• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Effectiveness of Community Empowerment in Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP): A Case from Model Desa Konservasi (MDK) at Sukaraja and Kubu Perahu, Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Effectiveness of Community Empowerment in Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP): A Case from Model Desa Konservasi (MDK) at Sukaraja and Kubu Perahu, Lampung"

Copied!
290
0
0

Teks penuh

(1)

Kasus Model Desa Konservasi (MDK) di Pekon Sukaraja dan

Pekon Kubu Perahu, Lampung

RISTIANASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS): Kasus Model Desa Konservasi (MDK) Di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu, Lampung, adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

1

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

Bogor, Maret 2013

Ristianasari

(4)
(5)

RISTIANASARI. The Effectiveness of Community Empowerment in Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP): A Case from Model Desa Konservasi (MDK) at Sukaraja and Kubu Perahu, Lampung. Supervised by PUDJI MULJONO and DARWIS S. GANI.

Deforestation and degradation caused by encroachment area are the greatest threats to conservation of Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP) as the third-largest protected area in Sumatera. Meanwhile, many aspects related to those threats with social phenomena such as what drives people to fullfil their need and its impact to their conservation behavior cannot be separated from its management. Community has an important role in conservation, they are not only being a threat but also a potential resource. Community empowerment then become a key point. Empowering community is not just to stop the damage but directed as an effort to provide opportunities, convenience and facilitation of the people living surrounding conservation areas.

In accordance with those purpose, the empowerment considered to be effective by the increase of community involvement and self-reliance. This term of effectiveness then refers to sense of willingness to be able to develop their knowledge, awareness and skills, in order to utilize the natural resources for the welfare and conservation in the fields of ecological, economic, social and cultural. Model Desa Konservasi (MDK) is a form of community empowerment-based-economy and conservation conducted in BBSNP. MDK is an effort to improve community access, mutual roles and functions of the national park toward its preservation and community welfare. Understanding its process and impact are the most important step relating to BBSNP conservation and its management especially for designing the most appropriate approach to apply.

This study has three main objectives that include the following: (1) to analyze the effectiveness of community empowerment through MDK; (2) to analyze the factors correlated with effectiveness of community empowerment; and (3) to analyze enhancement of community empowerment approach that could ensure its effectiveness.

This study was conducted at Sukaraja and Kubu Perahu, Lampung, as a buffer zone and enclave of BBSNP from February to October 2012. The study was design using survey method. The analysis used in this study were: (1) descriptive statistic by using distribution frequency and Mann Whitney non parametric test; (2) inferencial statistic by using Rank Spearman correlation. Analysis helped by SPSS 20.0 software.

(6)

evaluation) have a very significant positive correlation with the effectivenees of community empowerment.

Understanding of community characteristics and their correlation with BBNSP and applying the most appropriate approach have relevancy to be priority and the most important point at once to improve the effectiveness of MDK empowerment program in BBSNP. The effectiveness can be increased by improving training, strengthening group, community understanding toward

empowerment, facilitator’s capacity, assistance process, networking and patnership, empowerment activity proportion due to local conditions and it’s

needs, and continuous monitoring and evaluation.

(7)

RISTIANASARI. Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS): Kasus Model Desa Konservasi (MDK) di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu, Lampung. Dibawah bimbingan: PUDJI MULJONO dan DARWIS S. GANI.

Deforestasi dan degradasi akibat perambahan kawasan merupakan permasalahan terbesar dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai kawasan konservasi terbesar ketiga di Sumatera. Sementara itu, berbagai aspek terkait kepentingan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya serta pengaruhnya terhadap perilaku konservasi mereka tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaannya. Upaya pemberdayaan masyarakat merupakan poin penting karena selain sebagai ancaman, masyarakat juga merupakan sumberdaya potensial. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi bukan sekedar untuk menghentikan kerusakan kawasan namun diarahkan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan, kemudahan dan fasilitasi terhadap masyarakat yang tinggal di sekitarnya agar mereka mandiri.

