• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN RUMAH DAN PRODUKSI SARANG BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga)

TINJAUAN PUSTAKA Burung Walet ( Collocalia fuciphaga)

Collocalia fuciphaga merupakan spesies dari burung walet yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Menurut MacKinnon (1995), spesies ini berukuran sedang (12 cm), tubuh bagian atas berwarna coklat kehitam-hitaman dengan tungging abu-abu pucat, tubuh bagian bawah berwarna coklat, sayap berbentuk bulan sabit memanjang dan runcing, memiliki ekor yang menggarpu dan kuku yang tajam. Kedua jenis kelamin pada burung ini sulit dibedakan, memiliki bobot tubuh 8,7-14,8 gram (Dunning, 2008) dan bentang sayap 110-118 mm (Campbell dan Lack, 1985). Menurut Campbell dan Lack (1985), burung ini bersifat monogami dan induk betina menghasilkan dua butir telur yang dierami oleh kedua induk selama 23±3 hari.

Burung walet sarang putih memiliki klasifikasi zoologis sebagai berikut (Bird Life International, 2009): Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Aves Ordo : Apodiformes Famili : Apodidae Genus : Collocalia

Spesies : Collocalia fuciphaga (Thunberg, 1812)

Burung ini merupakan penerbang yang kuat, mampu terbang sekitar 40 jam secara terus menerus, menjelajahi home range dengan radius 25-40 km (Mardiastuti et al., 1998). Burung walet menggunakan ekholokasi sehingga mampu terbang di tempat yang gelap (Soehartono dan Mardiastuti, 2003).SarangCollocalia fuciphaga terbentuk dari air liur burung tersebut yang mengeras (Mardiastuti et al., 1998).

Habitat Burung Walet

Habitat adalah tempat yang digunakan untuk mencari pakan, minuman dan berkembangbiak. Secara alami burung walet merupakan penghuni gua batu kapur yang dikelilingi hutan yang lebat (MacKinnon, 1995). Burung tersebut menggunakan langit-langit gua untuk menempelkan sarang sebagai tempat istirahat atau tidur dan

berbiak. Menurut Kepmenhut Nomor 449/Kpts-II/1999, burung walet (Collocalia fuciphaga) menempati habitat dua habitat, yaitu habitat alami dan habitat buatan. Habitat alami (In-Situ) burung walet adalah gua-gua alam, tebing/lereng bukit yang curam beserta lingkungannya sebagai tempat burung walet hidup dan berkembang biak secara alami, baik yang berada di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Habitat buatan (Ex-Situ) burung walet adalah bangunan sebagai tempat burung walet hidup dan berkembang biak. Habitat untuk burung walet dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelas, yaitu habitat makro dan mikro.

Habitat Makro Burung Walet

Habitat makro merupakan daerah tempat burung walet mencari pakan. Habitat makro burung walet adalah di sekitar pantai dan daerah yang ditumbuhi banyak tanaman atau hutan (Gosler, 2007). Habitat mencari pakan yang paling cocok untuk spesies Collocalia fuciphaga adalah campuran antara sawah dan tegalan (50%), lahan basah (20%), dan daerah berhutan (30%) yang terletak hingga 1.500 m di atas permukaan laut (dpl) (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). Faktor pakan sangat bergantung dengan habitat makro, sehingga habitat makro sangat penting bagi kelangsungan hidup burung walet (Sumiati, 1998).

Habitat Mikro Burung Walet

Habitat mikro burung walet adalah tempat burung tersebut tinggal, bersarang, dan berkembangbiak. Habitat mikro tersebut ada dua, yaitu gua dan rumah, yang pada hakekatnya mempunyai sifat ekologis yang serupa dalam hal kelembaban, suhu, dan cahaya (Sumiati, 1998). Habitat mikro burung walet yang ideal adalah daerah yang mempunyai kondisi udara dengan suhu 27-29oC dan kelembaban 70-95% (Sofwan dan Winarso, 2005), tenang, aman, tersembunyi dan tidak banyak terganggu predator serta burung walet mudah menempelkan sarangnya dan mudah keluar masuk ruangan. Sedangkan intensitas cahaya yang disukai burung walet adalah mendekati 0 lux (gelap total) (Francis, 1987).

