Sungai
Sungai merupakan daerah yang dilalui badan air yang bergerak dari tempat
yang tinggi ke tempat yang lebih rendah dan melalui permukaan atau bawah
tanah. Berdasarkan sifat badan air, tanah, dan populasi biota air, sebuah sungai
dapat dibedakan menjadi hulu, hilir dan muara. Sungai bagian hulu dicirikan
dengan badan sungai yang dangkal dan sempit, tebing curam dan tinggi, berair
jernih dan mengalir cepat, serta mempunyai populasi (baik jenis maupun jumlah)
biota air sedikit. Sungai bagian hilir umumnya lebih lebar, tebingnya curam atau
landai, badan air dalam, keruh, aliran air lambat dan populasi biota air di
dalamnya banyak, tetapi jenisnya kurang bervariasi (Kordi, 2008).
Sungai dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata
air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi
rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada
tebing-tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air
yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata
air yang membentuk rawa-rawa. Selanjutnya aliran dari beberapa mata air akan
membentuk aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai
dengan relief aliran sungai yang terjal. Zona rithral dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu epirithral (bagian yang paling hulu), metarithral (bagian tengah dari
aliran sungai di zona rithral) dan hyporithral (bagian paling akhir dari zona
rithral). Setelah melewati zona hyporithral, aliran sungai akan memasuki zona
dengan zona rhitral. Zona potamal juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
epipotamal (bagian awal), metapotamal (bagian tengah) dan hypopotamal (bagian
akhir dari zona potamal) (Barus, 2004).
Pencemaran Air Sungai
Secara alamiah, sungai dapat tercemar pada daerah permukaan air saja.
Pada sungai yang besar dengan arus air yang deras, sejumlah kecil bahan
pencemar akan mengalami pengenceran sehingga tingkat pencemaran menjadi
sangat rendah. Hal tersebut menyebabkan konsumsi oksigen terlarut yang
diperlukan oleh kehidupan air dan biodegradasi akan cepat diperbarui. Tetapi
terkadang sebuah sungai mengalami pencemaran yang berat sehingga air
mengandung bahan pencemar yang sangat besar. Akibatnya, proses pengenceran
dan biodegradasi akan sangat menurun jika arus air mengalir perlahan karena
kekeringan atau penggunaan sejumlah air untuk irigasi. Hal ini juga
mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut. Suhu yang tinggi dalam air
menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai
aerobik menjadi naik dan dapat menguapkan bahan kimia ke udara
(Darmono, 2001).
Bentuk pencemaran utama yang terdapat di sungai adalah limbah organik
yang berasal dari rumah tangga dan saluran pembuangan dan industri. Sumber
pencemaran tersebut menghasilkan air dengan keasaman rendah dan keruh. Bahan
organik dihancurkan secara alami oleh bakteri di dalam air tetapi proses ini
membutuhkan oksigen. Bila terlalu banyak bahan organik yang dihancurkan maka
konsentrasi oksigen terlarut akan menurun secara drastis. Kadang-kadang
tersebut dapat memanfaatkan lapisan air yang kaya oksigen, tidak hanya bahan
organik saja yang menyebabkan pengurangan jumlah oksigen, tetapi juga hasil
dari proses dekomposisi yang menghasilkan senyawa-senyawa amoniak, nitrat
dan fosfor (Kottelat dan Anthony, 1993).
Toleransi Terhadap Pencemar
Salah satu konsep dasar ekologis adalah Hukum Shelford mengenai
toleransi yang menyatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan suatu makhluk
hidup tergantung pada lebih atau kurangnya faktor lingkungan yang sangat
mendekati batas toleransi. Setiap spesies mempunyai sebuah kisaran optimal
untuk setiap faktor lingkungan dan jika batas toleransi teratas atau terbawah
dilewati, maka makhluk hidup akan mati. Walaupun suatu kehidupan yang dekat
batas ekstrim toleransi mungkin saja berlangsung dalam waktu pendek, namun
yang paling penting adalah dimana makhluk hidup dapat berhasil berkembang
biak. Perkiraan toleransi secara fisiologis juga mempunyai beberapa kesulitan
karena beberapa derajat keragaman dapat dilihat pada batas toleransi setiap
individu (Michael, 1984).
