• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan Layang (Decapterus spp)

Ikan Layang (Decapterus spp) adalah salah satu diantara beberapa jenis ikan yang tertangkap di PPS Belawan. Ikan Layang merupakan ikan pelagis yang tertangkap dengan alat tangkap pukat cincin (Purse seine), dan termasuk hasil tangkapan dominan diantara keseluruhan hasil tangkapan pukat cincin. Ikan Layang merupakan ikan ekonomis yang diminati oleh masyarakat dan harganya yang terjangkau. Permintaan pasar terhadap Ikan Layang cukup besar dan semakin meningkat sehingga berperan dalam meningkatkan sumber pendapatan bagi nelayan. Hal tersebut akan merangsang nelayan untuk meningkatkan upaya penangkapannya. Usaha penangkapan yang tidak optimal dikhawatirkan akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya Ikan Layang. Sehingga perlu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh tingkat pemanfaatan yang telah dilakukan

sampai dengan saat ini terhadap sumber daya ikan yang tertangkap (Liestiana et al., 2015).

Gambar 2.Ikan Layang (Decapterus spp)

Pada saat ini penangkapan Ikan Layang dengan alat tangkap Purse seine cenderung mengabaikan kaidah-kaidah kelestarian sumberdaya ikan yang menjamin kelangsungan usaha perikanan, sehingga terdapat kecenderungan

penangkapan ikan berukuran kecil dan muda terus dilakukan (Atmaja dan Haluan, 2003).

Menurut klasifikasi Bleker dalam Saanin (1968) sistematika Ikan Layang adalah sebagai berikut :

Ikan Layang termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagis, tidak menetap dan suka bergerombol. Jenis ikan ini tergolong “stenohaline”, hidup di perairan yang berkadar garam tinggi (32 – 34 promil) dan menyenangi perairan jernih. Ikan Layang banyak tertangkap diperairan yang berjarak 20 – 30 mil dari pantai. Sedikit informasi yang diketahui tentang migrasi ikan, tetapi ada

kecenderungan bahwa pada siang hari gerombolan ikan bergerak ke lapisan air yang lebih dalam dan malam hari kelapisan atas perairan. Dilaporkan

bahwa ikan ini banyak dijumpai pada kedalaman 45–100 meter (Hardenberg dalam Sunarjo ,1990).

Menurut Shaw dalam Gunarso (1985) pengelompokan atau schoal merupakan gejala biososial yang elemen–elemen penyebabnya merupakan suatu pendekatan yang bersifat timbal balik. Bagi ikan, hidup bergerombol dapat memberikan kesempatan yang lebih besar untuk menyelamatkan diri dari predator dan bagi beberapa jenis ikan bergerombol dapat memberikan stress yang lebih kecil daripada yang hidup sendiri.

Secara biologi ikan layang merupakan plankton feeder atau pemakan plankton kasar yang terdiri dari organisme pelagis meskipun komposisinya berbeda masing-masing spesies copepoda, diatomae, larva ikan. Sumberdaya tersebut bersifat „multispecies‟ yang saling berinteraksi satu sama lain baik secara biologis ataupun secara teknologis melalui persaingan (competition) dan atau antar hubungan pemangsaan (predator prey relationship). Secara ekologis sebagian besar populasi ikan pelagis kecil termasuk Ikan Layang menghuni habitat yang relatif sama, yaitu dipermukaan dan membuat gerombolan di perairan lepas pantai, daerah-daerah pantai laut dalam, kadar garam tinggi dan sering tertangkap secara bersama (Royce,1972).

Ruaya Ikan Layang di perairan Indonesia mempunyai hubungan dengan pergerakan. Pada umumnya ruaya Ikan Layang berkaitan erat dengan pergerakan massa air laut walaupun secara tidak langsung. Dalam hal pola pergerakan arus sangat mempengaruhi ruaya Ikan Layang, karena Ikan Layang cenderung melakukan ruaya mengikuti massa air, sebaran salinitas yang tinggi, serta ketersediaan makanan. Ikan Layang sangat peka terhadap perubahan lingkungan.

Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan dan kesediaan

Ikan Layang adalah arus. Karena Ikan Layang biasanya melakukan ruaya mengikuti kadar garam dan ketersediaan makanan (Irham, 2009).

Distribusi Ikan Layang (Decapterus spp)

lkan Layang adalah jenis ikan yang hidup dalam air laut yang jernih dengan salinitas tinggi. Ikan ini berasal dari perairan bebas dan bersifat pelagis.

Ikan Layang bersifat "stenohalina" hidup di air Laut yang bersalinitas tertentu yaitu antara 32-33‰, sehingga dalam kehidupannya dipengaruhi oleh musim dan ikan ini selalu bermigarasi musiman. Ikan Layang muncul di permukaan karena di pengaruhi oleh migrasi harian dari organisme lain yang terdapat di suatu perairan.

Pada siang hari gerombolan-gerombolan ikan bergerak kelapisan atas.

