• Tidak ada hasil yang ditemukan

MenurutSteeniset al., (2005) kedudukan tanaman karet dalam tatanama (sistematika) sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Sub-diivisio: Angiospermae, Kelas: Dicotyledoneae, Ordo: Euphorbiales, Famili: Euphorbiaceae, Genus:Hevea, Spesies : Hevea brassiliensis Muell. Arg.

Akar tanaman karet merupakan akar tunggang yang mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi ke atas, dengan akar seperti itu pohon karet dapat berdiri kokoh, meskipun tingginya mencapai 25 meter (Setiawan danAndoko, 2005).

Karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi. Dibeberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Nugroho, 2010).

Daun karet berselang-seling, tangkai daunnya panjang, terdiri dari 3 anak daun yang licin berkilat. Petiola tipis, hijau, panjang 3,5-30 cm. Helaian anak daun bertangkai pendek dan berbentuk lonjong-oblong atau oblong-obovate, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing; sisi atas daun hijau tua dan sisi bawah agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar 2,5-12,5 cm (Sianturi, 2001).

Bunga karet terdiri dari bunga jantan dan betina yang terdapat dalam malai payung tambahan yang jarang.Pangkal tenda bunga berbentuk lonceng. Pada ujungnya terdapat lima taju yang sempit. Panjang tenda bunga 4-8 mm. Bunga betina merambut vilt.Ukurannya lebih besar sedikit dari yang jantan dan

mengandung bakal buah yang beruang tiga. Kepala putik yang akan dibuahi dalam posisi duduk juga berjumlah tiga buah. Bunga jantan mempunyai sepuluh benang sari yang tersusun menjadi suatu tiang. Kepala sari terbagi dalam dua karangan, tersusun sembilan satu lebih tinggi dari yang lain. Paling ujung adalah suatu bakal buah yang tidak tumbuh sempurna (Maryani, 2007).

Karet merupakan buah berpolong (diselaputi kulit yang keras) yang sewaktu masih muda buah berpaut erat dengan rantingnya.Buah karet dilapisi oleh kulit tipis berwarna hijau dan didalamnya terdapat kulit yang keras dan berkotak.Tiap kotak berisi sebuah biji yang dilapisi tempurung, setelah tua warna kulit buah berubah menjadi keabu-abuan dan kemudian mengering.Pada waktunya pecah dan jatuh, tiap ruas tersusun atas 2-4 kotak biji.Pada umumnya berisi tiga kotak biji dimana setiap kotak terdapat satu biji.Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah.Jumlah biji biasanya ada tiga kadang empat(Budiman, 2012).

Buah beruang tiga, jarang yang beruang 4 hingga 6, diameter buah 3-5 cm dan terpisah 3,4,6. Coci berkatupdua, pericarp berbentuk endokarp berkayu. Biji besar, bulat persegi empat, tertekan pada satu atau dua sisinya, berkilat berwarna coklat muda, dengan noda noda coklat tua, panjang2-3,5 dan tebal 1,5-2,5 cm (Sianturi, 2001).

Syarat Tumbuh Iklim

Secara garis besar tanaman karet dapat tumbuh baik pada kondisi iklim sebagai berikut: suhu rata-rata harian 280C (dengan kisaran 25 - 350C) dan curah hujan tahunan rata-rata antara 2.500-4.000 mm dengan hari hujan mencapai 150

haripertahun. Pada daerah yang sering hujan pada pagi hari akan mempengaruhi kegiatan penyadapan bahkan akan mengurangi hasil produktifitasnya. Keadaan daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah daerah-daerah Indonesia bagian barat, yaitu Sumatera, Jawa dan Kalimatan, sebab iklimnya lebih basah (Budiman, 2012).

Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai 4.000 mm/tahun,dengan hari hujan berkisar antara 100 sd. 150 hari kerja/tahun. Namun demikian, jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan berkurang(Anwar, 2001).