Sesuai dengan tujuan pemberdayaan tersebut maka pemberdayaan dianggap efektif atau berhasil apabila masyarakat dapat berpartisipasi dan mandiri dalam arti mau dan mampu mengembangkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilannya, guna memanfaatkan sumberdaya alam hayati untuk kesejahteraan dan memperhatikan upaya pelestarian sumberdaya alam tersebut dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.

MDK merupakan bentuk program pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi dan konservasi yang dilaksanakan TNBBS. MDK merupakan upaya penting dalam meningkatkan akses timbal balik peran masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteran masyarakat. Memahami proses dan dampak kegiatan pemberdayaan melalui MDK terhadap masyarakat merupakan langkah dasar dan strategis dalam upaya konservasi kawasan TNBBS, berkaitan dengan pengelolaannya terutama untuk merancang pemberdayaan masyarakat yang bagaimana yang paling tepat untuk diterapkan.

Penelitian ini memiliki 3 (tiga) tujuan utama, yaitu untuk: (1) menganalisis kegiatan pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS; (2) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS; dan (3) Menganalisis peningkatan efektifitas pemberdayaan MDK dengan berkaitan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang sesuai untuk diterapkan di TNBBS.

Desain penelitian menggunakan metode survey. Penelitian dilakukan di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu sebagai daerah penyangga dan enclave kawasan TNBBS dari bulan Juni sampai September 2012. Analisis menggunakan statistik deskriptif dan inferensial. Statistik deskriptif terdiri dari distribusi frekuensi uji beda non parametrik Mann Whitney, sedangkan startistik inferensial digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan analisis korelasi Rank Spearman dengan software SPSS 20.0.

(8)

manfaat langsung yang dirasakan masyarakat terhadap TNBBS) mempunyai korelasi sangat signifikan terhadap efektifitas pemberdayaan dalam hal ini partisipasi dan kemandirian. Sementara itu faktor umur, mata pencaharian dan jumlah tanggungan keluarga tidak menunjukkan adanya korelasi. Pendekatan pemberdayaan yang terdiri dari kesepahaman, kelembagaan, fasilitator, pendampingan, bentuk kegiatan pemberdayaan, dan monitoring dan evaluasi mempunyai korelasi sangat signifikan dengan efektifitas pemberdayaan.

Meningkatkan pemahaman terhadap karakteristik masyarakat dan menerapkan pendekatan pemberdayaan yang sesuai dengan kondisi masyarakat merupakan hal penting dan relevan dalam upaya meningkatkan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS. Untuk meningkatkan efektifitas pemberdayaan

MDK adalah dengan meningkatkan pelatihan masyarakat, penguatan

kelembagaan kelompok, meningkatkan kesepahaman, kemampuan fasilitator, proses pendampingan, pengembangan jejaring kerja dan kemitraan, proporsi bentuk kegiatan pemberdayaan sesuai dengan kondisi lokal setempat serta kebutuhan masyarakat dan pelaksanan monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

Kasus Model Desa Konservasi (MDK) di Pekon Sukaraja dan

Pekon Kubu Perahu, Lampung

RISTIANASARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji:

Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Basita G. Sugihen, MA

(Departemen Sains Komunikasi dan

(13)

Nama : Ristianasari

NIM : I351100061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Pudji Muljono, M. Si Prof. Dr. Darwis S. Gani, MA

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, hanya dengan karunia rahmat, berkah, hidayah dan kesehatan dari-Nya penulis dapat menyelesaikan

penyusunan karya ilmiah (tesis) dengan judul “Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat

di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS): Kasus Model Desa Konservasi

(MDK) di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu, Lampung.” Penelitian dilakukan

sejak bulan Februari sampai dengan November 2012 di TNBBS, Lampung, dengan bantuan dana penelitian dari Kementerian Kehutanan cq. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Banyak pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Komisi pembimbing, Dr. Ir. Pudji Muljono, M. Si (ketua) dan Prof. Dr. Darwis S.

Gani, MA (anggota), yang telah membimbing dan memberikan saran, masukan serta arahan sehingga penulisan tesis ini dapat lebih baik.

2. Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua Program Studi Penyuluhan Pembangunan

(PPN) IPB beserta dosen pengajar, yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa pascasarjana PPN IPB dan memberikan ilmu serta teori-teori berkaitan dengan studi yang penulis tempuh.

