• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permukiman Kumuh

Perumahan dan permukiman merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perumahan, lingkungan permukiman serta prasarana dan sarana pendukungnya diperlukan dalam kawasan permukiman untuk memenuhi fungsinya sebagai kebutuhan dasar manusia, pengembangan rumah tangga dan mendorong kegiatan ekonomi. Ha ini sesuai dengan penjelasan berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1999 mendefinisikan bahwa satuan lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk tertentu,yang dilengkapi dengan sistem prasarana, sarana lingkungan, dan tempat kerja terbatas dengan penataan ruang yang terencana dan teratur sehingga memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal. Dalam perkembangannya, pemukiman dan perumahan ini dapat berkembang sedemikina rupa sehingga menimbulkan masalah sosial dan ekonomi, salah satu masalah yang biasa timbul adalah terbentuknya pemukiman kumuh. Pemukiman kumuh ini bisa terbentuk karena terakumulasinya jumlah penghuni yang banyak pada daerah tertentu seperti yang dijelasakan Sadyohutomo (2008) yang menjelaskan bahwa pemukiman kumuh adalah tempat tinggal penduduk miskin di pusat kota dan permukiman padat tidak teratur di pinggiran kota yang penghuninya umumnya berasal dari para migran luar daerah. Sebagian dari permukiman ini merupakan permukiman yang ilegal pada tanah yang bukan miliknya, tanpa seijin pemegang hak tanah sehingga disebut sebagai permukiman liar (wild occupation atau squatter settlement). Tanah-tanah yang diduduki secara liar ini adalah tanah-tanah pemerintah atau negara, misalnya sempadan sungai, sempadan pantai, dan tanah instansi yang tidak terawat.

Permukiman kumuh dapat terbentuk karena beberapa hal dibawah ini : 1. Pertumbuhan kota yang tinggi, yang tidak diimbangi oleh tingkat pendapatan

yang cukup.

2. Keterlambatan pemerintah kota dalam merencanakan dan membangun prasarana (terutama jalan) pada daerah perkembangan permukiman baru. Seiring dengan kebutuhan perumahan yang meningkat maka masyarakat secara swadaya memecah bidang tanah dan membangun permukiman tanpa didasari perencanaan tapak (site plan) yang memadai.

Akibatnya bentuk dan tata letak kaveling tanah menjadi tidak teratur dan tidak dilengkapi prasarana dasar permukiman (Sadyohutomo 2008).

Sementara itu, menurut Ooi dan Phua (2007) dalam Gusmaini (2010) menjelaskan bahwa penghuni liar dan tempat tinggal kumuh terbentuk karena ketidakmampuan pemerintah kota dalam merencanakan dan penyediaan perumahan yang terjangkau bagi kalangan yang berpendapatan rendah di suatu populasi perkotaan. Oleh karena itu, bangunan liar dan pemukiman kumuh dapat diartikan sebagai solusi dari perumahan bagi populasi perkotaan yang berpendapatan rendah. Karakteristik pemukiman kumuh yang paling menonjol adalah kualitas bangunan rumahnya yang tidak permanen, dengan kerapatan bangunan yang tinggi dan tidak teratur, prasarana jalan yang sangat terbatas kalaupun ada berupa gang-gang sempit yang berliku-liku, tidak adanya saluran drainase dan tempat penampungan sampah, sehingga terlihat kotor. Menurut Avelar et al. (2008) karakteristik permukiman kumuh mempunyai kondisi perumahan dengan kepadatan tinggi dan ukuran unit perumahan relatif kecil, atap rumah di daerah kumuh biasanya terbuat dari bahan yang sama dengan dinding. Tidak jarang pula pemukiman kumuh terdapat di daerah yang secara berkala mengalami banjir. Menurut Suparlan (2000), pemukiman kumuh dapat dicirikan sebagai berikut :

1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.