Kelembaban nisbi (RH) yang sesuai untuk tanaman karet adalah rata - rata berkisar antara 75% - 90%.Kelembapan yang terlalu tinggi tidak baik untuk pertumbuhan karet, karena dapat membuat laju aliran transpirasi tanaman karet menjadi kecil sehingga absorbsi unsur hara dari tanah menjadi lambat. Selain itu tanaman sering mengalami gutasi dan terjadi kelelahan lateks akibat retakan kulit. Angin yang bertiup kencang dapat mengakibatkan patah batang, cabang atau tumbang. Angin kencang pada musim kemarau sangat berbahaya, laju evapotranspirasi menjadi besar (Sianturi, 2001).

Tanah

Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karetbaik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m. Tanah vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur, sulum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum kurang baik karena kandungan haranya rendah.Tanah alluvial biasanya cukup subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan aerasenya kurang baik.Reaksi

tanah berkisar antara pH 3,0 - pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH < 3,0 dan pH > 8,0 (Anwar, 2001).

Tanaman karet bukanlah tanaman manja, dapat tumbuh pada tanah- tanahyang mempunyai sifat fisik baik, atau sifat fisiknya dapat diperbaiki. Tanah yang dikehendaki adalah bersolum dalam, kedalaman lapisan padas lebih dari 1 m, pemukaan air tanah rendah yaitu ± 10 – 20 cm. Sangat toleran terhadap kemasaman tanah, dapat tumbuh pada pH 3,8 hingga 8,0, tetapi pada pH yang lebih tinggi sangat menekan pertumbuhan (Sianturi, 2001).

Klon Tanaman Karet

Untuk meningkatkan produktivitas perkebunan karet rakyat, pemerintah telahmenempuh berbagai upaya antara lain perluasan tanaman, penyuluhan, intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan serta penyebaran klon – klon unggul benih karet. Dalammenunjang keberhasilan peningkatan produktivitas perkebunan karet, telah dilakukanusaha khususnya terhadap benih karet(Syukur, 2013).

Rekomendasi klon-klon karet untuk periode tahun 2010- 2014 berdasarkan hasil rumusan Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet Tahun 2009, yaitu sebagai berikut: Klon Anjuran Komersial a.) klon penghasil lateks terdiri: IRR 104, IRR 112, IRR 118, IRR 220, BPM 24, PB 260, PB 330, dan PB 340;b.) klon penghasil lateks-kayu terdiri: IRR 5, IRR 39, IRR 42, IRR 107,dan RRIC 100 (Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia, 2013).

Potensi Klon PB260 penghasil lateks pertumbuhan jagur resisten : Corynespora Colletotrichum &Oidium. Produksi Lateks: 2.2-3.5 ton/ha/th. Warna : putih kekuningan. Lateks diolah: sheet (Janudiantoet al., 2013).

Klon dari jenis IRR ini terdiri dari klon penghasil lateks (IRR 104), lateks-kayu(IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 107, IRR 112, dan IRR 118), dan penghasil kayu (IRR 70, IRR 71, dan IRR 72). Klon IRR termasuk dalam klon anjuran yang diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan produktivitas tanaman karet yang ada di Indonesia. Klon IRR memiliki potensi produksi mencapai 2,9 – 3,2 ton karet kering per ha per tahun, sehingga sangat potensial untuk dijadikan sebagai batang atas (Marchinoet al., 2010).

Pada umumnya klon yang berproduksi tinggi tanpa stimulasi mempunyai kadar Pi tinggi dan sukrosa rendah, yang menunjukkan aktifitas metabolisme yang tinggi. Sebaliknya, kadar Pi rendah dan sukrosa tinggi pada klon berproduksi

rendah, yang menunjukkan rendahnya aktifitas metabolisme lateks (Lacote, 2007).

