• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman satwa, termasuk spesies primata. Terdapat enam famili dari sebelas famili yang ada di dunia (MacKinnon 1986). Salah satu jenis satwa primata tersebut adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dari genus Macaca, famili Cercopithecidae (Bramblett 1994). Sajuthi et al. (1993) menyatakan Indonesia memiliki beberapa satwa primata genus Presbytes dan Macaca seperti beruk (Macaca nemestrina), dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Achmat dan Frankie (2000) menyatakan bahwa pada 150 tahun SM, satwa primata telah dijadikan objek penelitian oleh Galen, sedangkan pada abad ke 19 monyet Rhesus (Macaca mulatta) telah digunakan dalam penelitian kedokteran dan kimia. Dalam perkembangan selanjutnya, manusia mulai mengganti monyet Rhesus ini dengan jenis monyet lainnya, seperti monyet ekor panjang. Bennett et al. (1995) menyatakan bahwa nilai ilmiah satwa primata untuk penelitian biomedis adalah persamaan ciri anatomi dan fisiologis karena kedekatan hubungan filogenetik. Selanjutnya Sajuthi et al. (1997) menyatakan bahwa satwa primata banyak digunakan sebagai hewan model dalam penelitian biomedis maupun pengujian obat-obatan

Untuk kebutuhan hewan model dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang atau negara-negara Eropa, yang sangat minim sumber daya satwa primatanya, maka negara kita yang berlimpah, bahkan merupakan hama bagi petani, dapat melakukan pemenuhan kebutuhan hewan model tersebut. Sejak tahun 1965, negara kita telah menjadikan satwa primata sebagai komoditi dagang (Achmat dan Frankie 2000).

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

Napier dan Napier (1985) menyatakan bahwa Macaca fascicularis

mempunyai beberapa nama umum antara lain longtailed macaque, crab-eating

macaques yang terdiri dari 21 sub spesies, dan 10 sub spesies diantaranya terdapat

di Indonesia. Sub spesies Macaca fascicularis yang ada di Indonesia adalah(1)

6 Kalimantan dan Karimata, (2) M. f. lasiae di Pulau Lasia, (3) M. f. paeura di Pulau Nias, (4) M. f. fusca di Pulau Simaluan, (5) M. f. mordax di Pulau Jawa dan Bali, (6) M. f.cupidae di Pulau Mastasiri, (7) M. f. baweana di Pulau Bawean, (8)

M. f. tua di Pulau Maratua, (9) M. f. limitis di Pulau Timor dan (10) M. f.

sublimitis di kepulauan Sumbawa. Menurut Lekagul dan McNeely (1977),

taksonomi MEP (Macaca fascicularis) diklasifikasikan sebagai berikut: filum: Chordata, sub-filum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Primata, sub-ordo Anthropoidae, famili Cercopithecidae, sub-famili Cercopithecinae, genus Macaca, dan spesies Macaca fascicularis

Gambar 1. Monyet ekor panjang

Monyet ekor panjang (MEP) dapat ditemukan di seluruh Asia Tenggara dari Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia, Philipina, sampai ke Indonesia (Napier dan Napier 1985). Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), di Indonesia MEP terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara dan pulau-pulau sekitarnya.

MEP termasuk salah satu spesies yang dapat beradaptasi dengan sangat baik pada lingkungan dan iklim yang berbeda, sehingga selain pada habitatnya, ia juga dapat hidup dengan baik di banyak tempat lain (Napier dan Napier 1985).

7 Menurut Bismark (1984), MEP dapat dijumpai pada daerah yang berair, misalnya pada pinggiran aliran sungai, danau dan hutan bakau.

Morfologi

MEP merupakan satwa primata yang dalam aktivitas kesehariannya menggunakan kaki depan dan belakang dalam berbagai variasi untuk jalan dan berlari (quadrupedalism), memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang badan dan kepala, juga memiliki bantalan untuk duduk (ischial callosity), serta memiliki kantong makanan pada pipi (cheek pouches) (Napier dan Napier 1985). Lebih lanjut dinyatakan bahwasecara umum warna rambut agak kecoklatan sampai abu-abu, pada bagian punggung lebih gelap dibandingkan dengan bagian perut dan dada, rambut kepala pendek tertarik ke belakang dahi, rambut sekeliling wajahnya berbentuk jambang yang lebat serta ekor tertutup rambut halus.

