, yaitu: (1) jejaring kerjasama; (2) intervensi positif pemerintah; (3) kecukupan anggaran; dan (4) aturan-aturan tertulis. Dengan demikian melalui program-program pengembangan jejaring kerjasama, intervensi pemerintah, kecukupan pangan, dan aturan-aturan tertulis akan dapat meningkatkan keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal.

2.1.4 Partisipasi

Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif yang diambil warga sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: pertama, warga komunitas

SUSTAINABLE UNSUSTAINABLE (4) “Keseimbangan Pelayanan-Peranserta” (1) (3) (2)

Berfungsi “good governance”

“bad governance”

(27)

dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar (Nasdian, 2006).

Partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Dengan kata lain,batasan dari partisipasi adalah keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyekpembangunan (Keith Davis, dalam Sastropoetro 1988)

Dalam makalahnya yang berjudul ” A Ladder of Citizen Participation” dalam Journal of the American Planning Association (1969), Sherry Arstein mengemukakan delapan tangga atau tingkatan partisipasi. Kedelapan tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Manipulation

Dengan mengatasnamakan partisipasi, masyarakat diikutkan sebagai ‟stempel karet‟ dalam badan penasihat. Tujuannya adalah untuk dipakai sebagai formalitas semata dan untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah tingkat partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa.

2) Therapy

Pada tingkat therapy atau pengobatan ini, pemegang kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdayaan sebagai penyakit mental. Dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu perencanaan, mereka sebenarnya menganggap masyarakat sebagai sekelompok orang yang memerlukan pengobatan. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam berbagai kegiatan namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya dan bukannya menemukan penyebab lukanya.

(28)

3) Informing

Dengan memberi informasi kepada masyarakat akan hak, tanggung jawab, dan pilihan mereka merupakan langkah awal yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Namun acapkali pemberian informasi dari penguasa kepada masyarakat tersebut bersifat satu arah. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik dan tidak memiliki kekuatan untuk negosiasi. Apalagi ketika informasi disampaikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi program. Komunikasi satu arah ini biasanya dengan menggunakan media pemberitaan, pamflet,dan poster.

4) Consultation

Meminta pendapat masyarakat merupakan suatu langkah logis menuju partisipasi penuh. Namun konsultasi ini masih merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan. Cara yang sering digunakan dalam tingkat ini adalah jejak pendapat, pertemuan warga, dan dengar pendapat. Jika pemegang kekuasaan membatasi usulan masyarakat, maka kegiatan tersebut hanyalah merupakan suatu partisipasi palsu. Masyarakat pada dasarnya hanya dianggap sebagai abstraksi statistik, karena partisipasi hanya diukur dari frekuensi kehadiran dalam pertemuan, seberapa banyak brosur yang dibawa pulang dan juga dari seberapa banyak kuesioner dijawab. Dengan demikian, pemegang kekuasaan telah merasa memiliki bukti bahwa mereka telah mengikuti rangkaian pelibatan masyarakat.

5) Placation

Pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun dalam beberapa hal pengaruh tersebut tidak memiliki jaminan akan diperhatikan. Masyarakat memang diperbolehkan untuk memberikan masukan atau mengusulkan rencana akan tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan. Salah satu strateginya adalah dengan memilih masyarakat miskin yang layak untuk dimasukkan ke dalam suatu lembaga. Jika mereka tidak bertanggung jawab dan jika pemegang kekuasaan memiliki mayoritas kursi, maka mereka akan dengan mudah dikalahkan dan diakali.

(29)

6) Partnership

Pada tingkat ini, kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat. Mereka sepakat untuk sama-sama memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aturan ditentukan dengan melalui mekanisme take and give, sehingga diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak. Partnership dapat berjalan efektif bila dalam masyarakat ada kekuasaan yang terorganisir, pemimpinnya bertanggung jawab, masyarakat mampu membayar honor yang cukup bagi pemimpinnya serta adanya sumber dana untuk menyewa teknisi, pengacara dan organisator masyarakat. Dengan demikian, masyarakat benar-benar memiliki posisi tawar-menawar yang tinggi, sehingga akan mampu mempengaruhi suatu perencanaan.

7) Delegated Power

Negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah bisa mengakibatkan terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atau program tertentu. Pada tingkat ini masyarakat menduduki mayoritas kursi, sehingga memiliki kekuasaan dalam menentukan suatu keputusan. Selain itu, masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjamin akuntabilitas program tersebut. Untuk mengatasi perbedaan, pemegang kekuasaan tidak perlu meresponnya akan tetapi dengan mengadakan proses tawar-menawar.