Thiol (R-SH) berfungsi sebagai antioksidan, sehingga stres oksidatif sebagai akibat aktifnya metabolisme dalam sel dapat ditekan.Kadar R-SH yang rendah menunjukkan terlalu intensifnya eksploitasi sehingga perlu dikurangi dengan menurunkan intensitas sadapan maupun stimulasi (Gohet et al.,1996). Kering Alur Sadap (KAS)

Penyakit kekeringan alur sadap mengakibatkan kekeringan alur sadap sehingga tidak mengalirkan lateks, namun penyakit ini tidak mematikan tanaman. Penyakit ini disebabkan oleh penyadapan yang terlalu sering, terlebih jika disertai dengan penggunaan bahan perangsang lateks ethepon. Adanya kekeringan alur sadap mula-mula ditandai dengan tidak mengalirnya lateks pada sebagian alur sadap. Kemudian dalam beberapa minggu saja keseluruhan alur sadap ini kering tidak mengeluarkan lateks. Bagian yang kering akan berubah warnanya menjadi

cokelat karena pada bagian ini terbentuk gum (blendok). Kekeringan kulit tersebut dapat meluas ke kulit lainnya yang seumur, tetapi tidak meluas dari kulit perawan ke kulit pulihan atau sebaliknya. Gejala lain yang ditimbulkan penyakit iniadalah terjadinya pecah-pecah pada kulit dan pembengkakan atau tonjolan pada batang tanaman (Anwar,2001).

Sel pembuluh lateks mengalami penyumbatan dan menjadi sel tilosoid. Sel tilosoid ini melebar ke arah sel sel tetangga dan meluas sehingga jaringan tilosoidpun berbentuk. Bidang sadap yang memiliki jaringan tilosoid ini bila disadap pada awalnya akan mengalami kekeringan alur sadap sebagian (KAS parsial), kemudian meluas dan dikenal sebagai KAS total (Tistamaet al., 2006).

Kejadian KAS menurut Abraham et al, (2006), diklasifikasikan menjadi tanaman tidak terserang KAS (0%), rendah (0-25%), sedang (25-50%), tinggi (50-75%), dan sangat tinggi (>75%). Klasifikasi tersebut digunakan untuk mengetahui luas kejadian KAS dibidang panel sadapan. Persentase kejadian KAS dapat diperoleh dari perbandingan panjang luas yang tidak mengeluarkan lateks dengan total panjang keseluruhan bidang sadap dikalikan 100%.

KAS dapat menyebar cepat dalam jangkawaktu 2-4 bulan ke seluruh kulit bidangsadapan. Penyebaran KAS mengikuti alurpembuluh lateks dan arah sadapan. Proses penyebaran KAS pada bidangsadap BO-1 mengarah ke seluruh 1 dibawah irisan sadap. Penyebaran berikutnyamenyebar ke bidang panel BO-2 bagian bawahyang dilanjutkan ke bagian atas hinggabertemu mencapai HO-1. Pola penyebaranKAS di B1-1 hingga B1-2 kulit juga sama.Proses penyebaran yang cepat disebabkan oleh kecepatan terbentuknya tilosoid lebih tinggidibandingkan dengan irisan sadap padasadapan selanjutnya.Kecepatan

penyebaran sel-sel tilosoid bilatidak diidentifikasi sejak dini maka dapatdipastikan tanaman beberapa tahunselanjutnya tidak dapat mengeluarkan lateks saat disadap (Andriyanto dan Tistama, 2014).

Gambar 1. Pola penyerangan jaringan Tilasoid penyebab KAS Sumber : Andriyanto dan Tistama(2014)

Kering alur sadap dapat menyebar dengan cepat dalam angka waktu 2-4 bulan keseluruh kulit bidang sadap. Penyebaran KAS diduga mengikuti alur pembuluh lateks dan arah sadap. Proses penyebaran KAS pada bidang sadap BO-1 mengarah keseluruh BO-BO-1 dibawah irisan sadap. Penyebaran berikutnya menyebar ke bidang panel BO-2 dibagian bawah yang dilanjutkan ke bagian atas hingga bertemu mencapai HO-1. Pola penyebaran KAS di B1-1 hingga B1-2 kulit juga sama. Proses penyebaran yang cepat disebabkan oleh kecepatan terbentuknya tilasoid lebih tinggi dibandingkan dengan irisan sadap pada sadapan selanjutnya (Sumarmadji, 2005).