Panjang badan dan kepala 480-550 mm, bobot badan 3,6-6,5 kg dengan panjang ekor 80-110% dari panjang badan (Lekagul dan McNeely 1977). Panjang badan dan kepala antara 350-455 mm, sedangkan panjang ekor antara 400-565 mm (Medway 1978). Panjang tubuh termasuk kepala jantan 412-648 mm dan betina 258-503 mm, bobot badan jantan 4,7-8,3 kg, sedangkan betina 2,5-5,7 kg, serta mempunyai panjang ekor pada jantan berkisar antara 435-655 mm dan pada betina berkisar antara 400-550 mm (Rowe 1996). Lebih lanjut Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa ekornya menyerupai silinder yang berotot yang ditutupi oleh rambut pendek dan mempunyai perbedaan karakter yang jelas antara jantan dan betina.

Pakan

MEP termasuk satwa omnivora (pemakan apa saja) (Lekagul dan Mc Neely 1977). Lindburg (1980) menyatakan bahwa selain memakan buah-buahan, MEP juga memakan serangga, rumput, jamur, moluska, akar umbi, dan telur burung. Jenis makanan yang dikonsumsi antara lain: bua h-buahan, akar-akaran, daun-daunan, serangga, hasil pertanian dan moluska (Napier dan Napier 1985).

Pakan utama MEP terdiri dari buah-buahan (60-90%) (Clutton 1977). Persentase jenis pakan yang dikonsumsi berdasarkan Chivers (1980):

buah-8 buahan 62%, daun-daun muda 2%, dan serangga serta binantang kecil lainnya 2%. Berdasarkan hasil penelitian Soegiharto (1992), dinyatakan bahwa komposisi bagian tumbuhan yang dimakan terdiri dari bagian daun 49,93%, buah 38,54%, bunga 6,60% dan lain-lain sebanyak 4,93%. Sedangkan Julliot (1996) menyatakan 66,7% buah-buahan, dedaunan 17,2%, bunga 8,9%, insekta 4,1%, dan lain-lain 3,2%.

Komposisi pakan alami MEP terdiri dari: dedaunan yang banyak mengandung selulosa, buah-buahan, dan biji-bijian yang banyak mengandung lipid. Kebutuhan akan zat makanan tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan zat-zat makanan monyet

Zat Makanan Kadar

Protein kasar (%) 15,00– 20,00 Karbohidrat 45,00– 55,00 Serat Kasar 2,50 5,00 Lemak kasar 3,00 – 5,00 Kalsium 0,86 Fosfor 0,47 Sumber: Inglis (1980)

Fiennes (1976) menyatakan bahwa pemberian pakan untuk monyet yang dipelihara dalam penangkaran, sebaiknya terdiri dari: buah-buahan, umbi-umbian, daun muda, dan biji-bijian. Lebih lanjut Hume (1995) menyatakan bahwa pakan monyet dalam penangkaran terdiri dari air, protein, energi, lemak, mineral, dan vitamin. Berdasarkan Edwards (1997), untuk semua primata yang tertangkap harus diberikan makanan kering yang seimbang sebagai makanan utama dengan penambahan buah-buahan atau sayuran sampai 50% dengan pertimbangan kandungan nutrisi yang kaya dan kandungan air yang mencapai 88-94%.

