KAJIAN BIOLOGIS MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) YANG MENGALAMI
PENGANGKUTAN DENGAN PEMBERIAN
PAKAN BERBEDA
DEYV PIJOH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
DEYV PIJOH. Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda. Dibimbing oleh Sri Supraptini Mansjoer, Wiranda G Piliang, dan Ikin Mansjoer.
Pengangkutan menyebabkan, terjadi perubahan lingkungan yang dapat memicu cekaman pada monyet, sehingga laju metabolisme tubuh meningkat. Peningkatan ini akan mengganggu aktivitas biologis dan fisiologis dalam tubuh monyet, bahkan bisa mengakibatkan kematian. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan penanganan yang tepat.
Penelitian ini berlangsung di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Kuningan dan dilakukan dalam dua tahapan; tahap pertama untuk lama pengangkutan delapan jam pada bulan September 2003 selama 26 hari, dan tahap kedua lama penga ngkutan 24 jam selama 28 hari. Masing-masing percobaan menggunakan 30 ekor monyet betina dewasa, berumur 4-5 tahun dengan bobot badan 2,5-3,5 kg. Peubah yang diamati meliputi melihat konsumsi total selama pengangkutan, penyerapan pakan, perubahan bobot badan, dan perubahan tingkah laku selama dan sesudah pengangkutan. Selama pengangkutan diberikan lima jenis pakan, sedangkan monyet yang diberikan pakan tertentu dikandangkan dalam kandang pengangkutan tidak berjendela dan berjendela untuk mengamati pengaruh jenis kandang terhadap tingkah laku. Dalam penelitian ini digunakan analisis statistik parametrik dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT), selain itu, dilakukan analisis nonparametrik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengangkutan mempengaruhi hampir semua perlakuan, keragaman pemberian pakan menyebabkan konsumsi dan penyerapan berbeda tetapi tidak perubahan bobot badan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa selama monyet ekor panjang dalam proses pengangkutan, pemberian pakan yang terbaik terdiri dari monkey chow ditambah n buah-buahan dan multivitamin melalui suntikan intramuskular. Penggunaan model kandang tidak berpengaruh dalam pengangkutan. Berdasarkan lama pemulihan tingkah laku ke tingkah laku sebelum pengangkutan, lama pengangkutan 24 ja m menyebabkan monyet ekor panjang mengalami cekaman lebih besar dibandingkan dengan lama pengangkutan delapan jam. Dianjurkan agar pakan selama pengangkutan sebaiknya pakan kaya protein (monkey chow)
ABSTRACT
DEYV PIJOH. Biological Study of Longtailed Macaques (Macaca fascicularis) Which Experience Transportation. Supervised by: Sri Supraptini Mansjoer, Wiranda G Pilliang, and Ikin Mansjoer.
During transportation of monkeys, environment conditions change, cause stress to the animals and consequently the rate of body metabolism increases. This condition influences the stability of biological and physiological activities of the animals, and could cause death.
It is therefore necessary to apply appropriate management during transportation of the monkeys. This study was conducted in Bogor and Kuningan counties in two periods, 26 days in September 2003 for transportation time of eight hours, and another 28 days in October – November 2003 for transportation time of 24 hours.
The transportation times were treatments applied in the experiment, in which 30 adult female monkeys of 2.5-3.5 kgs of weight were used for each treatment. In addition, five types of rations were given during transportation, and the monkeys were put in two types of individual cages, with and without windows, to observe the effect of open and closed cages. A complete randomized design, arranged factorially was used.
Total feed consumption, coefficient of digestibility, changes in body weight, and behaviour of animals during and after transportation were measured in this study.
The results of the study indicated that transportation caused changes in almost all aspects of the treatments but, there were no significant differences found due to the type of transportation cages used.
Based on the recovery times needed to get back to normal non-stressed behaviour, it was found that longer transportation periods (24 hours vs eight hours) needed longer recovery times.
KAJIAN BIOLOGIS MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) YANG MENGALAMI
PENGANGKUTAN DENGAN PEMBERIAN
PAKAN BERBEDA
DEYV PIJOH
Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Tesis : Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda
Nama : Deyv Pijoh
NRP : P057020021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Hj. Sri Supraptini Mansjoer Ketua
Prof Dr. Ir. Wiranda G Piliang MSc Anggota
drh. Ikin Mansjoer MSc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Hj. Sri Supraptini Mansjoer Prof Dr.Ir. Syafrida Manuwoto MSc
Kata Pengantar
Segala kemuliaan penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih
dan Pemurah, “karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-NYA
datang pengetahuan dan kepandaian “ atas berkat dan pertolongan-Nya sehingga
penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilakukan berjudul
Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda.
Tak ada kata yang dapat penulis sampaikan selain ucapan terima kasih
yang tulus dan penghargaan yang besar kepada guruku Dr. Ir. Sri Supraptini
Mansjoer selaku ketua komisi pembimbing, dan anggota Profesor Dr. Ir. Wiranda
G. Piliang MSc dan bapak drh. Ikin Mansjoer MSc yang telah rela meluangkan
waktu, mencurahkan tenaga dan pikiran, serta mengarahkan penulis semenjak
penyusunan proposal, penelitian sampai dengan penyusunan tesis ini. Terima
kasih disampaikan kepada, pimpinan SPs-IPB beserta staf pengajarnya yang telah
memberikan kesempatan penulis berbekal ilmu. Rasa terima kasih
sedalam-dalamnya disampaikan kepada Dr. drh. Joko Pamungkas MSc, Kepala Pusat dan
staf PSSP -LPPM IPB yang selama ini telah menerima penulis dalam proses
pembelajaran berlangsung.
Disampaikan terima kasih kepada bapak drh. I Nengah Budiarta direktur
PT Wanara Satwa Loka (WSL) dan karyawan, bapak Willem Manangsang
direktur PT Inquatex dan karyawan, serta bapak (alm) H Suparno pimpinan PT
Kuningan Primata Lestari (KPL) dan karyawan yang telah bersedia dijadikan
tempat penelitian. Terima kasih kepada mereka yang telah membantu secara
materiil dan spiritual penulis selama ini, mahasiswa PS Primatologi SPs IPB,
mahasiswa Sulut di Bogor khususnya asrama Bogor Baru II. Dengan segenap
persaudaraan yang indah, saya sampaikan terima kasih kepada Annas dan Anna,
mas Hery dan bu Esti sekeluarga, mas Saroyo, Ian, Irfan dan Firman, sobatku
Wawan Sutian yang telah berbagi suka dan duka selama penelitian.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada adik iparku Keluarga
Ngangi-Malonda, Keluarga Ngangi-Mawikere, dan Henny WH Ngangi. Dalam
Keluarga Pijoh-Hansang, Deane Maria Pijoh serta adikku Keluarga
Moningka-Pijoh. Kepada mertuaku Sus Miladeg Karamoy, dan MAMIE yang selalu
menyertai penulis dalam meraih cita-cita, terima kasih atas pengorbanannya.
Dengan segenap cinta yang dimiliki penulis persembahkan tesis ini kepada istriku
Rinny Lentji Ngangi, dan anakku Immanuella Tumatenden. Tuhan kiranya
memberkati kita semua Immanuel.
Semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dan
bermanfaat bagi mereka yang membacanya.
Bogor, November 2005
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka
bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2005
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Makassar Sulawesi Selatan pada tanggal 8 Desember
1960, anak ketiga dari empat bersaudara dari ayah Lodewijk Pijoh (almarhum)
dan Ibu Julianna Anatjee Mawikere. Pendidikan sarjana ditempuh di Universitas
Sam Ratulangi Fakultas Peternakan Jurusan Ilmu Produksi Ternak, lulus pada
tahun 1988. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan
Universitas Sam Ratulangi Manado sejak tahun 1988.
Penulis menikah dengan Rinny Lentji Ngangi pada tahun 1991, dari
Keluarga Ngangi-Karamoy dan dikaruniai dua orang putri bernama Linnon
Ratumbanua Febriany (almarhum) dan Immanuella Tumatenden
Pada tahun 2002, penulis diterima di Program Studi Primatologi Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Satwa primata merupakan satwa liar yang mempunyai sifat biologis,
anatomis dan fisiologis yang mendekati manusia, dan oleh sebab itu banyak
digunakan sebagai hewan model dalam percobaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya pengembangan bidang biologi dan kesehatan manusia.
Percobaan-percobaan yang menggunakan hewan model primata antara lain
penelitian untuk pengujian obat-obatan dan pembuatan vaksin, dan kemampuan
biologis kekebalan alami terhadap penyakit yang dimiliki. Satwa primata yang
dipakai sebagai hewan model antara lain monyet ekor panjang (MEP) (Macaca
fascicularis), oleh karena itu kebutuhan akan MEP dari tahun ke tahun semakin
bertambah sejalan dengan peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan yang ada.