Kejadian KAS banyak terjadi di perkebunan karet akibat penerapan sistem eksploitasi yang tidak tepat. Fakta yang sering kali ditemukan di lapangan yaitu praktisi kebun tidak membedakan konsentrasi dan interval aplikasi stimulan untuk klon quick starter maupun klon slow starter, pemberian stimulan saat musim gugur daun ,banyak terdapat luka kayu, dan konsumsi kulit yang boros(Jacob and Krishnakumar, 2006).

Deteksi dini dampak intensitas exploitasi terhadap tanaman karet dapat dilakukan dengan analisis fisiologi berupa ukrosa, Pi (fosfat anorganik) dan thiol. Status ketiga unsur tersebut dapat digunakan untuk menilai kondisi keletihan fisiologis tanaman. Titik kritis status ketiga unsur tersebut sangat tergantung kepada klon, unsur dan dinamika fisiologis tanaman atau variasi musiman. Secara umum dapat digambarkan bahwa titik kritis untuk sukrosa < 4 mM, untuk Pi>25 mM dan untuk thiol < 0,4Mm. Dalam penilaian ini biasanya masih membutuhkan peubah-peubah yang lain seperti produksi g/p/s, kadar karet kering dan sebagainya. Namun cara ini dapat secara preventif mengatasi terjadinya KAS. Beberapa perkebunan menerapkan analisis lateks setahun sekali untuk menetapkan sistem sadap tahun berikutnya (Tistamaet al., 2006).

Gangguan fisiologis pada tanaman karet yaitu sebagian atau seluruh alur sadapnya kering dan tidak mengalir lateks, atau bisa disebut brown bast (BB) atau tapping dryness (TPD) atau kering alur sadap (KAS) dan sebagian petani pekebun ada yang menyebut mati kulit, diduga disebabkan oleh terjadinya ketidakseimbangan antara lateks yang terambil dan lateks yang terbentuk. Ketidakseimbangan tersebut di yakini antara lain disebabkan karena gangguan stimulanyang tidak mengikuti anjuran. Akibatnya antara lain menurunnya kemampuan pohon untuk memproduksi lateks (Arief dan Island, 2006).

Hasil pengamatan terhadap kandungan sukrosa pada tanaman yang sehat dan tanaman yang terkena KAS sebagian, ternyata kandungan sukrosa dari pada tanaman yang sehat, hal ini membuktikan dua hal, pertama : adanya suplai sukrosa yang normal pada tanaman yang terserang KAS, kedua: adanya

hamabatan biosintesis karet sehingga sukrosa tidak dimanfaatkan dalam proses tersebut sehingga terjadi penumpukan(Tistama et al, 2006).

Kering Alur Sadap (KAS) mengakibatkan berkurangnya jumlah sel-sel latisifer yang terdapat dalam jaringanfloem. Sel-sel latisifer merupakan buluh getah yangmengalirkan lateks pada alur sadap. Selain itu KAS juga mengakibatkan koagulasi cairan lateks dengan waktu yang singkat sehingga dapat mengakibatkan penurunan produksi lateks yang diikuti oleh terjadinya degradasi sel-sel lateks yang masih baru terbentuk (Deka et al., 2006).

Munculnya KAS dipicu oleh ketidakseimbangan antara regenerasi lateks di dalam pembuluh lateks dengan pengambilannya melalui penyadapan.Tuntutan produksi yang cukup tinggi seringkali mendorong praktisi kebun melakukan penyadapan berlebihan melebihi kemampuan tanaman meregenerasi lateks. Upaya mencapai target produksi kebun pada umumnya dilakukan dengan meningkatkan jumlah ataupun frekuensi pemberian stimulan. frekuensi pemberian stimulan yang tidaksesuai dengan rekomendasi dapat menyebabkan gangguan fisiologis pada

tanaman karet sehingga dapat mengganggu biosintesis lateks (Budiman dan Boerhendhy, 2006).