Untuk memenuhi kebutuhan zat nutrisi monyet dalam kandang, dapat diberikan pakan dasar berbentuk pelet berprotein tinggi, dan penambahan buah-buahan dan vitamin B Kompleks (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Vitamin adalah bahan kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi penting dan tidak dapat disintesa oleh jaringan tubuh. Semua vitamin esensial untuk pertumbuhan, hidup pokok, dan kesehatan. Hampir semua vitamin yang larut

9 dalam air berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme energi, dan protein, atau sebagai komponen struktural. Vitamin B12 merupakan salah satu vitamin yang larut dalam air yang tidak didapatkan pada pakan bersumber dari tumbuh-tumbuhan, oleh sebab itu penambahan vitamin B12 perlu diberikan pada saat pengangkutan monyet yang diberi pakan buah-buahan. Agar penyerapan vitamin B12 terjadi secara efisien dapat dilakukan melalui suntikan dengan kemungkinan pemberian 1-5 mg untuk memperbaiki keadaan penderitaan kelelahan (Linder 1985). Kecukupan vitamin B12 untuk nonhuman primates sebesar 0,03 mg/kg BB menurut NRC (2003).

Konsumsi. Sutardi (1980) menyatakan bahwa kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup dan kebutuhan produksi, mencakup pertumbuhan dan reproduksi. Konsumsi adalah faktor penting yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Parakkasi 1999). Church dan Pond (1982) menyata kan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh bobot badan, individu satwa, jenis pakan dan faktor lingkungan. North (1984) menyatakan bahwa, jumlah pakan yang dikonsumsi tergantung pada bobot badan, bangsa, aktivitas, cekaman dan kandungan energi pakan serta lingkungan. Wiseman dan Cole (1990) menyatakan bahwa, konsumsi pakan MEP, dipengaruhi oleh palatabilitas, ukuran, tekstur, konsistensi pakan dan suhu lingkungan.

Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa hewan mengkonsumsi untuk pemenuhan kebutuhan energi, jika energi sudah terpenuhi maka hewan menghentikan konsumsinya. Lebih lanjut Anggorodi (1995) menyatakan bahwa tingkat energi dalam pakan akan mempengaruhi banyaknya pakan yang dikonsumsi.

Kecernaan Zat-zat Makanan. Kecernaan suatu zat makanan adalah selisih antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang masih tersisa dalam kotoran padat (Lubis 1963). Sutardi (1980) menyatakan bahwa pencernaan adalah proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan pakan dalam alat pencernaan. Lebih lanjut Tillman et al. (1986), menyatakan bahwa zat-zat makanan tersebut dalam saluran pencernaan mengalami perombakan menjadi

10 zat-zat makanan yang siap untuk diserap saluran pencernaan. Kecernaan zat-zat makanan menurut Parakkasi (1999) ada dua macam yait u zat-zat makan tercerna sesungguhnya (true digestibility) dan zat-zat makanan tercerna semu (apparent digestibility).

McDonald et al. (1988) menyatakan bahwa faktor -faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah: komposisi makanan, faktor ternak, dan faktor pemberian makanan. Cheeke (1987) menyatakan bahwa semakin tinggi kadar serat kasar pakan, maka laju pergerakan makanan dalam sekum semakin cepat sehingga dapat diperkirakan koefisien cerna zat-zat makanan akan semakin rendah. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kecernaan yang rendah akan mengurangi konsumsi. Lebih lanjut Anggorodi (1990), mengemukakan bahwa, semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan, semakin tebal dan semakin tahan dinding sel-nya, mengakibatkan semakin rendah kecernaan bahan makanan tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya cerna pakan yaitu suhu, laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, dan komposisi zat-zat yang terkandung (Anggorodi 1995).

Pengaruh Pakan Terhadap Bobot Badan. Bobot badan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi respon hewan terhadap bermacam-macam makanan, lingkungan, dan tatalaksana penanganan (Hafez dan Dyer 1969). Cekaman dapat menyebabkan kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok meningkat, yaitu dengan meningkatnya kebutuhan energi metabolisme (Anggorodi 1995). Selanjutnya dinyatakan bahwa pertambahan bobot badan tidak hanya dipengaruhi konsumsi pakan saja, tetapi juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti kemampuan cerna pakan, aktivitas fisik, genetik, dan komposisi pakan. North (1984) menyatakan bahwa selain faktor-faktor diatas, jenis kelamin, jumlah konsumsi, dan suhu mempengaruhi pertambahan bobot badan. Ensminger et al.

