• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of Food Coping Strategy and Household Energy Consumption in the Region Solid Population (Slum Area) Riverside (DAS) Ciliwung in South Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of Food Coping Strategy and Household Energy Consumption in the Region Solid Population (Slum Area) Riverside (DAS) Ciliwung in South Jakarta"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS

FOOD COPING STRATEGY

DAN TINGKAT

KONSUMSI

ENERGI RUMAH TANGGA DI DAERAH PADAT

PENDUDUK (

SLUM AREA)

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

CILIWUNG JAKARTA SELATAN

RACHMAT MAULANA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

RACHMAT MAULANA. Analysis of Food Coping Strategy and Household Energy Consumption in the Region Solid Population (Slum Area) Riverside (DAS) Ciliwung in South Jakarta. Supervised By DADANG SUKANDAR and HADI RIYADI.

The general objective of this study is to determine the correlation of food coping strategy application to the household energy consumptions level in the high level of densely population area. The specific objectives of this study are : (1) Identify the household characteristics (age, family size, education, occupation), (2) identify the level of household energy consumption, (3) identify the application of food coping strategy at the household; (4) Analyze the correlation of household characteristics to each food coping strategy (5) analyze the correlation of food coping strategy to household energy consumptions level.

The research was conducted by using Cross Sectional Study design and it implemented in April to May 2012. Location of this research was some community group along the bank of river Ciliwung. The Sample consists of 100 households who live in the research area. More than a half of the samples were classified as small family category which the most of the parent age were classified as early adulthood (20-40 years). The education levels of the most fathers graduated from high school/equivalent, it is about 35.7 percent, while the educational level of the most mothers graduated from primary school/equivalent, it is about 41.8 percent. The majority of the head household income is often inconsistent and most of them work as self employed. Generally, most of household’s incomes are low. However, based on the statistic data of South Jakarta explains that most of household (77,0%) was classified as non-poor category.

Based on the research of the writer, the most households apply food coping strategy as a way to change eating habit. They reduce the amount of dish purchasing size. More than a half of them had a score of food coping strategy which classified to middle category (scores are 25.3 into 39.1). The result of this research show there is not a significant association between the characteristics of the level size household to the score of coping home (p = 0,208; r = 0,127), that indicate the act of food coping strategy is not affected by the number of household members (the size of the households). This is caused that the presence of food coping strategy based on people habit, which is not affected by the number of household members.

(3)

RINGKASAN

RACHMAT MAULANA. Analisis Food Coping Strategy dan Tingkat Konsumsi Energi Rumah Tangga di Daerah Padat Penduduk (Slum Area) Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Jakarta Selatan. Dibimbing Oleh DADANG SUKANDAR dan HADI RIYADI.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kedalaman food coping strategy dengan tingkat konsumsi energi rumah tangga di daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : (1) Mengidentifikasi karakteristik rumah tangga (umur, besar rumah tangga, pendidikan dan pekerjaan);(2) Mengidentifikasi tingkat konsumsi energi rumah tangga;(3) Mengidentifikasi food coping strategy yang dilakukan rumah tangga;(4) Menganalisis hubungan karakteristik rumah tangga dengan food coping strategy yang dilakukan rumah tangga; dan (5) Menganalisis hubungan food coping strategy dengan tingkat konsumsi energi rumah tangga di daerah padat penduduk.

Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study.Penelitian dilakukan bulan April 2012 sampai dengan bulan Mei 2012. Lokasi penelitian meliputi sebagian jumlah Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Jakrta Selatan. Populasi dalam penelitian ini adalah kumpulan rumah tangga yang berada di daerah kumuh. Penarikan contoh dilakukan dengan menggunakan teknik penarikan contoh acak berlapis (Stratified Random Sampling) dengan alokasi proporsional, di mana daerah kumuh dianggap sebagai strata dan rumah tangga sebagai unit sampling. Di setiap daerah kumuh, rumah tangga akan dipilih dengan cara Simple Random Sampling Without Replacement (SRSWOR). Jumlah sampel yang diperoleh menggunakan pendekatan ini berjumlah 100 rumah tangga.

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan metode wawancara menggunakan kuesioner dan observasi secara langsung. Data primer meliputi karakteristik rumah tangga, karakteristik ayah dan ibu, karakteristik contoh, pengetahuan gizi ibu, pola asuh makan dan kesehatan, data konsumsi contoh, dan data antropometri contoh. Data sekunder penelitian ini adalah karakteristik tempat penelitian dan keadaan umum wilayah yang diperoleh dari data dasar profil desa. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS for Windows versi 16,0. Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk persentase, nilai minimum dan maksimum, nilai rata-rata dan standar deviasi. Data dianalisis dengan menggunakan uji Korealasi Spearman untuk melihat hubungan antar variabel.

(4)

Sebagian besar jumlah konsumsi energi rumah tangga adalah antara

1062-2151 Kal (71,3%) dengan kategori pemenuhan AKG normal 17%. Sebagian

besar prilaku food coping yang dilakukan oleh rumah tangga adalah dengan cara melakukan perubahan makan (34%) dengan tindakan yang paling paling banyak dilakukan berupa mengurangi jumlah pembelian lauk (54%). Lebih dari setengah (61,0%) rumah tangga memiliki skor rumah tangga paling banyak tergolong pada kategori sedang (skor antara 25,3-39,1). Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, tidak terdapat hubungan antara karakteristik rumah tangga (besar rumah tangga) dengan skor coping rumah tangga (p=0,208) ; (r=0,127), namun terdapat hubungan nyata negatif (p<0,05) ; (r= -0,234) dengan jumlah konsumsi energi perhari perkapita rumah tangga. Sementara itu, karakteristik rumah tangga (pendapatan rumah tangga) dengan konsumsi energi perhari perkapita rumah tangga terdapat hubungan (p=0,07, r=0,268). Hubungan antara food coping strategy rumah tangga dengan karakteristik rumah tangga (pendapatan rumah tangga) menunjukkan tidak terdapat hubungan (p= 0,348, r= -0,095). Sementara itu, food coping strategy rumah tangga dengan konsumsi energi menunjukan hubungan (p= 0,084, r= 0,174).

(5)

ANALISIS

FOOD COPING STRATEGY

DAN TINGKAT

KONSUMSI

ENERGI RUMAH TANGGA DI DAERAH PADAT

PENDUDUK (

SLUM AREA)

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

CILIWUNG JAKARTA SELATAN

Oleh :

Rachmat Maulana I14104031

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

Judul : Analisis Food Coping Strategy dan Tingkat Konsumsi Energi Rumah Tangga di Daerah Padat Penduduk (Slum Area) Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Jakarta Selatan

Nama : Rachmat Maulana NIM : I14104031

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS NIP.19590725 198609 1 001 NIP. 19610615 198603 1 004

Mengetahui :

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang judul “Analisis Food Coping Strategy Dan Tingkat Konsumsi Energi Rumah Tangga di Daerah Padat Penduduk (Slum Area) Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Jakarta Selatan” dapat diselesaikan. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat bagi penulis untuk dapat melakukan penelitian guna memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen akademik yang selalu memberikan motivasi untuk belajar dan berusungguh-sungguh dalam penyelesaian pembuatan skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah senantiasa sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

3. Kedua orang tua dan adik-adik tersayang yang senantiasa memberikan doa, dukungan dan semangat dengan penuh kasih sayang.

4. Teman-teman seperjuangan alih jenis Gizi Masyarakat (GM) angkatan ke-4. 5. Seluruh teman-teman dan pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu

persatu yang telah memberikan bantuan dan doa kepada Penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan serta keterbatasan dalam penyusunannya. Akhir kata, besar harapan penulis semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya penulis pribadi dan semua pihak pada umumnya. Penulis berharap agar tulisan ini dapat dapat bermanfaat bagi semua.