Ikan
Ikan adalah organisme air yang bernafas dengan insang dan dapat bergerak
atau berenang dengan menggunakan sirip (fin). Untuk mengatur keseimbangan,
tubuh ikan memiliki alat yang disebut sebagai gurat sisi atau garis lateral (lateral
line). Selain itu ikan memiliki gelembung udara yang berfungsi sebagai alat
mengapung, melayang atau membenamkan diri pada dasar perairan. Ikan tersebar
diberbagai jenis perairan diseluruh permukaan bumi. Ikan mempunyai pola
penyebaran yang luas. Hal ini terutama didukung oleh kemampuan mobilitas dari
ikan yang tinggi (Barus, 2004).
Jenis ikan yang hidup di sungai dipengaruhi oleh kecepatan air, tingkat
sedimentasi air sungai, temperatur, morfologi sungai, vegetasi tepi sungai,
vegetasi akuatik dan lain sebagainya. Lebih dari itu, ukuran panjang dan lebar
ikan di sungai dapat menggambarkan sifat karakteristik fisik sungai yang
bersangkutan. Sebagai contoh, ikan bertubuh panjang dengan potongan melintang
membulat merupakan penghuni wilayah perairan dengan kecepatan air tinggi,
sebaliknya ikan dengan postur tubuh pendek dan pipih sering dijumpai pada
kondisi sungai dengan kecepatan air rendah (Maryono, 2007).
Pembahasan ikan dalam kaitannya dengan lingkungan hidupnya sangat
penting agar dinamikanya dalam ekosistem perairan dan kemungkinan dampak
lingkungan terhadap kehidupan ikan dapat dipahami. Bentuk badan ikan dapat
memberi banyak informasi yang meyakinkan mengenai ekologi dan perilakunya.
Kebanyakan aspek ini berasal dari pengetahuan umum saja, namun demikian
informasi mengenai hubungan bentuk ikan dengan ekologinya sangat berharga
karena akan membantu interpretasi tentang komposisi suatu komunitas ikan
(Kottelat dan Anthony, 1993).
Penggolongan Ikan
Ikan – ikan dengan profil badan bagian bawah (perut) mendatar umumnya merupakan penghuni dasar perairan. Jika mulutnya inferior maka kemungkinan
besar merupakan ikan pemakan detritus atau invertebrata kecil yang hidup di
dasar perairan atau alga yang terkupas dari batu-batu (contohnya Balitoridae dan
Mereka umumnya merupakan penghuni dasar perairan, memangsa ikan-ikan kecil
atau binatang kecil lain yang lewat yang dikenal sebagai predator-penunggu
(contoh: Chaca bankanensis). Ikan-ikan bermulut kecil (misalnya Syngnathidae)
cenderung untuk memakan plankton atau organisme lain yang menempel pada
tumbuhan air atau benda lain yang terbenam. Mulut yang besar umumnya
menunjukkan ikan sebagai predator, melalui pengamatan bagian dalam mulutnya
sering ditemukan beberapa gigi. Ikan bermata besar dan bening cenderung hidup
di perairan yang jernih dimana mereka dapat melihat dengan jelas, sedangkan
yang hidup di perairan yang keruh misalnya muara-muara sungai cenderung
memiliki mata kecil (Kottelat dan Anthony, 1993).