2. Kondisi hunian rumah dan permukiman serta penggunaan ruang-ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.

3. Tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam pengunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomipenghuninya 4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup

secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:

a. Sebuah komunitas tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.

b. Satuan komunitas tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau sebuah RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan, dan bukan hunian liar.

5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat pendapatan yang

beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat permukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.

6. Sebagian besar penghuni permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal.

Mekanisme Coping

Usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi keadaan yang menekan, menantang atau mengancam, serta menimbulkan emosi–emosi yang tidak menyenangkan disebut sebagai tingkah laku coping. Sarafino (2002) dalam Maryam (2007) mengungkapkan bahwa individu melakukan perilaku coping sebagai usaha untuk menetralisir atau mengurangi stres yang terjadi dalam suatu proses.

Pengertian stress (cekaman) menurut Haber dan Runyon dalam Maryam (2007) konflik yang berupa tekanan eksternal dan internal serta permasalahan lainnya dalama kehidupan. Stress erat kaitannya kedengan keadaan mental seseorang yang secara tidak langsung akan membentuk karakter seseorang baik itu dalam bertindak maupun berprilaku. Lazarus (1976) dalam Maryam (2007) menyebutkan bahwa sumber stress berdasarkan sumbernya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu stress yang bersifat fisik yaitu stress biologis yang mempengaruhi dan dipengaruhu daya tahan tubuh seseorang, kedua stress yang bersifat psikososial yaitu stress psikologis yang dapat mempengauhi kesehatan fisik. Terdapat empat sumber stress yang bersifat psikososial, yaitu : 1. Tekanan. Tekanan merupakan pengalaman yang menekan, berasal dari

dalam diri, luar, atau gabungan keduanya. Tekanan dalam porsi yang tepat dapat memiliki nilai positif terhadap individunya dengan terbentuknya semangat dan keyakinan yang kuat dalam menyelesaikan dan menghadapi suatu masalah, dan akan menjadi nilai yang negatif jika porsi dari tekanan berlebihan sehingga menghasilkan dampak sebaiknya dari dampak positif. 2. Frustasi. Frustasi yaitu emosi negatif yang timbul akibat terhambatnya atau

tidak terpuaskannya tujuan/keinginan individu. Dan dapat pula diakibatkan oleh tidak adanya subjek atau objek yang diinginkan.

3. Konflik. Konflik merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya dua atau lebih pilihan yang bertentangan, sehingga pemenuhan suatu pilihan akan

dapat menghalangi tercapainya pilihan yang lain.

4. Kecemasan. Kecemasan sangat berhubungan perasaan aman. Dimana dalam keadaan normal, kecemasan dapat membantu seseoran untuk lebih menyadari akan situasi berbahaya tertentu. Sebaliknya, bila berlebihan dapat memperburuk perilaku individu.

Sehingga keinginan keluar dari situasi mencekam yang tidak menyenangkan yang dimiliki tiap individu dengan cara menyesuaikan diri terhadap situasi tersebut merupakan hal yang wajar. Berdasarkan penjelasan- penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkah laku coping merupakan suatu proses kognitif, yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan eksternal dan internal dimana tujuannya adalah mengatasi, mengurangi atau menghilangkan situasi yang menekan dan melebihi sumber daya yang dimiliki. Tahapan yang dilakukan seseorang dalam melakukan coping dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap penialian berupa menilai sumber stress yang dihadapi serta sumber– sumber yang kita miliki untuk mengatasinya, kemudian bertindak.