Pasar komoditi MEP antara lain Amerika Serikat, Jepang dan beberapa
negara Eropa. Dilaporkan, negara Amerika Serikat saja membutuhkan lebih
kurang 15.000 ekor/tahun, dan kontribusi yang dapat dipenuhi oleh Indonesia
hanya sekitar 3.000 ekor (20%), padahal populasi di ne gara kita sangat melimpah
bahkan pada beberapa daerah keberadaannya ini merupakan hama bagi petani.
Dewasa ini Indonesia dihadapkan pada masalah penolakan untuk
pengangkutan satwa hidup oleh perusahan pengangkutan udara nasional dan
internasional karena te kanan LSM. Penolakan ini terjadi dengan alasan
pengelolaan atau penanganan yang kurang menjamin kesejahteraan dan
kenyamanan satwa selama perjalanan. Hal ini jelas sangat merugikan Indonesia
sebagai pengekspor satwa primata.
Selama ini dalamproses pengiriman monyet untuk sampai ketempat tujuan,
perusahaan eksportir tidak mempunyai prosedur operasi baku yang jelas mengenai
penanganan selama pengangkutan berlangsung, baik itu berupa pemberian pakan
maupun penggunaan kandang, sehigga para perusahaan melakuka nnya
berdasarkan pengalaman yang dimiliki, padahal kedua hal tersebut sangat
berpengaruh pada kenyamanan monyet. Kajian tentang kesejahteraan dan
kenyamanan dalam pelaksanaan pengangkutan MEP serta satwa primata lainnya
KAJIAN BIOLOGIS MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) YANG MENGALAMI
PENGANGKUTAN DENGAN PEMBERIAN
PAKAN BERBEDA
DEYV PIJOH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
DEYV PIJOH. Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda. Dibimbing oleh Sri Supraptini Mansjoer, Wiranda G Piliang, dan Ikin Mansjoer.
Pengangkutan menyebabkan, terjadi perubahan lingkungan yang dapat memicu cekaman pada monyet, sehingga laju metabolisme tubuh meningkat. Peningkatan ini akan mengganggu aktivitas biologis dan fisiologis dalam tubuh monyet, bahkan bisa mengakibatkan kematian. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan penanganan yang tepat.
Penelitian ini berlangsung di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Kuningan dan dilakukan dalam dua tahapan; tahap pertama untuk lama pengangkutan delapan jam pada bulan September 2003 selama 26 hari, dan tahap kedua lama penga ngkutan 24 jam selama 28 hari. Masing-masing percobaan menggunakan 30 ekor monyet betina dewasa, berumur 4-5 tahun dengan bobot badan 2,5-3,5 kg. Peubah yang diamati meliputi melihat konsumsi total selama pengangkutan, penyerapan pakan, perubahan bobot badan, dan perubahan tingkah laku selama dan sesudah pengangkutan. Selama pengangkutan diberikan lima jenis pakan, sedangkan monyet yang diberikan pakan tertentu dikandangkan dalam kandang pengangkutan tidak berjendela dan berjendela untuk mengamati pengaruh jenis kandang terhadap tingkah laku. Dalam penelitian ini digunakan analisis statistik parametrik dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT), selain itu, dilakukan analisis nonparametrik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengangkutan mempengaruhi hampir semua perlakuan, keragaman pemberian pakan menyebabkan konsumsi dan penyerapan berbeda tetapi tidak perubahan bobot badan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa selama monyet ekor panjang dalam proses pengangkutan, pemberian pakan yang terbaik terdiri dari monkey chow ditambah n buah-buahan dan multivitamin melalui suntikan intramuskular. Penggunaan model kandang tidak berpengaruh dalam pengangkutan. Berdasarkan lama pemulihan tingkah laku ke tingkah laku sebelum pengangkutan, lama pengangkutan 24 ja m menyebabkan monyet ekor panjang mengalami cekaman lebih besar dibandingkan dengan lama pengangkutan delapan jam. Dianjurkan agar pakan selama pengangkutan sebaiknya pakan kaya protein (monkey chow)
ABSTRACT
DEYV PIJOH. Biological Study of Longtailed Macaques (Macaca fascicularis) Which Experience Transportation. Supervised by: Sri Supraptini Mansjoer, Wiranda G Pilliang, and Ikin Mansjoer.
During transportation of monkeys, environment conditions change, cause stress to the animals and consequently the rate of body metabolism increases. This condition influences the stability of biological and physiological activities of the animals, and could cause death.
It is therefore necessary to apply appropriate management during transportation of the monkeys. This study was conducted in Bogor and Kuningan counties in two periods, 26 days in September 2003 for transportation time of eight hours, and another 28 days in October – November 2003 for transportation time of 24 hours.
The transportation times were treatments applied in the experiment, in which 30 adult female monkeys of 2.5-3.5 kgs of weight were used for each treatment. In addition, five types of rations were given during transportation, and the monkeys were put in two types of individual cages, with and without windows, to observe the effect of open and closed cages. A complete randomized design, arranged factorially was used.
Total feed consumption, coefficient of digestibility, changes in body weight, and behaviour of animals during and after transportation were measured in this study.
The results of the study indicated that transportation caused changes in almost all aspects of the treatments but, there were no significant differences found due to the type of transportation cages used.
Based on the recovery times needed to get back to normal non-stressed behaviour, it was found that longer transportation periods (24 hours vs eight hours) needed longer recovery times.
KAJIAN BIOLOGIS MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) YANG MENGALAMI
PENGANGKUTAN DENGAN PEMBERIAN
PAKAN BERBEDA
DEYV PIJOH
Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Tesis : Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda
Nama : Deyv Pijoh
NRP : P057020021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Hj. Sri Supraptini Mansjoer Ketua
Prof Dr. Ir. Wiranda G Piliang MSc Anggota
drh. Ikin Mansjoer MSc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Hj. Sri Supraptini Mansjoer Prof Dr.Ir. Syafrida Manuwoto MSc
Kata Pengantar
Segala kemuliaan penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih
dan Pemurah, “karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-NYA
datang pengetahuan dan kepandaian “ atas berkat dan pertolongan-Nya sehingga
penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilakukan berjudul
Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda.
Tak ada kata yang dapat penulis sampaikan selain ucapan terima kasih
yang tulus dan penghargaan yang besar kepada guruku Dr. Ir. Sri Supraptini
Mansjoer selaku ketua komisi pembimbing, dan anggota Profesor Dr. Ir. Wiranda
G. Piliang MSc dan bapak drh. Ikin Mansjoer MSc yang telah rela meluangkan
waktu, mencurahkan tenaga dan pikiran, serta mengarahkan penulis semenjak
penyusunan proposal, penelitian sampai dengan penyusunan tesis ini. Terima
kasih disampaikan kepada, pimpinan SPs-IPB beserta staf pengajarnya yang telah
memberikan kesempatan penulis berbekal ilmu. Rasa terima kasih
sedalam-dalamnya disampaikan kepada Dr. drh. Joko Pamungkas MSc, Kepala Pusat dan
staf PSSP -LPPM IPB yang selama ini telah menerima penulis dalam proses
pembelajaran berlangsung.
Disampaikan terima kasih kepada bapak drh. I Nengah Budiarta direktur
PT Wanara Satwa Loka (WSL) dan karyawan, bapak Willem Manangsang
direktur PT Inquatex dan karyawan, serta bapak (alm) H Suparno pimpinan PT
Kuningan Primata Lestari (KPL) dan karyawan yang telah bersedia dijadikan
tempat penelitian. Terima kasih kepada mereka yang telah membantu secara
materiil dan spiritual penulis selama ini, mahasiswa PS Primatologi SPs IPB,
mahasiswa Sulut di Bogor khususnya asrama Bogor Baru II. Dengan segenap
persaudaraan yang indah, saya sampaikan terima kasih kepada Annas dan Anna,
mas Hery dan bu Esti sekeluarga, mas Saroyo, Ian, Irfan dan Firman, sobatku
Wawan Sutian yang telah berbagi suka dan duka selama penelitian.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada adik iparku Keluarga
Ngangi-Malonda, Keluarga Ngangi-Mawikere, dan Henny WH Ngangi. Dalam
Keluarga Pijoh-Hansang, Deane Maria Pijoh serta adikku Keluarga
Moningka-Pijoh. Kepada mertuaku Sus Miladeg Karamoy, dan MAMIE yang selalu
menyertai penulis dalam meraih cita-cita, terima kasih atas pengorbanannya.