8) Citizen Control

Pada tingkat ini, masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka, bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan dan aspek-aspek manajerial dan bisa mengadakan negosiasi apabila ada pihak ketiga akan mengadakan perubahan. Dengan demikian, masyarakat dapat berhubungan langsung dengan sumber-sumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati pihak ketiga.

Manipulasi dan terapi termasuk kedalam level non-participation, inisiatif pembangunan tidak bermaksud untuk memberdayakan masyarakat akan tetapi membuat pemegang kekuasaan untuk “menyembuhkan” atau “ mendidik” komunitas. Informasi dan konsultasi (tokenism), komunitas bisa mendapatkan

(30)

informasi dan menyuarakan pendapat akan tetapi tidak ada jaminan kalau pendapat komunitas akan diakomodasi. Placation (level tertinggi tokenism), komunitas bisa memberikan saran kepada pemegang kekuasaan, akan tetapi kewenangan menentukan tetap ada pada pemegang kekuasaan. Partnership, membuat komunitas dapat bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendelegasian kewenangan dan kontrol, komunitas memegang mayoritas pengambilan keputusan dan kekuasaan pengelolaan. Secara jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:

Sumber : Arstein, 1969

Gambar 2. Delapan Tangga Tingkat Partsipasi Masyarakat

2.1.5 Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat

Pengembangan masyarakat adalah salah satu metode pekerjaan sosial yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial. Pengembangan masyarakat merupakan suatu proses swadaya masyarakat yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kondisi masyarakat pada bidang sosial, politik, kultural, dan ekonomi (Suharto, 2005). Masih menurut Suharto (2005) pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau

Manipulasi Terapi Informasi Konsultasi Placation Partnership Delegasi Kewenangan Kontrol 1 2 3 4 5 6 7 8 Nonparticipation Tokenism Citizen Power

(31)

kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan(freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Secara umum istilah pengembangan masyarakat merujuk kepada usaha-usaha yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat bersama dengan pemerintah setempat untuk meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, dan kultural serta untuk mengintegrasikan masyarakat yang ada ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan memberi kesempatan yang memungkinkan masyarakat tersebut membantu secara penuh pada kejayaan dan kemakmuran bangsa (Conyers, 1996 dalam Nasdian, 2006).

Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan, dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Suharto, 2005).

Pada dasarnya setiap individu dan kelompok memiliki daya. Akan tetapi kadar daya itu akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait antara lain seperti pengetahuan, kemampuan, status, dan gender. Bentuk relasi sosial yang dicirikan dengan dikotomi subyek dan obyek merupakan relasi yang ingin “diperbaiki” melalui proses pemberdayaan.

2.1.6 Model-Model Pengembangan Masyarakat

Suharto (2005) mengemukakan tiga model dalam memahami konsep pengembangan masyarakat, yaitu: (1) pengembangan masyarakat lokal (locality development); (2) perencanaan sosial (social planning); dan (3) aksi sosial (social action).

(32)

1. Pengembangan masyarakat lokal

Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditujukan untuk menciptakan kejayaan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Anggota masyarakat dipandang bukan sebagai sistem klien yang bermasalah melainkan sebagai masyarakat yang unik dan memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan.

Pengembangan masyarakat lokal pada dasarnya merupakan proses interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial. Pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada ”tujuan proses” (process goal) daripada tujuan tugas atau tujuan hasil (task or product goal). Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi, komunikasi, relasi, dan keterlibatan anggota masyarakat merupakan inti dari proses pengembangan masyarakat yang bernuansa bottom up.

2. Perencanaan sosial

Perencanaan sosial menunjuk pada proses pragmatis untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan dalam memecahkan masalah sosial tertentu. Perencanaan sosial lebih berorientasi pada ”tujuan tugas” (task goal) daripada ”tujuan proses”. Sistem klien perencanaan sosial umumnya adalah kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups) atau kelompok-kelompok rawan sosial ekonomi. Pekerja sosial berperan sebagai perencana sosial yang memandang mereka sebagai “konsumen” atau “penerima pelayanan”. Keterlibatan para penerima pelayanan dalam proses pembuatan kebijakan, penentuan tujuan, dan pemecahan masalah bukan merupakan prioritas karena pengambilan keputusan dilakukan oleh para pekerja sosial di lembaga-lembaga formal. Para perencana sosial dipandang sebagai ahli (expert) dalam melakukan penelitian, menganalisis masalah dan kebutuhan masyarakat, serta dalam

(33)

mengidentifikasi, melaksanakan, dan mengevaluasi program-program pelayanan kemanusiaan.