3. Staf Program Studi Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB, atas kerjasamanya.

4. Kepala Balai TNBBS (Ir. John Kenedie, MM), Kepala Bagian Tata Usaha

(Achmad Susdjoto, S. Sos), Kepala Bidang Pengelolaan Taman Naional (PTN) Wilayah I (Ir. Iwen Yuvanho Ismarson, S. Hut., MAP., M.Env), Kepala Bidang PTN Wilayah II di Liwa (Edi Susanto, SE, MM), Kepala Seksi PTN Wilayah I Sukaraja (Jimmy Fonda, SH) dan Kepala Seksi PTN Wilayah III Kubu Perahu (Amri, SH, M. Hum), Penyuluh Kehutanan (Riyanto, S.Hut), atas ijin dan bantuan yang diberikan selama pelaksanaan penelitian selama di lapangan.

5. Masyarakat Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu atas kerjasama dan bantuan

yang diberikan selama di lapangan.

6. Bapak (Alm) dan Ibu tercinta, Kakak dan Saudara-saudara atas doa, dorongan dan

semangat selama penulis menempuh dan menyelesaikan studi di IPB.

7. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada suami (Jimmy) dan

putera puteri tercinta (Thoriq Ammar Hafidz Fonda dan Najma Khalila Fonda) atas doa, dorongan, dengan penuh pengertian dan kesabaran telah mendampingi penulis selama menempuh dan menyelesaikan studi di IPB.

8. Teman-teman seperjuangan PPN 2010, teman-teman S2 (Sri Ramadoan Roy D.

Samboh, Saptorini, Aminuddin, Santi Utami Dewi, Ikhsan Hariyadi) dan teman-teman S3 tanpa terkecuali atas kebersamaan dan kekompakan yang terjalin.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, karenanya penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan. Masukan, saran dan arahan sangat penulis harapkan untuk menjadi lebih baik. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Amin.

Bogor, Maret 2013

(16)
(17)

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah Penelitian ... 5

Tujuan Penelitian ... 7

Manfaat Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA 8

Pengelolaan Taman Nasional ... 8

Masyarakat Sekitar Kawasan TNBBS ... 10

PemberdayaanMasyarakat ... 11

Konsep dan pengertian ... 11

Pendampingan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat... 14

Pendekatan Pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan (di sekitar kawasan konservasi) ... 15

Model Desa Konservasi ... 19

Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat ... 20

Partisipasi ... 21

Kemandirian ... 25

Konsep Perilaku ... 28

Pengetahuan (aspek kognitif) ... 29

Persepsi dan sikap (aspek afektif) ... 30

Tindakan (aspek psikomotorik) ... 30

Faktor yang mempengaruhi perilaku ... 31

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN 33

Kerangka Berpikir ... 33

Hipotesis ... 37

METODE PENELITIAN 38

Desain Penelitian ... 38

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

Populasi dan Sampel ... 39

Pengembangan Instrumen Penelitian ... 40

Jenis data ... 40

Variabel penelitian ... 40

Definisi operasional ... 41

Matriks pengembangan instrumen... 43

Kisi-kisi instrumen ... 53

Uji Instrumen ... 53

Teknik Pengumpulan Data ... 54

(18)

ii

HASIL DAN PEMBAHASAN 57

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 57

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ... 57

Masyarakat sekitar kawasan TNBBS ... 60

Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu sebagai Lokasi Pemberdayaan Masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) ... 61

Pemberdayaan Model Desa Konservasi ... 67

Karakteristik Sosio Demografi ... 69

Interaksi dan Akses terhadap Taman Nasional ... 74

Pendekatan Pemberdayaan ... 77

Efektivitas Pemberdayaan ... 80

Hubungan Karakteristik Sosio-demografi dengan Efektivitas Pemberdayaan ... 85

Hubungan Interaksi dan Akses terhadap Taman Nasional dengan Efektivitas Pemberdayaan ... 91