Tanaman yang terkena KAS terjadi hambatan perubahan mevalonat menjadi isopenteril piroposfat (IPP). Hambatan tersebut terjadi akibat kurangnya suplai ATP sebagai sumber energi pada reaksi perubahan mevalonat menjadi IPP. Pada tahapan tersebut merupakan proses reaksi yang membutuhkan banyak energi. Status ATP yang rendah juga diiringi dengan status fosfat anorganik yang rendah didalam lateks pada tanaman terserang KAS. Kandungan Pi memang

cendrung menurun jika tanaman dieksploitasi dengan sistem sadap yang lebih intensif (Krisnakumar et al.,2001).

Komponen fisiologis lateks lainnya adalah thiol. Thiol (R-SH) berperan dalam mengaktifkan beberapa enzim yang berhubungan dengan cekaman lingkungan. Status thiol berhubungan pada saat mendapat tekanan sistem ekploitasi. Semakin tinggi intensitas eksploitasi semakin rendah status thiol dalam lateks. Pada tanaman yang mengalami KAS status thiolnya lebih rendah dibandingkan dengan tanaman sehat. Kemungkinan jaringan kulit mengalamiproses keletihan yang dapat diikuti dengan kematian secara parsial sel-sel pembuluh lateks (Tistama et al., 2006).

Reactive Oxygen Species(ROS)

Radikal bebas dibentuk oleh metabolisme xenobiot atau metabolismesel aerob secara normal. Reactive oxygen species (ROS) adalah radikal bebas yang berperan penting pada beberapa proses fisiologis organ tubuh. Pembentukan ROS dapat menginduksi peroksidasi lipid yang bersifat sitotoksik akibat inisiasi suatu reaksi rantai kedalam membran, diikuti reaksi propagasi sehingga secara keseluruhan akan mengakibatkan kerusakan sel(Astutiet al., 2009).

Dalam kondisilabil, molekulROSmengikat berbagaimekanisme pertahananantioksidan.Kesetimbangan

antaraproduksidanpengikatanROSmungkintergangguoleh berbagai faktorstresbiotikdan abiotikseperti salinitas,radiasi UV, kekeringan, logam

berat,suhu ekstrim,kekurangan gizi dan udara. Melaluiberbagai reaksi, O2mengarah padapembentukanH2O2, OHdanROS lainnya. ROSterdiriO2,H2O2,1O2,HO2, OH,ROOH, ROO, dan RO yangsangat

reaktifdanberacundan penyebabkerusakanprotein, lipid, karbohidrat, DNAyang akhirnya menghasilkankematian sel (Sarvajeet dan Narendra, 2010).

Reactive oxygen species (ROS) merupakan oksidan yang sangat reaktif dan mempunyai aktivitas yang berbeda. Dampak negatif senyawa tersebut timbul karena aktivitasnya, sehingga dapat merusak komponen sel yang sangat penting untuk mempertahankan integritas sel. Setiap ROS yang terbentukdapat memulai suatu reaksi berantai yang terus berlanjut sampai ROS itu dihilangkan oleh ROS yang lain atau sistem antioksidannya (Maslachah et al., 2008).

Reactive oxygen species (ROS) secara alami dihasilkan didalam metabolisme tanaman. Selama stress biotik dan abiotik, ROS tersebut terakumulasi di dalam jaringan jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi yang dapat menghilangkan ROS tersebut. Detoksifiasi ROS melalui SOD peroksidase dan katalase secara enzimatik maupun melalui mekanisme non enzimatik lainnya mampu menghilangkan ROS dari jaringan tanpa menimbulkan kerusakan. Oleh karena peroksidase dan katalase memiliki peranan utama didalam proses penghilangan molekul H2O2 didalam jaringan biologis(Gebelin et al., 2013).

Fungsi enzim yang berbeda-beda dalammenghadapi ROS mengakibatkan tingkatekspresi gen responsif terhadap ROS beragampada berbagai perlakuan. Seperti telahdisebutkan sebelumnya bahwa tingkat cekamanoksidatif dapat ditentukan dari jumlah ROSseperti superoksida, peroksida, dan radikalhidroksil. Oleh karena itu,keseimbangan aktifitas enzim SOD, APX, dankatalase sangat penting untuk menekan leveltoksisitas ROS di dalam sel. Saat aktifitaskatalase rendah di tanaman, aktifitas enzimlain, yaitu APX akan meningkat(Arlyny, 2008).