Dengan segenap cinta yang dimiliki penulis persembahkan tesis ini kepada istriku
Rinny Lentji Ngangi, dan anakku Immanuella Tumatenden. Tuhan kiranya
memberkati kita semua Immanuel.
Semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dan
bermanfaat bagi mereka yang membacanya.
Bogor, November 2005
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka
bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2005
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Makassar Sulawesi Selatan pada tanggal 8 Desember
1960, anak ketiga dari empat bersaudara dari ayah Lodewijk Pijoh (almarhum)
dan Ibu Julianna Anatjee Mawikere. Pendidikan sarjana ditempuh di Universitas
Sam Ratulangi Fakultas Peternakan Jurusan Ilmu Produksi Ternak, lulus pada
tahun 1988. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan
Universitas Sam Ratulangi Manado sejak tahun 1988.
Penulis menikah dengan Rinny Lentji Ngangi pada tahun 1991, dari
Keluarga Ngangi-Karamoy dan dikaruniai dua orang putri bernama Linnon
Ratumbanua Febriany (almarhum) dan Immanuella Tumatenden
Pada tahun 2002, penulis diterima di Program Studi Primatologi Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Satwa primata merupakan satwa liar yang mempunyai sifat biologis,
anatomis dan fisiologis yang mendekati manusia, dan oleh sebab itu banyak
digunakan sebagai hewan model dalam percobaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya pengembangan bidang biologi dan kesehatan manusia.
Percobaan-percobaan yang menggunakan hewan model primata antara lain
penelitian untuk pengujian obat-obatan dan pembuatan vaksin, dan kemampuan
biologis kekebalan alami terhadap penyakit yang dimiliki. Satwa primata yang
dipakai sebagai hewan model antara lain monyet ekor panjang (MEP) (Macaca
fascicularis), oleh karena itu kebutuhan akan MEP dari tahun ke tahun semakin
bertambah sejalan dengan peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan yang ada.
Pasar komoditi MEP antara lain Amerika Serikat, Jepang dan beberapa
negara Eropa. Dilaporkan, negara Amerika Serikat saja membutuhkan lebih
kurang 15.000 ekor/tahun, dan kontribusi yang dapat dipenuhi oleh Indonesia
hanya sekitar 3.000 ekor (20%), padahal populasi di ne gara kita sangat melimpah
bahkan pada beberapa daerah keberadaannya ini merupakan hama bagi petani.
Dewasa ini Indonesia dihadapkan pada masalah penolakan untuk
pengangkutan satwa hidup oleh perusahan pengangkutan udara nasional dan
internasional karena te kanan LSM. Penolakan ini terjadi dengan alasan
pengelolaan atau penanganan yang kurang menjamin kesejahteraan dan
kenyamanan satwa selama perjalanan. Hal ini jelas sangat merugikan Indonesia
sebagai pengekspor satwa primata.
Selama ini dalamproses pengiriman monyet untuk sampai ketempat tujuan,
perusahaan eksportir tidak mempunyai prosedur operasi baku yang jelas mengenai
penanganan selama pengangkutan berlangsung, baik itu berupa pemberian pakan
maupun penggunaan kandang, sehigga para perusahaan melakuka nnya
berdasarkan pengalaman yang dimiliki, padahal kedua hal tersebut sangat
berpengaruh pada kenyamanan monyet. Kajian tentang kesejahteraan dan
kenyamanan dalam pelaksanaan pengangkutan MEP serta satwa primata lainnya
2 sehingga perlu dilakukan penelitian. Mengacu pada kenyataan tersebut, maka
telah dilakukan penelitian untuk mendapatkan informasi pengaruh pengangkutan
dengan berbagai pakan yang diberi dan bentuk kandang berbeda terhadap
beberapa aspek biologis dan tingkah laku MEP.
Dasar Pemikiran
Perubahan lingkungan sangat mudah terjadi, hal ini sangat mengganggu
kehidupan organisme, sehingga organisme harus melakukan adaptasi untuk
menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang ada. Organisme
mempunyai batas toleransi menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan
sekitarnya, dan ketidak-mampuan mentolerir perubahan lingkungan menyebabkan
terjadinya cekaman, yang dapat diketahui melalui aktivitas biologis dan fisiologis
yang menyimpang dari biasanya.
Untuk memenuhi materi penelitian yang menggunakan hewan model MEP
yang dilakukan negara maju, maka dilakukan proses eksportasi. Salah satu faktor
yang penting dalam eksportasi adalah pengangkutan, terlebih pengangkutan satwa
hidup seperti monyet yang sangat rumit, sehingga perlu penanganan yang tepat
agar supaya tidak mengakibatkan kerugian.
Penanganan pengangkutan selama pengiriman monyet meliputi: persiapan
sebelum pengangkutan, pelaksanaan pengangkutan, dan penanganan sesuda h
pengangkutan. Persiapan sebelum pengangkutan dimulai dari monyet
dikarantinakan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan dan kebugaran.
Selain itu dalam periode karantina dilaksanakan proses penyesuaian diri satwa
terhadap kondisi pengangkutan berupa penggunaan kandang individu yang
berukuran lebih sempit, cara pemberian pakan yang khusus untuk pengangkutan,
serta penggunaan peralatan lain seperti tempat minum.
Pada pengangkutan monyet terjadi perubahan lingkungan, dan setiap
perubahan lingkungan dapat memicu terjadinya cekaman. Gejala -gejala yang
dapat dilihat akibat cekaman antara lain kelelahan, kondisi fisik menurun, proses
metabolisme terganggu, penurunan agresivitas, ketakutan, kegelisahan, depresi,
3 menggambarkan suatu interaksi antara reaksi tubuh dengan lingkungannya,
sehingga dapat dijadikan indikator reaksi tubuh terhadap kondisi lingkungannya.
MEP dalam pengangkutan, akan mengalami cekaman, sehingga diperlukan
penanganan yang tepat agar supaya monyet dapat bertahan lebih baik, bahkan
kalau bisa dapat meminimalkan cekaman yang terjadi. Cekaman yang terjadi
selama pengangkutan menyebabkan adanya gangguan fisiologis dan perubahan
aktivitas fisik. Untuk melakukan aktivitas fisik ini, monyet membutuhkan zat-zat
nutrisi yang terkandung dalam pakan, sehigga perlu upaya yang tepat untuk
pemenuhan zat nutrisi dengan pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan
monyet selama pengangkutan.
Kebutuhan zat makanan yang penting untuk aktivitas tubuh antara lain
energi. Pada monyet yang mengalami cekaman, kebutuhan energi untuk hidup
pokok meningkat sejalan dengan peningkatan laju metabolisme yang terjadi.
Peningkatan energi dapat terpenuhi oleh pemberian pakan yang kaya sumber
ene rgi, akan tetapi untuk metabolisme energi tersebut dibutuhkan proses yang
cukup panjang. Untuk mengatasi kondisi ini, dapat dilakukan dengan penambahan
energi siap pakai secara langsung. Cekaman juga dapat mengakibatkan reaksi fisik
yang tidak terkendalika n, dapat memberikan efek merusak pada diri sendiri. Pada
kondisi tersebut diperlukan pemberian obat penenang (tranquiliser).
Penggunaan kandang dalam pengangkutan yang dilakukan selama ini
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi monyet, karena
keterbatasannya bergerak pada kandang pengangkutan yang sempit. Oleh sebab
itu perlu diberikan bentuk kandang yang dapat mengurangi dampak negatifnya.
Tujuan
Untuk mengetahui kondisi biologis MEP (konsumsi dan kecernaan semu
zat-zat makanan, bobot badan serta tingkah laku) yang mengalami pengangkutan
dengan pemberian pakan berbeda, dan dengan penggunaan model kandang angkut
4
Manfaat
1. Memperoleh jenis pakan yang sesuai selama pengangkutan MEP
2. Mendapatkan model kandang yang paling cocok untuk pengangkutan MEP.
3. Mendapatkan informasi derajat cekaman akibat pengangkutan MEP.
Hipotesis
1. Perbedaan pemberian pakan selama pengangkutan mempengaruhi konsumsi
dan kecernaan semu zat-zat makanan, bobot badan serta tingkah laku MEP.
2. Penggunaan model kandang yang berbeda untuk pengangkutan
mempengaruhi konsumsi dan kecernaan semu zat-zat makanan, bobot badan,
serta tingkah laku MEP selama pengangkutan.
TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman satwa, termasuk
spesies primata. Terdapat enam famili dari sebelas famili yang ada di dunia
(MacKinnon 1986). Salah satu jenis satwa primata tersebut adalah monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis) dari genus Macaca, famili Cercopithecidae
(Bramblett 1994). Sajuthi et al. (1993) menyatakan Indonesia memiliki beberapa
satwa primata genus Presbytes dan Macaca seperti beruk (Macaca nemestrina),
dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Achmat dan Frankie (2000) menyatakan bahwa pada 150 tahun SM, satwa
primata telah dijadikan objek penelitian oleh Galen, sedangkan pada abad ke 19
monyet Rhesus (Macaca mulatta) telah digunakan dalam penelitian kedokteran
dan kimia. Dalam perkembangan selanjutnya, manusia mulai mengganti monyet
Rhesus ini dengan jenis monyet lainnya, seperti monyet ekor panjang. Bennett et
al. (1995) menyatakan bahwa nilai ilmiah satwa primata untuk penelitian
biomedis adalah persamaan ciri anatomi dan fisiologis karena kedekatan
hubungan filogenetik. Selanjutnya Sajuthi et al. (1997) menyatakan bahwa satwa
primata banyak digunakan sebagai hewan model dalam penelitian biomedis
maupun pengujian obat-obatan
Untuk kebutuhan hewan model dalam penelitian-penelitian yang dilakukan
oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang atau negara-negara Eropa, yang
sangat minim sumber daya satwa primatanya, maka negara kita yang berlimpah,
bahkan merupakan hama bagi petani, dapat melakukan pemenuhan kebutuhan
hewan model tersebut. Sejak tahun 1965, negara kita telah menjadikan satwa
primata sebagai komoditi dagang (Achmat dan Frankie 2000).
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
Napier dan Napier (1985) menyatakan bahwa Macaca fascicularis
mempunyai beberapa nama umum antara lain longtailed macaque, crab-eating
macaques yang terdiri dari 21 sub spesies, dan 10 sub spesies diantaranya terdapat
di Indonesia. Sub spesies Macaca fascicularis yang ada di Indonesia adalah(1)
6 Kalimantan dan Karimata, (2) M. f. lasiae di Pulau Lasia, (3) M. f. paeura di
Pulau Nias, (4) M. f. fusca di Pulau Simaluan, (5) M. f. mordax di Pulau Jawa dan
Bali, (6) M. f.cupidae di Pulau Mastasiri, (7) M. f. baweana di Pulau Bawean, (8)
M. f. tua di Pulau Maratua, (9) M. f. limitis di Pulau Timor dan (10) M. f.
sublimitis di kepulauan Sumbawa. Menurut Lekagul dan McNeely (1977),
taksonomi MEP (Macaca fascicularis) diklasifikasikan sebagai berikut: filum:
Chordata, sub-filum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Primata, sub-ordo
Anthropoidae, famili Cercopithecidae, sub-famili Cercopithecinae, genus Macaca,
dan spesies Macaca fascicularis
Gambar 1. Monyet ekor panjang
Monyet ekor panjang (MEP) dapat ditemukan di seluruh Asia Tenggara dari
Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia, Philipina, sampai ke
Indonesia (Napier dan Napier 1985). Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), di
Indonesia MEP terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Kepulauan Nusa
Tenggara dan pulau-pulau sekitarnya.
MEP termasuk salah satu spesies yang dapat beradaptasi dengan sangat baik
pada lingkungan dan iklim yang berbeda, sehingga selain pada habitatnya, ia juga
7 Menurut Bismark (1984), MEP dapat dijumpai pada daerah yang berair, misalnya
pada pinggiran aliran sungai, danau dan hutan bakau.
Morfologi
MEP merupakan satwa primata yang dalam aktivitas kesehariannya
menggunakan kaki depan dan belakang dalam berbagai variasi untuk jalan dan
berlari (quadrupedalism), memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang badan
dan kepala, juga memiliki bantalan untuk duduk (ischial callosity), serta memiliki
kantong makanan pada pipi (cheek pouches) (Napier dan Napier 1985). Lebih
lanjut dinyatakan bahwasecara umum warna rambut agak kecoklatan sampai
abu-abu, pada bagian punggung lebih gelap dibandingkan dengan bagian perut dan
dada, rambut kepala pendek tertarik ke belakang dahi, rambut sekeliling wajahnya
berbentuk jambang yang lebat serta ekor tertutup rambut halus.
Panjang badan dan kepala 480-550 mm, bobot badan 3,6-6,5 kg dengan
panjang ekor 80-110% dari panjang badan (Lekagul dan McNeely 1977). Panjang
badan dan kepala antara 350-455 mm, sedangkan panjang ekor antara 400-565
mm (Medway 1978). Panjang tubuh termasuk kepala jantan 412-648 mm dan
betina 258-503 mm, bobot badan jantan 4,7-8,3 kg, sedangkan betina 2,5-5,7 kg,
serta mempunyai panjang ekor pada jantan berkisar antara 435-655 mm dan pada
betina berkisar antara 400-550 mm (Rowe 1996). Lebih lanjut Lekagul dan
McNeely (1977) menyatakan bahwa ekornya menyerupai silinder yang berotot
yang ditutupi oleh rambut pendek dan mempunyai perbedaan karakter yang jelas
antara jantan dan betina.
Pakan
MEP termasuk satwa omnivora (pemakan apa saja) (Lekagul dan Mc Neely
1977). Lindburg (1980) menyatakan bahwa selain memakan buah-buahan, MEP
juga memakan serangga, rumput, jamur, moluska, akar umbi, dan telur burung.
Jenis makanan yang dikonsumsi antara lain: bua h-buahan, akar-akaran,
daun-daunan, serangga, hasil pertanian dan moluska (Napier dan Napier 1985).
Pakan utama MEP terdiri dari buah-buahan (60-90%) (Clutton 1977).
buah-8 buahan 62%, daun-daun muda 2%, dan serangga serta binantang kecil lainnya 2%.
Berdasarkan hasil penelitian Soegiharto (1992), dinyatakan bahwa komposisi
bagian tumbuhan yang dimakan terdiri dari bagian daun 49,93%, buah 38,54%,
bunga 6,60% dan lain-lain sebanyak 4,93%. Sedangkan Julliot (1996) menyatakan
66,7% buah-buahan, dedaunan 17,2%, bunga 8,9%, insekta 4,1%, dan lain-lain
3,2%.
Komposisi pakan alami MEP terdiri dari: dedaunan yang banyak
mengandung selulosa, buah-buahan, dan biji-bijian yang banyak mengandung
lipid. Kebutuhan akan zat makanan tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan zat-zat makanan monyet
Zat Makanan Kadar
Fiennes (1976) menyatakan bahwa pemberian pakan untuk monyet yang
dipelihara dalam penangkaran, sebaiknya terdiri dari: buah-buahan, umbi-umbian,
daun muda, dan biji-bijian. Lebih lanjut Hume (1995) menyatakan bahwa pakan
monyet dalam penangkaran terdiri dari air, protein, energi, lemak, mineral, dan
vitamin. Berdasarkan Edwards (1997), untuk semua primata yang tertangkap
harus diberikan makanan kering yang seimbang sebagai makanan utama dengan
penambahan buah-buahan atau sayuran sampai 50% dengan pertimbangan
kandungan nutrisi yang kaya dan kandungan air yang mencapai 88-94%.
Untuk memenuhi kebutuhan zat nutrisi monyet dalam kandang, dapat
diberikan pakan dasar berbentuk pelet berprotein tinggi, dan penambahan
buah-buahan dan vitamin B Kompleks (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Vitamin
adalah bahan kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi penting dan
tidak dapat disintesa oleh jaringan tubuh. Semua vitamin esensial untuk
9 dalam air berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme energi, dan protein, atau
sebagai komponen struktural. Vitamin B12 merupakan salah satu vitamin yang
larut dalam air yang tidak didapatkan pada pakan bersumber dari
tumbuh-tumbuhan, oleh sebab itu penambahan vitamin B12 perlu diberikan pada saat
pengangkutan monyet yang diberi pakan buah-buahan. Agar penyerapan vitamin
B12 terjadi secara efisien dapat dilakukan melalui suntikan dengan kemungkinan
pemberian 1-5 mg untuk memperbaiki keadaan penderitaan kelelahan (Linder
1985). Kecukupan vitamin B12 untuk nonhuman primates sebesar 0,03 mg/kg
BB menurut NRC (2003).
Konsumsi. Sutardi (1980) menyatakan bahwa kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup dan kebutuhan produksi,
mencakup pertumbuhan dan reproduksi. Konsumsi adalah faktor penting yang
merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Parakkasi 1999). Church
dan Pond (1982) menyata kan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh bobot
badan, individu satwa, jenis pakan dan faktor lingkungan. North (1984)
menyatakan bahwa, jumlah pakan yang dikonsumsi tergantung pada bobot badan,
bangsa, aktivitas, cekaman dan kandungan energi pakan serta lingkungan.