Suhu yang terlalu rendah dapat mengurangi produktivitas sarang, sedangkan kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan jamur pada tempat peletakan sarang dan terjadi pertumbuhan nyamuk pada genangan air di dalam rumah burung walet (Ibrahim et al., 2009). Selain itu, kondisi sirip burung walet yang

terlalu lembab juga tidak disukai burung walet karena dapat menyebabkan sarang mudah lepas dan terjatuh. Menurut Sawitri (2007), upaya untuk menstabilkan suhu dan kelembaban dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya: (1) membuat lubang sirkulasi udara dengan PVC berdiameter 0,75-1” dengan jarak 60 cm di sepanjang dinding, (2) menyediakan air atau arang di dalam tempayan-tempayan, (3) memasang jaringan pipa air pada dinding, (4) membasahi permukaan tembok dan lantai dalam ruangan secara berkala, (5) membuat kolam depan rumah burung walet, (6) melapisi atap plafon dengan aluminium foil, sekam padi, atau kulit kerang, dan (7) memasang sprayer di atap rumah burung walet untuk pengkabutan, terutama pada musim kemarau. Selain itu, menurut Taufiqurohman (2002), dapat juga dilakukan dengan membuat saluran air atau kolam dan atap rumah burung walet berbahan genting. Kolam yang dibuat di atap bertujuan meredam panas radiasi matahari pada siang hari.

Saat terbang dalam kegelapan di dalam gua maupun rumah burung walet, burung ini menggunakan daya ekholokasi untuk melakukan navigasi (Mardiastuti et al., 1998). Daya ekholokasi adalah suatu sistem yang digunakan oleh burung untuk mengenal keadaan lingkungan suatu tempat (terutama dalam keadaan gelap), dengan mengeluarkan suara putus-putus berfrekuensi tertentu dan kemudian menangkap kembali pantulan suara itu dengan telinganya untuk menentukan jarak dan arah dari benda yang memantulkannya. Menurut Thomassen dan Povel (2006), daya ekholokasi digunakan juga sebagai pendeteksi sarang milik burung walet tersebut.

Rumah Burung Walet

Burung walet berkembangbiak dan membuat sarang di gua-gua atau rumah burung walet. Rumah burung walet berbeda dengan gua, namun burung walet terbukti mampu beradaptasi dan dapat bersarang di dalamnya. Menurut Mardiastuti et al. (1998), jumlah rumah burung walet pada tahun 1998 diperkirakan mencapai 7.500 sampai 10.000 rumah yang sebagian besar terdapat di Pulau Jawa dan Sumatera Utara. Rumah burung walet di Jawa banyak ditemukan di sepanjang pantai utara, dengan peningkatan pesat terjadi di Indramayu (Jawa Barat) dan Gresik (Jawa Timur) (Mardiastuti et al., 1998).

Mardiastuti et al. (1998) menyatakan bahwa rumah burung walet dapat berupa bangunan tua, bangunan hasil rehabilitasi rumah seriti, atau bangunan baru

yang dikondisikan iklim mikronya sesuai habitat asli burung walet. Bangunan tua yang menjadi rumah burung walet pada umumnya berasal dari rumah-rumah tua peninggalan zaman Belanda. Secara umum bangunan tersebut berbentuk seperti gedung besar berukuran 10 x 15 m sampai 10 x 20 m, dengan ketinggian tembok 5-6 m. Menurut Taufiqurohman (2002), ruangan dapat dibuat bertingkat berdasarkan ketinggian minimum 2 m, setiap tingkat dipetak-petak lagi menjadi beberapa ruangan sehingga akan menciptakan suasana dalam gua-gua batu karang alami.

Penggunaan ruangan oleh burung walet menurut Mardiastuti et al. (1998) terbagi menjadi tiga ruang (Gambar 1), yaitu:

1. Roving area adalah tempat untuk terbang berputar-putar di halaman rumah burung walet. Ukuran roving area tergantung banyaknya populasi burung walet. Setidaknya diberi lahan kosong di depan pintu burung walet seluas 4 x 4 x 4 m3. Burung walet mempunyai kebiasaan terbang berputar-putar dulu di roving area sebelum masuk ke dalam rumah burung walet pada sore hari.

2. Roving room adalah ruangan di dalam rumah burung walet dan terletak setelah lubang masuk burung walet, berfungsi sebagai tempat terbang berputar-putar sebelum hinggap di tempat bersarang.

3. Resting/Nesting room adalah ruangan di dalam rumah burung walet tempat burung tersebut beristirahat pada malam hari. Ruangan tersebut juga berfungsi sebagai tempat untuk bersarang, biasanya terdiri dari sekat-sekat yang beraturan.

