• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Taman Nasional

Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa Taman nasional (National Park) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata serta rekreasi.

Saat ini terdapat 50 Taman Nasional di Indonesia, enam di antaranya ditetapkan sebagai situs warisan dunia (Natural World Heritage Sites). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu dari enam taman nasional tersebut yang ditetapkan sebagai situs warisan dunia pada tahun 2004. TNBBS ditetapkan sebagai situs warisan dunia karena tingkat keanekaragaman yang tinggi dan merupakan habitat berbagai flora fauna langka dan hampir punah.

Taman nasional merupakan salah satu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang mempunyai fungsi paling lengkap. IUCN mendefinisikan kawasan konservasi sebagai sebuah kawasan baik darat maupun perairan yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati (biodiversity) secara alami dan berkaitan dengan sumberdaya kultural serta dikelola secara legal atau untuk tujuan yang efektif (Borrini-Feyerabend, Kothari dan Oviedo 2004). Sedangkan konservasi adalah suatu upaya/tindakan untuk menjaga keberadaan sesuatu secara terus menerus berkesinambungan baik mutu maupun jumlah. Dengan demikian, konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan yang menjamin pemanfaatan secara bijaksana dengan tetap memelihara kualitas, keanekaragaman dan kelangsungan ketersediaannya.

Titik tolak konservasi sumberdaya alam adalah strategi konservasi dunia. Strategi ini meliputi aspek perlindungan sistem penyangga kehidupan (perlindungan proses ekologis yang merupakan sistem penyangga kehidupan, karena sistem penyangga kehidupan harus dalam keadaan yang seimbang), pengawetan keanekagaman genetik dan pelestarian manfaat.

Sebagai kawasan yang sebagian besar terdiri atas hutan, taman nasional mempunyai banyak fungsi. Hutan sebagai satu kesatuan lanskap merupakan satu kesatuan fungsi bersama-sama dengan lingkungan diluar kawasan hutan. Hutan memiliki fungsi dan peran yang sangat kompleks terhadap kehidupan, dimana masing-masing harus seimbang, baik untuk aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial dan budaya. Mull (1995) diacu dalam Fandeli dan Muhammad (2005) mengemukakan konsep pengelolaan hutan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan semua fungsinya dan dapat disimulasikan dengan menggunakan berbagai model.

Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, dalam pasal 30 menyebutkan bahwa taman nasional mempunyai fungsi penting meliputi: (1) fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; dan (3) pemanfatan secara lestari sumber daya alam untuk kepentingan penelitian,

ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya serta pariwisata dan rekreasi alam. Dengan demikian, taman nasional mempunyai fungsi memelihara keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem.

Untuk dapat merealisasikan fungsi tersebut, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi. Zonasi taman nasional terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan atau zona lainnya yang dikembangkan berdasarkan potensi dan kepentingan konservasi sumberdaya hutan dan ekosistemnya. Zona lainnya tersebut dapat berupa zona rimba rehabilitasi, pemanfaatan tradisional dan pemanfaatan khusus.

Secara konseptual, taman nasional harus mampu menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem didalamnya. Pengelolaan secara lestari harus mempertimbangkan prinsip fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya, dimana ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian pengelolaan TNBBS harus terintegrasi dengan pembangunan masyarakat di sekitarnya baik di daerah penyangga maupun enclave.

Enclave adalah wilayah di dalam kawasan konservasi, biasanya masyarakat sudah tinggal atau menempati wilayah ini sebelum suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Sedangkan daerah penyangga, secara harfiah merupakan terjemahan dari bahasa Inggris buffer zone yang dapat diartikan sebagai suatu luasan areal yang dapat berfungsi sebagai suatu peredam terhadap suatu gangguan yang biasanya tidak menguntungkan terhadap sesuatu yang kita lindungi agar tidak terjadi kerusakan akibat gangguan tersebut. Secara khusus, daerah penyangga adalah wilayah (darat maupun perairan yang berada di luar dan atau berbatasan dengan kawasan konservasi (baik sebagai kawasan hutan, tanah negara bebas, maupun tanah yang dibebani hak seperti perkebunan rakyat, hak guna usaha perkebunan, perikanan, peternakan dan lain-lain, tanah bekas hak guna usaha, tanah adat/ulayat, tanah milik), yang diperuntukkan dan mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga kawasan konservasi dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar ataupun dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan fungsi kawasan (Kemenhut 2011a).