Jenis Coping

Friedman (1998) dalam Maryam (2007) terdapat dua tipe strategi coping rumah tangga, yaitu internal atau intrafamilial dan eksternal atau ekstafamilial. Ada tujuh strategi coping internal yaitu :

1. Mengandalkan kemampuan sendiri dari rumah tangga. Untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya, rumah tangga seringkali melakukan upaya untuk mengenali dan mengendalikan sumberdaya yang dimiliki. rumah tangga melakukan strategi ini dengan membuat struktur dan organisasi dalam rumah tangga seperti dengan membuat jadwal dan tugas rutinitas yang dipikul oleh setiap anggota rumah tangga yang lebih ketat. Dimana hal ini dilakukan dengan harapan setiap anggota rumah tangga dapat lebih disiplin dan patuh. mereka harus memelihara ketenangan dan dapat memecahkan masalah, karena yang bertanggung jawab diri mereka sendiri. 2. Penggunaan humor, menurut Hott dalam Friedman (1998) dalam Maryam

(2007), perasaan humor merupaan asset yang penting dalam rumah tangga karena dapat memberikan perubahan sikap rumah tangga terhadap masalah yang dihadapi. Humor juga diakui sebagai salah satu cara bagi seseorang untuk menghilangkan rasa cemas dan stress.

mengatasi masalah dalam rumah tangga adalah: adanya waktu untuk bersama-sama dalam rumah tangga, saling mengenal, membahas masalah bersama, makan malam bersama, adanya kegiatan bersama rumah tangga, beribadah bersama, bermain bersama, bercerita pada anak sebelum tidur. Menceritakan pengalaman pekerjaan ataupun sekolah, tidak ada jarak diantara anggota rumah tangga. Cara seperti ini dapat membawa rumah tangga lebih dekat satu sama lain dan memelihara sarta dapat mengatasi tingkat stress, ikut serta dengan aktivitas setiap anggota rumah tangga merupaka cara untuk menghasilkan suatu ikatan yang kuat dalam sebuah rumah tangga.

4. Memahami suatu masalah. Salah satu cara untk menemukan coping yang efektif adalah menggunakan mekanisme mental dengan memahami masalah yang dapat mengurangi atau menetralisir secara kognitif terhadap bahaya yang dialami. menambah pengetahuan rumah tangga merupakan cara yang pealing efektif untuk mengatasi stressor (penyebab stress) yatu dengan keyakinan yang optimis dan penilaian yang positif.

5. Pemecahan masalah bersama. Pemecahan masalah bersama dapat digambarkan sebagia suatu situasi dimana setiap anggota rumah tangga dapat mendiskusikan masalah yang dihadapi secara bersama-sama dangan mengupayakan solusi atas dasar logika, petunjuk, persepsi dan usulan dari anggota rumah tangga yang berbeda untuk mencapai suatu kesepakatan. 6. Fleksibelitas peran. Fleksibelitas peran merupakan suatu strategi coping

yang kokoh untuk mengatasi suatu masalah dalam rumah tangga. Pada rumah tangga yang berbermasalah, fleksibelitas peran adalah sebuah strategi coping yang penting untuk membedakan tingkat berfungsinya posisi seseorang dalam suatu rumah tangga.

7. Normalisasi. Salah satu strategi coping rumah tangga yang biasa dilakukan untuk menormalkan keadaan sehingga rumah tangga dapat melakukan coping terhadap sebuah penyebab stress jangka panjang yang dapat merusak kehidupa dan kegiatan rumah tangga.

Sementara itu strategi coping eksternal terbagi kedalam empat kelompok yaitu :

1. Mencari informasi. Rumah tangga yang mengalami masalah memberikan respon secara kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang berhubungan dengan stressor. Hal ini, berfungsi untuk mengontrol situasi dan

mengurangi perasaan takut terhadap orang yang tidak dikenal dan mem bantu rumah tangga menilai stressor secara lebih akurat.

2. Memelihara hubungan aktif dengan komunitas. Coping ini berbeda dengan coping yang menggunakan dukungan sosial. Coping ini merupakan coping rumah tangga yang berkesinambungan, jangka panjang dan bersifat umum, bukan sebuah coping yang dapat meningkatkan penyebab stres spesifik tertentu. Dalam hal ini, anggota rumah tangga adalah pemimpin rumah tangga alam suatu kelompok, organisasi dan kelompok komunitas.