Bogor, Desember 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Garut pada tanggal 25 Mei 1989. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Ujang Lesmana, S.Pd dan Ibu Cucu Jubaedah, S.Pd. Jenjang Pendidikan Penulis dimulai Sekolah Dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Pinggirsari. Penulis kemudian menempuh Sekolah Menengah Pertama pada tahun ajaran berikutnya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pamulihan sampai pada tahun 2001, dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan pada tahun berikutnya di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Garut, dan dinyatakan lulus pada tahun 2007 dengan jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

(9)
(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

Kegunaan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Permukiman Kumuh ... 4

Mekanisme Coping ... 6

Food Coping Strategy ... 9

Kaitan Karakteristik Rumah Tangga dengan Food Coping Strategy ... 12

Besar Rumah Tangga... 12

Pendidikan, Pekerjaan dan Pendapatan Rumah Tangga ... 12

Pengeluaran Rumah Tangga ... 13

Dukungan Sosial ... 13

Konsumsi Pangan ... 14

Kecukupan Gizi ... 16

KERANGKA PEMIKIRAN ... 17

METODOLOGI PENELITIAN ... 20

Waktu, Tempat dan Desain Penelitian ... 20

Teknik Penarikan Contoh ... 20

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 21

Pengolahan dan Analisis Data ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

Gambaran Umum Lokasi ... 28

Letak dan Posisi Geografis ... 28

Sosio Demografi ... 29

Karakteristik Rumah Tangga ... 30

Besar rumah tangga ... 30

Umur orang tua... 31

Pendidikan orang tua ... 32

Pekerjaan kepala rumah tangga ... 33

(11)

Konsumsi ... 36

Coping strategy ... 38

Hubungan antar Variabel ... 41

Hubungan besar rumah tangga dengan tingkat konsumsi energi ... 41

Hubungan besar rumah tangga dengan skor food coping strategy ... 44

Hubungan pendapatan kepala rumah tangga dengan konsumsi energi .... 45

Hubungan pendapatan kepala rumah tangga dengan skor food coping strategy ... 46

Hubungan konsumsi dengan skor food coping strategy ... 47

KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

Kesimpulan ... 48

Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 51

LAMPIRAN ... 54

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku ... 11

2 Jenis dan cara pengumpulan data ... 22

3 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku ... 23

4 Pengkategorian variable penelitian ... 24

5 Kategori tingkat kecukupan Energi dan Protein ... 25

6 Luas Wilayah Kecamatan di Jakarta Selatan Tahun 2008 ... 29

7 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan pada tahun 2008 ... 30

8 Sebaran rumah tangga berdasarkan usia orang tua ... 31

9 Sebaran rumah tangga berdasarkan jenjang pendidikan orang tua ... 32

10 Sebaran rumah tangga berdasarkan pekerjaan kepala rumah tangga ... 34

12 Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan rumah tangga per kapita per bulan ... 35

13 Kategori rumah tangga berdasarkan persentase pengeluaran pangan ... 35

14 Sebaran jumlah konsumsi energi perkapita perhari rumah tangga ... 36

15 Sebaran konsumsi protein perkapita perhari rumah tangga ... 37

16 Tingkat kecukupan Energi dan Protein rumah tangga ... 37

17 Sebaran rumah tangga menurut tingkat pemenuhan AKG ... 38

18 Sebaran perilaku foodcoping strategy rumah tangga. ... 39

19 Sebaran skor coping contoh rumah tangga... 41

20 Sebaran rumah tangga berdasarkan besar rumah tangga dan kategori konsumsi energi ... 42

21 Sebaran rumah tangga berdasarkan besar rumah tangga dan kategori konsumsi protein perhri perkapita rumah tangga ... 43

22 Sebaran rumah tangga berdasarkan besar rumah tangga dan tingkat pemenuhan angka kecukupan energi rumah tangga ... 43

23 Sebaran rumah tangga berdasarkan berdasarkan besar rumah tangga dan tingkat pemenuhan angka kecukupan protein rumah tangga ... 44

24 Sebaran rumah tangga berdasarkan besar rumah tangga dan food coping strategy rumah tangga. ... 45

25 Sebaran rumah tangga berdasarkan pendapatan kepala rumah tangga dan konsumsi energi dan energi perhari perkapita ... 46

26 Sebaran rumah tangga berdasarkan pendapatan kepala rumah tangga dengan food coping strategy ... 46

27 Sebaran rumah tangga berdasarkan tingkat konsumsi energi perhari perkapita rumah tangga dengan tindakan rumah tangga ... 47

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Hubungan food coping dan tingkat konsumsi energi rumah tangga di daerah

padat penduduk (slum area) Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Jakarta

Selatan. ... 19

2 Peta Administrasi Wilayah Jakarta Selatan ... 28

3 Sebaran rumah tangga berdasarkan besar rumah tangga ... 30

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(15)
(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dimana status gizi yang baik ini ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang ataupun gizi buruk dipengaruhi secara langsung oleh faktor konsumsi pangan, penyakit infeksi serta faktor yang mempengaruhi secara tidak langsung seperti pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial-ekonomi, budaya dan politik (Unicef 1990). Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi, dapat dipastikan menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional.

Saat ini diperkirakan sekitar 50 % penduduk Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa mengalami beraneka masalah kekurangan gizi, baik itu gizi kurang atau gizi lebih. Masalah-masalah gizi yang timbul lambat-laun akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Keberadaan Indonesia pada peringkat ke-4 tertinggi kematian balitanya untuk wilayah ASEAN, dan berada di peringkat 9 di antara 18 negara anggota ASEAN dan SEARO untuk prevalensi kematian balita (Kementerian Kesehatan RI 2010) menunjukan masih perlunya perhatian yang lebih untuk meningkatkan pelayanan dan penanganan masalah tersebut.

(17)

ketahanan pangan ini adalah suatu kondisi dimana setiap rumah tangga mempunyai akses terhadap pangan yang cukup setiap saat baik dari segi kuantitas, kualitas, serta aman dan terjangkau.

Ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi dan mencukupin kebutuhan pangan akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity). Keputusan yang diambil oleh rumah tangga untuk tetap memenuhi kebutuhan akan pangan dan penanggulangan masalah kerawanan pangan serta upaya mempertahanka hidup anggota rumah tangga dikenal dengan food coping strategy. Food coping strategy adalah bentuk perubahan dan upaya-upaya yang dilakukan rumah tangga untuk memenuhi dan mengatasi kekurangan pangan (Setiawan 2004 dalam Polin 2005). Bentuk-bentuk perubahan yang dilakukan dalam pemenuhan pangan akan sangat beragam terlebih pada masyarakat dengan lingkungan sosial yang memiliki keunikan tertentu seperti lingkungan dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Jakarta sebagai ibu kota Negara memiliki potensi yang sangat besar untuk terjadinya keberagaman food coping strategy pada penduduknya. Hal ini karena, keberadaan Jakarta yang berperan bukan hanya sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan melainkan berperan juga sebagai pusat perekonomian banyak menarik perhatian penduduk di luar Jakarta untuk datang dan merubah status ekonominya. Laju pertumbuhan penduduk yang cepat di Jakarta sebagai akibat dari berkembang pesatnya urbanisasi menciptakan daerah-daerah dengan tingkat kepadatan yang tinggi.

(18)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kedalaman food coping terhadap tingkat konsumsi energi rumah tangga di daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi.

Tujuan Khusus :

1. Mengidentifikasi karakteristik rumah tangga (umur, besar rumah tangga, pendidikan dan pekerjaan).

2. Mengidentifikasi tingkat konsumsi energi rumah tangga.

3. Mengidentifikasi food coping strategy yang dilakukan rumah tangga.

4. Menganalisis hubungan karakteristik rumah tangga dengan food coping strategy yang dilakukan rumah tangga.

5. Menganalisis hubungan food coping strategy dengan tingkat konsumsi energi rumah tangga di daerah padat penduduk.

Hipotesis

Terdapat hubungan antara karakteristik rumah tangga dengan tingkat konsumsi energi dan food coping strategy rumah tangga di daerah padat penduduk.