Perpindahan tersebut disebabkan oleh adanya perpindahan masal dari plankton nabati yang diikuti oleh plankton hewani dan binatang-binatang yang lebih besar termasuk ikan (Genisa, 1998).

Menurut Priatna dan Natsir (2008), sistem angin musim sangat mempengaruhi kondisi musim perairan di Indonesia. Di Indonesia terdapat empat musim yang mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan, yaitu Musim Barat (Desember, Januari, Februari), Musim Peralihan I (Maret, April, Mei), Musim Timur (Juni, Juli, Agustus), dan Musim Peralihan II (September, Oktober, November). Pada Musim Barat yang merupakan perata-rataan bulan Desember, Januari dan Februari pola angin diperlihatkan pada (Gambar 3). Sedangkan pada Musim Timur yang merupakan perata-rataan bulan Juni, Juli dan Agustus pola angin diperlihatkan pada (Gambar 4).

Gambar 3. Pola pergerakan arus Musim Barat (Wyrtki, 1961)

Gambar 4. Pola pergerakan arus Musim Timur (Wyrtki, 1961)

Purse Seine

Purse seine merupakan alat tangkap yang bersifat multi species, yaitu

menangkap lebih dari satu jenis ikan. Dalam banyak kasus sering ditemukan ukuran mesh size alat tangkap Purse seine yang sangat kecil, hal ini dapat berpengaruh terhadap hasil tangkapan yang didapatkan. Hal yang mungkin saja akan dipengaruhi adalah ukuran ikan dan komposisi jenis hasil tangkapan antara

jumlah hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan (Rambun et al., 2016).

Purse seine atau pukat cincin merupakan alat tangkap yang efektif untuk

menangkap ikan pelagis yang memiliki tingkah laku hidup berkelompok dalam ukuran besar, baik di daerah perairan pantai maupun lepas pantai. Pukat cincin adalah alat tangkap berbentuk empat persegi panjang, yang keseluruhan bagian utamanya terbuat dari bahan jaring, di mana terbentuknya kantong terjadi pada saat dioperasikan. Pengoperasian alat tangkap ini dengan cara melingkarkan gerombolan ikan dengan jaring dan setelah ikan terkurung jaring kemudian ditarik. Dalam operasinya posisi pelampung dan tali ris atas berada di permukaan, sementara pemberat, cincin menggantung di bagian bawah jaring, dan berada di dalam laut. Melalui cincin-cincin ini terpasang tali kolor (Purse line) yang bila ditarik menjadikan bagian bawah jaring menutup, sehingga bentuk jaring secara keseluruhan menyerupai mangkuk besar (Sainsbury diacu oleh Wijopriono dan Mahiswara, 1995).

Pukat cincin termasuk alat tangkap yang produktif khususnya untuk menangkap ikan-ikan pelagis baik yang terdapat di perairan pantai maupun lepas pantai. Penangkapan ikan dengan menggunakan pukat cincin merupakan salah satu metode penangkapan yang paling agresif dan ditujukan untuk penangkapan gerombolan ikan pelagis. Alat tangkap ini dapat menangkap ikan dari segala ukuran mulai dari ikan-ikan kecil hingga ikan-ikan besar tergantung pada ukuran mata jaring yang digunakan. Semakin kecil ukuran mata jaring semakin banyak ikan-ikan kecil yang tertangkap karena tidak dapat meloloskan diri dari mata

Gambar 5. Alat Tangkap Purse seine (Dirjen KKP, 2015)

Aktivitas perikanan di daerah Belawan tergolong tinggi. Hasil tangkapan purse seine mendominasi jumlah hasil tangkapan yang didaratkan di Pelabuhan

Perikanan Samudera (PPS) Belawan. Secara umum, hasil tangkapan yang didaratkan di PPS Belawan masih cukup baik dan layak dikonsumsi. Hal ini disebabkan operasi penangkapan kapal Purse seine umumnya cukup lama.

Berdasarkan data dari PPSB, alat tangkap Purse seine berjumlah sekitar 5.000 unit. Karena banyaknya alat tangkap ini digunakan oleh nelayan di PPS Belawan sehingga membutuhkan kajian lebih jauh lagi mengenai alat tangkap purse seine tersebut (Ismy et al., 2014).

CPUE (Catch per Unit Effort)

Catch per Unit Effort (CPUE) adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan hasil jumlah produksi perikanan laut yang dirata-ratakan dalam tahunan. Produksi perikanan di suatu daerah mengalami kenaikan atau penurunan

produksi dapat diketahui dari hasil CPUE. Untuk menentukan CPUE dari Ikan Layang menggunakan rumus yaitu hasil tangkapan Ikan Layang (catch) dibagi dengan upaya penangkapan Ikan Layang (effort). CPUE adalah total hasil tangkapan per upaya tangkap (kg/trip). Metode ini digunakan untuk menduga besarnya populasi pada kondisi yang situasinya tidak praktis untuk mendapatkan jumlah yang pasti dari individu ikan dalam suatu area (Hamka dan Rais, 2016).