Selanjutnya Rahardjo dkk., 2011 membagi ikan dalam tiga kelas
berdasarkan taksonominya yaitu:
a. Kelas Cephalaspidomorphi
Ikan ini tidak memiliki rahang. Mata berkembang baik dan tanpa sungut,
tidak ada lengkung insang sejati untuk menyokong dan melindungi insang dan
sebagai gantinya terdapat suatu kantung yang terletak di luar insang, arteri insang
dan saraf insang terletak didalamnya. Satu lubang hidung, sirip berpasangan tidak
ada, sirip dorsal satu atau dua. Salah satu spesies ikan anggota kelas ini adalah
ikan lamprey. Ikan ini termasuk parasit atau predator. Jumlah anggota kelas ini
tercatat mendekati 40 spesies.
b. Kelas Elasmobranchii
Ikan ini mempunyai rahang. Jumlah insang dan celah insang berkisar
terdapat arteri insang dan saraf insang dan ikan ini mempunyai sirip yang
berpasangan.
c. Kelas Actinopterygii
Kelas Actinopterygii merupakan kelas yang dominan di bumi. Kelas ini
mempunyai ciri-ciri antara lain mempunyai rahang, rangka terdiri atas tulang
sejati, lengkung insang merupakan tulang sejati yang terletak di bagian tengah
insang mengandung arteri dan saraf, mempunyai sirip yang berpasangan,
mempunyai sepasang lubang hidung, mempunyai sisik dan biasanya mempunyai
gelembung gas.
Keanekaragaman Jenis Ikan Hasil Penelitian di Danau Toba Balige
Berdasarkan penelitian Siagian (2009) di perairan Danau Toba Balige
ditemukan 1 kelas ikan yaitu kelas Osteicthyes dengan 3 ordo antara lain
Cypriniformes, Perciformes, Ostariophysii dan 5 famili yaitu Cyprinidae,
Chichilidae, Eleotridae, Claridae, Cebitidae serta 7 genus/spesies ikan di Danau
Toba Balige dan ketujuh jenis yang didapat merupakan ikan ekonomis yakni ikan
Mas, ikan Pora-Pora, ikan Mujair, ikan Nila Merah, ikan Gabus, ikan Betutu dan
ikan Lele. Ikan kecil seperti ikan Kepala Timah dan Ikcor yang berukuran kecil
tidak didapat dengan menggunakan mata jaring 2x2 cm dan mata jaring 3x3 cm.
Ikan pora-pora merupakan jenis ikan yang memiliki kepadatan populasi,
kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran yang paling tinggi dibandingkan dengan
ikan-ikan lainnya pada seluruh stasiun penelitian. Dominasi ikan pora-pora
disebabkan karena ikan ini cepat bereproduksi dalam jumlah yang banyak sekali
Jenis ikan yang memiliki kepadatan populasi, kepadatan relatif dan
frekuensi kehadiran urutan kedua yaitu ikan Betutu. Jenis ikan yang memiliki
kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran yang paling rendah
di Danau Toba Balige adalah Nila Merah. Ikan Nila Merah mengalami
pertumbuhan dan perkembangbiakan pada temperatur air yang berada pada
kisaran optimal yaitu 22oC-23oC dan pH air yaitu 7,27-7,57. Ikan Nila yang masih
kecil lebih tahan terhadap perubahan lingkungan dibanding dengan ikan Nila yang
sudah besar (Siagian, 2009).
Kualitas Air
Saat ini, masalah utama yang dihadapi oleh sumberdaya air meliputi
kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat
dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan
industri, domestik dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumberdaya air,
antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan
gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung
pada sumberdaya air. Kualitas air yaitu sifat air dan kandungan makhluk hidup,
zat, energi atau komponen lain di dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan
beberapa parameter, yaitu parameter fisika (suhu, kekeruhan, padatan terlarut dan
sebagainya), parameter kimia (pH, oksigen terlarut, BOD, kadar logam dan
sebagainya dan parameter biologi (keberadaan plankton, bakteri dan sebagainya)
(Effendi, 2003). Parameter-parameter fisika dan kimia yang biasa digunakan
untuk menentukan kualitas air meliputi suhu, arus, kedalaman, kecerahan,
kekeruhan, pH, oksigen terlarut, BOD5, COD, fosfat, nitrat dan nitrit.
Setiap perairan pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak
serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem air sangat dipengaruhi
oleh temperatur (Barus, 2004).