Kegunaan

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Permukiman Kumuh

Perumahan dan permukiman merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perumahan, lingkungan permukiman serta prasarana dan sarana pendukungnya diperlukan dalam kawasan permukiman untuk memenuhi fungsinya sebagai kebutuhan dasar manusia, pengembangan rumah tangga dan mendorong kegiatan ekonomi. Ha ini sesuai dengan penjelasan berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1999 mendefinisikan bahwa satuan lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk tertentu,yang dilengkapi dengan sistem prasarana, sarana lingkungan, dan tempat kerja terbatas dengan penataan ruang yang terencana dan teratur sehingga memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal. Dalam perkembangannya, pemukiman dan perumahan ini dapat berkembang sedemikina rupa sehingga menimbulkan masalah sosial dan ekonomi, salah satu masalah yang biasa timbul adalah terbentuknya pemukiman kumuh. Pemukiman kumuh ini bisa terbentuk karena terakumulasinya jumlah penghuni yang banyak pada daerah tertentu seperti yang dijelasakan Sadyohutomo (2008) yang menjelaskan bahwa pemukiman kumuh adalah tempat tinggal penduduk miskin di pusat kota dan permukiman padat tidak teratur di pinggiran kota yang penghuninya umumnya berasal dari para migran luar daerah. Sebagian dari permukiman ini merupakan permukiman yang ilegal pada tanah yang bukan miliknya, tanpa seijin pemegang hak tanah sehingga disebut sebagai permukiman liar (wild occupation atau squatter settlement). Tanah-tanah yang diduduki secara liar ini adalah tanah-tanah pemerintah atau negara, misalnya sempadan sungai, sempadan pantai, dan tanah instansi yang tidak terawat.

Permukiman kumuh dapat terbentuk karena beberapa hal dibawah ini : 1. Pertumbuhan kota yang tinggi, yang tidak diimbangi oleh tingkat pendapatan

yang cukup.

(20)

Akibatnya bentuk dan tata letak kaveling tanah menjadi tidak teratur dan tidak dilengkapi prasarana dasar permukiman (Sadyohutomo 2008).

Sementara itu, menurut Ooi dan Phua (2007) dalam Gusmaini (2010) menjelaskan bahwa penghuni liar dan tempat tinggal kumuh terbentuk karena ketidakmampuan pemerintah kota dalam merencanakan dan penyediaan perumahan yang terjangkau bagi kalangan yang berpendapatan rendah di suatu populasi perkotaan. Oleh karena itu, bangunan liar dan pemukiman kumuh dapat diartikan sebagai solusi dari perumahan bagi populasi perkotaan yang berpendapatan rendah. Karakteristik pemukiman kumuh yang paling menonjol adalah kualitas bangunan rumahnya yang tidak permanen, dengan kerapatan bangunan yang tinggi dan tidak teratur, prasarana jalan yang sangat terbatas kalaupun ada berupa gang-gang sempit yang berliku-liku, tidak adanya saluran drainase dan tempat penampungan sampah, sehingga terlihat kotor. Menurut Avelar et al. (2008) karakteristik permukiman kumuh mempunyai kondisi perumahan dengan kepadatan tinggi dan ukuran unit perumahan relatif kecil, atap rumah di daerah kumuh biasanya terbuat dari bahan yang sama dengan dinding. Tidak jarang pula pemukiman kumuh terdapat di daerah yang secara berkala mengalami banjir. Menurut Suparlan (2000), pemukiman kumuh dapat dicirikan sebagai berikut :

1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.

2. Kondisi hunian rumah dan permukiman serta penggunaan ruang-ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.

3. Tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam pengunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomipenghuninya 4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup

secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:

a. Sebuah komunitas tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.

b. Satuan komunitas tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau sebuah RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan, dan bukan hunian liar.

(21)

beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat permukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.

6. Sebagian besar penghuni permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal.

Mekanisme Coping

Usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi keadaan yang menekan, menantang atau mengancam, serta menimbulkan emosi–emosi yang tidak menyenangkan disebut sebagai tingkah laku coping. Sarafino (2002) dalam Maryam (2007) mengungkapkan bahwa individu melakukan perilaku coping sebagai usaha untuk menetralisir atau mengurangi stres yang terjadi dalam suatu proses.

Pengertian stress (cekaman) menurut Haber dan Runyon dalam Maryam (2007) konflik yang berupa tekanan eksternal dan internal serta permasalahan lainnya dalama kehidupan. Stress erat kaitannya kedengan keadaan mental seseorang yang secara tidak langsung akan membentuk karakter seseorang baik itu dalam bertindak maupun berprilaku. Lazarus (1976) dalam Maryam (2007) menyebutkan bahwa sumber stress berdasarkan sumbernya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu stress yang bersifat fisik yaitu stress biologis yang mempengaruhi dan dipengaruhu daya tahan tubuh seseorang, kedua stress yang bersifat psikososial yaitu stress psikologis yang dapat mempengauhi kesehatan fisik. Terdapat empat sumber stress yang bersifat psikososial, yaitu : 1. Tekanan. Tekanan merupakan pengalaman yang menekan, berasal dari

dalam diri, luar, atau gabungan keduanya. Tekanan dalam porsi yang tepat dapat memiliki nilai positif terhadap individunya dengan terbentuknya semangat dan keyakinan yang kuat dalam menyelesaikan dan menghadapi suatu masalah, dan akan menjadi nilai yang negatif jika porsi dari tekanan berlebihan sehingga menghasilkan dampak sebaiknya dari dampak positif. 2. Frustasi. Frustasi yaitu emosi negatif yang timbul akibat terhambatnya atau

tidak terpuaskannya tujuan/keinginan individu. Dan dapat pula diakibatkan oleh tidak adanya subjek atau objek yang diinginkan.

(22)

dapat menghalangi tercapainya pilihan yang lain.

4. Kecemasan. Kecemasan sangat berhubungan perasaan aman. Dimana dalam keadaan normal, kecemasan dapat membantu seseoran untuk lebih menyadari akan situasi berbahaya tertentu. Sebaliknya, bila berlebihan dapat memperburuk perilaku individu.

Sehingga keinginan keluar dari situasi mencekam yang tidak menyenangkan yang dimiliki tiap individu dengan cara menyesuaikan diri terhadap situasi tersebut merupakan hal yang wajar. Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkah laku coping merupakan suatu proses kognitif, yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan eksternal dan internal dimana tujuannya adalah mengatasi, mengurangi atau menghilangkan situasi yang menekan dan melebihi sumber daya yang dimiliki. Tahapan yang dilakukan seseorang dalam melakukan coping dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap penialian berupa menilai sumber stress yang dihadapi serta sumber– sumber yang kita miliki untuk mengatasinya, kemudian bertindak.

Jenis Coping

Friedman (1998) dalam Maryam (2007) terdapat dua tipe strategi coping rumah tangga, yaitu internal atau intrafamilial dan eksternal atau ekstafamilial. Ada tujuh strategi coping internal yaitu :

1. Mengandalkan kemampuan sendiri dari rumah tangga. Untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya, rumah tangga seringkali melakukan upaya untuk mengenali dan mengendalikan sumberdaya yang dimiliki. rumah tangga melakukan strategi ini dengan membuat struktur dan organisasi dalam rumah tangga seperti dengan membuat jadwal dan tugas rutinitas yang dipikul oleh setiap anggota rumah tangga yang lebih ketat. Dimana hal ini dilakukan dengan harapan setiap anggota rumah tangga dapat lebih disiplin dan patuh. mereka harus memelihara ketenangan dan dapat memecahkan masalah, karena yang bertanggung jawab diri mereka sendiri. 2. Penggunaan humor, menurut Hott dalam Friedman (1998) dalam Maryam

(2007), perasaan humor merupaan asset yang penting dalam rumah tangga karena dapat memberikan perubahan sikap rumah tangga terhadap masalah yang dihadapi. Humor juga diakui sebagai salah satu cara bagi seseorang untuk menghilangkan rasa cemas dan stress.

(23)

mengatasi masalah dalam rumah tangga adalah: adanya waktu untuk bersama-sama dalam rumah tangga, saling mengenal, membahas masalah bersama, makan malam bersama, adanya kegiatan bersama rumah tangga, beribadah bersama, bermain bersama, bercerita pada anak sebelum tidur. Menceritakan pengalaman pekerjaan ataupun sekolah, tidak ada jarak diantara anggota rumah tangga. Cara seperti ini dapat membawa rumah tangga lebih dekat satu sama lain dan memelihara sarta dapat mengatasi tingkat stress, ikut serta dengan aktivitas setiap anggota rumah tangga merupaka cara untuk menghasilkan suatu ikatan yang kuat dalam sebuah rumah tangga.

