• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sapi Brahman adalah sapi yang berasal dari India yang merupakan keturunan dari sapi Zebu (Bos Indicus). Bangsa sapi Brahman merupakan sapi hasil persilangan dari tiga bangsa Zebu, yaitu Guzaret, Nellore dan Gyr. Bangsa sapi Brahman mengandung 60% darah Guzaret, 20% darah Nellore san 20% darah Gyr (Minish dan Fox 1979). Sapi Brahman merupakan bangsa sapi ukuran medium dan pedetnya juga berukuran medium. Sapi ini bertanduk dan warnanya bervariasi mulai dari abu-abu muda, totol-totol sampai hitam. Menurut Ensminger (1991) ciri fisik sapi Brahman ditandai dengan adanya kelasa (punuk) yang cukup besar melampaui bahu, kulit yang menggantung di bawah kerongkongan, gelambir yang panjang, serta mempunyai kaki panjang dan telinga menggantung. Sapi Brahman mempunyai sifat-sifat yang hanya dipunyai oleh beberapa bangsa sapi tertentu, yaitu ketahanannya terhadap kondisi tatalaksana yang sangat minimal, toleransi terhadap panas, kemampuannya untuk mengasuh anak, daya tahan terhadap kondisi yang jelek. Kelemahan yang dimiliki oleh bangsa sapi ini adalah intoleransi terhadap suhu udara yang rendah, serta rendahnya fertilitas (Blakely dan Bade 1991), mempunyai sifat tahan terhadap bermacam-macam kondisi lingkungan dan beberapa penyakit parasit, mempunyai sifat keibuan yang baik, kelemahan sapi ini adalah angka reproduksinya rendah dan kecepatan pertumbuhan yang kurang baik (Hardjosubroto dan Astuti 1994).

Pada tahun 1993 bangsa sapi Brahman diekspor ke Australia. Beberapa sapi ada yang diternakkan secara murni serta ada yang disilangkan dengan bangsa sapi Hereford (HS) menjadi bangsa sapi Brahman Cross (Hardjosubroto dan Astuti (1994). Sapi Brahman Cross mempunyai sifat penyesuaian yang sama dengan bangsa sapi Brahman dan potensi pertumbuhan yang sama dengan sapi HS (Vercoe dan Frisch 1980). Menurut Ditjennak (2003) keunggulan sapi

Brahman Cross adalah memiliki daya tahan tubuh terhadap panas dan tahan terhadap ektoparasit terutama caplak. Sapi-sapi impor ini memiliki kelebihan mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis di Indonesia, memiliki pertambahan bobot hidup yang tinggi dengan waktu yang singkat dan produktivitas karkas yang

tinggi (Hafid 1998). Sapi Brahman Cross yang dipelihara secara feedlot

(penggemukan) dengan perbandingan konsentrat 15% dan hijauan 85% menghasilkan pertumbuhan bobot hidup harian sebesar 0.8-1.2 kg/ekor/hari dengan persentase bobot karkas 53.21% (Ngadiyono 1995). Pertambahan bobot harian sapi Brahman Cross (BX) sebesar 0.78 kg dapat menghasilkan persentase bobot karkas sebesar 54%. Menurut Turner (1977), sapi Brahman Cross memiliki sifat seperti daya tahan terhadap panas cukup tinggi, ketahanan terhadap parasit dan penyakit sangat baik, persentase kelahiran 81.2%, rataan bobot lahir 28.4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan bisa mencapai 295 kg, angka mortalitas post natal sampai umur 7 hari sebesar 5.2%, mortalitas sebelum disapih 4.4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1.2% dan mortalitas dewasa sebesar 0.6%, serta efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn.

Pengertian Daging, Karkas dan Jeroan

Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan yang sesuai untuk dimakan serta tidak mengalami gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah terhenti (Soeparno 2005). Daging segar adalah daging atau otot skeletal dari hewan yang disembelih secara halal dan higienis setelah mengalami pelayuan (aging) yang disimpan pada suhu dingin atau beku, yang tidak mengalami proses pengolahan lebih lanjut. Definisi daging secara umum adalah bagian tubuh hewan yang disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi (edible offals). Secara teknis, daging adalah otot skeletal (skeletal muscle) (Lukman et al. 2009).

Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Komponen utama daging terdiri dari otot, lemak dan sejumlah jaringan ikat (kolagen, retikulin, dan elastin) serta adanya pembuluh syaraf (Forrest et al. 1975). Komposisi daging diperkirakan terdiri atas 75% air, 19% protein, 3.5% substansi non protein yang larut dan 2.5% lemak. Nilai gizi daging ditentukan oleh komponen protein. Protein merupakan komponen bahan kering yang terbesar dari daging. Nilai

nutrisi daging yang tinggi disebabkan karena daging mengandung asam-asam amino yang lengkap dan seimbang (Forrest et al. 1975).

Karkas adalah bagian penting dari tubuh hewan setelah dibersihkan dari darah, kepala, keempat kaki bagian bawah dari sendi karpal untuk kaki depan dan sendi tarsal untuk kaki belakang, kulit, organ-organ internal seperti paru-paru, tenggorokan, saluran pencernaan, saluran urin, jantung, limpa, hati, dan jaringan jaringan lemak yang melekat pada bagian-bagian tersebut (Lawrie 2003). Menurut Parwoto (1995) karkas sebagai satuan produksi yang bernilai ekonomi tinggi dan secara praktis dapat digunakan sebagai satuan produksi yang komposisi dan proporsinya dapat digunakan sebagai kriteria keberhasilan usaha ternak. Karkas adalah bagian tubuh hewan sehat yang telah disembelih secara halal sesuai CAC/GL 24-1997, telah dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala dan kaki mulai dari tarsus atau karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor, serta lemak yang berlebih.

Menurut Berg dan Butterfield (1976) persentase karkas dipengaruhi oleh bobot hidup, bangsa, proporsi bagian-bagian non karkas, ransum, umur, dan jenis kelamin. Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi karkas seekor hewan adalah bangsa, jenis kelamin, laju pertumbuhan, bobot hidup dan nutrisi (Oberbauer et al. 1994). Bangsa ternak yang mempunyai bobot hidup besar menghasilkan karkas yang semakin meningkat pula, sehingga dapat diharapkan bagian karkas yang besar juga (Soeparno 2005).

Bobot hidup yang semakin meningkat menghasilkan karkas yang semakin meningkat pula, sehingga dapat diharapkan bagian karkas yang berupa daging menjadi lebih besar (Soeparno 2005). Sugana dan Duldjaman (1983) mengemukakan hal yang sama mengenai perbandingan lurus antara bobot hidup dan bobot karkas. Penelitian Triatmodjo (1998) juga mengemukakan bahwa bobot hidup mempunyai pengaruh yang nyata terhadap bobot karkas dan komponen-komponen lainnya. Bertambahnya umur hewan yang sejalan dengan penambahan bobot hidupnya, maka bobot karkas akan bertambah. Secara umum bobot hidup dipengaruhi oleh umur. Semakin bertambahnya umur hewan maka semakin besar bobot badannya (Yurmiati 1991). Hewan jantan biasanya tumbuh lebih cepat daripada hewan betina pada umur yang sama, sehingga jenis kelamin

menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan (Soeparno 2005). Nilai komersial karkas pada umumnya tergantung pada ukuran, struktur dan komposisinya. Sifat- sifat struktural karkas yang utama untuk kepentingan komersial tersebut meliputi bobot, proporsi jaringan-jaringan karkas, serta kualitas dagingnya (Kempster et al.

1982).

Jeroan adalah bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala, ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing, dan alat reproduksi. Jeroan (edible offal atau disebut juga variety meat atau fancy meat) adalah organ atau jaringan selain otot skeletal yang lazim dan layak dikonsumsi manusia yang tidak mengalami proses lebih lanjut selain pendinginan atau pembekuan. Jeroan terdiri dari jantung, lidah, hati, daging di kepala, otak, timus, dan atau pankreas, lambung, usus, ginjal, dan buntut (Lukman et al. 2009).

Konversi Sapi Hidup

Sapi hidup yang telah dipotong akan menghasilkan bagian-bagian meliputi: kepala, lidah, kaki, kulit basah (hide), oxtail (ekor), jeroan (jeroan merah dan jeroan hijau), lemak, dan karkas (daging tanpa tulang). Bobot karkas sapi

Brahman optimal dengan persentase karkas yaitu 54% dari berat hidup (Ngadiyono 1995). Perbedaan pertumbuhan otot dalam daging menyebabkan perbedaan distribusinya, sehingga tingkat kematangan otot dalam daging tercapai pada waktu yang berbeda-beda (Priyanto 1993). Daging yang diperoleh setelah pemotongan sesuai menurut nama dagang meliputi : shin shank, blade, top blade, bolard blade, chuck, chuck tender, brisket, cube roll, strip loin, tenderloin, rump, silverside, topside, dan knuckle. Pertulangan yang dihasilkan dari sapi hidup meliputi : bone, bone sp, neck bone, brisket bone, beck bone, leg bone, spare ribs, short ribs, back ribs, konro, scapula, tail top, tendon (yellow and white).