3. Mencari dukungan sosial. Mencari dukungan sosial dalam jaringan kerja sosial rumah tangga merupakan strategi coping rumah tangga eksternal. dukungan sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan rumah tangga, kelompok professional, para tokoh masyarakat dan lainnya yang didasarkan pada kepentingan bersama.

4. Mancari dukungan spiritual. Beberapa studi mengatakan rumah tangga berusaha mencari dukungan spiritual anggota rumah tangga untuk mengatasi masalah. Kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa merupakan cara paling penting bagi rumah tangga dalam mengatasi stress.

Food Coping Strategy

Teori coping strategy yang berkembang ternyata mempengaruhi terhadap pangan yang merupakan faktor terpenting dalam kehidupan manusia. Dimana coping strategy dipengaruhi oleh perilaku manusia itu sendiri, adapun faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku manusia antara lain : faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal terdiri dari faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis menekankan pada pengaruh struktur biologis terhadap perilaku manusia. Faktor biologis ini meliputi instink atau motif biologis Beberapa hal yang dikelompokan sebagai motif biologis ini antara lain kebutuhan makan, minum dan lain-lain.

Selain faktor biologis,faktor sosiopsikologis juga termasuk faktor personal. Menurut pendekatan ini, proses sosial seseorang akan membentuk beberapa karakter dari seseorang yang akhirnya akan mempengaruhi perilakunya. Sofa (2002) dalam Mutiara (2008) menyebutkan Karakter terdiri dari tiga komponen, yaitu ;

1. Komponen afektif. Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis. Dalam komponen ini tercakup motif sosiogenesis, sikap dan emosi.

2. Komponen kognitif. Komponen kognitif berhubungan dengan aspek intelektual, dan

3. Komponen konatif. Komponen kognitif yang merupakan faktor sosiopsikologis atau kepercayaan. Komponen konatif berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan untuk bertindak.

Selain faktor personal terdapat pula faktor situasional yang dapat mempenaruhi perilak manusia, faktor-faktor situasional ini berupa: faktor ekologis (kondisi alam atau iklim), faktor rancangan atau arsitektural (penataan uang), faktor temporal (emosi, suasana perilaku, teknologi), dan faktor sosial (sistem peran, struktur sosial, karakteristik sosial individu).

Maxwell (2001) dalam Mangkoeto (2009) menyebutkan terdapat beberapa bentuk yang dapat dilakukan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, yaitu:

1. Mengurangi makanan kesukaan dan membeli makanan yang lebih murah; 2. Meminjam makanan atau uang untuk membeli pangan;

3. Membeli makanan dengan berhutang;

4. Meminta bantuan kepada sanak saudara atau teman; 5. Membatasi dan membagi makanan pada waktu makan;

6. Menyisishkan sedikit uang dari anggota rumah tangga untuk membeli makanan di jalan;

7. Membatasi konsumsi pangan pribadi untuk memastikan anak-anak mendapat cukup makanan;

8. Mengurangi jenis makanan pada satu hari; 9. Menjalani hari tanpa makan (puasa).

Sedangkan kategori umum ukuran individu dari coping strategy berdasarkan lokasi dan budaya dibedakan menjadi empat, pertama perubahan diet yaitu pengurangan pada makanan yang disukai dan berharga mahal; kedua penambahan akses pangan dalam jangka waktu pendek seperti peminjaman, bantuan, pencarian jenis pangan yang saat kondisi normal jarang dikonsumsi, dan penggunaan persediaan pangan untuk dikonsumsi; ketiga pengurangan jumlah anggota dalam pemberian makan (migrasi jangka pendek); dan yang

terakhir perubahan distribusi makan (prioritas istri untuk anak-anak terutama yang laki-laki, pembatasan ukuran porsi makan, dan melewatkan waktu makan atau bahkan tidak makan seharian).