4. Memahami suatu masalah. Salah satu cara untk menemukan coping yang efektif adalah menggunakan mekanisme mental dengan memahami masalah yang dapat mengurangi atau menetralisir secara kognitif terhadap bahaya yang dialami. menambah pengetahuan rumah tangga merupakan cara yang pealing efektif untuk mengatasi stressor (penyebab stress) yatu dengan keyakinan yang optimis dan penilaian yang positif.

5. Pemecahan masalah bersama. Pemecahan masalah bersama dapat digambarkan sebagia suatu situasi dimana setiap anggota rumah tangga dapat mendiskusikan masalah yang dihadapi secara bersama-sama dangan mengupayakan solusi atas dasar logika, petunjuk, persepsi dan usulan dari anggota rumah tangga yang berbeda untuk mencapai suatu kesepakatan. 6. Fleksibelitas peran. Fleksibelitas peran merupakan suatu strategi coping

yang kokoh untuk mengatasi suatu masalah dalam rumah tangga. Pada rumah tangga yang berbermasalah, fleksibelitas peran adalah sebuah strategi coping yang penting untuk membedakan tingkat berfungsinya posisi seseorang dalam suatu rumah tangga.

7. Normalisasi. Salah satu strategi coping rumah tangga yang biasa dilakukan untuk menormalkan keadaan sehingga rumah tangga dapat melakukan coping terhadap sebuah penyebab stress jangka panjang yang dapat merusak kehidupa dan kegiatan rumah tangga.

Sementara itu strategi coping eksternal terbagi kedalam empat kelompok yaitu :

(24)

mengurangi perasaan takut terhadap orang yang tidak dikenal dan mem bantu rumah tangga menilai stressor secara lebih akurat.

2. Memelihara hubungan aktif dengan komunitas. Coping ini berbeda dengan coping yang menggunakan dukungan sosial. Coping ini merupakan coping rumah tangga yang berkesinambungan, jangka panjang dan bersifat umum, bukan sebuah coping yang dapat meningkatkan penyebab stres spesifik tertentu. Dalam hal ini, anggota rumah tangga adalah pemimpin rumah tangga alam suatu kelompok, organisasi dan kelompok komunitas.

3. Mencari dukungan sosial. Mencari dukungan sosial dalam jaringan kerja sosial rumah tangga merupakan strategi coping rumah tangga eksternal. dukungan sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan rumah tangga, kelompok professional, para tokoh masyarakat dan lainnya yang didasarkan pada kepentingan bersama.

4. Mancari dukungan spiritual. Beberapa studi mengatakan rumah tangga berusaha mencari dukungan spiritual anggota rumah tangga untuk mengatasi masalah. Kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa merupakan cara paling penting bagi rumah tangga dalam mengatasi stress.

Food Coping Strategy

Teori coping strategy yang berkembang ternyata mempengaruhi terhadap pangan yang merupakan faktor terpenting dalam kehidupan manusia. Dimana coping strategy dipengaruhi oleh perilaku manusia itu sendiri, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia antara lain : faktor-faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal terdiri dari faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis menekankan pada pengaruh struktur biologis terhadap perilaku manusia. Faktor biologis ini meliputi instink atau motif biologis Beberapa hal yang dikelompokan sebagai motif biologis ini antara lain kebutuhan makan, minum dan lain-lain.

(25)

1. Komponen afektif. Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis. Dalam komponen ini tercakup motif sosiogenesis, sikap dan emosi.

2. Komponen kognitif. Komponen kognitif berhubungan dengan aspek intelektual, dan

3. Komponen konatif. Komponen kognitif yang merupakan faktor sosiopsikologis atau kepercayaan. Komponen konatif berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan untuk bertindak.

Selain faktor personal terdapat pula faktor situasional yang dapat mempenaruhi perilak manusia, faktor-faktor situasional ini berupa: faktor ekologis (kondisi alam atau iklim), faktor rancangan atau arsitektural (penataan uang), faktor temporal (emosi, suasana perilaku, teknologi), dan faktor sosial (sistem peran, struktur sosial, karakteristik sosial individu).

Maxwell (2001) dalam Mangkoeto (2009) menyebutkan terdapat beberapa bentuk yang dapat dilakukan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, yaitu:

1. Mengurangi makanan kesukaan dan membeli makanan yang lebih murah; 2. Meminjam makanan atau uang untuk membeli pangan;

3. Membeli makanan dengan berhutang;

4. Meminta bantuan kepada sanak saudara atau teman; 5. Membatasi dan membagi makanan pada waktu makan;

6. Menyisishkan sedikit uang dari anggota rumah tangga untuk membeli makanan di jalan;

7. Membatasi konsumsi pangan pribadi untuk memastikan anak-anak mendapat cukup makanan;

8. Mengurangi jenis makanan pada satu hari; 9. Menjalani hari tanpa makan (puasa).

(26)

terakhir perubahan distribusi makan (prioritas istri untuk anak-anak terutama yang laki-laki, pembatasan ukuran porsi makan, dan melewatkan waktu makan atau bahkan tidak makan seharian).

Golongan perilaku food coping strategy menurut Usfar (2002) dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan dan digolongkan sehingga menjadi beberapa skala. Tabel 1 di bawah ini merupakan golongan dan tingkatan food coping strategy yang biasa dilakukan oleh rumah tangga;

Tabel 1 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku

Tipe Skala Golongan perilaku Perilaku

Skala 1 A. Meningkatkan pendapatan 1. Mencari pekerjaan

sampingan

2. Menanam tanaman yang dapat dimakan di kebun 3. Beternak ayam, dll

B. Perubahan kebiasaan makan 1. Membeli makanan yang

lebih murah

2. Mengurangi jenis panan yang dikonsumsi

3. Ubah prioritas pembelian makanan

4. Beli pangan yang kualitasnya lebih rendah 5. Kurangi porsi makan 6. Kumpulkan makanan liar C. Penambahan akses dengan segera

pada pangan

1. Menerima bantuan pangan pemerintah

2. Bantuan pangan dari saudara

3. Food work pemerintah 4. Terima kupon raskin 5. Pertukaran pangan D. Perubahan distribusi dan frekuensi

pangan

1. Perubahan distribusi pangan 2. Kurangi frekuensi pangan

E. Menjalani hari-hari tanpa makan 1. Puasa

Skala 2 A. Penambahan akses segera untuk

beli pangan

1. Ambil uang tabungan untuk makan

2. Gadai asset untuk beli pangan

3. Menjual aset tidak produktif 4. Menjual aset produktif 5. Pinjam uang dari saudara

dekat

6. Pinjam uang dari saudara jauh

7. Beli pangan dengan berhutang

Skala 3 A. Langkah drastis 1. Migrasi ke kota/desa

2. Migrasi ke luar negeri 3. Memberikan anak pada

saudara 4. bercerai

(27)

Kaitan Karakteristik Rumah Tangga dengan Food Coping Strategy

Karakteristik rumah tangga sangat berpengaruh terhadap kedalaman food coping strateg yang dilakukan oleh suatu rumah tangga. Seperti yang dijelaskan dalam hasil dari penelitian Mutiara (2002) semakin rendah pengeluaran per kapita, pendidikan kepala rumah tangga, pandidikan ibu dan semakin besar jumlah anggota rumah tangga, umur kepala rumah tangga, umur ibu, maka banyak tindakan dan kedalaman food coping strategy yang mereka lakukan.

Besar Rumah Tangga

Jumlah anggota rumah tangga yang terlalu besar seringkali menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Rumah tangga adalah sekelompok orang yang tinggal dan hidup dalam satu rumah dan ada ikatan darah (Khomsan et al 2007). Besar rumah tangga adalah banyaknya anggota rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota lain yang tinggal bersama dalam satu rumah dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar rumah tangga akan mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang yang dikonsumsi dalam rumah tangga. Kualitas dan kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi rumah tangga dan individu. Besar rumah tangga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga (Sukandar 2007). Sanjur (1982) dalam Sukandar (2009) menyebutkan bahwa pendapatan perkapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar rumah tangga. Kondisi ini menjadi suatu pertimbangan rumah tangga dalam melakukan food coping strategy.