Tekstur dan keempukan daging merupakan penentu kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi tekstur dan keempukan yaitu spesies, genetik, umur, jenis kelamin (antemortem), pelayuan, metode penyembelihan, pengolahan, penyimpanan dan penambahan bahan pengempuk (postmortem). Struktur

daging serta jus daging mempengaruhi keempukan daging (Soeparno 2005). Ukuran serabut otot ditentukan oleh jumlah serabut, ukuran serabut, serta jumlah

perimisium yang mengelilingi dan menyelimuti ikatan. Perbedaan lain yang menyebabkan keempukan daging yaitu kandungan lemak. Lemak betina dara lebih banyak dibandingkan jantan kastrasi (Soeparno 2005). Kastrasi menyebabkan hewan menjadi gemuk karena dapat merubah sistem hormonal yang menyebabkan perubahan komposisi tubuh dan karkas. Perbedaan komposisi disebabkan oleh steroid kelamin.

Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan dingin (2–5 °C) setelah hewan disembelih, serta memberikan dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah rib dan loin. Selama maturasi akan terjadi pemecahan atau fragmentasi protein miofibriler oleh enzim-enzim alami menghasilkan perbaikan keempukan daging, khususnya pada bagian rib dan loin. Pada suhu 2 ºC, waktu yang dibutuhkan untuk pematangan daging adalah 10-15 hari, namun dengan alasan ekonomi waktu diturunkan menjadi 7-8 hari. Akibat permintaan penyediaan daging yang cepat dan berkembangnya pasar swalayan dan toko-toko daging yang dilengkapi dengan rantai dingin maka waktu maturasi di tingkat RPH dipersingkat menjadi 1- 2 hari; setelah rigor mortis terbentuk karkas (whole and retail cuts) sudah bisa didistribusikan ke pasar swalayan atau toko daging, dengan harapan proses aging

akan berlangsung selama display produk daging tersebut.

Faktor yang Mempengaruhi Konversi Daging

Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi bobot tubuh yang meliputi komponen karkas. Pemilihan sapi sebagai calon bibit pengganti ataupun calon penggemukan sering dirasa sulit. Pada saat peternak melakukan pemilihan sapi diperlukan pengetahuan, pengalaman, dan kecakapan yang cukup serta kriteria dasar yang meliputi bangsa dan sifat genetis bentuk luar, dan kesehatan (Sugeng 2007). Pembibitan merupakan usaha yang padat modal dan membutukan waktu yang cukup lama sehingga tanpa penanganan yang serius bisa mendatangkan kerugian yang tidak sedikit (Abidin

2002). Faktor yang mempengaruhi konversi daging meliputi genetik, jenis kelamin dan kastrasi, nutrisi serta mikroorganisme pada daging (Soeparno 2005).  

Genetik

Bangsa sapi memiliki sifat genetis yang berbeda satu dengan yang lain baik mengenai daging ataupun kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan antara lain penyesuaian iklim dan pakan. Perbedaan komposisi tubuh dan karkas diantara bangsa hewan, terutama disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa atau perbedaan bobot pada saat dewasa. Adanya perbedaan perbandingan komposisi karkas antara bangsa tipe besar dan kecil pada bobot yang sama disebabkan bangsa tipe besar akan lebih berdaging (lean) dan lebih banyak mengandung protein, proporsi tulang lebih tinggi dan lemak lebih rendah, daripada bangsa tipe kecil (Wiliams 1982). Perbedaan ini disebabkan karena pada bobot yang sama, bangsa tipe besar secara fisiologis lebih mudah berkembang.