Hubungan Pendekatan Pemberdayaan dengan Efektivitas Pemberdayaan ... 94

Hubungan Partisipasi dengan Kemandirian ... 100

Peningkatan Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat MDK ... 101

SIMPULAN DAN SARAN 106

Simpulan ... 106

Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 109

(19)

iii

Halaman

1 Hubungan antara pendekatan, partisipasi dan level pemberdayaan ... 21

2 Klasifikasi jenjang perubahan perilaku ... 29

3 Sub Variabel, indikator, pengukuran dan skala karakteristik sosio-demografi ... 44

4 Sub Variabel, indikator, pengukuran dan skala interaksi dan akses terhadap taman nasional ... 45

5 Sub Variabel, indikator, pengukuran dan skala pendekatan pemberdayaan ... 46

6 Sub Variabel, indikator, pengukuran dan skala partisipasi 48

7 Sub Variabel, indikator, pengukuran dan skala kemandirian 48

8 Hasil uji instrumen penelitian ... 54

9 Distribusi luas kawasan TNBBS ... 57

10 Desa di sekitar kawasan TNBBS ... 61

11 Potensi Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu sebagai lokasi pemberdayaan MDK ... 64

12 Distribusi responden pada berbagai kakteristik sosio-demografi 70

13 Distribusi responden interaksi dan akses terhadap taman nasional ... 74

14 Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS ... 77

15 Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan MDK ... 81

16 Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang ekologi ... 82

17 Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang ekonomi ... 83

18 Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang sosial-budaya ... 84

19 Hubungan karakteristik sosio-demografi dengan efektifitas pemberdayaan partisipasi dan kemandirian ... 86

20 Hubungan interaksi dan akses terhadap taman nasional dengan partisipasi 91

21 Hubungan interaksi dan akses terhadap taman nasional dengan kemandirian 92

22 Hubungan pendekatan pemberdayaan dengan dengan efektifitas partisipasi dan kemandirian ... 95

(20)

iv

Halaman

1 Kerangka konseptual penelitian 36

2 Kerangka operasional penelitian 37

3 Proses pengambilan sampel 39

4 Komposisi penduduk Pekon Sukaraja berdasarkan etnis pemukim 63

5 Komposisi penduduk Pekon Kubu Perahu berdasarkan etnis pemukim 63

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Kerusakan kawasan TNBBS dalam kurun waktu tahun 1972 sampai dengan tahun 2009 117

2 Kerusakan kawasan akibat aktifitas ilegal masyarakat 118

3 Peta lokasi penelitian 119

4 Kisi-kisi instrumen penelitian 120

5 Pembagian zona/mintakat dan posisi daerah penyangga di TNBBS 124

6 Penataan zonasi di lokasi pemberdayaan masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) di Sukaraja dan Kubu Perahu 125

7 Batas pekon/desa lokasi pemberdayaan MDK dengan TNBBS 126

8 Kegiatan pemberdayaan masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) di Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu 127

9 Uji beda Mann-Whitney karakteristik sosio demografi kelompok responden Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu 128

10 Uji beda Mann-Whitney interaksi dan akses terhadap taman nasional kelompok responden Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu 129

11 Uji beda Mann-Whitney pendekatan pemberdayaan TNBBS terhadap kelompok responden Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu 130

(21)

Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 26 April 1979 dari Ayah Syamsuri (alm) dan Ibu Rum Indiati. Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 1998 penulis di terima di Universitas Gadjah Mada (UGM) Fakultas Kehutanan jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti Praktik Lapang Pengelolaan Hutan Tanaman di Perum Perhutani, Getas, Ngawi, Jawa Timur, Praktik Lapang Pengelolaan Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah dan Praktik Lapang Pengelolaan Kawasan Konservasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.