Pendidikan, Pekerjaan dan Pendapatan Rumah Tangga

(28)

Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam rumah tangga. Pekerjaan memiliki hubungan dengan tingkat pendidikan dan akan mempengaruhi kehidupan sosial ekonominya. Jenis pekerjaan seseorang akan berpengaruh terhadap besar pendapatan yang diperolehnya. Kemampuan individu untuk melakuakan food coping strategy dipengaruhi oleh pekerjaan dan pendapatan yang dimilikinya. Perbedaan jenis pekerjaan, tempat bekerja dan jam kerja dapat mempengaruhi perilaku dari anggota rumah tangga (Martianto dan Ariani (2004) dalam Mutiara 2008).

Pengeluaran Rumah Tangga

Kebutuhan yang dimiliki manusia merupakan suatu fitrah yang keberadaannya sangat mempengaruhi kehidupa manusia itu sendiri. Kebutuhan dasar manusia terbagi menjadi dua yaitu kebutuhan primer yang terdiri dari kebutuhan gizi, kebutuhan akan perumahan, pelayanan, pengobatan, pendidikan dan kebutuhan akan sandang. Kebutuhan primer ini merupakan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi untuk hidup yang layak. Kedua adalah kebutuhan sekunder yang terdiri dari waktu luang, ketenangan hidup dan lingkungan yang mendukung. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam rumah tangga dilakukan dengan menggunakan sumber daya yang ada dalam rumah tangga tersebut (Guhardja 1992 dalam Mutiara 2008).

Pemenuhan kebutuhan merupakan suatu yang mahal karena dalam pemenuhannya ini dibutukan suatu pengorbanan berupa pengeluaran. Dimana pola pengeluaran ini secara tidak langsung dapat mencerminkan tingkat kehidupannya. Komposisi pengeluaran untuk makanan dan bukan untuk makanan dapat menjadi indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan dikatakan semakin baik apabila komposisi pengeluaran untuk non makanan lebih besar daripada pengeluaran untuk makanan. Di Negara-negara maju biasanya persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran adalah di bawah 50 %. Namun di negara-negara berkembang persentase tersebut masih mencapai 50 % bahkan lebih.

Dukungan Sosial

(29)

sumber-sumber dukungan sosial dalam memenuhi segala kebutuhannya. Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan maupun kelompok (Sarafino 1996). Dukungan sosial ini dalam Mutiara (2008) disebutkan dapat diperoleh dari orang lain seperti; rumah tangga, saudara, atau masyarakat dimana orang tersebut berada. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dari rumah tangga dan masyarakat dapat mempengaruhi cara mengatasi suatu masalah dalam rumah tangga dalam hal ini adalah masalah pemenuhan kebutuhan.

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (rumah tangga) pada waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992). Konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran pangan untuk rumah tangga, pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan (Harper et al. 1998 dalam Mutiara 2008).

Konsumsi pangan dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan aspek jumlah pangan yang dikonsumsi. Konsusmsi makanan merupakan suatu kebutuhan dasar manusia sebagai suatu cara yang dilakukan manusia untuk memperoleh energi yang kemudian digunakan untuk mempertahankan hidupnya, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada didalam makanan. Kandungan karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya (Almatsier 2001).

(30)

yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizinya. Metode-metode untuk pengukuran konsumsi pangan secara kuantitatif antara lain: 1. Recall 24 jam;

2. Perkiraan makanan (estimated food records); 3. Penimbangan makanan (food weighing); 4. Metode food account;

5. Metode inventaris;

6. Pencatatan (household food records).

Kedua metode kualitatif, Metode kualitatif biasanya digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis makanan, dan menggali informasi mengenai kebiasaan makan. Metode-metode yang biasa digunakan dalam penilaian konsumsi secara kualitatif antara lain: 1) metode frekuensi makanan (food frequency); 2) metode dietary history; 3) metode telepon; 4) metode pendaftaran makanan (food list). Pemilihan metode yang akan digunakan dalam suatu penelitian mempertimbangkan beberapa hal, antara lain: tujuan penelitian, jumlah responden, ketersediaan dana dan tenaga, tingkat pendidikan responden, pertimbangan logistik pengumpulan data, dan presisi serta akurasi dari metode terpilih.

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan menurut Khumaidi (1994) dalam Dewi (2009) adalah satu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena kejadian yang berulang-ulang. Kebiasaan makan dapat diartikan sebagai tindakan manusia terhadap makanan yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan perasaan serta persepsi tentang makanan tersebut. Menurut Almatsier (2001), kebiasaan makan suatu masyarakat salah satunya tergantung dari ketersediaan pangan di daerah tersebut.

Selain faktor ketersediaan pangan faktor sosial ekonomi dari masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan mereka. Supriasa et al. (2002) menyebutkan terdapat tiga faktor sosial yang mempengaruhi kebiasaan makan antara lain:

1. Keadaan penduduk suatu masyarakat (jumlah, umur, distribusi jenis kelamin, dan geografis);

(31)

3. Pendidikan (tingkat pendidikan ibu/ayah). Faktor ekonomi yang mempengaruhi antara lain: pertama pekerjaan (pekerjaan utama, pekerjaan tambahan); keduan pendapatan rumah tangga; ketiga pengeluaran; dan terakhir harga pangan yang tegantung pada pasar dan variasi musim.

Kecukupan Gizi

Kecukupan gizi merupakan suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh, dan kondisi fisiologis khusus untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Persagi 2009).Tingkat kecukupan adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Klasifikasi tingkat kecukuan energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah pertama defisit tingkat berat (<70% AKG), kedua defisit tingkat sedang (70-79% AKG), ketiga defisit tingkat ringan (80-89% AKG), keempat ketegori normal (90-119% AKG) dan ketegori lebih ((≥120% AKG). Sementara itu, menurut Gibson (2005) klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral dibedakan menjadi kategori kurang juka <77% AKG dan kategori cukup (≥77% AKG). Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen.

(32)

KERANGKA PEMIKIRAN

Karakteristik sebuah rumah tangga akan mempengaruhi strategi dalam pemenuhan kabutuhan pangan. Pemenuhan pangan erat kaitannya dengan tingkat konsumsi yang pada dasar pemenuhannya bertujuan agar setiap anggota rumah tangga memiliki status gizi yang baik. Karakteristik rumah tangga ini antara lain besar rumah tangga, jenjang pendidikan dan pekerjaan yang secara langsung akan mempengaruhi akses dalam pemenuhan pangan melalui pendapatan dan pengeluaran baik pengeluaran pangan maupun nonpangan dimana dari karakteristik inilah yang akan diteliti hubungannya dengan coping strategy.

Ketidak mampuan rumah tangga dalam membeli dan mencukupi kebutuhan pangan akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity). Keputusan yang diambil oleh rumah tangga untuk tetap memenuhi kebutuhan akan pangan dan penanggulangan masalah kerawanan pangan serta upaya mempertahankan hidup anggota rumah tangga dikenal dengan food coping strategy. Setiap rumah tangga membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain seperti dari sanak keluarga, tetangga maupun masyarakat di sekitar individu berada. Dukungan sosial baik itu dalam bentuk dukungan secara emosional maupun instrumental tidak hanya dapat meningkatkan usaha rumah tangga akan tetapi dapat juga menurunkannya. Dukungan-dukungan tersebut bisa berupa bagimana keperdulian masyarakat sekitar terhadap rumah tangga responden, rasa aman dan tenang dalam hidup bermasyarakat, hubungan dengan sanak keluarga, serta bantuan materi yang diterima.

(33)

kebiasaan makan rumah tangga meliputi perubahan konsumsi jenis pangan dalam kelompok pangan, perubahan kualitas jenis pangan menjadi lebih rendah atau murah dan perubahan porsi atau ukuran jenis pangan menjadi lebih sedikit. Upaya untuk menambah akses segera terhadap pangan antara lain adanya bantuan pangan dari saudara, beberapa program bantuan pemerintah (BLT dan raskin) atau saling bertukar bahan makanan.