Perbedaan proporsi lemak tubuh dan karkas diantara bangsa sapi tipe besar dan kecil itu juga terjadi pada domba dan babi pada bobot tubuh atau karkas yang sama. Berpangkal dari sifat genetis suatu bangsa sapi yang bisa diwariskan kepada keturunannya, maka sapi akan mengekspresikan kapasitas genetik individu secara sempurna pada kondisi lingkungan yang ideal (Lawrie 2003). Bentuk atau ciri luar sapi berkorelasi positif terhadap faktor genetis seperti laju pertumbuhan, mutu, dan hasil akhir. Sapi yang bentuk luarnya bagus umumnya hasil akhir berupa daging pun bagus. Bangsa sapi yang bentuk luarnya memenuhi persyaratan di atas tidak berarti jika tidak sehat. Oleh karena itu peran pemerintah dalam penanganan pemeliharaan sangat dibutukan untuk mendapatkan bibit sapi yang benar-benar sehat (Sugeng 2007). Perbedaan koefisien pertumbuhan juga terjadi antara grup bangsa sapi jantan, sapi jantan kastrasi, dan betina dara, yang menunjukkan adanya perbedaan genetik di dalam kadar laju penggemukan

(fattening) dan kenaikan proporsi lemak (Berg dan Butterfield 1976).

Jenis kelamin dan kastrasi

Hewan jantan dan betina memiliki bobot badan yang berbeda. Jantan cenderung lebih besar daripada betina. Kastrasi merupakan tindakan pemotongan

saluran reproduksi hewan jantan. Tindakan kastrasi akan mengubah sistem hormonal hewan jantan. Adanya perbedaan komposisi karkas antara jenis kelamin disebabkan oleh steroid kelamin. Pada sapi betina, jumlah lemak lebih besar daripada jantan kastrasi dan keduanya lebih besar daripada pejantan yang tidak dikastrasi. Pada babi, jumlah lemak babi kastrasi lebih besar daripada babi dara, dan lebih besar daripada babi pejantan (Wiliams 1982). Hewan jantan yang dikastrasi akan cenderung lebih gemuk dalam waktu awal. Jenis kelamin tidak mempengaruhi komposisi karkas pada bobot kurang dari 10 kg (Black 1983). Sebaliknya pada bobot hidup yang lebih tinggi, jenis kelamin dapat mempengaruhi komposisi karkas. Telah dikemukakan bahwa bobot domba jantan akan memiliki komposisi otot dan tulang yang lebih besar daripada domba betina (Crouse et al. 1978). Perbedaan komposisi karkas yang disebabkan oleh jenis kelamin dan tindakan kastrasi ini baru dapat terlihat setelah mencapai fase pertumbuhan penggemukan.

Nutrisi

Fase pertumbuhan penggemukan dipengaruhi oleh nutrisi yang diberikan sebagai pakan terhadap hewan. Nutrisi merupakan substansi yang mempengaruhi konversi daging dalam bentuk proporsi optimal. Peningkatan energi pakan dan komsumsi energi akan meningkatkan kadar lemak karkas, asalkan protein tidak merupakan faktor pembatas. Karkas yang berasal dari hewan yang diberi pakan berenergi tinggi mengandung lemak lebih banyak daripada yang diberi pakan berenergi rendah. Peningkatan konsumsi energi akan meningkatkan kadar laju pertumbuhan dan dapat menghasilkan karkas yang lebih banyak. Pada umumnya, energi pakan yang tinggi akan menghasilkan bobot yang lebih berlemak daripada pemberian pakan berenergi rendah pada kurun waktu tertentu. Peningkatan kadar energi pada pakan dapat berakibat terjadinya penurunan persentase protein dan kenaikan persentase lemak. Hasil terbaru yang dikemukakan bahwa pakan yang berenergi tinggi tidak mempunyai pengaruh terhadap kadar lemak pada karkas domba kastrasi yang dievaluasi berdasarkan bobot konstan (Burton dan Reid 1969). Pengaruh nutrisi terhadap komposisi karkas melibatkan interaksi antara aras konsumsi dan komposisi pakan. Kenaikan atau penurunan konsumsi pakan

dapat berhubungan dengan kualitas pakan dan sebagai akibatnya dapat mempengaruhi karakteristik daging yang dihasilkan. Sapi yang digemukkan secara feedlot adalah sapi yang memiliki pertumbuhan yang tinggi sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai bobot tertentu mejadi lebih singkat. Waktu penggemukan yang lebih singkat ini dimaksudkan untuk memperoleh efisiensi ekonomi dalam penggunaan pakan (Tillman et al. 1984). Di Indonesia, sapi

Brahman Cross diekspor ke Australia sekitar tahun 1973 namun penampilan yang dihasilkan tidak sebaik dengan di Australia. Hasil pengamatan di ladang ternak Sulawesi Selatan memperlihatkan persentase beranak 40.91%, calf crop 42.54%, mortalitas pedet 5.93%, mortalitas induk 2.92%, bobot sapih umur 8-9 bulan 141.5 kg (jantan) dan 138.3 kg (betina), pertambahan bobot badan sebelum disapih sebesar 0.38 kg/hari (Hardjosubroto dan Astuti 1994). Jadi tingkat perlemakan karkas pada bobot potong tertentu dapat dimanipulasi dengan mengubah kebutuhan protein dan energi pada kondisi lingkungan tertentu.