Pada tahun 2002 penulis diterima magang pada HPH PT. Intraca Wood

Manufacturing, Tarakan, Kalimantan Timur. Penulis lulus dari UGM pada tahun 2003 dengan predikat cumlaude dan pada tahun yang sama diterima pada Pusat Bina Penyuluhan Kementerian Kehutanan Jakarta. Sebelum ditempatkan di tempat tugas, penulis mengikuti magang selama 6 (enam) bulan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

(22)
(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pentingnya kawasan hutan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan tidak pernah dapat terelakkan. Hampir seluruh kawasan konservasi di Indonesia berada dalam pola interaksi yang kuat dengan masyarakat yang hidup di sekitarnya, dimana masyarakat masih mengandalkan hidupnya pada hutan. Masyarakat bergantung pada hubungannya dengan lingkungan termasuk kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Foskett dan Foskett 2004). Data empiris menunjukkan bahwa masyarakat tersebut tersebar di kurang lebih 2.805 desa didalam kawasan hutan dan kurang lebih 16.605 desa di sekitar hutan (Daryanto 2011). Sejumlah 3.526 desa diantaranya terdapat di dalam dan di sekitar hutan konservasi (Dephut 2009).

Pada umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi termasuk dalam kategori miskin (Santosa 2004), salah satunya dikarenakan terbatasnya akses terhadap kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam (Kemenhut 2011b). Sementara itu, secara teoritis, kawasan konservasi harus bebas dari pemukiman masyarakat. Kondisi inilah yang menyebabkan munculnya konflik antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan konservasi, demikian juga yang terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Kecenderungan konflik memerlukan solusi yang dapat mengakomodir semua kepentingan. Aktivitas masyarakat di sekitarnya yang bersifat eksploitatif merupakan ancaman yang akan menimbulkan dampak merugikan bagi kawasan maupun masyarakat itu sendiri. Di sisi lain, masyarakat merupakan sumberdaya potensial bagi konservasi kawasan TNBBS. Dengan demikian, kepentingan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya serta perilaku mereka tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan TNBBS. Program pemberdayaan dipandang perlu sebagai upaya untuk mendorong perilaku positif masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya dengan mempertimbangkan pelestarian kawasan.

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dengan luas 356.800 ha merupakan kawasan pelestarian alam terbesar ketiga di Sumatera. Kondisi geografis dengan bentuk kawasan memanjang mulai dari Tanjung Cina (berbatasan dengan Samudera Hindia) sampai dengan ujung selatan Provinsi Bengkulu menjadikan TNBBS memiliki tipe vegetasi paling lengkap mulai dari hutan pantai, hutan hujan pegunungan dataran rendah, hutan hujan dataran tinggi dan pegunungan. Dengan berbagai tipe tersebut, TNBBS merupakan laboratorium alam yang mempunyai keanekaragaman hayati sangat tinggi. Kawasan ini juga merupakan benteng terakhir bagi habitat berbagai spesies terancam punah dan langka yang masih tersisa di Indonesia serta merupakan kawasan penting sistem penyangga kehidupan di Sumatera bagian selatan..

Berdasarkan klasifikasi Dinerstein et al. (1997), TNBBS diidentifikasi sebagai Tingkat I Tiger Conservation Unit, yaitu area prioritas bagi aksi konservasi harimau di habitat aslinya. TNBBS juga termasuk dalam 200

Ecoregions Global, yaitu peringkat WWF tentang habitat paling biologis yang berada di darat, air tawar dan laut, serta merupakan kawasan prioritas untuk

(24)

konservasi Badak Sumatera. Dengan berbagai fungsi penting dan karakteristik yang dimiliki tersebut, pada tahun 2004, UNESCO menetapkan TNBBS sebagai

Situs/Tapak Warisan Dunia Pegunungan Cluster Area, dengan nama Tropical

Rainforest Herritage of Sumatera.

Disisi lain, kondisi geografis TNBBS dengan bentuk sempit dan memanjang menjadikan kawasan ini memiliki batas (alam maupun buatan) sepanjang ±893,39 km dan dikelilingi sekitar 210 desa (BTNBBS 2011). Besarnya jumlah desa yang berbatasan dengan TNBBS merupakan prioritas yang harus dipertimbangkan terkait kepentingan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya berkaitan dengan akses terhadap sumberdaya alam yang dimiliki TNBBS serta pengaruhnya terhadap perilaku konservasi mereka. Dalam implementasinya, masih banyak masyarakat yang belum memahami mengapa suatu kawasan hutan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional. Bagi masyarakat taman nasional merupakan kawasan terlarang yang membatasi masyarakat untuk dapat melakukan aktivitas yang selama ini lazim mereka lakukan, seperti aktivitas mencari kayu, berkebun, berburu dan mencari makanan ternak.