Wiseman dan Cole (1990) menyatakan bahwa, konsumsi pakan MEP, dipengaruhi
oleh palatabilitas, ukuran, tekstur, konsistensi pakan dan suhu lingkungan.
Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa hewan mengkonsumsi untuk
pemenuhan kebutuhan energi, jika energi sudah terpenuhi maka hewan
menghentikan konsumsinya. Lebih lanjut Anggorodi (1995) menyatakan bahwa
tingkat energi dalam pakan akan mempengaruhi banyaknya pakan yang
dikonsumsi.
Kecernaan Zat-zat Makanan. Kecernaan suatu zat makanan adalah selisih antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang masih
tersisa dalam kotoran padat (Lubis 1963). Sutardi (1980) menyatakan bahwa
pencernaan adalah proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan pakan
dalam alat pencernaan. Lebih lanjut Tillman et al. (1986), menyatakan bahwa
10 zat-zat makanan yang siap untuk diserap saluran pencernaan. Kecernaan zat-zat
makanan menurut Parakkasi (1999) ada dua macam yait u zat-zat makan tercerna
sesungguhnya (true digestibility) dan zat-zat makanan tercerna semu (apparent
digestibility).
McDonald et al. (1988) menyatakan bahwa faktor -faktor yang
mempengaruhi kecernaan adalah: komposisi makanan, faktor ternak, dan faktor
pemberian makanan. Cheeke (1987) menyatakan bahwa semakin tinggi kadar
serat kasar pakan, maka laju pergerakan makanan dalam sekum semakin cepat
sehingga dapat diperkirakan koefisien cerna zat-zat makanan akan semakin
rendah. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kecernaan yang rendah akan
mengurangi konsumsi. Lebih lanjut Anggorodi (1990), mengemukakan bahwa,
semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan, semakin
tebal dan semakin tahan dinding sel-nya, mengakibatkan semakin rendah
kecernaan bahan makanan tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
daya cerna pakan yaitu suhu, laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan,
bentuk fisik bahan pakan, dan komposisi zat-zat yang terkandung (Anggorodi
1995).
Pengaruh Pakan Terhadap Bobot Badan. Bobot badan merupakan salah satu
indikator yang digunakan untuk mengevaluasi respon hewan terhadap
bermacam-macam makanan, lingkungan, dan tatalaksana penanganan (Hafez dan Dyer
1969). Cekaman dapat menyebabkan kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok
meningkat, yaitu dengan meningkatnya kebutuhan energi metabolisme
(Anggorodi 1995). Selanjutnya dinyatakan bahwa pertambahan bobot badan tidak
hanya dipengaruhi konsumsi pakan saja, tetapi juga dipengaruhi faktor-faktor lain
seperti kemampuan cerna pakan, aktivitas fisik, genetik, dan komposisi pakan.
North (1984) menyatakan bahwa selain faktor-faktor diatas, jenis kelamin, jumlah
konsumsi, dan suhu mempengaruhi pertambahan bobot badan. Ensminger et al.
(1990) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh umur, jenis
11
Tingkah Laku
MEP mempunyai aktivitas pada siang hari. Lindburg (1980)
mengklasifikasikan aktivitas harian monyet sebagai berikut:1) makan: aktivitas
yang meliputi proses pengumpulan pakan sampai mengunyah dan dilakukan pada
pohon yang sama; 2) mencari makan: aktivitas yang meliputi pergerakan di antara
sumber makanan, biasanya di antara pohon; 3) istirahat: tidak melakukan aktivitas
apapun, hanya diam atau tiduran, 4) berkelahi: aktivitas ini ditandai dengan
ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang, memburu dan baku
hantam; 5) merawat diri: aktivitas mencari kotoran dari tubuh sendiri maupun dari
tubuh individu lain yang sejenis; 6) kawin: hubungan seksual yang dimulai dari
pengejaran terhadap betina dan diakhiri dengan turunnya pejantan dari betina
setelah kopulasi; dan 7) bermain: aktivitas bermain antar individu, terutama anak
monyet. Bila orang yang memberi perlakuan menatap lama pada seekor monyet,
maka monyet tersebut akan merasa terancam karena merasa orang tersebut akan
menyerangnya, sehingga monyet akan memberi respon dengan cara balas menatap
dengan mulut tebuka dan dengkuran, kemudian menyerang sambil berteriak,
memukul dan menggigit, atau kemungkinan lainnya mereka menunjukkan reaksi
patuh dengan tidak melihat, menghindar, atau meringis ketakutan, Vandenberg
(2000).
Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku makan masih belum banyak
dipelajari. rasa lapar menunjukkan perilaku selera yang kemudian dilanjutkan
dengan mencari objek terte ntu dan bila ditemukan, maka perilaku akan berganti
menjadi perilaku konsumtif atau ingin memiliki dengan segera. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Stellar (1954) dalam Wood-Gush
(1983), menyatakan bahwa ada pusat rasa lapar yang berada pada sisi
hypothalamus dan ada juga sebuah pusat rasa kenyang yang berada pada
ventro-medial hypothalamus. Pusat-pusat tersebut dipicu oleh perubahan yang terjadi
dalam darah (Brobeck, 1957 dalam Wood-Gush 1983). Ada tiga hal yang
mungkin memicu hal tersebut yaitu: 1) perubahan/menurunnya tingkat kandungan
glukosa darah yang diduga akan memicu pusat rasa lapar, tetapi sebaliknya bila
kandungan meningkat akan memicu rasa kenyang, 2) pengaruh yang sama juga
12
hypothalamus memicu hal yang sama (Bray, 1976 dalam Wood-Gush 1983).
Mas’ud (1999), menyatakan bahwa ada peningkatan gula darah ternak sapi selama
dilakukan pengangkutan.
Tingkat agresivitas hewan akibat adanya rangsangan dari luar (eksternal),
juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam (endogenus) terutama mekanisme
hormon, seperti testosteron yang meningkatkan agresivitas pada tikus, progesteron
yang berpengaruh terhadap agresivitas hamster betina, dan pada hewan yang
sedang menyusui biasanya lebih agresif dibandingkan dengan hewan betina
dewasa lainnya karena pengaruh mekanisme hormon prolaktin yang sedang
tinggi, LH pada burung afrika quelea dan gonadotropin dalam hubungannya
dengan jarak antar individu. Diduga bahwa ACTH pada level tinggi dapat
menurunkan agresivitas, sedangkan pada tingkat rendah dapat meningkatkan
agresivitas. Tinggi rendahnya derajat ACTH berhubungan dengan naik turunnya
tingkat cekaman (Wood-Gush 1983).
Kaplan (1986) menyatakan bahwa tingkah laku stereotip MEP dalam
kandang dapat mengakibatkan perusakan diri sendiri. Tingkah laku monyet dalam
kandang yang mengarah ke ketidak-biasaan mencakup pergerakan hiper -aktif
dalam kurungan, kerumunan, ketakutan yang berlebihan, membentuk tingkah laku
yang berganti-ganti secara berulang dan secara ekstrim dapat berbentuk perusakan
diri sendiri (Bramblett 1994). Lebih lanjut dikatakan bahwa pemulihan kondisi
dari keadaan tidak-normal yang ada menunjukkan perbaikan secara substansial
terhadap ketertekanan yang dialami seperti rasa tidak takut yang berlebihan dan
agresi yang nampak serta hilangnya tingkah laku yang berulang-ulang.
Perkandangan
Perkandangan merupakan bagian yang penting dalam pemeliharaan satwa
primata. Hal ini disebabkan primata mudah menularkan penyakit kepada manusia
dan sebaliknya (Sajuthi et al. 1997). Menurut Bennett et al. (1995) dasar disain
kandang monyet harus mempertimbangkan berbagai faktor: 1) dapat memberikan
kenyamanan fisik monyet yang berada di kandang, 2) harus selaras dengan
13 menjaga kesehatan dan pemeliharaan yang sesuai, 4) kandang harus sesuai dengan
maksud pemeliharaan dan perawatan yang mudah, 5) memenuhi persyaratan yang
ditetapkan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kriteria disain suatu kandang harus
mempertimbangkan spesifikasi; 1) spesies, 2) sistim pendukung kandang, 3)
koleksi kotoran, 4) pemberian minum, 5) pemberian makanan dan 6)
perlengkapan kandang.
Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyelaskan bahwa pada hari dilakukan
pengiriman ke luar negeri, monyet dimasukkan ke dalam peti kayu yang panjang
dan disekat menjadi lima kotak, masing-masing petak diisi oleh seekor monyet.