Golongan perilaku food coping strategy menurut Usfar (2002) dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan dan digolongkan sehingga menjadi beberapa skala. Tabel 1 di bawah ini merupakan golongan dan tingkatan food coping strategy yang biasa dilakukan oleh rumah tangga;

Tabel 1 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku

Tipe Skala Golongan perilaku Perilaku

Skala 1 A. Meningkatkan pendapatan 1. Mencari pekerjaan

sampingan

2. Menanam tanaman yang dapat dimakan di kebun 3. Beternak ayam, dll

B. Perubahan kebiasaan makan 1. Membeli makanan yang

lebih murah

2. Mengurangi jenis panan yang dikonsumsi

3. Ubah prioritas pembelian makanan

4. Beli pangan yang kualitasnya lebih rendah 5. Kurangi porsi makan 6. Kumpulkan makanan liar C. Penambahan akses dengan segera

pada pangan

1. Menerima bantuan pangan pemerintah

2. Bantuan pangan dari saudara

3. Food work pemerintah 4. Terima kupon raskin 5. Pertukaran pangan D. Perubahan distribusi dan frekuensi

pangan

1. Perubahan distribusi pangan 2. Kurangi frekuensi pangan

E. Menjalani hari-hari tanpa makan 1. Puasa

Skala 2 A. Penambahan akses segera untuk

beli pangan

1. Ambil uang tabungan untuk makan

2. Gadai asset untuk beli pangan

3. Menjual aset tidak produktif 4. Menjual aset produktif 5. Pinjam uang dari saudara

dekat

6. Pinjam uang dari saudara jauh

7. Beli pangan dengan berhutang

Skala 3 A. Langkah drastis 1. Migrasi ke kota/desa

2. Migrasi ke luar negeri 3. Memberikan anak pada

saudara 4. bercerai

Kaitan Karakteristik Rumah Tangga dengan Food Coping Strategy Karakteristik rumah tangga sangat berpengaruh terhadap kedalaman food coping strateg yang dilakukan oleh suatu rumah tangga. Seperti yang dijelaskan dalam hasil dari penelitian Mutiara (2002) semakin rendah pengeluaran per kapita, pendidikan kepala rumah tangga, pandidikan ibu dan semakin besar jumlah anggota rumah tangga, umur kepala rumah tangga, umur ibu, maka banyak tindakan dan kedalaman food coping strategy yang mereka lakukan.

Besar Rumah Tangga

Jumlah anggota rumah tangga yang terlalu besar seringkali menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Rumah tangga adalah sekelompok orang yang tinggal dan hidup dalam satu rumah dan ada ikatan darah (Khomsan et al 2007). Besar rumah tangga adalah banyaknya anggota rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota lain yang tinggal bersama dalam satu rumah dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar rumah tangga akan mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang yang dikonsumsi dalam rumah tangga. Kualitas dan kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi rumah tangga dan individu. Besar rumah tangga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga (Sukandar 2007). Sanjur (1982) dalam Sukandar (2009) menyebutkan bahwa pendapatan perkapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar rumah tangga. Kondisi ini menjadi suatu pertimbangan rumah tangga dalam melakukan food coping strategy.

Pendidikan, Pekerjaan dan Pendapatan Rumah Tangga

Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk berperilaku sehat (Depkes 2007a). Semakin tinggi pendidikan formal yang diterima seseorang maka akan semakin tinggi pula status ekonominya. Hal ini terjadi karena tingginya status ekonomi juga berhubungan dengan tingkat pendapatan, sehingga rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang memiliki tingkat pendidikan tinggi maka akan memiliki lebih banyak uang yang dapat digunakan untuk pembelian pangan.

Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam rumah tangga. Pekerjaan memiliki hubungan dengan tingkat pendidikan dan akan mempengaruhi kehidupan sosial ekonominya. Jenis pekerjaan seseorang akan berpengaruh terhadap besar pendapatan yang diperolehnya. Kemampuan individu untuk melakuakan food coping strategy dipengaruhi oleh pekerjaan dan pendapatan yang dimilikinya. Perbedaan jenis pekerjaan, tempat bekerja dan jam kerja dapat mempengaruhi perilaku dari anggota rumah tangga (Martianto dan Ariani (2004) dalam Mutiara 2008).