Di banyak negara berkembang, tekanan terhadap sumberdaya alam meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk (Hackel 1999; Kideghesho et al. 2005b; Madulu 2004; Songorwa 2004a diacu dalam Kideghesho, Roskaft dan Kaltenborn 2007). Jumlah penduduk yang semakin meningkat di sekitar kawasan TNBBS membawa konsekuensi terhadap peningkatan tekanan terhadap kawasan, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam juga semakin tinggi. Aktifitas pembukaan hutan/perambahan yang terus terjadi dan kecenderungan perilaku masyarakat yang tidak memperdulikan konservasi semakin mengkhawatirkan. Di sisi lain keberadaan kawasan konservasi harus tetap dipertahankan terkait dengan fungsi penting yang dimiliki. Dengan kondisi tersebut, melestarikan kawasan dan mengubah perilaku masyarakat merupakan tantangan terbesar dalam perspektif pengelolaan berkelanjutan di TNBBS.

TNBBS juga merupakan kawasan yang mempunyai kompleksitas penyebab deforestasi, sehubungan dengan batas kawasan dengan pemukiman dan lahan pertanian. Tingginya interaksi terkait batas kawasan menyebabkan masyarakat masuk ke dalam kawasan (merambah) dan satwa-satwa liar terdesak keluar dari kawasan. Kusworo (2000) dan Verbist et al. (2004) sebagaimana diacu dalam Suyadi (2009) menyatakan bahwa konflik kepemilikan lahan dan kepentingan antara masyarakat dan pengelola semakin memperparah kerusakan hutan. Akibat aktifitas masyarakat di dalam kawasan, TNBBS telah mengalami kehilangan tutupan lahan secara dramatis. Kawasan ini telah mengalami pengurangan tutupan

lahan hutan sejak awal tahun 1970an (Kinnaird et al. 2003). Kerusakan kawasan

TNBBS dalam kurun waktu tahun 1972 - 2009 sebagaimana dalam Lampiran 1. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) saat ini telah mengalami deforestasi (perubahan fungsi hutan) sekaligus degradasi (penurunan fungsi hutan). Dari total luas kawasan (356.800 hektar), TNBBS telah mengalami pembukaan tutupan hutan seluas kurang lebih 60.296 hektar (16,9 persen dari luas total), dimana 60.286 hektar diantaranya diakibatkan oleh aktivitas perambahan yang dilakukan oleh sekitar ±14.703 orang perambah. Laju kehilangan tutupan lahan mencapai 22,5 persen total luas kawasan selama 10 tahun terakhir (BTNBBS 2010). Apabila dibandingkan dengan rata-rata laju kerusakan dari

(25)

kerusakan yang semakin parah. Sebagian besar kerusakan tersebut adalah akibat pola ekstensifikasi lahan pertanian.

Pola ekstensifikasi inilah yang menyebabkan lahan hutan terambah, terkonversi, dan berubah fungsi menjadi kebun kakao, kopi, lada, padi, nilam serta berbagai tanaman komoditas lainnya. Selain itu kawasan TNBBS selalu terancam pencurian kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti meranti, keruing, cempaka, medang, dan tenam. Masyarakat beranggapan bahwa semakin luas lahan garapan maka semakin banyak penghasilan, sulit menyadarkannya bahwa peningkatan penghasilan dilakukan melalui pengelolaan lahan yang tepat didukung pengembangan usaha produktif sesuai dengan potensi yang ada. Pola pikir ekspansi lahan sulit dihilangkan, apalagi mengajak masyarakat untuk berpikir jangka panjang dalam pelestarian hutan karena kebutuhan mereka adalah untuk waktu sekarang. Sementara itu, dengan adanya perambahan akan mengakibatkan kerusakan yang berdampak negatif baik dari sisi konservasi maupun masyarakat itu sendiri. Apabila pemenuhan kebutuhan manusia melebihi daya dukung ekosistem maka ekosistem tersebut akan rusak (Smith 1995 dalam

Nguyen et al. 2007), dan akan merugikan masyarakat itu sendiri (Matarasso et al.