Tindakan untuk meningkatkan akses segara untuk pembeli pangan yaitu menjual asset yang dimilik, melakukan pinjaman baik berupa uang maupun bahan pangan kepada sanak keluarga, badan usaha peminjaman (penggadaian) hingga berhutang di warung. Coping lain yang dilakukan adalah perubahan distribusi dan frekuensi makan, puasa karena kekurangan makanan, hingga dilakukannya migrasi keluar daerah bahkan ke luar negri untuk menjadi tenaga kerja (TKI) atau bahkan mengeluarkan anak dari sekolah untuk mengurangi beban pengeluaran. Kerangka pemikiran hubungan food coping dan tingkat konsumsi energi rumah tangga di daerah padat penduduk (slum area) Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Jakarta Selatan disajikan pada Gambar 1.

(34)

Gambar 1Hubungan food coping dan tingkat konsumsi energi rumah tangga di daerah padat penduduk (slum area) Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Jakarta Selatan.

Keterangan :

Variabel yang diteliti Variable yang tidak diteliti Hubungan yang dianalisis Hubungan yang tidak dianalisis

Karakteristik contoh (sosial ekonomi) - Umur

- Pendidikan - Pekerjaan - Besar keluarga

Pendapatan Keluarga

Pengeluaran pangan dan nonpangan

Dukungan sosial

- Dukungan instrumental - Dukungan emosional

Food coping strategy

- Perubahan kbiasaan makan - Mencari pendapatan

tambahan

- Pemanfaatan sumberdaya yang tersedia

Tingkat konsumsi energi Hygiene sanitasi

Morbiditas

[image:34.595.112.523.83.630.2]
(35)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu, Tempat dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari data baseline pada kajian “Study Of Food Access, Food Hygiene, Environmental Sanitation And Coping Mechanisme Of The Households At Slum Areas” yang dilakukan Fakultas Ekologi Manusia Departeman Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Department Of Home Economics Fakulty Of Technology Jakarta State University dan Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI). Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, yaitu data dikumpulkan pada suatu waktu yang tidak berkelanjutan untuk menggambarkan karakteristik dari sampel. Metode yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan pengisian kuesioner oleh responden.

Lokasi penelitian meliputi sebagian jumlah Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS). Penelitian dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Mei 2012.

Teknik Penarikan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah kumpulan rumah tangga yang berada di daerah kumuh. Penarikan contoh dilakukan dengan menggunakan teknik penarikan contoh acak berlapis (Stratified Random Sampling) dengan alokasi proporsional, di mana daerah kumuh dianggap sebagai strata dan rumah tangga sebagai unit sampling. Di setiap daerah kumuh (strata), rumah tangga akan dipilih dengan cara Simple Random Sampling Without Replacement (SRSWOR).

Besar sampel diperoleh dengan menggunakan formula (Cochran, 1982) sebagai berikut:

N n n n

1 1 0

0

− + =

Di mana:

n = besar sampel

(36)

2 2 2 0

)

(

d

v

t

s

n

=

α

s2 = ragam pendapatan rumah tangga (Rp/kapita/bulan)

tα/2(v) = nilai peubah acak t-student, sehingga : P(|t|>tα/2(v))=α; v = derajat

bebas dari t

d = akurasi antara parameter rata-rata pendapatan dengan rata-rata pendapatan rumah tangga di daerah kumuh, sehingga |x -µ| < d x = rata-rata pendapatan contoh rumah tangga di daerah kumuh µ = rata-rata pendapatan populasi rumah tangga di daerah kumuh

Dari penelitian Patriasih et al. (2009) diketahui bahwa standar deviasi pendapatan rumah tangga yang memiliki anak jalanan di Bandung, Jawa Barat adalah Rp 103.244 per kapita/bulan. Hal tersebut diasumsikan bahwa pendapatan rumah tangga di daerah kumuh dapat diketahui melalui pendekatan pendapatan rumah tangga yang memiliki anak jalanan. Nilai standar deviasi digunakan untuk mendekati nilai s pada formula di atas sehingga s= 103.244,-. Nilai akurasi ditetapkan d= 20265,- (perbedaan maksimum antara rata-rata pendapatan contoh dengan populasinya), dengan jaminan sebesar 95% atau P (| - | <d)= 1 - α = 0,95 atau α = 0,05. Dengan V diasumsikan besar, maka t0,025(v)=1,96. Dengan asumsi ukuran populasi rumah tangga di daerah kumuh besar atau N=~, maka n dapat dihitung sebagai berikut:

100

71

,

9

9

20265

96

,

1

103244

2 2 2

0

=

=

x

n

n

s

=

n

0

=

100

Dengan ukuran sampel n=100, dapat diartikan bahwa perbedaan maksimum antara rata-rata pendapatan sampel (dari rumah tangga) dan populasinya adalah Rp 20.265 dengan peluang 95%. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa penarikan sampel dibuat dengan teknik acak sederhana tanpa pengembalian.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

(37)

tangga (karakteristik ayah dan ibu), pengetahuan gizi ibu, pola asuh makan dan kesehatan, serata data konsumsi rumah tangga.

[image:37.595.99.515.50.812.2]

Data sekunder yang digunakan adalah karakteristik tempat penelitian dan keadaan umum wilayah yang diperoleh dari data dasar profil desa. Selengkapnya jenis-jenis data primer dan sekunder yang dikumpulkan secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel Data yang dikumpulkan Cara pengumpulan

1. Karakteristik Rumah

Tangga

1. Karakteristik contoh

- Umur

- Jenis kelamin

- Jenjang pendidikan ayah - Jenjang pendidikan ibu - Pekerjaan ayah - Pekerjaan ibu

- Besar Rumah Tangga

Wawancara dengan kuesioner

2. Food coping straregy Kedalaman coping straregi Wawancara dengan kuesioner

3. Konsumsi Energi Menggunakan metode

food recall 2 x 24 jam.

Data primer didapat melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Sedangkan data sekunder meliputi karakteristik tempat penelitian. Jenis data primer yang dikumpulkan antara lain: 1. Karakteristik individu yang meliputi karakteristik umum sampel meliputi usia,

jenis kelamin, lama pendidikan formal kepala rumah tangga, lama pendidikan formal ibu, jumlah anggota rumah tangga, pekerjaan kepala Rumah Tangga dan pekerjaan ibu.

2. Jenis dan tingkat kedalaman yang dilakukan rumah tangga.

3. Konsumsi rumah tangga setiap hari yang digambarkan dalam food recall 2 x 24 jam.

Pengolahan dan Analisis Data

(38)

Skor food coping strategy = (n1× 1) + (n2 × 2) + (n3 × 3) Keterangan :

[image:38.595.110.515.197.672.2]

n1 = Jumlah perilaku coping pada rumah tangga yang tergolong skala 1 n2 = Jumlah perilaku coping pada rumah tangga yang tergolong skala 2 n3 = Jumlah perilaku coping pada rumah tangga yang tergolong skala 3

Tabel 3 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku Tipe

Skala Golongan perilaku Perilaku

1 A. Meningkatkan pendapatan 1. Istri atau suami mencari pekerjaan

sampingan. 2. Istri ikut bekerja

3. Anak usia sekolah ikut bekerja

B. Perubahan kebiasaan makan 1. Mengurangi jumlah pembelian lauk

2. Mengganti beras dengan makanan pokok lainnya

3. Mengurangi frekuensi makan

4. Mengurangi penggunaan teh/kopi/gula 5. Mengurangi jajanan anak

6. Menyisakan makanan untuk keesokan harinya

7. Membawa bekal saat bekerja

2 A. Penambahan akses

segera untuk beli pangan

1. Meminta atau meminjam uag dari orang tua atau saudara/kerabat 2. Terpaksa berutang untuk memenuhi

kebutuhan pokok rumah tangga (dari non saudara/kerabat)

3. Terpaksa berhutang untuk memenuhi

kebutuhan materian (perabotan

rumah)

4. Menjual/menggadaikan perhiasan

emas

5. Menjual/menggadaikan perabotan non elektronik

6. Menjual/menggadaikan perabotan

elektronik

Pengkategorian yang digunakan untuk mengkategorikan tingkat food coping yang dilakukan oleh suatu rumah tangga pada pemelitian ini adalah dengan melakukan pendekaan dari jumlah rata-rata skor dari keseluruhan cotoh yang digunakan. Satu rumah tangga akan dikategorikan memiliki skor food coping rendah jika skor yang diperolah berada pada skor kurang dari rata-rata dan dikategorikan memiliki skor food coping yang tinggi jika skor food coping berada pada rentang skor lebih dari skor rata-rata.