3. Aksi sosial

Tujuan dan sasaran utama aksi sosial adalah perubahan-perubahan fundamental dalam kelembagaan dan struktur masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan, pendistribusian sumber, dan pengambilan keputusan. Pendekatan aksi sosial didasari oleh suatu pandangan bahwa masyarakat adalah sistem klien yang seringkali menjadi “korban” ketidakadilan struktur. Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses maupun hasil. Masyarakat diorganisir melalui proses penyadaran, pemberdayaan, dan tindakan-tindakan aktual untuk mengubah struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip demokrasi dan keadilan.

Berdasarkan model-model pengembangan masyarakat yang diungkapkan Suharto (2005), dapat dianalisis bahwa pola pemberdayaan yang dilakukan oleh tim PSP3-IPB merupakan salah satu model aksi sosial dimana proses pemberdayaan komunitas desa dilakukan dengan peningkatan atau penguatan kapasitas kelembagaan desa. Hal tersebut dilakukan karena kenyataan di lapangan komunitas desa sebagai stakeholders berada pada posisi yang lemah. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut dipandang dari dimensi sturktural-kultural. Dimensi struktural dalam arti masyarakat lapisan bawah di tingkat komunitas tidak berdaya mengahadapi lapisan yang lebih kuat. Akibatnya adalah upaya-upaya pemberdayaan masyarakat lapisan bawah tidak berjalan sebagaimana tujuannya karena kendala sturuktural tersebut. Masalah struktural tersebut mengalahkan interes pribadi dari aparatur pemerintah yang lebih kuat.

Melalui peningkatan kapasitas kelembagaan diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan komunitas desa, sehingga terjadi perubahan dan memiliki peran yang sebanding dengan stekeholders lainnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan jalan meningkatkan kapasitas kelembagaan. Peningkatan kapasitas kelembagaan terkait dengan peningkatan kemampuan pemerintah desa mendistribusikan atau pembagian sumberdaya desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan komunitas desa. Kemudian peningkatan kemampuan untuk peka dan tanggap terhadap aspirasi warga masyarakat serta peningkatan kapasitas jejaring dan kerjasama. Sehingga pada akhirnya upaya atau

(34)

program pemberdayaan masyarakat benar-benar dapat teraktualisasi dengan baik serta partisipasi komunitas desa semakin meningkat.

2.1.7 Komunitas

Jim Ife (1989) dalam Nasdian (2006) menyebutkan pengertian komunitas dengan warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat lebih luas (society) melalui kedalaman perhatian bersama (a community of interest) atau oleh tingkat interaksi yang tinggi. Para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama (common needs). Jika tidak ada kebutuhan bersama maka bukan suatu komunitas. Aktivitas anggota komunitas dicirikan dengan partisipasi dan keterlibatan langsung anggota komunitas dalam kegiatan/program yang dijalankan. Suatu komunitas mempunyai lokalitas atau tempat tinggal tertentu. Komunitas yang mempunyai tempat tinggal tetap dan permanen biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Di samping iu, harus ada suatu perasaan diantara anggota bahwa mereka saling memerlukan dan bahwa lahan yang mereka tempati memberikan kehidupan bagi semuanya. Unsur-unsur perasaan komunitas (community sentiment) dijelaskan oleh Nasdian (2006) antara lain seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan.

2.1.8 Kemitraan

Menurut Nasution (2002) kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang menganut asas kesetaraan dan saling ketergantungan antar anggota dan antar kelompok dalam masyarakat. Kemitraan dalam hal ini adalah kerjasama sinergi berkaitan dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki masing-masing pihak, sehingga setiap komponen anggota dan kelompok yang bekerjasama akan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan apabila mereka bekerja sendiri-sendiri. Kemitraan tersebut akan meningkatkan efisiensi dan memberikan keuntungan yang lebih tinggi.

Pembentukan kemitraan akan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan strategi lainnya yaitu karena lebih mudah dibentuk, lebih luwes diimplementasikan, tidak memerlukan dana yang besar, beresiko kecil, serta menimbulkan beberapa efek ganda yang cukup berarti bagi perusahaan(Wahyudi, 1997 dalam Nasution, 2002).