Ukuran kotak tergantung ukuran tubuh monyet yang akan diangkut, (60x30x60
cm). Lebih lanjut dijelaskan, pada bagian dasar, peti kayu dilengkapi dengan
dengan baki yang dapat digeser keluar. Baki dialasi koran dengan serbuk gergaji
untuk menampung kotoran. Setiap kotak dilengkapi dengan wadah tempat air
minum. Di bagian depan atas peti terdapa t lubang ventilasi dengan dilapisi kawat
kasa, disediakan juga lubang di bagian atas peti yang bisa dibuka dan ditutup
untuk pemberian pakan. Dilaporkan oleh Crockett et al. (2000) bahwa variasi
ukuran kandang dapat menurunkan aktivitas Macaca fascicularis dan Macaca
nemestrina, tetapi tidak berpengaruh pada aktivitas fisiologis.
Pengangkutan
Semua pengangkutan hewan, termasuk pengangkutan secara intra
institusional, sebaiknya direncanakan dengan meminimalkan waktu perjalanan
dan resiko zoonosis, melindungi terhadap lingkungan ekstrim, menghindari
kepadatan yang berlebihan, menyediakan makanan dan air yang cukup, dan
melindungi luka fisik (ILAR 1996). MEP yang ditangkap dari habitatnya atau
yang dipanen dari penangkaran, tiba di penampungan melalui pengangkutan darat
dan terkadang menyeberangi lautan. Jarak yang ditempuh cukup jauh dan
panjang, memakan waktu enam sampai 12 jam. Pengangkutan monyet dari
tempat eksportir sampai ke lokasi konsumen, dapat menghabiskan waktu
perjalanan sekitar 16 sampai 36 jam, tergantung negara yang dituju (Achmat dan
14 Untuk penanganan perdagangan satwa hidup, persyaratan pelaksanaannya
telah ditetapkan oleh IATA, yang dibuat untuk keselamatan manusia dan satwa itu
sendiri (Achmat dan Frankie 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa perjalanan
eksportasi yang panjang, dapat menimbulkan ketidak-nyamanan satwa, sehingga
satwa mengalami cekaman. Alat angkut, kandang, makanan dan air minum,
berperan penting dalam proses pengangkutan (Achmat dan Frankie 2000).
Berdasarkan laporan Fortman et al. (1985), sebagian besar instansi di
Amerika Serikat, mengangkut satwa primata dengan alat angkut yang dilengkapi
dengan pengatur suhu dan kelembaban udara. Selama pengangkutan, monyet
membutuhkan perlakuan khusus, misalnya dalam aspek kenyamanan kandang,
ketersediaan makanan dan air minum (Mangapul 1988).
Selama pengangkutan, hewan melakukan urinasi dan defekasi lebih sering,
terutama pada awal perjalanan sehingga mengalami penurunan bobot badan
(Shorthose dan Wythes 1988). Lamanya waktu perjalanan menyebabkan
penurunan bobot hidup (Fernandez et al. 1996). Angka kematian akibat
pengangkutan mencapai sekitar 10 sampai 15%, karena kelelahan, tidak mau
makan, penurunan kondisi kesehatan, dan cekaman (Soehartono dan Mardiastuti
2003).
Cekaman
Kondisi lingkungan yang tidak biasa dialami satwa, dapat menyebabkan
terjadinya cekaman. Selye memformulasikan cekaman sebagai respon nonspesifik
tubuh pada berbagai kebutuhan. Fowler (1994) mendefinisikan cekaman sebagai
bentuk respon fisiologis dari tubuh sebagai proses penyesuaian diri terhadap
perubahan yang disebabkan oleh lingkungan atau dari dalam tubuh.
Kaplan (1986) menyatakan bahwa cekaman sering diartikan sebagai tekanan
terhadap sistem respon tubuh yang berusaha menjaga sistem internal tubuh agar
tetap stabil. Rangsangan-rangsangan ini disebut penghasil cekaman (stressor), MC
Farland (1999). Fowler (1994) mengklasikasikan penghasil cekaman yang
meliputi somatik, psikologik, perilaku, dan lain-lain. Penghasil cekaman somatik
15 kimia dan obat, penghasil cekaman psikologik meliputi: perkelahian, teror, dan
penghasil cekaman perilaku meliputi: populasi dalam kandang yang padat,
teritori, dan hirarki.
Cekaman merupakan keadaan biologis, emosional, dan tingkah laku yang
tidak spesifik (Smith dan French 1997). Lebih lanjut dinyatakan bahwa beberapa
sumber utama penyebab cekaman adalah perubahan kehidupan, perkelahian,
tekanan lingkungan, dan ketegangan dalam kandang. Anggorodi (1990), dan
Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa cekaman mengakibatkan kebutuhan
nutrisi meningkat.
Cekaman diawali dengan adanya pengaruh luar terhadap suatu organisme.
Rangsangan diserap oleh reseptor melalui sistem sensorik individu yang
diinterpretasikan oleh sistem syaraf pusat sebagai awal respon terhadap
rangsangan. Sinyal tersebut pada berbagai bagian datang dari hipotalamus dan
hipofisa yang berpengaruh pada hampir semua perubahan dalam sifat, kesehatan
dan metabolisme berada. Oleh sebab itu perilaku hewan yang mengalami
cekaman ditandai dengan reaksi endokrin yang berada dalam kelenjar suprarenal.
Laju sintesis hormonal dari medula-suprarenal, katekolamin (adrenalin arterenol)
dan hormon-hormon dari korteks-suprarenal (gluko dan mineralkortikoid)
meningkat oleh adanya cekaman (Gambar 2) (Gunther 1992).
Rangsangan
Adrenalin
ACTH
Sistim syaraf pusat
Hipotalamus
Anterior hipofisa
Korteks suprarenal
16
Gambar 2. Mekanisme proses cekaman dalam tubuh (Selye 1957 dalam Gunther 1992)
Ketakutan dan kegelisahan merupakan respon penting yang bisa dirasakan
oleh satwa melalui penglihatan, pendengaran, penciuman dan rasa (Fowler 1994).
Adam et al. (1995) menyatakan bahwa reaksi tingkah laku yang paling umum dan
nyata dari ketidak-nyamanan pada satwa adalah kegelisahan (anxiety).
Respon terhadap cekaman merupakan kombinasi dari reaksi psikologis dan
emosi yang diakibatkan oleh penyebab cekaman. Berdasarkan responnya,
cekaman dibagi dalam dua kategori yaitu cekaman psikologis dan cekaman fisik.
Cekaman psikologis berpengaruh melalui sistim sensoris, seperti keadaan terkejut,
kehilangan rangsangan, penolakan dan pertentangan. Cekaman fisik merupakan
akibat langsung dari berbagai peristiwa trauma, seperti luka, infeksi atau kurungan
(Hawari 2001). Lebih lanjut dinyatakan bahwa tanda -tanda cekaman dapat dilihat
dan dirasakan secara fisik, antara lain 1) rambut berubah warna, kusam dan
rontok, 2) pandangan mata mengabur, 3) telinga berdenging, 4) kemampuan
berpikir menurun, 5)ekspresi wajah menegang, 6) mulut terasa kering, 7)
kelembaban kulit berubah, 8) jantung berdebar-debar dan dilatasi, 9) kesemutan,
10) gangguan lambung, 11) sering buang air kecil, 12) otot terasa sakit, 13) kadar
gula darah meningkat, dan 14) libido menurun.
Menurut Ewing et al. (1999), metode pengukuran cekaman antara lain: a)
perubahan biokimia: glukosa darah, fungsi enzim, perubahan kadar dan jenis
hormon, b) asam amino bebas, c) morfologi, d) fisiologi: reproduksi,
pertumbuhan, regulasi osmotik, dan ekskresi nitrogen, dan e) tingkah laku:
(orientasi, makan, dan respon menghindar).
Perubahan dalam metabolisme mineral, yang dirangsang oleh proses
penyesuaian akibat adanya cekaman yang merangsang peningkatan jumlah
katekolamin (adrenalin dan arterenol), yang dibentuk dalam medulla kelenjar
suprarenal bersama dengan beberapa mineralokortikoid melibatkan beberapa
mineral, khususnya Ca, Mg, K, Cl, dan Na. Saat peningkatan konsentrasi Ca, Na,
dan Cl dalam cairan intestinal dan intraseluler, diikuti dengan penurunan
konsentrasi Mg dan K yang berakibat meningkatnya reaksi hipersensivitas syaraf
17 Dalam keadaan cekaman, kadar Mg dalam jaringan tubuh menurun.
Penurunan Mg intraselular akibat peningkatan kadar Na, menyebabkan perubahan
struktural dalam membran sel-sel mitokondria yang berakibat pada pembatasan
kemampuan meresap ke dalam produk-produk metabolik dari metabolisme sel
(Gunther 1992). Hal ini menyebabkan gangguan berbagai proses respirasi dan
produksi ATP. Mineral berfungsi untuk proses pertumbuhan, reproduksi dan untuk memelihara kesehatan, sedangkan mineral Mg berperan dalam kinerja
sistem enzim-enzim, terutama dalam metabolisme karbohidrat dan transmisi
syaraf otot (Piliang 2001).