Dengan demikian, daerah penyangga dapat dimaknai sebagai suatu areal di luar kawasan konservasi (dalam hal ini TNBBS) yang dimaksudkan untuk perlindungan atau penyangga terhadap kawasan tersebut secara keseluruhan sehingga terhindar dari tekanan-tekanan yang mengakibatkan menurunnya kondisi dan potensi kawasan atau terganggunya ekosistem termasuk habitat satwa liar sehingga menimbulkan gangguan terhadap masyarakat sekitar. Disamping itu, daerah penyangga diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi.

Dari segi pengelolaan, daerah penyangga merupakan bagian yang harus terintegrasi dalam pengelolaan taman nasional. Menurut PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, salah satu kewajiban pengelola pengelola adalah melakukan pembinaan fungsi daerah penyangga. Pembinaan tersebut meliputi peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya

dan meningkatkan produktivitas lahan.

Ironisnya masyarakat desa sekitar kawasan sebagai daerah penyangga justru menjadi pelaku perambahan dan tindak ilegal lain (illegal logging, perburuan flora fauna dilindungi dan lain sebagainya). Perambahan merupakan aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh setiap orang/masyarakat yang melakukan kegiatan bermukim dan atau berusahatani di dalam kawasan hutan atau mengerjakan/ menduduki hutan negara.

Di sisi lain keberadaan kawasan konservasi harus tetap dipertahankan terkait dengan fungsi penting yang dimiliki. Salah satu konsep pengelolaan yang diterapkan dalam mempertahankan keberadaan fungsi kawasan konservasi adalah dengan meminimalisasi interaksi masyarakat dengan kawasan konservasi, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan dan lahan hutan. Konsep tersebut banyak diterapkan oleh pengelola kawasan konservasi karena dinilai memiliki dampak yang lebih kecil terhadap kerusakan ekosistem hutan. Pada kenyataannya konsep tersebut justru memiliki banyak kekurangan karena tertutupnya akses masyarakat sekitar terhadap kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Salah satu dampaknya adalah masyarakat melakukan perambahan hutan/kawasan konservasi secara illegal yang berakibat pada semakin rusaknya kawasan hutan.

Dengan berbagai konsep dan kondisi pengelolaan taman nasional tersebut, pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi menjadi dasar pijakan penting. Pergeseran paradigma tersebut diperlukan dengan salah satu pertimbangan bahwa saat ini pengelolaan kawasan pelestarian alam belum mampu mengadopsi kebutuhan masyarakat berkaitan dengan perubahan lingkungan strategis baik nasional maupun internasional (Kemenhut 2011a).

Pada dasarnya keberhasilan pelestarian kawasan konservasi sangat tergantung pada keberhasilan dalam menangani masalah sosial ekonomi masyarakat disekitarnya. Gangguan terhadap kawasan konservasi akan berkurang bila kesejahteraan masyarakat sekitar sudah dapat dipenuhi dari hasil usaha diluar pemanfaatan hutan. Untuk itu, diperlukan solusi terhadap berkurangnya/ tertutupnya akses masyarakat terhadap kawasan hutan atau kawasan konservasi, sebab masyarakat telah hidup di sekitar kawasan konservasi tersebut jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Masyarakat di Sekitar Kawasan TNBBS

Masyarakat didefinisikan secara etimologis berasal dari bahasa Arab dengan akar kata syaraka yang berarti ikut serta atau berperan serta. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan. Beberapa literatur menyebutkan bahwa community juga sering diartikan sebagai masyarakat dimana pengertiannya mengacu pada sekelompok manusia (Soekanto 1993 diacu dalam Hasim dan Remiswal 2009). Selanjutnya, Soekanto mengemukakan bahwa masyarakat secara umum memiliki empat ciri utama, yaitu: (1) hidup bersama dan saling berinteraksi; (2) dalam jangka waktu yang cukup lama (kontinuitas waktu); (3) memiliki rasa identitas yang kuat; dan (4) adanya adat istiadat yang mengikat semua warga norma-norma, hukum, serta

aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga. Dari keempat ciri tersebut masyarakat dapat didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.

Berdasarkan definisi tentang masyarakat di atas, terdapat dua faktor sebagai pengikat yang disebut sebagai masyarakat yaitu sistem adat istiadat dan rasa identitas. Sistem adat istiadat meliputi sistem nilai budaya, norma-norma dan aturan-aturan hidup yang dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat dalam bertingkah laku. Sedangkan adat istiadat merupakan pola yang sudah mantap dan telah hidup dalam waktu yang lama secara berkesinambungan, sehingga adat istiadat menjadi sesuatu yang dianggap khas. Kekhasan ini kemudian dikomunikasikan dari generasi ke generasi melalui proses belajar.