(1990) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, lingkungan dan kesehatan.

11

Tingkah Laku

MEP mempunyai aktivitas pada siang hari. Lindburg (1980) mengklasifikasikan aktivitas harian monyet sebagai berikut:1) makan: aktivitas yang meliputi proses pengumpulan pakan sampai mengunyah dan dilakukan pada pohon yang sama; 2) mencari makan: aktivitas yang meliputi pergerakan di antara sumber makanan, biasanya di antara pohon; 3) istirahat: tidak melakukan aktivitas apapun, hanya diam atau tiduran, 4) berkelahi: aktivitas ini ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang, memburu dan baku hantam; 5) merawat diri: aktivitas mencari kotoran dari tubuh sendiri maupun dari tubuh individu lain yang sejenis; 6) kawin: hubungan seksual yang dimulai dari pengejaran terhadap betina dan diakhiri dengan turunnya pejantan dari betina setelah kopulasi; dan 7) bermain: aktivitas bermain antar individu, terutama anak monyet. Bila orang yang memberi perlakuan menatap lama pada seekor monyet, maka monyet tersebut akan merasa terancam karena merasa orang tersebut akan menyerangnya, sehingga monyet akan memberi respon dengan cara balas menatap dengan mulut tebuka dan dengkuran, kemudian menyerang sambil berteriak, memukul dan menggigit, atau kemungkinan lainnya mereka menunjukkan reaksi patuh dengan tidak melihat, menghindar, atau meringis ketakutan, Vandenberg (2000).

Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku makan masih belum banyak dipelajari. rasa lapar menunjukkan perilaku selera yang kemudian dilanjutkan dengan mencari objek terte ntu dan bila ditemukan, maka perilaku akan berganti menjadi perilaku konsumtif atau ingin memiliki dengan segera. Hal ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Stellar (1954) dalam Wood-Gush (1983), menyatakan bahwa ada pusat rasa lapar yang berada pada sisi

hypothalamus dan ada juga sebuah pusat rasa kenyang yang berada pada

ventro-medial hypothalamus. Pusat-pusat tersebut dipicu oleh perubahan yang terjadi

dalam darah (Brobeck, 1957 dalam Wood-Gush 1983). Ada tiga hal yang mungkin memicu hal tersebut yaitu: 1) perubahan/menurunnya tingkat kandungan glukosa darah yang diduga akan memicu pusat rasa lapar, tetapi sebaliknya bila kandungan meningkat akan memicu rasa kenyang, 2) pengaruh yang sama juga terjadi terhadap sirkulasi lemak, dan 3) perubahan suhu cairan yang mencapai

12

hypothalamus memicu hal yang sama (Bray, 1976 dalam Wood-Gush 1983).

Mas’ud (1999), menyatakan bahwa ada peningkatan gula darah ternak sapi selama dilakukan pengangkutan.

Tingkat agresivitas hewan akibat adanya rangsangan dari luar (eksternal), juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam (endogenus) terutama mekanisme hormon, seperti testosteron yang meningkatkan agresivitas pada tikus, progesteron yang berpengaruh terhadap agresivitas hamster betina, dan pada hewan yang sedang menyusui biasanya lebih agresif dibandingkan dengan hewan betina dewasa lainnya karena pengaruh mekanisme hormon prolaktin yang sedang tinggi, LH pada burung afrika quelea dan gonadotropin dalam hubungannya dengan jarak antar individu. Diduga bahwa ACTH pada level tinggi dapat menurunkan agresivitas, sedangkan pada tingkat rendah dapat meningkatkan agresivitas. Tinggi rendahnya derajat ACTH berhubungan dengan naik turunnya tingkat cekaman (Wood-Gush 1983).