Asam Askorbat

Vitamin C dalam tubuh aktif dalam 2 bentuk yaitu asam askorbat dan dehidroaskorbic acid (DHA). Vitamin C dalam bentuk asam askorbat berperan sebagai scavenger radikal bebas, selain itu juga mampu menghambat pembentukan radikal bebas, sedangkan dalam bentuk DHA akan menghambat secara langsung aktifasi nuclear factorkappabeta (NF-kB) faktor transkripsi inflamasi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa vitamin C lebih efektif

dibandingkan dengan α-tokoferol dalam mengurangi proses patofisiologi akibat stres oksidatif seperti aterosklerosis, karena vitamin C mempunyai kemampuan menangkap oksigen dan nitrogen reaktif secara efektif, dan vitamin ini

mempunyai kemampuan untuk regenerasi α-tokoferol sehingga avaibilitas vitamin

α-tokoferol ini dalam tubuh tetap terjaga.Setelah bereaksi dengan radikal bebas,vitamin C pun akan menjadi produk radikal, namun karena degradasinya sangat singkat (10-5 detik) sehingga ia tidak reaktif, salah satu alasan vitamin C disukai sebagai antioksidan (Julahir, 2010).

Vitamin C diproduksi oleh tumbuhan dalam jumlah yang besar. Fungsi vitamin C bagi tumbuhan dalah sebagai agen antioksidan yang dapat menetralkan singlet oksigen yang sangat reaktif, berperan dalam pertumbuhan sel, berfungsi seperti hormon, dan ikut berperan dalam proses fotosintesis. Vitamin C hanya dapat dibentuk oleh tumbuhan dan terdapat pada sayuran serta buah-buahan dalam jumlah yang besar.Hal ini disebabkan karena tumbuhan memiliki enzim mikrosomal L-gulonolakton oksidase, sebagai komponen dalam pembentukan asam askorbat (Kurniawanet al., 2010).

Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat laju oksidasi. Antioksidan ini memiliki banyak komponen dan merupakan zat alami yang dihasilkan sendiri oleh tubuh atau didapat dari makanan yang kita makan. Antioksidan bekerja dengan cara menghentikan pembentukan radikal bebas, menetralisir serta memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi. Radikal bebas merupakan atom atau melekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas dianggap pasangan elektronnya.Radikal bebas dapat bereaksi dengan molekul sel tubuh dengan cara mengikat elektron dari melekulsel tersebut dan dapat menyebabkanreaksi berantai yang merusak tubuh (Ardianti et al., 214).

Selain antioksidan tersebut, sumber-sumber antioksidan eksogen yang berasal dari makanan sehari-hari juga diperlukan untuk meminimalkan stres oksidatif, sepertivitamin-vitamin (vitamin C, vitamin E, ß–karoten), dan senyawa fitokimia (karotenoid, isoflavon, saponin, polifenol).Vitamin C merupakan vitamin larut dalam air, secara tunggal dapat menghambat proses oksidasi LDL.Vitamin C bekerja bersama-sama dengan vitamin E dalam menghambat reaksi oksidasi. VitaminC mengikat vitamin E radikal yang terbentuk pada proses pemutusan reaksi radikal bebas oleh vitamin E, menjadi vitamin E bebas yang berfungsi kembali sebagai antioksidan. Vitamin E merupakan vitamin larut dalam lemak, dapat memutuskanreaksi radikal bebas pada jaringan dan merupakan antioksidan yang dominan dalampartikel LDL (Sulistyowati, 2006).

Salahsatu pendekatan untuk mendorong toleransi stres oksidatif yang akan meningkatkansubstrat enzim pada tingkat sel adalah asamaskorbat. Asam askorbat berfungsi sebagaiantioksidan, kofaktor enzim dan sebagaimodulatorsinyal sel

dalam beragam prosesfisiologis penting, termasuk biosintesisdinding sel, metabolit sekunder danfitohormon, toleransi stres, fotoproteksi,pembelahan dan pertumbuhan sel (Ardiansyahet al., 2014).

PENDAHULUAN

Dokumen terkait