Masyarakat di sekitar kawasan adalah masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan yang memiliki kesatuan komunitas sosial dengan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan dapat berpengaruh pada kelestarian hutan (Dephut 2008). Pengertian masyarakat dengan kesatuan wilayah sebagai kategori utamanya dikenal dengan sebutan masyarakat setempat atau komunitas (Soekanto 1990 diacu dalam Patrakomala 2006).

Dengan demikian dalam konteks penelitian ini, pengertian masyarakat yang dimaksud merujuk pada masyarakat setempat/komunitas. Komunitas dalam hal ini menunjuk pada masyarakat yang tinggal di suatu wilayah (geografis) di dalam dan di sekitar kawasan hutan TNBBS dengan batas-batas tertentu dalam lokalitas yang disebut desa/pekon.

Pemberdayaan Masyarakat

Konsep dan pengertian

Luasnya konteks pemberdayaan menjadikannya dipahami bervariasi dalam berbagai perspektif. Oleh karenanya, dalam literatur pemberdayaan yang baru, arti pemberdayaan mengarah pada diasumsikan dan bukan didefinisikan. Rappoport (1984) sebagaimana dirujuk oleh Page dan Czuba (1999) mengemukakan bahwa mudah untuk mendefinisikan pemberdayaan tetapi sulit untuk menentukannya dalam tindakan karena pada konteks berbeda akan menimbulkan pengertian yang berbeda pula. Zimmerman (1984) sebagaimana dikutip oleh Page dan Czuba (1999) menyatakan bahwa mendefinisikan pemberdayaan secara tunggal dapat membuat upaya untuk mencapainya bertentangan dengan konsep pemberdayaan itu sendiri. Pemahaman mengenai pemberdayaan sangat diperlukan, bagaimana menentukan pemahaman yang tepat akan tergantung pada orang-orang tertentu dan konteks yang terlibat (Bailey, 1992 dalam Page dan Czuba 1999).

Pemberdayaan berasal dari kata dasar daya yang berarti kekuatan atau kemampuan. Menurut Page dan Czuba (1999), secara umum, pemberdayaan adalah proses multi-dimensi sosial yang membantu orang mendapatkan kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Proses dalam hal ini adalah proses menumbuhkan daya, untuk digunakan dalam kehidupan mereka sendiri, masyarakat mereka, dengan bekerja pada isu-isu yang mereka definisikan sebagai penting.

Dengan demikian, dalam pemberdayaan terdapat tiga komponen dasar untuk memahami pemberdayaan, yaitu multi-dimensi, sosial, dan proses. Multi-dimensi berarti pemberdayaan terjadi dalam dimensi sosiologis, psikologis, ekonomi, dan sebagainya serta terjadi dalam berbagai tingkatan, seperti individu, kelompok, dan masyarakat. sedangkan dalam konteks sosial, pemberdayaan merupakan proses yang terjadi dalam hubungan dengan orang lain.

Pemberdayaan merupakan terjemahan empowerment yang secara harfiah berarti pemberkuasaan dalam arti pemberian atau peningkatan kekuasaan kepada masyarakat (Huraerah 2008). Bertolak dari pengertian tersebut, pemberdayaan dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan (Sulistiyani 2004). Lebih lanjut, dikemukakan bahwa pengertian proses tersebut merujuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pantahapan upaya mengubah masyarakat menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat dalam hal pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (practice).

Pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan (Suharto 2009). Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan masyarakat. Sebagai tujuan, pemberdayaan merujuk pada keadaan yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial. Lebih lanjut hal tersebut tercermin dari kemampuan beraspirasi, berpartisipasi, percaya diri, dan mandiri. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.

Moeljarto (1996) diacu dalam Yumi (2002) berpendapat bahwa pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan relasi antara subyek dengan subyek yang lain. Dengan kata lain, proses pemberdayaan mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi subyek-subyek. Konsep pemberdayaan mengacu pada kemampuan masyarakat untuk dapat mendapat akses dan kontrol sumber-sumber hidup yang penting (Riyanto 2005). Craig dan Mayo (1995) sebagaimana dikutip dalam Huraerah (2008) mengemukakan, bahwa konsep pemberdayaan berkaitan dengan kemandirian (self-help), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking) dan pemerataan (equity). Berkenaan dengan makna pemberdayaan maka inti pemberdayaan adalah pengembangan kapasitas kemampuan (enabling), penguatan daya (empowering), dan kemandirian (Winarni 1998 diacu dalam Sulistiyani 2004; Riyanto 2005).