Kaplan (1986) menyatakan bahwa tingkah laku stereotip MEP dalam kandang dapat mengakibatkan perusakan diri sendiri. Tingkah laku monyet dalam kandang yang mengarah ke ketidak-biasaan mencakup pergerakan hiper -aktif dalam kurungan, kerumunan, ketakutan yang berlebihan, membentuk tingkah laku yang berganti-ganti secara berulang dan secara ekstrim dapat berbentuk perusakan diri sendiri (Bramblett 1994). Lebih lanjut dikatakan bahwa pemulihan kondisi dari keadaan tidak-normal yang ada menunjukkan perbaikan secara substansial terhadap ketertekanan yang dialami seperti rasa tidak takut yang berlebihan dan agresi yang nampak serta hilangnya tingkah laku yang berulang-ulang.

Perkandangan

Perkandangan merupakan bagian yang penting dalam pemeliharaan satwa primata. Hal ini disebabkan primata mudah menularkan penyakit kepada manusia dan sebaliknya (Sajuthi et al. 1997). Menurut Bennett et al. (1995) dasar disain kandang monyet harus mempertimbangkan berbagai faktor: 1) dapat memberikan kenyamanan fisik monyet yang berada di kandang, 2) harus selaras dengan perkembangan dan pertumbuhan normal dan pencegahan penyakit, 3) mampu

13 menjaga kesehatan dan pemeliharaan yang sesuai, 4) kandang harus sesuai dengan maksud pemeliharaan dan perawatan yang mudah, 5) memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kriteria disain suatu kandang harus mempertimbangkan spesifikasi; 1) spesies, 2) sistim pendukung kandang, 3) koleksi kotoran, 4) pemberian minum, 5) pemberian makanan dan 6) perlengkapan kandang.

Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyelaskan bahwa pada hari dilakukan pengiriman ke luar negeri, monyet dimasukkan ke dalam peti kayu yang panjang dan disekat menjadi lima kotak, masing-masing petak diisi oleh seekor monyet. Ukuran kotak tergantung ukuran tubuh monyet yang akan diangkut, (60x30x60 cm). Lebih lanjut dijelaskan, pada bagian dasar, peti kayu dilengkapi dengan dengan baki yang dapat digeser keluar. Baki dialasi koran dengan serbuk gergaji untuk menampung kotoran. Setiap kotak dilengkapi dengan wadah tempat air minum. Di bagian depan atas peti terdapa t lubang ventilasi dengan dilapisi kawat kasa, disediakan juga lubang di bagian atas peti yang bisa dibuka dan ditutup untuk pemberian pakan. Dilaporkan oleh Crockett et al. (2000) bahwa variasi ukuran kandang dapat menurunkan aktivitas Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina, tetapi tidak berpengaruh pada aktivitas fisiologis.

Pengangkutan

Semua pengangkutan hewan, termasuk pengangkutan secara intra institusional, sebaiknya direncanakan dengan meminimalkan waktu perjalanan dan resiko zoonosis, melindungi terhadap lingkungan ekstrim, menghindari kepadatan yang berlebihan, menyediakan makanan dan air yang cukup, dan melindungi luka fisik (ILAR 1996). MEP yang ditangkap dari habitatnya atau yang dipanen dari penangkaran, tiba di penampungan melalui pengangkutan darat dan terkadang menyeberangi lautan. Jarak yang ditempuh cukup jauh dan panjang, memakan waktu enam sampai 12 jam. Pengangkutan monyet dari tempat eksportir sampai ke lokasi konsumen, dapat menghabiskan waktu perjalanan sekitar 16 sampai 36 jam, tergantung negara yang dituju (Achmat dan Frankie 2000).

14 Untuk penanganan perdagangan satwa hidup, persyaratan pelaksanaannya telah ditetapkan oleh IATA, yang dibuat untuk keselamatan manusia dan satwa itu sendiri (Achmat dan Frankie 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa perjalanan eksportasi yang panjang, dapat menimbulkan ketidak-nyamanan satwa, sehingga satwa mengalami cekaman. Alat angkut, kandang, makanan dan air minum, berperan penting dalam proses pengangkutan (Achmat dan Frankie 2000).