Pengeluaran Rumah Tangga

Kebutuhan yang dimiliki manusia merupakan suatu fitrah yang keberadaannya sangat mempengaruhi kehidupa manusia itu sendiri. Kebutuhan dasar manusia terbagi menjadi dua yaitu kebutuhan primer yang terdiri dari kebutuhan gizi, kebutuhan akan perumahan, pelayanan, pengobatan, pendidikan dan kebutuhan akan sandang. Kebutuhan primer ini merupakan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi untuk hidup yang layak. Kedua adalah kebutuhan sekunder yang terdiri dari waktu luang, ketenangan hidup dan lingkungan yang mendukung. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam rumah tangga dilakukan dengan menggunakan sumber daya yang ada dalam rumah tangga tersebut (Guhardja 1992 dalam Mutiara 2008).

Pemenuhan kebutuhan merupakan suatu yang mahal karena dalam pemenuhannya ini dibutukan suatu pengorbanan berupa pengeluaran. Dimana pola pengeluaran ini secara tidak langsung dapat mencerminkan tingkat kehidupannya. Komposisi pengeluaran untuk makanan dan bukan untuk makanan dapat menjadi indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan dikatakan semakin baik apabila komposisi pengeluaran untuk non makanan lebih besar daripada pengeluaran untuk makanan. Di Negara-negara maju biasanya persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran adalah di bawah 50 %. Namun di negara-negara berkembang persentase tersebut masih mencapai 50 % bahkan lebih.

Dukungan Sosial

Manusia sebagai individu yang sekaligus sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri. Manusia akan memerlukan bantuan orang lain dan

sumber-sumber dukungan sosial dalam memenuhi segala kebutuhannya. Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan maupun kelompok (Sarafino 1996). Dukungan sosial ini dalam Mutiara (2008) disebutkan dapat diperoleh dari orang lain seperti; rumah tangga, saudara, atau masyarakat dimana orang tersebut berada. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dari rumah tangga dan masyarakat dapat mempengaruhi cara mengatasi suatu masalah dalam rumah tangga dalam hal ini adalah masalah pemenuhan kebutuhan.

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (rumah tangga) pada waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992). Konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran pangan untuk rumah tangga, pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan (Harper et al. 1998 dalam Mutiara 2008).

Konsumsi pangan dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan aspek jumlah pangan yang dikonsumsi. Konsusmsi makanan merupakan suatu kebutuhan dasar manusia sebagai suatu cara yang dilakukan manusia untuk memperoleh energi yang kemudian digunakan untuk mempertahankan hidupnya, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada didalam makanan. Kandungan karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya (Almatsier 2001).

Pengukuran atau penilaian konsumsi pangan menurut Supriasa et al. (2002) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pertama dengan metode kuantitatif. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan

yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizinya. Metode- metode untuk pengukuran konsumsi pangan secara kuantitatif antara lain: 1. Recall 24 jam;

2. Perkiraan makanan (estimated food records); 3. Penimbangan makanan (food weighing); 4. Metode food account;

5. Metode inventaris;

6. Pencatatan (household food records).

Kedua metode kualitatif, Metode kualitatif biasanya digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis makanan, dan menggali informasi mengenai kebiasaan makan. Metode-metode yang biasa digunakan dalam penilaian konsumsi secara kualitatif antara lain: 1) metode frekuensi makanan (food frequency); 2) metode dietary history; 3) metode telepon; 4) metode pendaftaran makanan (food list). Pemilihan metode yang akan digunakan dalam suatu penelitian mempertimbangkan beberapa hal, antara lain: tujuan penelitian, jumlah responden, ketersediaan dana dan tenaga, tingkat pendidikan responden, pertimbangan logistik pengumpulan data, dan presisi serta akurasi dari metode terpilih.

Dokumen terkait