Sebagai proses perubahan perilaku, kegiatan pemberdayaan masyarakat merupakan proses belajar yang berlangsung secara terus dan bertahap. Proses pemberdayaan tidaklah konstan, tetapi lebih pada keberlanjutan, pengembangan, dan melibatkan perubahan-perubahan dimana sasaran pemberdayaan tersebut dapat memperkuat dan melatih kemampuan untuk bertindak dan melakukan kontrol untuk hidup lebih baik bagi mereka dan masyarakat (Hur 2006). Pemberdayaan harus dilakukan secara terus menerus, komprehensif, dan simultan sampai ambang batas tercapainya keseimbangan yang dinamis antara pemerintah dan semua segmen yang diperintah (Priyatna 2009).

Sebagai sebuah proses terus-menerus, pemberdayaan melalui beberapa tahap (Sulistiyani 2004), meliputi: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri; (2) tahap transformasi berupa wawasan kemampuan, kecakapan-keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran didalam pembangunan; dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelekual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian.

Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan daram proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini pihak pemberdaya berusaha menciptakan prakondisi, agar dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Intervensi ditekankan pada kemampuan afektif untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan. Dengan demikian akan membuka keinginan dan kesadaran masyarakat tentang kondisinya saat itu dan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Pada tahap kedua, masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-keterampilan yang mempunyai relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini partisipasi masyarakat masih pada tingkat yang rendah.

Tahap ketiga merupakan tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan-keterampilan yang diperlukan agar masyarakat mampu mandiri. Kemandirian tersebut ditandai oleh kemampuan dalam membentuk inisiatif, menciptakan kreasi dan inovasi di lingkungannya. Pada tahap ini masyarakat seringkali diposisikan sebagai subyek dan pemberdaya menjadi fasilitator.

Sumodiningrat sebagaimana dirujuk dalam Sulistiyani (2004) mengemukakan bahwa masyarakat yang telah mandiri tidak serta merta ditinggalkan, tetapi tetap memerlukan perlindungan agar kemandirian tetap terpelihara dengan baik dan dengannya masyarakat dapat melakukan tindakan nyata. Hal tersebut menguatkan apa yang telah dikemukakan oleh Lippit, Watson dan Westley (1958) bahwa dalam tahap akhir suatu perubahan diperlukan stabilisasi perubahan. Dalam konteks ini stabilisasi perubahan diharapkan mampu membentuk perilaku positif masyarakat secara permanen.

Dalam konteks pemberdayaan secara umum, terdapat bidang-bidang yang diperlukan (Ndraha 2003), antara lain :

(1). Pemberdayaan politik, yang bertujuan meningkatkan bargainning position

antara yang diperintah terhadap pemerintah yang dimaksudkan agar yang diperintah mendapatkan apa yang merupakan haknya dalam bentuk barang, jasa, layanan, dan kepedulian tanpa merugikan pihak lain.

(2). Pemberdayaan ekonomi, sebagai upaya meningkatkan kemampuan yang diperintah agar dapat berfungsi dengan baik.

(3). Pemberdayaan sosial-budaya, bertujuan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui human investment guna meningkatkan nilai manusia (human dignity), penggunaan (human utilization), dan perlakuan yang adil. (4). Pemberdayaan lingkungan, dimaksudkan sebagai program pelestarian

lingkungan, agar pihak yang diperintah dan lingkungannya mampu beradaptasi secara kondusif dan saling menguntungkan.

Dengan berbagai pengertian di atas maka pemberdayaan masyarakat dalam konteks penelitian ini merupakan suatu proses terus menerus, sistematis dan bertahap yang dalam jangka panjang bertujuan untuk mewujudkan perubahan perilaku masyarakat (pengetahuan, persepsi, sikap dan tindakan) dalam akses timbal balik meningkatkan kesejahteraannya dan melestarikan kawasan. Dengan demikian, konteks ini melihat bagaimana masyarakat mempunyai pengetahuan yang membuatnya tegerak ingin melakukan suatu sikap dan memiliki ketrampilan serta motivasi dalam perilaku kemandirian yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan sesuai aturan maupun norma dalam mencapai tujuan bersama untuk kesejahteraan mereka sekaligus kelestarian kawasan. Bagi pengelola, pemberdayaan ini merupakan upaya untuk memampukan masyarakat dalam mengembangkan daya atau potensi yang dimiliki demi perbaikan mutu hidupnya secara mandiri dan berkelanjutan.