Gambar 1. Denah Penempatan Ruang di dalam Rumah Burung Walet (Mardiastuti et al., 1998)

Lubang masuk burung

Pintu masuk

Atap rumah burung walet terbuat dari genteng dan berdinding bata plester tebal yang biasanya berkapur putih juga memiliki plafon dan wuwungan yang tinggi (empat meter atau lebih) (Mardiastuti et al., 1998). Kemiringan atap yang tajam baik digunakan untuk rumah burung walet di daerah panas karena memiliki sirkulasi udara yang baik dan menyejukkan udara di dalamnya. Rumah burung walet dalam kondisi tertutup dan hanya terdapat satu pintu untuk manusia, sedangkan lubang masuk burung walet dalam satu rumah biasanya terdapat lebih dari satu buah yang terletak di atas dengan tinggi minimum dua meter dari tanah. Lubang masuk burung walet berbentuk persegi panjang dengan ukuran yang bervariasi namun cukup untuk burung walet bergerak bebas keluar masuk. Ukuran lubang tersebut pada umumnya adalah panjang 30 cm dan lebar atau tinggi 18-20 cm. Posisi lubang ini sebaiknya tidak menghadap ke Timur atau Barat karena merupakan arah matahari terbit dan terbenam sehingga memungkinkan cahaya masuk ke dalam rumah secara langsung. Disamping itu, upaya lain untuk meminimalkan cahaya yang masuk dapat dilakukan dengan pemasangan karung goni di depan lubang masuk burung walet.

Pakan Burung Walet

Campbell dan Lack (1985) menyatakan bahwa burung walet adalah aerial insectivore, yaitu jenis burung yang menangkap serangga pada saat burung terbang. Menurut Mardiastuti et al. (1998), burung walet sering dijumpai berkumpul mencari pakan di tempat yang sama sehingga tampak bahwa burung walet mencari pakan secara bergerombol meskipun pada dasarnya burung walet mencari pakan secara soliter. Hal ini dikarenakan serangga pakan burung walet seringkali terdapat dalam suatu kumpulan yang besar. Jenis-jenis pohon yang sering didatangi burung walet adalah beringin (Ficus benjamina), kenari (Canarium commune), kihujan (Samanea saman), angsana (Pterocarpus indicus), dan flamboyan (Delonix regia). Selain itu, menurut MacKinnon (1995), pohon yang sering didatangi burung walet adalah pohon Ara (Ficus annulata) karena banyak tawon yang sering beterbangan di atasnya.

Serangga pakan burung walet merupakan serangga yang sangat kecil, diperkirakan memiliki panjang 1 sampai 2 mm (Mardiastuti et al., 1998). Serangga pakan burung walet yang terbanyak dikonsumsi adalah ordo Hymenoptera dan Diptera (Lourie dan Tompkins, 2000). Menurut Mardiastuti et al. (1998), empat ordo serangga yang menjadi pakan burung walet dengan urutan dominasi serangga pakan

adalah Hymenoptera (89,8%) (lebah, tawon, semut terbang), Coleoptera (8,3%) (kumbang, kepik, kunang-kunang), Homoptera (1,7%) (lalat putih, kutu loncat, wereng) dan Diptera (0,2%) (nyamuk, lalat). Sedangkan jika dilihat pada tingkat famili, maka famili Formicidae merupakan jenis seranggga pakan yang paling banyak dikonsumsi oleh burung walet, yakni mencapai 98,2% dari ordo Hymenoptera atau 88,2% dari keseluruhan pakan burung walet.

Kebiasaan Burung Walet

Burung walet hidup di rumah yang disukainya secara berkoloni dan memiliki homing instinct, yang akan membuatnya selalu kembali dan tinggal di rumah yang sama selama mereka nyaman dan keamanannya tidak terganggu. Menurut Chantler dan Driessens (1995), burung walet sangat setia pada tempat bersarangnya dan akan kembali pada tempat yang sama pada musim biak.

Burung walet mempunyai kebiasaan membuat sarang di gua-gua kapur atau di rumah burung walet. Collocalia fuciphaga memilih bersarang pada permukaan yang kering dengan bidang vertikal (Solihin et al., 1999). Burung ini mempunyai kebiasaan bersarang dalam kelompok. Jarak satu sarang dengan sarang lainnya sangat berdekatan, bahkan beberapa “kaki sarang” saling bersinggungan. Perilaku bersarang ini diduga berkaitan dengan keamanan terhadap berbagai gangguan dan sebagai upaya meningkatkan suhu saat mengerami telur (Mardiastuti et al., 1998). Viruhpintu et al. (2002) menyatakan bahwa pada sebuah gua di Thailand, Collocalia fuciphaga bersarang secara berkelompok dengan jumlah sarang sekitar 10 sampai lebih daripada 1.000 keping dengan luasan rata-rata 12,32 m2.

Kebiasaan mencari pakan oleh burung walet dilakukan sejak keluar rumah pada pagi hari hingga sore hari. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Purwaka (1989), burung walet (Collocalia fuciphaga) mulai keluar pada pagi hari sejak pukul 04.57 sampai 05.23 WIB dan masuk rumah pada sore hari pukul 17.47 sampai 18.12 WIB. Pukul 05.00 sampai pukul 07.00 WIB, burung walet mencari pakan di pesawahan dekat dengan sarangnya. Udara yang panas pada siang hari menyebabkan serangga tidak keluar lagi sehingga burung walet melanjutkan perjalanannya mencari pakan di atas pohon-pohon besar sampai pukul 11.00 WIB. Burung walet banyak ditemukan bergerombol di daerah sungai pada tengah hari. Burung ini menggunakan sungai dan rawa sebagai tempat minum, mandi dan mencari pakan pada siang hari.