Hewan yang mengalami cekaman akibat adanya tekanan lingkunganakan
berusaha mempertahankan dan menjaga sistim internal tubuh agar stabil, dengan
cara mengatur pola pemakaian energi untuk meredam pengaruh cekaman.
Cekaman yang menyebabkan laju metabolisme meningkat, membutuhkan energi
yang lebih dibandingkan dengan kondisi normalnya. Sibly dan Calow (1986)
menyatakan bahwa cekaman meningkatkan kebutuhan hidup pokok. Pemenuhan
kebutuhan energi diperoleh dari pakan yang dikonsumsi, tetapi apabila energi
yang tersedia rendah, maka energi cadangan yang tersimpan dalam bentuk lemak
tubuh digunakan. Hal inilah yang menyebabkan berkurangnya bobot badan MEP
yang mengalami pengangkutan, terutama pada pengangkutan yang memakan
waktu beberapa hari. Pengangkutan menyebabkan cekaman, dan cekaman
membutuhkan energi yang lebih untuk proses fisiologis. Hewan yang mengalami
cekaman, ditandai dengan respon kortisol yang meningkat seperti yang dinyatakan
oleh Sutian (2005), bahwa kadar kortisol MEP meningkat selama pengangkutan
berlangsung. Peningkatan kortisol karena adanya peningkatan kebutuhan energi
yang terjadi dalam tubuh. Kebutuhan energi meningkat untuk proses metabolisme
maupun untuk mempertahankan keseimbangan fungsi tubuh yang diluar dari
biasanya.
Obat penenang
Penggunaan obat penenang dalam bidang veteriner dan prosedur penelitian
18 dianggap dapat membahayakan, seperti satwa liar, kucing, anjing dan kuda
Vandenberg (2000). Diketahui bahwa banyak obat penenang yang ada, seperti
fenotiasin (acepromasin dan klorpromasin) menyebabkan tekanan darah rendah
dan turunnya suhu badan, butirofenon (fluanison) lebih kuat dari fenotiasin tetapi
tidak terlalu menurunkan tekanan darah, benzodiazepin (diazepam dan
midasolam), zat dissosiatif (ketamin) (Plumb 1996).
Vandenberg (2000) menyatakan bahwa penggunaan obat analgesik
didasarkan pada beberapa faktor seperti jenis hewan, umur, tipe dan derajat rasa
sakit, lama prosedur invasif, pengaruh yang dia kibatkan terhadap organ tubuh,
dan keamanan terhadap hewan dan personil. Plumb (1996) menyatakan bahwa
beberapa jenis dari obat-obatan tersebut tidak termasuk zat yang bersifat analgesik
maupun anastetik, dapat memblokir aktivitas neuromuskular, bersifat sedatif
(membuat mengantuk) dan bersifat anxiolytic (menghilangkan perasaan cemas).
Penggunaan obat analgesik ketamin menyebabkan penurunan aktivitas
pernafasan dan paralisis (lambannya gerakan otot akibat kerusakan syaraf),
Cronnelly et al. (1973) dalam Jones et al. (1977). Lebih lanjut dinyatakan bahwa
pemberian ketamin saja tidak menghasilkan efek yang nyata terhadap kontraksi
otot. Ketamin tidak mengandung efek simpatomimetik langsung dan tidak
berpengaruh pada syaraf simpatetik dan medulla adrenal untuk memicu pelepasan
transmisi syaraf yang menghasilkan adrenalin, (Traber et al. 1970) dalam Jones et
al. (1977). Ketamin hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap kondisi
MATERI DAN METODE PENELITIA
N
Waktu dan TempatPercobaan I dengan perlahan lama pengangkutan delapan jam, mulai dari
persiapan masa adaptasi dan pengangkutan dilaksanakan selama 26 hari pada
bulan September 2003 di penangkaran Pusat Studi Satwa Primata (PSSP)-LPPM
IPB Bogor dan Kabupaten Kuningan, sedangkan Percobaan II (mulai dari
persiapan, masa adaptasi sampai pengangkutan) dengan lama pengangkutan
24 jam dilaksanakan selama 28 hari pada bulan Oktober sampai November 2003
di penangkaran CV New Inquatex, Desa Mekarsari, Kecamatan Rumpin,
Kabupaten Bogor, ke daerah Puncak, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.
Analisis sampel pakan dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan IPB Bogor.
Materi dan Alat
Hewan Coba
Materi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 60 ekor MEP dewasa
berjenis kelamin betina dengan bobot badan antara 2,5 sampai 3,1 kg, berumur
antara 4 sampai 5 tahun dalam kondisi fisik sehat, bebas dari penyakit patogen,
khususnya tuberkulosis (TBC) dan simian retrovirus (SRV). Semua monyet
berasal dari hasil penangkaran, ditandai dengan nomor yang di tatoo, pada bagian
dada, dan dipelihara dalam kandang individu, dan sudah teradaptasi terhadap
kandang dimana individu dan pakan yang diberikan sebelum pe ngangkutan.
Pakan
Selama penelitian MEP diberi pakan buatan berbentuk biskuit padat, kering
dan agak keras yang mengandung protein dan energi yang tinggi (monkey chow),
serta buah-buahan segar berupa pisang, tebu, apel, jeruk dan jambu biji. Selama
monyet berada dalam masa adaptasi (karantina), pemberian pakan dilakukan dua
kali sehari (pagi dan siang hari). Perbedaan pakan yang diberi sebagai perlakuan
didasarkan pada pemberian pakan para eksportir satwa primata dengan alasan:
1) eksportir A, memberikan paka n buah-buahan saja selama pengangkutan
20 2) eksportir B, memberikan pakan monkey chow saja selama pengangkutan
karena merasa praktis, dan
3) eksportir C, memberikan pakan buah-buahan dan monkey chow, dengan
penambahan multivitamin dan obat penenang selama pengangkutan
dengan pertimbangan kesehatan dan ketenangan.
Gambar 3 Monkey chow, pakan monyet dalam bentuk biskuit.
Berdasarkan kondisi di lapangan, maka selama pengangkutan monyet
diberikan pakan berbeda sebagai perlakuan (Tabel 2a dan 2b):
R0: buah-buahan (pisang, jambu biji) + Monkey chow (standar),
R1: Monkey chow,
R2: buah-buahan (pisang, jambu biji) + Monkey chow + multivitamin,
R3: buah-buahan (tebu, pisang, jambu biji, apel, jeruk), dan
R4: buah-buahan (tebu, pisang, jambu biji, apel, jeruk) + multivitamin +
obat penenang.
Multivitamin dengan merek dagang Hematopan (vitamin B12) dan
Biosolamine, serta obat penenang (tranquilizer) ketamin (asam hidroklorit)
dengan perbandingan dosis yang sama, diberikan dengan injeksi intramuskular.
Selama pengangkutan monyet ditempatkan dalam kandang angkut tertutup
(closed cage) sehingga monyet tidak dapat saling melihat, tetapi khusus untuk
perlakuan R4 digunakan juga perlakuan kandang angkut berjendela (windowed
cage), sehingga monyet dapat saling melihat karena pada kedua sisi samping
21 Tabel 2a Komposisi pakan percobaan lama pengangkutan delapan jam
Perlakuan Keterangan: a) Biosolamin®, b) Ketamil 100mg/ml ketamin (asam hidroklorit), R4A=Kandang Tertutup, R4B=Kandang Berjendela.
Tabel 2b Komposisi pakan percobaan lama pengangkutan 24 jam
Perlakuan Keterangan: a) Biosolamin®, b) Ketamil 100mg/ml ketamin (asam hidroklorit), R4A=Kandang Tertutup, R4B=Kandang Berjendela.
Tabel 3 Kandungan zat-zat makanan dalam pakan percobaan
22 Tabel 4 Komposisi dan kandungan vitamin (Biosolamine R) tiap 100 ml.
buatan Romindo Primavetcom Merial Indonesia
Peralatan
Alat Pengangkutan
Pengangkutan yang dilakukan dengan kendaraan angkut darat berupa mobil
truk yang dipergunakan selama ini sebagai kendaraan angkut monyet, berbentuk
boks tertutup berventilasi pada bagian sampingnya, dan depan.