Hasil tangkapan per unit upaya atau Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan angka yang menggambarkan perbandingan antara hasil tangkapan per unit upaya atau usaha. Nilai ini biasa digunakan untuk melihat kemampuan sumberdaya apabila dieksploitasi terus-menerus. Nilai CPUE yang menurun dapat menandakan bahwa potensi sumberdaya sudah tidak mampu menghasilkan lebih banyak walaupun upaya ditingkatkan. Pendekatan model Schaefer menggunakan data hasil tangkapan tahunan dan usaha penangkapan dalam jangka lama dan berasumsi berada dalam kondisi seimbang dengan usaha penangkapan menunjukkan kurva parabola yang simetris (King, 1995).

CPUE adalah rata-rata hasil tangkapan per unit usaha. Dengan mengetahui nilai CPUE setiap tahun maka akan dapat dilihat gambaran kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah penangkapan (Gemaputri, 2013).

MSY (Maximum Sustainable Yield)

Merupakan nilai maksimum penangkapan ikan di suatu perairan dalam kapasitas lestari maksimum atau sering disebut tangkapan maksimum ataupun populasi organisme tumbuh dan menggantikan diri sendiri, dalam pengertian

diasumsikan bahwa tingkat pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup dan tingkat reproduksi akan meningkat ketika pemanenan mengurangi kepadatan, sehingga akan menghasilkan surplus biomassa yang dapat dipanen. Jika tidak, maka pemanenan lestari tidak memungkinkan (Hertini dan Gusriani, 2013).

Dari aspek ekologi dan ekonomi Maximum Sustainable Yield (MSY) secara teoritis memiliki pengertian sebagai jumlah tangkapan ikan (predator) terbesar yang dapat diambil dari persediaan suatu jenis ikan (prey) dalam jangka waktu yang tak terbatas. Sedangkan konsep Maximum Sustainable Yield (MSY), bertujuan untuk mempertahankan ukuran populasi ikan pada titik maksimum yaitu saat tingkat pertumbuhan ikan yang maksimum (tingkat tangkapan maksimum yang memberikan manfaat bersih ekonomi atau keuntungan bagi masyarakat), dengan memanen individu dan menambahkannya ke dalam populasi ini memungkinkan populasi tersebut tetap produktif (Rosalina et al., 2011).

Berdasarkan gagasan utama, konsep tangkapan lestari atau Maximum Sustainability Yield (MSY), bertujuan untuk mempertahankan ukuran populasi

pada titik maksimum dimana tingkat pertumbuhan dengan pemanenan yang biasanya akan ditambahkan ke dalam populasi,dan memungkinkan populasitersebut menjadi produktif selamanya (Hertini dan Gusriani, 2013).

Konsep yang mendasari upaya pengelolaan adalah pemanfaatan sumberdaya yang didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung (carrying capacity) alamiahnya. Besar kecilnya hasil tangkapan tergantung pada jumlah

stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomassa ikan. Oleh karena itu, upaya pengelolaan diawali dengan pengkajian stok agar potensi stok alaminya dapat diketahui. Analisis diawali

dengan pengkajian stok sumberdaya yang hendak dikelola. Pada saat yang sama juga dilakukan pemantauan terhadap upaya penangkapan, terutama untuk memantau apakah sudah terjadi eksploitasi yang berlebih, dengan melihat hasil tangkapan per upaya (CPUE) dan ukuran yang tertangkap (Hariyanto et al., 2008).

Over exploited mengakibatkan waktu melaut menjadi lebih panjang, lokasi

penangkapan lebih jauh, produktivitas (hasil tangkap per satuan upaya atau Catch Per Unit Effort (CPUE) menurun, dan biaya penangkapan yang menjadi besar

sehingga menyebabkan menurunnya keuntungan nelayan. Hal-hal di atas adalah indikasi terjadinya overfishing (Purwaningsih et al., 2012).

Perencanaan yang akurat dalam pengembangan sumberdaya perikanan tangkap sangat diperlukan agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara rasional dan berkelanjutan. Untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dibutuhkan data dan informasi tentang tingkat eksploitasi sumberdaya serta besaran upaya tangkap (Catch Per Unit Effort) yang telah dilakukan selama ini oleh nelayan dan pengusaha di bidang perikanan tangkap.

Hasil maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah salah satu acuan biologi yang digunakan untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan (Ali, 2005).

MSY bertujuan untuk melindungi stok pada tingkat yang aman agar tetap berada pada level yang seimbang sehingga tidak terjadi penurunan produksi pada berikutnya. MSY ini dapat berlangsung secara terus-menerus jika segala faktor lingkungan lainnya berjalan dengan baik. Konsep MSY bertujuan untuk menjaga stok pada level yang aman sebagai standar pemanfaatan sumberdaya. Konsep ini

tetap pada level yang tinggi sehingga tidak terjadi penurunan produksi walaupun lingkungan berada dalam kondisi tidak menguntungkan (King, 1995).

Dokumen terkait