   

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada tanggal 11 dan 12 September 2009, di rumah potong hewan PT. Elders Indonesia yang berlokasi di kampus IPB Dramaga.

Alat dan Bahan

Jenis hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi Brahman Cross sebanyak 6 ekor yang berasal dari Santori feedlot (penggemukan). Sapi dibagi menjadi tiga kelas yang masing-masing kelas terdiri dari dua ekor sapi. Kelas yang digunakan adalah kelas yang biasa digunakan dalam penjualan sapi di pasar yaitu : kelas I (450-500 kg), kelas II (501-550 kg), dan kelas III (551-600 kg).

Alat-alat yang digunakan terdiri dari timbangan digital, boks plastik, pita, borang data, dan alat tulis.

Metode Penelitian

  Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu penyeleksian hewan, penyembelihan, penanganan karkas, dan penimbangan. Semua tahapan dilakukan mengikuti metode yan biasa dilakukan oleh rumah potong hewan PT. Elders Indonesia. Penanganan hewan mulai dari :

Penyeleksian Hewan

Penyeleksian hewan sebagai sampel dilakukan dengan melihat dokumen atau surat jalan pengiriman hewan dari administrasi PT Elders Indonesia berupa keterangan identitas hewan (dilihat dari nomor eartag) dan bobot hidup hewan. Sapi tersebut kemudian dikelaskan menjadi tiga kelas yaitu kelas dengan bobot hidup I, II, dan III. Masing-masing kelas diberi tanda pita pada telinga dengan warna yang berbeda.

Setelah sapi diturunkan dari truk selanjutnya dilakukan pemeriksaan

antemortem. Sebelum disembelih, sapi diistirahatkan selama 6-12 jam di kandang penampungan. Setelah hewan diistirahatkan selanjutnya dilakukan pemuasaan yang bertujuann untuk memperoleh bobot tubuh kosong (karkas) serta untuk

mempermudah penyembelihan dan pengeluaran jeroan. Sapi yang dinyatakan sehat kemudian dibersihkan dan digiring menuju tempat pemotongan.

Pemingsanan sapi di RPH dilakukan dengan menggunakan senjata pemingsan atau stunning gun. Pemingsanan dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan pemotongan, menghindarkan stres, menghindarkan kerusakan daging, dan menghasilkan kualitas karkas yang baik.

Penyembelihan

Penyembelihan dilakukan pada bagian leher dengan memotong arteri karotis, vena jugularis, trachea, dan oesophagus. Penyembelihan dilakukan secepat mungkin untuk meminimalkan rasa sakit dan disembelih menurut syariat agama Islam.

Penanganan Karkas

Penanganan karkas merupakan tindakan langsung setelah penyembelihan. Tahap penanganan karkas terdiri atas penggantungan, pengulitan, dan pengeluaran jeroan. Penanganan karkas merupakan tindakan postmortem untuk mengetahui kualitas hewan setelah disembelih.

Sapi yang telah disembelih, digantung menggunakan katrol baja. Penggantungan dilakukan pada bagian tendo achilles (kaki belakang) atau paha tulang pelvis. Setelah sampel tergantung, kaki depan dan kepala sapi dipotong menggunakan pisau. Saluran oesophagus disumbat menggunakan karet agar sisa- sisa saluran pencernaan tidak mengkontaminasi karkas. Kaki bagian belakang dipotong menggunakan cutting leg. Kepala, kaki, dan kulit ditimbang dalam ruang offal.

Pengulitan dilakukan setelah pemotongan kaki dan kepala. Pengulitan dilakukan dengan menggunakan skinning knive (pisau untuk pengulitan). Sebelum pengeluaran jeroan, dilakukan pembelahan dada (breast splitting)

dengan menggunakan brisket splitting. Pengeluaran jeroan terdiri dari dua tahapan, yaitu mengeluarkan saluran pencernaan (jeroan hijau) dan kemudian mengeluarkan isi rongga dada (jeroan merah). Jeroan hijau berupa rumen,

retikulum, omasum, abomasum, dan usus dibersihkan lalu ditimbang. Jeroan merah seperti hati, paru, limpa, ginjal, dan jantung.