Berdasarkan laporan Fortman et al. (1985), sebagian besar instansi di Amerika Serikat, mengangkut satwa primata dengan alat angkut yang dilengkapi dengan pengatur suhu dan kelembaban udara. Selama pengangkutan, monyet membutuhkan perlakuan khusus, misalnya dalam aspek kenyamanan kandang, ketersediaan makanan dan air minum (Mangapul 1988).

Selama pengangkutan, hewan melakukan urinasi dan defekasi lebih sering, terutama pada awal perjalanan sehingga mengalami penurunan bobot badan (Shorthose dan Wythes 1988). Lamanya waktu perjalanan menyebabkan penurunan bobot hidup (Fernandez et al. 1996). Angka kematian akibat pengangkutan mencapai sekitar 10 sampai 15%, karena kelelahan, tidak mau makan, penurunan kondisi kesehatan, dan cekaman (Soehartono dan Mardiastuti 2003).

Cekaman

Kondisi lingkungan yang tidak biasa dialami satwa, dapat menyebabkan terjadinya cekaman. Selye memformulasikan cekaman sebagai respon nonspesifik tubuh pada berbagai kebutuhan. Fowler (1994) mendefinisikan cekaman sebagai bentuk respon fisiologis dari tubuh sebagai proses penyesuaian diri terhadap perubahan yang disebabkan oleh lingkungan atau dari dalam tubuh.

Kaplan (1986) menyatakan bahwa cekaman sering diartikan sebagai tekanan terhadap sistem respon tubuh yang berusaha menjaga sistem internal tubuh agar tetap stabil. Rangsangan-rangsangan ini disebut penghasil cekaman (stressor), MC Farland (1999). Fowler (1994) mengklasikasikan penghasil cekaman yang meliputi somatik, psikologik, perilaku, dan lain-lain. Penghasil cekaman somatik meliputi: suara keras, cahaya dan warna mencolok, panas, dingin tekanan, efek

15 kimia dan obat, penghasil cekaman psikologik meliputi: perkelahian, teror, dan penghasil cekaman perilaku meliputi: populasi dalam kandang yang padat, teritori, dan hirarki.

Cekaman merupakan keadaan biologis, emosional, dan tingkah laku yang tidak spesifik (Smith dan French 1997). Lebih lanjut dinyatakan bahwa beberapa sumber utama penyebab cekaman adalah perubahan kehidupan, perkelahian, tekanan lingkungan, dan ketegangan dalam kandang. Anggorodi (1990), dan Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa cekaman mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat.

Cekaman diawali dengan adanya pengaruh luar terhadap suatu organisme. Rangsangan diserap oleh reseptor melalui sistem sensorik individu yang diinterpretasikan oleh sistem syaraf pusat sebagai awal respon terhadap rangsangan. Sinyal tersebut pada berbagai bagian datang dari hipotalamus dan hipofisa yang berpengaruh pada hampir semua perubahan dalam sifat, kesehatan dan metabolisme berada. Oleh sebab itu perilaku hewan yang mengalami cekaman ditandai dengan reaksi endokrin yang berada dalam kelenjar suprarenal. Laju sintesis hormonal dari medula-suprarenal, katekolamin (adrenalin arterenol) dan hormon-hormon dari korteks-suprarenal (gluko dan mineralkortikoid) meningkat oleh adanya cekaman (Gambar 2) (Gunther 1992).

Rangsangan

Adrenalin

ACTH

Sistim syaraf pusat

Hipotalamus

Anterior hipofisa

Korteks suprarenal

Medula suprarenal

16

Gambar 2. Mekanisme proses cekaman dalam tubuh (Selye 1957 dalam Gunther 1992)

Ketakutan dan kegelisahan merupakan respon penting yang bisa dirasakan oleh satwa melalui penglihatan, pendengaran, penciuman dan rasa (Fowler 1994). Adam et al. (1995) menyatakan bahwa reaksi tingkah laku yang paling umum dan nyata dari ketidak-nyamanan pada satwa adalah kegelisahan (anxiety).