(39)

anggota rumah tangga sebanyak ≤4 orang, rumah tangga sedang dengan jumlah anggota rumah tangga sebanyak 5-7 orang, dan rumah tangga besar dengan jumlah anggota rumah tangga ≥8 orang (Hurlock 1998). Selain besaran rumah tangga karakteristik rumah tangga sampel yang dikumpulkan adalah pendidikan orang tua. Data pendidikan orang tua dibagi menjadi lima kategori yakni tidak sekolah, tamat SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Karakteristik berikutnya yang dikumpulkan adalah pekerjaan orang tua yang dikelompokkan menjadi sebelas kelompok yakni tidak bekerja, pedagang, buruh, pemulung, pengemis, pengamen, jasa (tukang ojek, tukang cukur, penjahit, calo, dan sebagainya), Ibu Rumah Tangga (IRT), Karyawan, dan PNS/ABRI/Polisi dimana dalam pengolahannya akan dikategorikan berdasarkan kepastian gaji yang didapat. Secara garis besar pengkatagorian data yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut :

Tabel 4 Pengkategorian variable penelitian

No Variabel Sub Variabel Kategori Sumber

1. Karakteristik Rumah Tangga

• Besar Rumah Tangga

• Kecil (≤ 4 orang)

• Sedang (5-6 orang)

• Besar (≥7 orang)

• BKKBN

(1998)

• Umur Rumah

Tangga

• Remaja (< 20 tahun)

• Dewasa awal (20-40 tahun)

• Dewasa tengah (41-65 tahun)

• Dewasa akhir (>65 tahun)

• Papalia & Old (1986)

• Pendidikan orangtua

• SD/sederajat

• SMP/sederajat

• SMA/sederajat

• Perguruan Tinggi

• Pekerjaan orangtua

• Pekerjaan bergajit tetap

• Pekerjaan bergajih tidak tetap

• Tidak berpenghasilan

• Pendapatan orangtua

• Miskin (<379.052)

• Tidak Miskin (≥379.052)

• BPS (2011)

• Kategori Rumah Tangga berdasarkan pengeluaran pangan

• Rumah Tangga kaya (pangeluaran pangan <45%)

• keluaraga menengah (Pengeluaran pangan 46-79%)

• Rumah Tangga miskin (pengeluaran pangan > 80%)

• Berg (1986)

(40)

berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar mengenai intake harian individu (Supariasa 2002). Data konsumsi yang diperoleh dikonversi dalam satuan gram kemudian dihitung kandungan energinya dengan menggunakan program Microsoft Excel kemudian hasil akhirnya diperoleh rata-rata untuk dua hari. Asupan energi dan protein contoh dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (2004) yang telah dikoreksi dengan berat badan aktual contoh sehingga didapatkan angka kecukupan energi dan protein koreksi.

Rumus yang digunakan dalam mengkoreksi angka kecukupan zat gizi adalah sebagai berikut (Nasoetion dan Damayanthi (2008) dalam Etika (2012)):

berat badan aktual (kg)

AKG Koreksi = x AKG berat badan standar dalam daftar AKG

Angka kecukupan gizi kemudian digunakan untuk menghitung tingkat konsumsi zat gizi. Tingkat konsumsi zat gizi contoh diperoleh dengan menggunakan rumus (Nasoetion dan Damayanthi (2008) dalam Etika (2012)):

konsumsi zat gizi aktual

Tingkat konsumsi zat gizi = x 100% angka kecukupan gizi

Tabel 5 Kategori tingkat kecukupan Energi dan Protein

Kategori Tingkat kecukupan energi dan protein Defisit tingkat berat

Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal

Lebih

< 70% kebutuhan 70 – 79% kebutuhan 80 – 89% kebutuhan 90 – 119% kebutuhan

120% kebutuhan

Sumber: Depkes (1996)

Langkah selanjutnya dalam pengolahan data adalah dilakukan penganalisian data secara deskriptif kemudian hubungan antar variabel dianalisis statistik menggunakan Rank Spearman Correlation Test dengan rumus sebagai berikut :

= 1 − 6 ∑ ( − 1)

Keterangan :

(41)

y = Variabel kedua

di = Selisih antara peringkat bagi xi dan yi n = Banyaknya pasangan data

rs = Koefisien korelasi Spearman (rs bernilai -1 sampai +1, menunjukkan

adanya hubungan yang sempurna antara X dan Y)

Definisi Operasional

Contoh adalah kumpulan rumah tangga yang berada di daerah kumuh, dipilih dengan cara Simple Random Sampling Without Replacement (SRSWOR). Food Coping Strategy adalah segala upaya yang dilakukan oleh suatu rumah

tangga untuk mengatasi keadaan kekurangan pangan sehingga tidak terjadi kondisi kerawanan pangan yang berkelanjutan.

Jumlah anggota rumah tangga adalah besarnya anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah.

Karakteristik rumah tangga adalah segala sesuatu yang berada di luar contoh (tidak melekat langsung) sekaligus sebagai pengaruh yang berasal dari luar diri contoh yaitu Rumah Tangga yang meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan per kapita dan besar rumah tangga. Konsumsi adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan

seseorang atau kelompok orang (rumah tangga) dengan tujuan untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh.

Kumuh adalah tempat tinggal penduduk miskin di pusat kota dan permukiman padat tidak teratur di pinggiran kota yang penghuninya umumnya berasal dari para migran luar daerah.

Pangan adalah semua bahan makanan pokok yang dibutuhkan oleh setiap individu sehingga kebutuhan akan zat gizinya dapat terpenuhi dan dapat melakukan aktivitasnya dengan baik.

Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang tua contoh, baik dengan bekerja di instansi pemerintah, swasta, usaha sendiri (wirausaha), dan usaha lain dalam rangka menafkahi rumah tangga.

(42)

diukur dengan lamanya tahun sekolah yaitu tidak pernah sekolah, tamat SD/MI, tamat SMP/MTS, tamat SMA/MA, dan perguruan tinggi.

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi

Letak dan Posisi Geografis

Jakarta selatan meupakan salah satu wilayah administratif Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang dipimpin oleh seorang walikota. Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. Id.3/I/I/66 tanggal 12 Agustus 1966. Keputusan tersebut mulai berlaku sejak tanggal 1 September 1966. Jakarta Selatan terletak pada 1060 22’ 42” – 1060 58’ 18” Bujur Timur (BT) dan 50 19’ 12” Lintang Selatan (LS) dengan kemiringan 0,25% dan ketinggian rata-rata mencapai 5-50 m di atas permukaan laut. Pada Gambar 2 ditampilkan Peta Administrasi Jakarta Selatan.

[image:43.595.106.476.137.842.2]

Gambar 2. Peta Administrasi Wilayah Jakarta Selatan (Jakarta selatan dalam angka 2008)

(44)

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Depok. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ciledug dan Kota Tangerang dan sebelah Timur berbatasan dengan Kali Ciliwung. Secara administrasi wilayah Jakarta Selatan terbagi atas 10 kecamatan dengan 65 kelurahan. Kesepuluh kecamatan tersebut adalah Kecamatan Tebet, Setiabudi, Mampang Prapatan, Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Pasar Minggu Cilandak, Pesanggrahan, Pancoran, dan Jagakarsa. Dengan kecamatan yang paling luas adalah Jagakarsa dengan luas 25,01 km2 dan kecamatan Mampang Prapatan sebagai kecamatan dengan luas daerah palig kecil yaitu dengan luas 7,73 km2. Luas daerah tiap kecamatan secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 6 berikut :

Tabel 6. Luas Wilayah Kecamatan di Jakarta Selatan Tahun 2008

No. Kecamatan Luas (Km2)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Jagakarsa Pasar Minggu Cilandak Pesanggerahan Kebayoran Lama Kebayoran Baru Mampang Prapatan Pancoran Tebet Setia Budi 25,01 21,90 18,20 13,47 19,32 12,91 7,73 8,53 9,05 9,61

Jumlah 145,73

Sumber: Jakarta Selatan Dalam Angka (2008)

Kecamatan Tebet Desa Tebet Barat, Tebet Timur dan Desa Matraman merupakan daerah yang dilakukan tempat penelitian. Pemilihan tempat ini dilakukan secara purposive berdasarkan lokasi yang memiliki kondisi lingkungan dan demografi yang hampir sama, sehingga memperoleh lokasi yang homogen.