(35)

2.1.9 SL-PTT : DEFINISI, TUJUAN DAN AZAS4

SL-PTT adalah bentuk sekolah yang seluruh proses belajarmengajarnya dilakukan di lapangan. Hamparan sawah milik petani peserta program penerapan PTT disebut hamparan SL-PTT, sedangkan hamparan sawah tempat praktek sekolah lapang disebut laboratorium lapang (LL). Sekolah lapang seolah-olah menjadikan petani peserta sebagai murid dan pemandu lapang (PL I atau PL II) sebagai guru. Namun pada sekolah lapang tidak dibedakan antara guru dan muridkarena aspek kekeluargaan lebih diutamakan, sehingga antara guru dan murid. saling memberi pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman. SL-PTT juga mempunyai kurikulum, evaluasi pra dan pasca kegiatan, dan sertifikat. Bahkan sebelum SL-PTT dimulai perlu dilakukan registrasi terhadap peserta yang mencakup nama dan luas lahan sawah garapan, pembukaan, dan studi banding atau kunjungan lapang (field trip). Penciri SL-PTT adalah sebagai berikut:

1. Peserta dan pemandu saling memberi dan menghargai.

2. Perencanaan dan pengambilan keputusan dilakukan bersama dengan kelompok tani (poktan) atau gabungan kelompok tani (gapoktan).

3. Komponen teknologi yang akan diterapkan berdasarkan hasil PRA yang dilakukan oleh petani peserta.

4. Pemandu tidak mengajari petani, akan tetapi petani belajar dengan inisiatif sendiri, pemandu sebagai fasilitator memberikan bimbingan. 5. Materi latihan, praktek, dan sarana belajar ada di lapangan.

6. Kurikulum dirancang untuk satu musim tanam, sehingga dalam periode tersebut diharapkan terdapat 10-18 kali pertemuan antara peserta dengan pemandu.

Sasaran dan Tujuan

Pada tahun 2011 diharapkan dapat terselenggara SL-PTT di 60.000 unit. Satu unit SL-PTT padi inbrida dilaksanakan pada hamparan lahan sawah seluas 25 ha, 24 ha di antaranya untuk SL-PTT dan 1 ha untuk Laboratorium Lapang. Untuk padi hibrida, satu unit SLPTT dilaksanakan pada lahan sawah seluas 15 ha. Luas lahan sawah yang akan menerapkan PTT melalui SL-PTT diperkirakan 1,58

4

http://bptpbogor.litbang.dephut.go.id/[diakses pada hari Sabtu, 07 Januari 2012, pukul 23:50 WIB]

(36)

juta ha. Strategi ini diharapkan dapat memperluas penyebaran PTT yang akan berdampak terhadap percepatan implementasi program P2BN. Tujuan utama SL-PTT adalah mempercepat alih teknologi melalui pelatihan dari peneliti atau narasumber lainnya. Narasumber memberikan ilmu dan teknologi (IPTEK) yang telah dikembangkan kepada pemandu lapang I (PL I) sebagai Training of Master Trainer (TOMT). PL I terdiri atas penyuluh pertanian, Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), dan Pengawas Benih Tanaman (PBT) tingkat provinsi yang telah dilatih di tingkat nasional (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi-BB-Padi). Selanjutnya PL I menurunkan IPTEK tersebut kepada PL II yang terdiri atas penyuluh pertanian, POPT, dan PBT tingkat kabupaten/kota.

Pelatihan bagi PL II diselenggarakan di tingkat provinsi dan materinya diberikan oleh narasumber dan PL I. Pelatihan bagi pemandu lapang diselenggarakan di kabupaten/kota. Peserta pelatihan adalah penyuluh pertanian, POPT dan PBT tingkat kecamatan/desa. Materi pelatihan diberikan oleh narasumber dan PL II. Melalui SL-PTT diharapkan terjadi percepatan penyebaran teknologi PTT dari peneliti ke petani peserta dan kemudian berlangsung difusi secara alamiah dari alumni SL-PTT kepada petani di sekitarnya. Seiring dengan perjalanan waktu dan tahapan SL-PTT, petani diharapkan merasa memiliki PTT yang dikembangkan. Keuntungan yang diperoleh pemberi dan penerima dalam kegiatan ini adalah:

1. Keuntungan bagi pemandu, PPL, dan PHP

Dengan motto“memberi lebih baik dari menerima” pemandu (PPL atau PHP) memberikan pengetahuan dan pengalamannya kepada petani sehingga pemandu merasa bermanfaat bagi banyak orang, terutama petani. Dalam hal ini pemandu dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan baik dan mampu pula menggerakkan petani mengembangkan dan memajukan usahatani di wilayah kerjanya.