Kandang
Kandang-kandang yang digunakan selama penelitian ini adalah kandang
individu untuk karantina yang terbuat dari terali baja berukuran panjangxlebar x
tinggi (77x45x77 cm), di bagian bawah diberi tempat penampung kotoran monyet.
Kandang angkut terbuat dari papan kayu lapis berbentuk peti empat persegi
panjang dan disekat menjadi lima kotak berukuran panjangxlebarxtinggi
(60x30x60 cm). Setiap kotak diberi ventilasi bagian depan seluas 12x20 cm dan
dibatasi dengan kawat kasa, bagian dasar kandang juga dipakai kawat kasa dan
diberi alas seng untuk penampungan kotoran padat. Kandang angkut yang dipakai
ada yang pada kedua sisinya diberi ventilasi dengan dibatasi dengan kawat kasa
(windowed cage) sehingga monyet bisa saling melihat, dan yang tidak berventilasi
bagian sampingnya (closed cage) sehingga monyet tidak dapat saling melihat. Komposisi Kandungan
ATP (g) 0,100
Mg aspartat (g) 1,500
K aspartat (g) 1,000
Na selenit (g) 0,100
Vitamin B 12 (g) 0,050
23 Gambar 4 Kandang tertutup (atas) dan berjendela (bawah)
24
Metode
Pelaksanaan penelitian ini terdiri atas dua percobaan yang didasarkan pada
lama pengangkutan, terbagi tiga tahap yaitu: sebelum pengangkutan,
pengangkutan, dan sesudah pengangkutan (Gambar 6)
Gambar 6 Bagan Prosedur kerja selama penelitian
Jalur yang dilalui Percobaan I adalah Darmaga-Bogor-Jakarta lewat pantai
utara Pulau Jawa sampai ke Kabupaten Kuningan yang berjarak tempuh lebih
kurang 300 km, sedangkan untuk Percobaan II dari Desa Mekarsari, Kecamatan
Rumpin, Kabupaten Bogor-Serpong-Kota Bogor-Cisarua, Kabupaten Bogor,
mengalami pengangkutan statis (monyet tetap di dalam mobil angkut dengan
mesin mobil tetap hidup tetapi tidak melakukan perjalanan) selama 16 jam di
Cisarua, dan empat jam kembali lagi dengan jalur yang sama. Untuk memperoleh
waktu yang tepat dan menghindari fluktuasi suhu, perjalanan berlangsung malam
hari mulai pukul 22.00 WIB.
25
Peubah yang Diukur
I. Konsumsi pakan (g/ekor): pakan yang dikonsumsi selama 8 jam dan 24 jam
perjalanan dihitung dari selisih jumlah pakan yang diberi sebelum
perjalanan dikurangi jumlah pakan yang sisa setelah perjalanan.
II. Kecernaan semu zat makanan (g/ekor): dihitung dari jumlah zat pakan yang
dikonsumsi dikurangi jumlah zat pakan dalam feses.
III. Perubahan bobot badan (g/ekor): perbedaan bobot badan yang terjadi selang
pengangkutan yang didapatkan dari timbangan bobot badan sebelum
pengangkutan dikurangi dengan setelah perjalanan.
IV. Tingkah laku harian: melihat perubahan tingkah laku harian monyet setelah
mengalami pengangkutan dengan membandingkan dengan tingkah laku
harian sebelum pengangkutan. Tingkah laku harian yang diamati adalah
tingkah laku makan dan tingkah laku agresif.
1) Tingkah laku makan:
a) respon terhadap pakan (jam/ekor): reaksi langsung mengambil dan
makan; dan
b) penggunaan waktu makan (jam/ekor): waktu yang digunakan
memakan habis pakan (kurang dari dua menit)
Pengambilan data pukul 07.00 dan pukul 13.00, (selama 48 jam)
2) Tingkah laku agresivitas (jam/ekor): reaksi agresif marah dan menantang setelah diberikan penggangguan.
Pengambilan data pukul 09.00 dan pukul 15.00 (sp selama 48 jam)
Analisis Data
Data penelitian dianalisis secara deskriptif untuk pengamatan tingkah laku
dengan membandingkan hasil Percobaan I dan II, serta dijelaskan. Untuk
pengaruh terhadap perubahan bobot badan, konsumsi, dan kecernaan zat
makanan, data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan
metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) berfaktor dan dilanjutkan dengan
26 Model matematika untuk rancangan tersebut adalah sebagai berikut :
Yijk = ì+ Ai + Bj + ABij + Eijk
Keterangan:
Y ijk = respon pengaruh kandang taraf ke-i, pengaruh pakan pada taraf
ke-j pada ulangan ke -k
ì = nilai rerata sesungguhnya
A = pengaruh pakan ke-i
B = pengaruh kandang ke-j
i = perlakuan1,2,3,4 dan5 (1= pakan standar, 2=obat penenang,
3= multivitamin, pakan 4= buah, 5= Monkey chow)
j = kandang 1,2 (tertutup, berjendela)
ABij = interaksi pemberian pakan dengan bentuk kandang
Hasil dan Pembahasan
Keadaan Umum Lingkungan Pengangkutan
Periode Adaptasi
Percobaan diawali dengan pemindahan MEP dari kandang kelompok ke unit
karantina yang ditempatkan dalam kandang individu yang berdampingan. Kondisi
lingkungan pada periode karantina menunjukkan kelembaban udara maksimum
79,5%, suhu udara maksimum 31,20C, dan diberikan cahaya 13 jam sehari secara
otomatis.
Perubahan ini membatasi aktivitas dan interaksi sosial dengan individu lain,
sehingga mengakibatkan monyet mengalami cekaman, hal ini ditandai dengan
perubahan tingkah laku seperti rasa takut, nafsu makan berkurang, dan ada
monyet yang diare. Pemindahan monyet ini tujuannya untuk adaptasi kondisi
penelitian berupa kandang, alat, dan peneliti serta dilakukan pengamatan tingkah
laku untuk dijadikan dasar pembanding sesudah pengangkutan.
Pemberian pakan dan minuman selama periode ini disesuaikan dengan pola
pemberian pakan yang ada di lokasi penangkaran yaitu dua kali sehari pada pagi
hari pukul 07.00 WIB dan siang hari pukul 13.00 WIB, berupa pakan campuran
MC dan buah-buahan (pisang dan jambu biji). Pemberian pakan dan minuman ini
diikuti dengan pemberian obat dan antibiotik bagi MEP yang mengalami diare.
Adaptasi pakan percobaan sebagai perlakuan diberikan selama seminggu
menjelang pe ngangkutan dilaksanakan.
Periode Pengangkutan
Setelah MEP mampu beradaptasi yang ditunjukkan dengan kondisi
tubuh dan fisik yang baik, pengangkutan dilaksanakan dengan tindakan
meminimalkan setiap risiko yang merugikan, melindungi terhadap lingkungan
yang ekstrim, memberikan pakan dan air minum yang dibutuhkan, serta
melindungi satwa dari kemungkinan luka fisik akibat benturan yang terjadi.
Keadaan berjalan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan, tidak ada
28 jam berkisar pada 24-280C dan untuk lama pengangkutan 24 jam suhu berkisar
pada 19-260C.
Kondisi Fisik
Pengamatan MEP selama pengangkutan dibatasi untuk menghindari
kemungkinan akan bertambahnya tekanan cekaman, juga kandang angkut yang
kecil membatasi penglihatan yang ada. Keberadaan dapat diketahui dengan pasti
setelah pengangkutan berakhir dan kembali dipindahkan ke dalam kandang
individu yang ditempatkan di unit karantina. Kondisi setelah pengangkutan MEP
dapat dilihat jelas dalam keadaan kelelahan, lemah, dengan ekspresi ketakutan,
bingung, pasif, dan aktivitas gerak sangat minim, sehingga dalam penanganannya
relatif lebih mudah, bila dibandingkan sebelum dilaksanakan pengangkutan.
Konsumsi
Konsumsi Pakan
Dalam percobaan ini, pemberian pakan dilakukan pada awal pengangkutan,
dan MEP langsung mengkonsumsi pakan yang ada. Konsumsi selama
pengangkutan dapat dilihat pada Tabel 5a dan 5b, demikian juga dengan konsumsi
zat-zat makanan pada Tabel 6a dan 6b.
29 Tabel 5b Rerata jumlah pemberian, jumlah dan persentase konsumsi pakan
pada pengangkutan 24 Jam Energi (kal/g) 3050,27 2287,31 3228,30 2828,05 2962,15 2938,09
Tabel 6b Rerata konsumsi zat-zat makanan selama pengangkutan 24 jam