Pakar ekologi berpendapat bahwa yang mengontrol kehidupan di bumi ini
pertama-tama adalah suhu. Ikan yang merupakan hewan berdarah dingin, tidak
dapat mengatur suhu tubuhnya dan sangat peka terhadap perubahan suhu di
sekitarnya. Setiap spesies organisme air akan dapat beradaptasi terhadap suhu air
yang bervariasi pada setiap pergantian musim (dua musim di daerah tropik dan
empat musim di daerah subtropik), tetapi dapat mengalami stress bila terjadi
perubahan suhu yang mendadak. Suhu air dapat mempengaruhi panjangnya siklus
hidup hewan air, dari telur, larva dan masa kedewasaan. Beberapa fase siklus
hidup dapat menjadi lebih cepat pada suhu air yang hangat. Suhu air yang relatif
tinggi dapat mempercepat pertumbuhan ikan, sedangkan ikan menjadi lemah
tetapi pada suhu yang relatif rendah pertumbuhan ikan sedikit lebih lambat,
sedangkan ikan tetap sehat. Semua jenis ikan dapat beraklimatisasi pada
perubahan suhu air yang perlahan, tetapi bila suhu berubah secara mendadak akan
dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan batas maksimum aklimatisasi, hampir
semua ikan dapat bertoleransi pada batas suhu air dari 25oC sampai dengan 36oC
(Darmono, 2001).
Kecepatan arus suatu badan perairan berpengaruh terhadap kemampuan
badan perairan tersebut untuk mengangkut bahan pencemar. Pengetahuan akan
kecepatan arus digunakan untuk memperkirakan kapan bahan pencemar akan
mencapai suatu lokasi tertentu apabila bagian hulu suatu badan perairan
mengalami pencemaran (Effendi, 2003). Kecepatan arus yang ideal sekitar
Menurut Wibisono (2005) kedalaman suatu perairan ditentukan pada relief
dasar dari perairan tersebut. Perairan yang dangkal kecepatan arus relatif cukup
besar dibandingkan dengan kecepatan arus pada daerah yang lebih dalam.
Semakin dangkal perairan semakin dipengaruhi oleh arus, yang mana daerah yang
dipengaruhi oleh arus mempunyai tingkat kekeruhan yang tinggi. Kedalaman
perairan berpengaruh terhadap jumlah dan jenis organisme yang mendiaminya dan
penetrasi cahaya yang masuk ke dalam badan perairan (Kangkan, 2006).
Kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan ke dalam air. Dengan
mengetahui kecerahan suatu perairan maka dapat diketahui sampai dimana
kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang
tidak keruh, yang agak keruh dan yang paling keruh. Air yang tidak terlampau
keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan ikan
(Kordi dan Tancung, 2007). Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan
adalah lebih dari 45 cm, artinya kita dapat melihat ke dalam air sejauh 45 cm atau
lebih karena apabila nilai kecerahan kurang dari 45 cm, batas pandangan ikan
akan berkurang (Kordi, 2004).
pH merupakan salah satu parameter penting dalam pemantauan kualitas
air. Nilai pH menunjukkan tingkat keasaman atau kekuatan asam dan basa dalam
air. Perubahan pH dalam perairan akan mempengaruhi perubahan dan aktivitas
biologis. Pertumbuhan organisme perairan dapat berlangsung dengan baik pada
kisaran pH 6,5-8,5 (Fernandez, 2011).
Oksigen memegang peranan penting dalam menentukan kualitas perairan.
Kondisi oksigen dalam air merupakan indikator kualitas air, penurunan
(Syofyan dkk., 2011). Nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara
6 mg/l - 8 mg/l (Barus, 2004).
Angka BOD menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan oleh
mikroorganisme pada waktu melakukan penguraian hampir semua bahan organik
yang terlarut dan sebagian yang tidak terlarut (Sukadi, 1999). Perairan dengan
nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan
organik dan menurunnya kualitas perairan (Fernandez, 2011).
COD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia
yang dinyatakan dalam mgO2/l. Dengan mengukur nilai COD maka akan
diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses
oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara
biologis maupun yang tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004).
Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Kadar
nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat dan nitrat
dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan
(Effendi, 2003).
Fosfat berperan penting dalam menunjang kehidupan organisme akuatik.
Fosfat dalam aliran sungai antara lain berasal dari buangan domestik dan industri
yang menggunakan deterjen berbahan dasar fosfat, yaitu industri tekstil, jasa
komersial pencucian, pewarnaan, industri kosmetik, industri logam dan
sebagainya. Fosfat dalam deterjen berfungsi sebagai bahan pengisi untuk
mencegah menempelnya kembali kotoran pada bahan yang sedang dicuci.
Penggunaan deterjen tersebut pada akhirnya akan mempercepat bertambahnya
algae. Algae yang berlimpah ini dapat membentuk lapisan pada permukaan air
yang akan menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang
menguntungkan bagi ekosistem perairan (Susana dan Suyarso, 2008).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik
yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan
organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain
(Davis dan Cornwell, 1991).
Kualitas Air Hasil Penelitian di Perairan Danau Toba Balige
Berdasarkan penelitian Siagian (2009) menyatakan bahwa hasil
pengamatan faktor fisika dan kimia dari perairan Danau Toba Balige yaitu
berkisar antara 24,37oC-25,00oC. Kisaran temperatur di Danau Toba, Balige tidak
mengalami fluktuasi atau relatif konstan karena tidak mengalami perubahan yang
tinggi. Temperatur rata-rata tertinggi sebesar 24,37oC (Siagian, 2009). Kisaran
suhu optimal bagi kehidupan ikan di perairan tropis adalah antara 28oC-32oC.
Pada suhu 18oC-25oC ikan masih bertahan hidup, tetapi nafsu makannya mulai
menurun. Suhu air 12oC 18oC mulai berbahaya bagi ikan sedangkan pada suhu
dibawah 12oC ikan tropis mati kedinginan. Suhu sangat berpengaruh terhadap
kadar oksigen. Oksigen berbanding terbalik dengan suhu artinya bila suhu tinggi
maka kelarutan oksigen berkurang (Kordi dan Tancung, 2007).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan,
karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik
organisme aerobik atau anaerobik. Kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk
mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien
yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Kondisi anaerobik,
oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih
sederhana dalam bentuk nutrien dan gas karena proses oksidasi serta reduksi
inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi
beban pencemaran pada perairan secara alami maupun aerobik yang ditujukan
untuk memurnikan air buangan industri maupun rumah tangga (Salmin, 2005).
Hasil penelitian Siagian (2009) menyatakan bahwa kandungan oksigen
terlarut perairan Danau Toba Balige berkisar antara 6,82 mg/l-7,10 mg/l dengan
nilai tertinggi sebesar 7,10 mg/l hal ini disebabkan karena banyak ditemukan
tumbuhan air yang dapat menyumbangkan lebih banyak oksigen melalui
fotosintesis dan belum tercemar oleh limbah dan masih bersifat alami, oksigen
terlarut terendah sebesar 6,82 mg/l, rendahnya nilai oksigen terlarut menunjukkan
bahwa terdapat banyak senyawa organik serta senyawa kimia yang masuk ke
dalam badan perairan tersebut, dimana kehadiran senyawa organik akan
menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme
yang akan berlangsung secara aerob (memerlukan oksigen).
Beberapa jenis ikan mampu bertahan hidup pada perairan dengan
konsentrasi oksigen 3 ppm, namun konsentrasi minimum yang masih dapat
diterima sebagian besar spesies biota air untuk hidup dengan baik adalah 5 ppm.
Pada perairan dengan konsentrasi oksigen di bawah 4 ppm, beberapa jenis ikan
masih mampu bertahan hidup akan tetapi nafsu makannya mulai menurun. Hanya
perairan yang kandungan oksigen rendah seperti lele, gurami, sepat, betok dan
gabus (Kordi dan Tancung, 2007). Air yang kualitasnya baik adalah kondisi air
yang cukup mengandung oksigen, karena oksigen akan mencegah terbentuknya
hidrogen yang terbentuk dalam hidrogen sulfida air (Rajagukguk, 2009).