2. Keuntungan bagi petani

Petani peserta SL-PTT diberi kebebasan memformulasikan ide, rencana, dan keputusan bagi usahataninya sendiri. Mereka dilatih agar mampu membentuk dan menggerakkan kelompok tani dalam alih teknologi kepada petani lain. Melalui SL-PTT, petani peserta diharapkan terpanggil dan bertanggung jawab untuk

(37)

bersama-sama meningkatkan produksi padi dalam upaya mewujudkan swasembada beras. Kebersamaan semua pihak yang terlibat dalam SL-PTT merupakan faktor pendorong bagi petani dalam mengelola usahataninya.

Beberapa azas SL-PTT yang perlu dipahami oleh pemandu dan petanipeserta SL-PTT adalah sebagai berikut:

1. Sawah sebagai sarana belajar

Keterampilan yang dituntut dari petani peserta sekolah lapang dalam menerapkan PTT adalah keterampilan membawa PTT ke lahan usahataninya sendiri dan lahan petani yang lain. Oleh karena itu, petani peserta SL-PTT akan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk menerapkan teknologi di lapang dan hanya sebagian kecil waktu yang digunakan di kelas untuk membahas aspek yang terkait dengan usahatani, seperti koperasi, gapoktan, kelompok tani, dan pemasaran hasil.

2. Belajar lewat pengalaman dan penemuan sendiri

Sesuai dengan motto petani SL-PTT “mendengar, saya lupa; melihat,

saya ingat; melakukan, saya paham; menemukan sendiri, saya kuasai” maka

setiap kegiatan yang dilakukan sendiriakan memberikan pengalaman yang berharga. Oleh karena itu, petanidituntut untuk mampu menganalisis kegiatan yang telah dilakukan,kemudian menyimpulkan dan menindaklanjutinya. Kesimpulan yangtelah dibuat merupakan dasar dalam melakukan perubahan dan ataupengembangan teknologi.

3. Pengkajian agroekosistem sawah

SL-PTT dicirikan oleh adanya pertemuan petani peserta dalam periode tertentu, mingguan atau dua mingguan, bergantung kepada pengalaman mereka setelah mengamati perubahan ekosistem persawahan. Aktivitas mingguan berupa monitoring yang hasilnya diperlukan dalam pengambilan keputusan. Untuk itu, petani peserta SL-PTT perlu didorong untuk membiasakan diri menganalisis ekosistem dan mengkaji produktivitas dan efektivitas teknologi yang dicoba pada petak laboratorium lapang dan menerapkannya di lahan sendiri.

(38)

4. Metode belajar praktis

Aktivitas SL-PTT perlu dirancang sedemikian rupa agar petani mudah memahami masalah yang dihadapi di lapangan dan menetapkan teknologi yang akan diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut. Misalnya, bagaimana petani mengetahui kondisi tanaman yang kurang pupuk, hubungan antara iklim dan keberadaan OPT, atau bagaimana mereka dapat mengetahui kesuburan tanah. Dalam memberikan panduan dan motivasi kepada petani, pemandu SL-PTT harus mampu berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa yang mudah dipahami petani.

5. Kurikulum berdasar keterampilan yang dibutuhkan

Kurikulum dirancang atas dasar analisis keterampilan yang perlu dimiliki petani SL-PTT, agar mereka dapat memahami dan menerapkan PTT di lahan sendiri dan mengembangkan kepada petani lainnya. Selain keterampilan teknis, petani peserta SL-PTT juga memperoleh kecakapan dalam perencanaan kegiatan, kerja sama, dinamika kelompok, pengembangan materi belajar, dan komunikasi. Hal ini penting artinya bagi petani peserta SL-PTT untuk dapat menjadi fasilitator yang mampu memotivasi dan membantu kelompok tani.

2.2 Kerangka Pemikiran

Kelompok Tani adalah kumpulan petani/peternak yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota, sedangkan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) adalah kumpulan dari beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha.