Respon terhadap cekaman merupakan kombinasi dari reaksi psikologis dan emosi yang diakibatkan oleh penyebab cekaman. Berdasarkan responnya, cekaman dibagi dalam dua kategori yaitu cekaman psikologis dan cekaman fisik. Cekaman psikologis berpengaruh melalui sistim sensoris, seperti keadaan terkejut, kehilangan rangsangan, penolakan dan pertentangan. Cekaman fisik merupakan akibat langsung dari berbagai peristiwa trauma, seperti luka, infeksi atau kurungan (Hawari 2001). Lebih lanjut dinyatakan bahwa tanda -tanda cekaman dapat dilihat dan dirasakan secara fisik, antara lain 1) rambut berubah warna, kusam dan rontok, 2) pandangan mata mengabur, 3) telinga berdenging, 4) kemampuan berpikir menurun, 5)ekspresi wajah menegang, 6) mulut terasa kering, 7) kelembaban kulit berubah, 8) jantung berdebar-debar dan dilatasi, 9) kesemutan, 10) gangguan lambung, 11) sering buang air kecil, 12) otot terasa sakit, 13) kadar gula darah meningkat, dan 14) libido menurun.

Menurut Ewing et al. (1999), metode pengukuran cekaman antara lain: a) perubahan biokimia: glukosa darah, fungsi enzim, perubahan kadar dan jenis hormon, b) asam amino bebas, c) morfologi, d) fisiologi: reproduksi, pertumbuhan, regulasi osmotik, dan ekskresi nitrogen, dan e) tingkah laku: (orientasi, makan, dan respon menghindar).

Perubahan dalam metabolisme mineral, yang dirangsang oleh proses penyesuaian akibat adanya cekaman yang merangsang peningkatan jumlah katekolamin (adrenalin dan arterenol), yang dibentuk dalam medulla kelenjar suprarenal bersama dengan beberapa mineralokortikoid melibatkan beberapa mineral, khususnya Ca, Mg, K, Cl, dan Na. Saat peningkatan konsentrasi Ca, Na, dan Cl dalam cairan intestinal dan intraseluler, diikuti dengan penurunan konsentrasi Mg dan K yang berakibat meningkatnya reaksi hipersensivitas syaraf hewan (Gunther 1992).

17 Dalam keadaan cekaman, kadar Mg dalam jaringan tubuh menurun. Penurunan Mg intraselular akibat peningkatan kadar Na, menyebabkan perubahan struktural dalam membran sel-sel mitokondria yang berakibat pada pembatasan kemampuan meresap ke dalam produk-produk metabolik dari metabolisme sel (Gunther 1992). Hal ini menyebabkan gangguan berbagai proses respirasi dan produksi ATP. Mineral berfungsi untuk proses pertumbuhan, reproduksi dan untuk memelihara kesehatan, sedangkan mineral Mg berperan dalam kinerja sistem enzim-enzim, terutama dalam metabolisme karbohidrat dan transmisi syaraf otot (Piliang 2001).

Hewan yang mengalami cekaman akibat adanya tekanan lingkunganakan berusaha mempertahankan dan menjaga sistim internal tubuh agar stabil, dengan cara mengatur pola pemakaian energi untuk meredam pengaruh cekaman. Cekaman yang menyebabkan laju metabolisme meningkat, membutuhkan energi yang lebih dibandingkan dengan kondisi normalnya. Sibly dan Calow (1986) menyatakan bahwa cekaman meningkatkan kebutuhan hidup pokok. Pemenuhan kebutuhan energi diperoleh dari pakan yang dikonsumsi, tetapi apabila energi yang tersedia rendah, maka energi cadangan yang tersimpan dalam bentuk lemak tubuh digunakan. Hal inilah yang menyebabkan berkurangnya bobot badan MEP yang mengalami pengangkutan, terutama pada pengangkutan yang memakan waktu beberapa hari. Pengangkutan menyebabkan cekaman, dan cekaman membutuhkan energi yang lebih untuk proses fisiologis. Hewan yang mengalami cekaman, ditandai dengan respon kortisol yang meningkat seperti yang dinyatakan oleh Sutian (2005), bahwa kadar kortisol MEP meningkat selama pengangkutan

Dokumen terkait