Jeroan merah kemudian di trimming dan dilakukan pemeriksaan

postmortem lalu ditimbang. Jeroan hijau pun dibersihkan kemudian ditimbang. Lemak hasil pemotongan (jagal), lemak perut maupun lemak leher, dan buntut

(oxtail) juga ditimbang. Karkas dipotong secara longitudinal dengan menggunakan mesin gergaji atau biasa disebut chain shaw. Masing-masing karkas dibersihkan atau dicuci untuk pembersihan darah, serpihan tulang, dan kotoran lain yang masuk ke dalam karkas. Setelah itu, karkas ditimbang lalu dilayukan (aging) dalam ruang pendingin selama 16-18 jam hingga suhu daging bagian terdalam (deep point area) mencapai suhu 7 oC dan pH 4.

Penimbangan

Karkas dikeluarkan dari chilling room (ruang pendingin) kemudian ditimbang sebagai bobot karkas sebelum boning dengan menggunakan timbangan digital yang diletakkan pada alat penggantung karkas kemudian karkas dimasukkan ke dalam ruangan boning.

Pengambilan Data

Pengambilan data diperoleh dengan cara menimbang tiap karkas, bagian- bagian non karkas, dan jeroan yang diperoleh setelah dilakukan pemotongan dan pemisahan tiap bagian karkas dan jeroan menggunakan timbangan digital yang disediakan oleh rumah potong hewan PT. Elders Indonesia.

Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan program Excel 2007.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Hewan

Keadaan hewan pada awal penelitian dalam keadaan sehat. Sapi yang dimiliki oleh rumah potong hewan berasal dari feedlot milik sendiri yang sistem pemeriksaan kesehatannya terpantau secara berkelanjutan. Sapi yang diterima harus memenuhi standar kriteria yang ditetapkan PT. Elders Indonesia. Peternakan dapat memastikan seluruh hewan yang dikirim adalah hewan yang sehat dan mendapatkan pakan baik yang mengandung konsentrat dan protein yang tinggi. Hal yang sama diungkapkan oleh Lestari et al. (2005) bahwa hewan yang mendapatkan pakan dengan komposisi protein yang cukup akan menghasilkan bobot karkas yang tinggi.

Sebelum sapi dipotong dilakukan pemeriksaan antemortem terlebih dahulu oleh petugas medis yang dimiliki pihak rumah potong hewan PT. Elders Indonesia. Sapi yang telah diperiksa harus diistirahatkan terlebih dahulu agar mengurangi keadaan stres. Istirahat yang diberikan pada sapi yang akan dipotong sekitar 6-12 jam. Menurut Soeparno (2005) hewan harus diistirahatkan selama 12-18 jam sebelum dipotong, sapi harus dipuasakan agar memperoleh bobot tubuh kosong (karkas optimal), sehingga pengukuran yang dilakukan tepat. Sapi yang sudah mendapatkan prosedur yang tepat harus dibersihkan terlebih dahulu agar mengurangi rasa stres setelah itu dimasukan ke dalam ruang potong. Tindakan ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat mengenai hewan yang meliputi jumlah karkas, jeroan, dan lainnya.

Tindakan kedua adalah postmortem (pemeriksaan setelah pemotongan) yaitu pemeriksaan karkas dan alat-alat dalam (viscera), serta produk akhir. Pemeriksaan postmortem yang dilakukan antara lain adalah pemeriksaan karkas, pertama dari kelenjar limfe, pemeriksaan kepala pada bagian mulut, lidah, bibir, dan otot masseter, dan pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal, hati serta limpa. Jika terdapat kondisi abnormal pada karkas, organ internal atau bagian-bagian karkas lainnya, maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Proporsi Karkas dari Bobot Hidup

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena mengetahui tingkat konsumsi pakan. Pertumbuhan dapat diukur dengan menghitung selisih bobot awal dengan bobot akhir setelah proses pemeliharaan lalu dibagi dengan lama pemeliharaan (Soeparno 2005). Bobot potong adalah bobot tubuh hewan sesaat sebelum dipotong (Sugana dan Duldjaman 1983). Meiaro (2008) mengemukakan bahwa bobot potong akan memiliki korelasi positif dengan tubuh kosong (bobot karkas optimal). Peningkatan bobot potong akibat

Dokumen terkait