Pendampingan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat

Membangun dan memberdayakan masyarakat melibatkan proses dan tindakan sosial dimana masyarakat mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhan sesuai dengan kemampuan atau sumberdaya yang dimilikinya (Suharto 2009). Proses tersebut tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang bersadarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial/penyuluh/pendamping.

Penyuluh/pendamping hadir sebagai agen perubahan yang membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian, pendampingan merupakan interaksi dinamis antara masyarakat dan agen perubahan untuk secara bersama-sama menghadapi tantangan, antara lain: (1) merancang program perbaikan; (2) memobilisasi sumberdaya setempat; (3) memecahkan masalah; (4) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan; dan (5) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relavan dengan konteks pemberdayaan masyarakat.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Usman sebagaimana diacu dalam Huraerah (2008) mengemukakan sebagai upaya memperkuat community self- reliance atau kemandirian masyarakat, pemberdayaan merupakan sebuah proses dimana didalamnya masyarakat perlu didampingi untuk memperkuat analisis masalah yang dihadapi, menemukan alternatif pemecahannya, dan meningkatkan kemampuan serta strategi untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki.

Menurut Suharto (2009) terdapat 4 (empat) bidang tugas pendampingan yaitu pemungkinan (enabling) atau fasilitasi, penguatan (empowering), perlindungan (protecting), dan pendukungan (supporting). Pemungkinan atau fasilitasi berkaitan dengan pemberian motivasi dan kesempatan bagi masyarakat. berkaitan dengan fungsi ini, pendamping/penyuluh/fasilitator mempunyai tugas dengan menjadi model atau contoh, melakukan mediasi dan negosiasi, membangun konsensus bersama, serta melakukan manajemen sumber (segala sesuatu yang dapat digunakan dalam proses pemecahan masalah).

Penguatan berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat kapasitas masyarakat (capacity building). Pendamping berperan aktif dalam memberikan masukan positif dan terarah berdasarkan pengetahuan dan

pengalamannya. Tugas tersebut berkaitan dengan memberikan informasi dan menyelenggarakan pelatihan dan berbagai tugas fungsi penguatan lainnya.

Fungsi perlindungan berkaitan dengan interaksi pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat yang didampinginya. Pendamping bertugas mencari sumber-sumber melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan dan membangun jejaring kerja. Selain itu, fungsi perlindungan juga menyangkut tugas pendamping sebagai konsultan, yaitu orang yang bisa diajak berkonsultasi dalam pemecahan masalah, bukan hanya berupa pemberian saran tetapi lebih ditujukan untuk memperoleh pemahaman masyarakat menjadi lebih baik mengenai pilihan-pilihan untuk mengidentifikasi prosedur dan tindakan yang diperlukan.

Pendukungan mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis dan aplikatif sehingga dapat mendukung terjadinya perubahan positif pada masyarakat. dalam hal ini, pendamping dituntut mampu tidak hanya menjadi manajer perubahan yang mengorganisasikan kelompok. lebih jauh, pendamping dituntut mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar seperti analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin hubungan, bernegosiasi, berkomunikasi serta mencari dan mengatur sumber dana.

Pendekatan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan (di sekitar kawasan konservasi)

Dalam perspektif lingkungan, pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumberdaya alam dan pengelolaannya secara berkelanjutan (Riyanto 2005), jadi pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam perspektif pengelolaan hutan berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi merupakan upaya yang bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat di sekitar kawasan, meningkatkan kesejahteraannya dan meningkatkan partisipasi dalam kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan (Dephut 2008). Pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat (Kemenhut 2011b).

Konsep penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat sektor kehutanan ke arah partisipatif didasarkan pada beberapa landasan pemikiran, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Secara filosofis sumber daya alam hayati dan ekosistemnya wajib dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemanfaatan tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan azas konservasi sehingga setiap sumber daya alam hayati dapat dipertahankan dan dimanfaatkan secara berkesinambungan. Secara sosiologis seluruh masyarakat Indonesia mempunyai hak yang sama dalam memperoleh kesejahteraan. Berdasarkan konstitusi, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakatnya.

Dari segi yuridis Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa peranserta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 70 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan, dan pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.

Berdasarkan ketiga landasan pemikiran tersebut di atas, dalam rangka

Dokumen terkait