Sebelum kembali ke sarang, burung walet mencari pakan kembali ke sawah-sawah dan kemudian pulang menjelang sore sekitar pukul 18.00 WIB.

Sarang Burung Walet

Sarang burung Collocalia fuciphaga terbuat dari sejumlah besar air liur yang mengeras (MacKinnon, 1995). Air liur ini mengeras oleh udara di tempat yang tidak terlindung membentuk substansi berwarna putih bersih menyerupai kaca (Gosler, 2007). Sarang tersebut pada umumnya berwarna kecoklatan atau putih kotor, bagian luar padat dan keras, serta bagian dalam memiliki tekstur yang spongy. Sarang ini rapuh, mudah patah dan sebagian besar seperti lem perekat. Ujung-ujung sarang dan bagian sarang yang menempel pada dinding (kaki sarang) memiliki tekstur yang lebih keras dan kurang kenyal seperti pada bagian lainnya. Sarang tersebut memiliki bau yang khas seperti bau amis (Mardiastuti et al., 1998).

Waktu pembuatan sarang sangat bervariasi tergantung musim. Burung walet biasanya memulai membuat sarangnya beberapa minggu sebelum burung tersebut siap untuk bertelur. Menurut Francis (1987), sarang burung walet dibuat oleh burung jantan dan betina selama 30-45 hari. Musim hujan saat serangga melimpah ruah, sarang dapat diselesaikan dalam 30 hari. Bulan September-April, sarang diselesaikan dalam 40 hari. Sarang burung walet umumnya dipanen tiga kali dalam setahun, pertama pada bulan April atau Mei, kedua pada bulan Juli atau Agustus dan ketiga pada bulan November atau Desember. Sarang burung walet biasanya dibentuk secara bergantian oleh induk jantan dan betina. Seekor induk dapat menghabiskan 25-60 menit sehari untuk membuat sarang.

Komposisi zat gizi sarang burung walet bervariasi tergantung pada jenis burung, jenis pakan dan musim pembuatannya. Lau dan Melville (1994) mengemukakan bahwa komposisi kimia sarang burung walet terdiri dari 50-60% protein, 25% karbohidrat dan 10% air dengan sedikit mineral terutama kalsium, fosfor, potassium dan sulfur. Selain itu, diketahui sarang burung walet dibuat dari suatu glycoprotein yang tersusun dari protein dan karbohidrat, yang mempunyai pengaruh nyata terhadap sel darah manusia. Menurut Wieruszeski et al. (1987), glycoprotein merupakan suatu zat yang terdapat pada sarang yang dihasilkan oleh kelenjar ludah burung walet (genus Collocalia), sebagian besar berasal dari sialic acid o-glycosylproteins. Kandungan protein yang tinggi berfungsi mempercepat

regenerasi sel. Selain itu menurut Mardiastuti et al. (1998), di dalam sarang burung walet terdapat senyawa aktif 9-octadecenoic acid (ODA) dan hexadecenoic acid (HAD) sebesar 3,9-6,8%. ODA memiliki fungsi di dalam tubuh, yaitu dapat menghambat kanker, menurunkan kadar kolesterol dan sebagai media pelarut vitamin A, D, E dan K. HAD berfungsi untuk menstimulus kerja enzim sehingga dapat meningkatkan produksi energi metabolisme tubuh. Sarang burung walet dapat digunakan sebagai pangan yang dikonsumsi untuk tujuan kesembuhan bagi orang yang menderita sakit TBC dan juga dipercaya dapat memberikan kelembaban pada saluran pernafasan dan kulit, menambah energi hidup, menyehatkan tubuh dan membantu pencernaan dan penyerapan nutrisi pakan (Lau dan Melville, 1994).

Proses pemanenan sarang burung walet menurut Kepmenhut Nomor 449/Kpts-II/1999 dapat dilakukan dengan cara penen rampasan dan panen tetasan dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Panen rampasan adalah sistem pemanenan sarang burung walet yang dilakukan pada saat sarang burung walet sempurna dibuat dan belum berisi telur. Panen tetasan adalah sistem pemanenan sarang burunng walet yang dilakukan setelah anakan burung walet menetas dan sudah bisa terbang serta dapat mencari makan sendiri. Pemanenan sarang burung walet dengan cara panen tetasan wajib dilakukan minimal satu tahun sekali, sedangkan panen rampasan dapat dilakukan tiga kali dalam satu tahun.

MATERI DAN METODE

Dokumen terkait