Hasil penelitian Siagian (2009) juga menunjukkan nilai rata-rata BOD5
perairan Danau Toba Balige berkisar 0,67 mg/l-1,42 mg/l. BOD5 tertinggi sebesar
1,42 mg/l sedangkan yang terendah sebesar 0,67 mg/l. Adanya perbedaan nilai
BOD5 disebabkan oleh proses penguraian bahan organik yang berhubungan
dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut digunakan oleh mikroorganisme
sehingga mengakibatkan nilai BOD5 meningkat dan juga dikarenakan adanya
berbagai aktivitas masyarakat yang terdapat pada lokasi tersebut (Siagian, 2009).
Bila dilihat nilai kisaran BOD5 pada masing-masing stasiun penelitian
(nilai BOD5 <5mg/l O2), maka lokasi penelitian masih tercemar ringan
(Purba, 2003).
Nilai rata-rata nitrat di perairan Danau Toba Balige berkisar 0,25
mg/l-0,47 mg/l. Tingginya unsur nitrat disebabkan lokasi ini merupakan lokasi
pemukiman penduduk dan banyaknya aktivitas masyarakat yang menghasilkan
limbah domestik yang yang mengakibatkan peningkatan kadar nitrat di badan
perairan (Siagian, 2009).
Nilai Fosfat pada perairan Danau Toba Balige berkisar antara 0,01
mg/l-0,02 mg/l. Hal ini disebabkan masuknya limbah-limbah yang masuk ke badan
perairan, sehingga dapat meningkatkan nilai fosfat di lokasi ini (Siagian, 2009).
organisme yang keberadaannya di beberapa perairan merupakan faktor pembatas.
Fosfat adalah bentuk umum dari fosfor (Kartamihardja, 1995).
Dari penelitian Siagian (2009) nilai pH pada perairan Danau Toba Balige
berkisar antara 7,12-7,44. Secara keseluruhan nilai pH yang didapatkan dari
keempat stasiun penelitian masih mendukung kehidupan biota perairan
(Siagian, 2009). Konsentrasi ion hidrogen (pH) tidak hanya mempengaruhi
distribusi dan diversitas organisme perairan secara langsung, tetapi juga secara
alamiah menentukan reaksi kimia yang terjadi di perairan rata-rata berkisar antara
7,47-7,87. Dengan demikian, perairan ini bersifat sedikit basa (Kartamihardja,
1995). Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya berkisar
antara 7-8,5 (Barus, 2004).
Dari penelitian Siagian (2009) nilai rata-rata COD perairan Danau Toba
Balige berkisar 3,18 mg/l-11,15 mg/l. Dengan memperhatikan kadar COD yang
cukup tinggi, maka perairan memerlukan kadar oksigen untuk proses oksidasi
kimia, hal ini menurunkan cadangan oksigen dalam air (Siagian, 2009). COD
adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan
organik secara kimia. Pengukuran COD dilakukan, karena dalam bahan organik
sering ditemukan bahan-bahan yang tidak dapat terurai secara biologis dan hanya
dapat diuraikan secara kimiawi (Yudo, 2010).
Berdasarkan penelitian Siagian (2009) hasil pengukuran didapatkan bahwa
penetrasi cahaya rata-rata sebesar 10 m. Hal ini menunjukkan bahwa kejernihan
badan air masih relatif sama. Nilai penetrasi cahaya pada suatu badan air
didapatkan bahwa intensitas cahaya tertinggi sebesar 915 Cd sedangkan intensitas
cahaya terendah sebesar 505 Cd (Siagian, 2009).
Berdasarkan penelitian Siagian (2009) menyatakan bahwa nilai analisis
korelasi antara keanekaragaman dan kelimpahan ikan dengan sifat fisika dan
kimia di perairan Danau Toba Balige yaitu berbeda tingkat korelasi dan arah