Gapoktan Jaya Tani adalah Gabungan Kelompok Tani yang terdapat di Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. FungsiGapoktan ini sangat penting bagi petani yang ada di Desa Cibunian, sebagai sebuah kelembagaan Gapoktan Jaya Tani berfungsi sebagai wadah bagi para petani untuk saling berbagi informasi pertanian dan meningkatkan produktivitas serta efisiensi usaha tani mereka melalui kemudahan dalam mengakses informasi pertanian, pemasaran, permodalan, saprodi, dan sebagainya.

(39)

Diperlukan berbagai upaya penguatan kelembagaan dalam meningkatkan keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani salah satunya dengan memperkuat jejaring kerjasama dengan lembaga-lembaga yang dapat mendukung pengembangan pertanian di Desa Cibunian. Menurut Israel (1990) pengembangan atau penguatan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Strategi ini dapat dilakukan dengan mengutamakan prinsip-prinsip good governance danmenjalin kerjasama dengan kelembagaan penyuluhan, koperasi tani (Koptan), penangkar benih, pengusaha benih, kios, KUD, P3A dan sebagainya.

Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan sekolah lapangan bagi petani dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan. Dalam SL-PTT petani dapat belajar langsung di lapangan melalui pembelajaran dan penghayatan langsung (mengalami), mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan (melakukan/mengalami kembali), menghadapi dan memecahkan masalah-masalah terutama dalam hal teknik budidaya dengan mengkaji bersama berdasarkan spesifik lokasi. Kegiatan ini dilaksanakan pada masing-masing Kelompok Tani anggota Gabungan Kelompok Tani. Keberhasilan program SL-PTT dapat dilihat dari peningkatan kemampuan dan keterampilan petani dalam mengelola usaha taninya serta tingkat partisipasi kelompok dalam setiap tahapan pelaksanaan SL-PTT. Tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT dilhat dari tingkat partisipasi setiap individu dalam kehadiran dalam penyusunan rencana usaha kelompok (RUK), keaktifan berdiskusi atau menyampaikan ide dalam pembuatan RUK, keterlibatan secara fisik, dan kesediaan membayar iuran jika ada kesepakatan dalam kelompok.

Keberhasilan program SL-PTT ditentukan oleh dua faktor, yaitu: faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah kondisi atau keberlanjutan Gapoktan Jaya Tani, sementara faktor eksternalnya yaitu kemampuan dan keterampilan penyuluh dalam membuka ruang yang luas bagi para petani untuk berpartisipasi. Oleh karena itu dalam mengkaji sejauh mana peran kelembagaan berkelanjutan

(40)

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian : hubungan mempengaruhi : diukur berdasarkan : Hubungan Keberlanjutan Kelembagaan Partisipasi Kelompok Partisipasi individu Good Governance 1. Tranparansi 2. Akuntabilitas 3. Demokrasi Keseimbangan Pelayanan

dan Peran serta (Partisipasi-Servis) GAPOKTAN “Jaya Tani” Jejaring (Networking) Kondisi sosial ekonomi petani

(41)

terhadap tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT, akan diidentifikasi mulai dari karakteristik sosial ekonomi petani dan bagaimana hubungannya dengan tingkat partisipasi setiap individu. Lalu, akan diidentifikasi pula bagaimana tingkat keseimbangan pelayanan-peran serta, tingkat demokrasi, tingkat akuntabilitas, dan kekuatan jejaring yang terbangun. Setelah itu, peneliti akan mengidentifikasi tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT. Terakhir, penulis akan mendeskripsikan sejauh mana peran keberlanjutan kelembagaan terhadap tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT di Gapoktan Jaya Tani, Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor (Gambar 3).

2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah :

1. Responden berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi tingkat partisipasinya dalam program SL-PTT.

2. Semakin tinggi usia (senior) maka tingkat partisipasi dalam program SL-PTT akan semakin tinggi.

3. Semakin tinggi pendidikan yang pernah ditamatkan responden maka tingkat partisipasi dalam program SL-PTT akan semakin tinggi.

4. Semakin tinggi luas lahan yang dimiliki maka tingkat partisipasi dalam program SL-PTT akan semakin tinggi.

5. Semakin tinggi penghasilan responden maka tingkat partisipasi dalam program SL-PTT akan semakin tinggi.

2.4 Definisi Konseptual

1. Keberlanjutan kelembagaan adalah tingkat atau ukuran keberlanjutan suatu lembaga yang ada di komunitas yaitu : (1) Sustain; (2) Semi sustain dengan kendala manajemen; (3) Semi sustain dengan kendala good governance; (3) Tidak sustain. Dinilai berdasarkan keseimbangan antara pelayanan dengan peranserta, good governance (demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas) danjejaring kelembagaan.