Sosio Demografi

(45)

Tabel 7. Luas Wilay Kecamatan

Kecamatan L

( Jagakarsa Pasar Minggu Cilandak Pesanggerahan Kebayoran Lama Kebayoran Baru Mampang Prapatan Pancoran Tebet Setia Budi

Jumlah 1

Sumber : Jakarta Selat

Besar rumah tangga

Besar rumah kedalam dua katago rumah tangga kecil ( (5-7 orang) sebesar sangat rendah yaitu h tangga yang diambi tangga berdasarkan b

Gambar 3 Seb Jika dilihat da tangga ada kemung pangan dan kesehata yang sedikit sehingga jumlah anggota rum masalah dalam peme

4%

17%

79%

Besar (≥ 7 orang) Sedang (5-6 orang) Kecil (≤ 4 orang)

yah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Pen n pada tahun 2008

Luas (Km2)

Jumlah Penduduk Laki-Laki (Jiwa) Jumlah Penduduk Perempuan (Jiwa) Total Jumlah Penduduk (Jiwa) 25,01 21,90 18,20 13,47 19,32 12,91 7,73 8,53 9,05 9,61 117.170 138.789 76.729 81.974 120.161 72.614 54.281 63.038 126.751 60.341 108.106 109.343 77.389 74.042 109.526 70.795 50.064 60.331 114.319 59.442 225.276 248.132 154.118 156.016 229.687 143.409 104.345 123.369 241.070 119.783

145,73 911.848 833.357 1.745.205

atan Dalam Angka (2008)

Karakteristik Rumah Tangga ga

h tangga yang didapatkan dalam penelitia ori dasar penggolongan besar rumah tangga l (≤4 orang) sebesar 79% dan kategori rumah

r 17% dengan kategori rumah tangga besar u hanya berjumlah 4% dari jumlah keseluruha bil. Gambar 3 di bawah ini menunjukkan n besar rumah tangga.

ebaran rumah tangga berdasarkan besar ruma dari sebaran rumah tangga berdasarkan sebar ngkinan contoh yang diteliti memiliki tingk

tan yang tidak begitu berat dikarenakan jumla ga beban tanggungjawab yang dimiliki pun rel mah tangga yang terlalu besar sering ka menuhan kebutuhan pokok. Menurut Sanjur (

Keterangan :

enduduk menurut

uk

Kepadatan (Jiwa/Km2)

6 8 6 7 5 9 0 3 8.876 11.325 8.468 11.582 11.895 11.108 13.481 14.990 25.296 13.236

5 11.976

tian ini tergolong ga yakni kategori ah tangga sedang sar yang tergolong an sampel rumah n sebaran rumah

ah tangga

[image:45.595.110.516.112.292.2]
(46)

atau banyaknya anggota rumah tangga mempengaruhi besarnya belanja rumah tangga. kondisi inilah yang menjadi suatu pertimbangan bagi rumah tangga dalam melakukan food coping strategy. Lebih lanjut Sukarni (1994) menjelaskan bahwa besar rumah tangga akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau rumah tangga.

Umur orang tua

Sebaran usia orang tua dalam contoh rumah tangga yang diteliti paling banyak termasuk kedalam golongan dewasa awal dengan jumlah pada Ayah sebanyak 54 orang atau sebesar 64% dari jumlah keseluruhan total jumlah Ayah pada sampel rumah tangga dengan rata-rata umur ayah sebesar 40,6 ±13,44. Tidak jauh berbeda dengan Ayah, sebaran kelompok usia Ibu kategori usia yang paling banyak adalah kategori dewasa awal yaitu 64% dari jumlah keseluruhan Ibu pada contoh rumah tangga atau sekitar 63 orang dengan rata-rata umur sebesar 38,3 ±14,1. Pengkategorian umur orang tua ini didasarkan pada pengkategorian menurut Papalia & Olds (1986) yang mengklasifikasikan umur kedalam empat kategori, yaitu remaja (<20 tahun), dewasa awal (20-40 tahun), dewasa madya/tengah (41-65 tahun), dan dewasa akhir (>65 tahun). Sebaran rumah tangga berdasarkan usia orang tua secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 8 berikut :

Tabel 8 Sebaran rumah tangga berdasarkan usia orang tua

Usia (tahun) Ayah Ibu

n % n %

Remaja (<20 tahun) 0 0,0 2 2,0

Dewasa awal (20-40 tahun) 54 64,0 63 64,0

Dewasa madya (41-65 tahun) 23 27,0 28 29,0

Dewasa akhir 7 8,0 5 5,0

Total 84 100 98 100

Rata-rata ± SD 40,6 ±13,44 38,3 ±14,1

(47)

berumur terlalu muda (<20 tahun), cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam pengasuhan anak, sehingga pada umumnya orang tua tersebut merawat dan mengasuh anaknya berdasarkan pengalaman orang tua terdahulu. Terlepas dari dampak negatif tersebut umur yang relatif muda ternyata memiliki hubungan yang positif terhadap tingkat produktifitas. Umur dapat menentukan produktifitas seseorang, semakin muda umur seseorang semakin tinggi produktifitasnya. Khomsan (2007) menjelaskan, orang yang masih muda memiliki kondisi fisik dan kesehatan yang prima untuk menunjang produktifitasnya.

Pendidikan orang tua

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola pengembangan rumah tangga yang akan dilakukan oleh sutu rumah tangga nantinya. Pendidikan orang tua bisa menggambarkan seberapa banyak informasi yang telah dikumpulkan. Seperti yang dikemukakan Soediaoetama (2008) yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan gizi dan kesehatan akan mempengaruhi praktek pengolahan makanan. Pengkategorian jenjang pendidikan dibedakan menjadi 5 kelompok yaitu: TS (Tidak Sekolah), SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Memengah Atas), dan PT (Perguruan Tinggi). Klasifikasi jenjang pendidikan ini didasarkan pada lama sekolah yang dialami oleh contoh tanpa menghitung tinggal kelas. Sebaran r

Gambar

Gambar 1 Hubungan food coping dan tingkat konsumsi energi rumah tangga di
Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 3 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku
Gambar 2. Peta Administrasi Wilayah Jakarta Selatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji F yang menunjukkan bahwa variabel latar belakang pendidikan, pelatihan, dan pengalaman kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pegawai PT..

Seberapa besar pengaruh pajak tangguhan dan tax to book ratio terhadap kinerja perusahaan pada perusahaan manufaktur subsektor food and beverages yang terdaftar di

Intisari: Ekstraksi selulosa dari kayu gelam (Melaleuca leucadendron Linn) dan kayu serbuk industri mebel dilakukan dengan proses maserasi menggunakan metanol dan dilanjutkan

Pengaruh suhu pemasakan terhadap nilai organoleptik aroma lemang Gambar 2 menunjukkan persentase hubungan suhu pemasakan lemang dengan menggunakan alat pemasak lemang

Pemberian ZPT NAA dan unsur mikro (Zn dan B) dengan teknik penyemprotan pada buah tidak dapat meningkatkan jumlah buah matang, jumlah biji per buah, berat biji kering per buah,

Secara lebih khusus terkait dengan penerapan pendekatan PMRI pada materi pecahan dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Adams (2002). Penelitian tersebut

Untuk memenuhi jumlah kapasitas angkut BRT maka dapat diadakannya penambahan shelter BRT pada titik-titik baru seperti pemukiman atau daerah tidak padat pemukiman sekalipun

Telah dilakukan peneltian dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas ( Classroom Action Research ) pada 32 orang siswa dengan tujuan untuk mengetahui