2. Partisipasi adalah keterlibatan komunitas dalam pertemuan, diskusi, kegaiatan fisik, dan kesediaan membayar iuran.

(42)

3. Kelembagaan sustain adalah ketika tingkat keseimbangan “pelayanan-peranserta” tinggi dan berfungsinya prinsip-prinsip good governance di Gapoktan Jaya Tani.

4. Tingkat keseimbangan pelayanan-peran serta adalah tingkat keberhasilan dalam proses manajemen oleh Gapoktan Jaya Tani.

5. Kelembagaan Semi sustain kendala menajemen adalah ketika tingkat keseimbangan “pelayanan-peranserta” rendah akan tetapi prinsip-prinsip good governance berfungsidi Gapoktan Jaya Tani.

6. Demokrasi adalah proses pengambilan keputusan ditetapkan melalui musyawarah anggota Gapoktan.

7. Transparansi adalah tingkat kemudahan mengakses informasi secara benar dan memadai terkait pengelolaan berbagai kegiatan di Gapoktan oleh anggota maupun pihak yang berkepentingan.

8. Akuntabilitas adalah adanya laporan dari pengurus Gapoktan kepada anggota dan pihak terkait lainnya.

9. Jejaring kelembagaan adalah relasi kerjasama yang terbangun antar kelembagaan di dalam dan di luar komunitas (BPP, Koptan, KUD, Bank, Institusi pembenihan, perusahaan, pemerintah).

10. Kelembagaan Semi sustain kendala good governance adalah ketika tingkat keseimbangan “pelayanan-peranserta” tinggi akan tetapi prinsip-prinsip good governance tidak berfungsi di Gapoktan Jaya Tani.

11. Kelembagaan tidak sustain adalah ketika tingkat keseimbangan “pelayanan-peranserta” rendah dan prinsip-prinsip good governance tidak berfungsi di Gapoktan Jaya Tani.

12. Good governace adalah pengelolaan Gapoktan Jaya Tani sesuai dengan prinsip demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas.

2.5 Definisi Operasional

1) Karakterisik sosial ekonomi

a. Jenis kelamin adalah sifat fisik responden sebagaimana yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki responden, yang dinyatakan dalam dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan.

Gambar

Gambar 2. Delapan Tangga Tingkat Partsipasi Masyarakat  2.1.5  Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian  : hubungan mempengaruhi  : diukur berdasarkan      : Hubungan  Keberlanjutan  Kelembagaan   Partisipasi Kelompok  Partisipasi individu Good Governance 1
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Penelitian Tahun 2011-2012
Tabel 2. Luas dan Persentase Penggunaan Lahan Desa Cibunian 2010  No  Penggunaan Lahan  Luas (Ha)  Persentase (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Navedeni rezultati nedvosmisleno pokazuju kako među novim članicama one s višim stopama rasta nemaju problema sa zadovoljavanjem fiskalnih kriterija konvergencije.. Najveći

Hasil analisis tentang hubungan antara intensitas getaran, umur, masa kerja, lama kerja, kebiasaan olahraga, dan sikap kerja dengan keluhan Musculoskeletal

Sedangkan untuk manfaat quasi menggunakan teknik-teknik: (1) Value Linking: digunakan untuk mengevaluasi manfaat yang merepresentasikan ripple effect dari peningkatan

Dari hasil ini dapat dilihat, tutupan mangrove optimal bagi pertumbuhan udang windu adalah luas tutupan mangrove sedang yaitu sekitar 30-60 % dari luas tambak,

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek analgetik ekstrak etanol 96% dan ekstrak air, menentukan dosis ekstrak daun ungu yang paling efektif dan

Metode yang dilakukan ialah mengambil data pada beberapa kategori dan kondisi serta menghitung perbandingan selisih nilai antara Radial, Cortoid, termometer dan

Lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pembelajaran melalui kegiatan membacakan buku dengan nyaring ( read aloud) atau seluruh warga sekolah membaca

Di tengah-tengah kesibukan anda saat ini, perkenankanlah saya memohon kesediaan anda untuk meluangkan waktu sejenak menjadi responden penelitian guna mengisi skala ini, penelitian