2003 diacu dalam Nguyen et al. 2007).

Semua bentuk gangguan terhadap TNBBS berimbas pada semakin terdesaknya kawasan. Selain memicu terjadinya konflik satwa-manusia yang menimbulkan kerugian material dan korban nyawa manusia, kerusakan kawasan hutan ini juga mengakibatkan daya dukung kawasan semakin menurun. Pada kenyataannya, aktivitas perambahan dan tindak ilegal lainnya dalam kawasan telah menyebabkan musnahnya ribuan meter kubik kayu dan berbagai unsur mikro dan makro organisme, memutuskan sebagian mata rantai ekosistem hutan serta mempengaruhi sistem mikro hidupan lainnya. Apabila hal ini dibiarkan maka akan menambah daftar luasan lahan kritis yang mengundang terjadinya berbagai bencana alam. Perubahan fungsi hutan akibat perambahan telah menurunkan fungsi hidrologis TNBBS dan menyebabkan 181 anak sungai yang berhulu di dalam kawasan terancam. Padahal sungai ini sangat berperan sebagai penyedia air bagi 10 kabupaten/kota di Lampung (BTNBBS 2010). Selain itu air yang dialirkan juga berperan vital bagi penyediaan air untuk pertanian dan pembangkit listrik. Kondisi demikian tentu sangat mengancam kelestarian kawasan terutama dalam penyediaan daya dukung lingkungan yang pada akhirnya dampaknya tentu saja juga akan dirasakan oleh masyarakat. Ilustrasi kerusakan kawasan akibat aktivitas ilegal masyarakat sebagaimana dalam lampiran 2.

(26)

sekitar kawasan (Borrini-Feyerabend, Kothari, Oviedo 2004). Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dapat menjadi pilar bagi terciptanya pengelolaan hutan lestari. Perilaku mereka merupakan komponen paling krusial dalam mengelola dan melestarikan hutan. Keberhasilan pengelolaan taman nasional akan dipengaruhi oleh perilaku (tingkat pengetahuan, persepsi dan sikap serta tindakan) masyarakat sekitarnya terhadap taman nasional.

Dalam banyak kasus, masyarakat jarang dimunculkan/dianalisis dalam

proses pengambilan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi (Chase et al. 2004

diacu dalam Guthiga 2008). Masyarakat lokal seringkali diabaikan dalam

pengelolaan taman nasional (Stevens 1997 diacu dalam Adiprasetyo et al. 2009),

meskipun telah diakui secara luas bahwa masyarakat di sekitar hutan merupakan kunci keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi (Ferraro 2002; Wiggins, Marfo dan Anchirinah 2004; Robertson dan Lawes 2005). Masyarakat lokal perlu dipertimbangkan untuk memperoleh pengetahuan, informasi dan manfaat dalam mengelola dan mengkonservasi kawasan dimana mereka mempunyai ketergantungan terhadapnya (Johnson 2001; White & Martin 2002 diacu dalam Guthiga 2008).

Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi kearah

pemberdayaan partisipasi telah memunculkan konsep pengelolaan pengembangan

program konservasi secara terintegrasi atau disebut Integrated Conservation

Development Program (IUCN 2004). Dengan demikian, pengelolaan kawasan konservasi tidak mungkin hanya ditekankan pada salah satu kepentingan, baik masyarakatnya saja maupun konservasi semata-mata. Mempertimbangkan masyarakat dalam upaya konservasi mutlak diperlukan, karena masyarakat merupakan kunci utama keberhasilan konservasi kawasan.

Diakomodirnya peran serta masyarakat adalah suatu keniscayaan. Luasnya sebaran kawasan konservasi, terbatasnya institusi pengelola, sumber daya manusia, dana, menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi tidak mungkin dapat berjalan dengan baik tanpa peran serta masyarakat. Upaya meletakkan pola hubungan pemerintah dengan masyarakat dalam bentuk kemitraan akan menguntungkan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat ataupun kawasan konservasi itu sendiri. Bagi masyarakat lokal, keterlibatan dalam pengelolaan kawasan konservasi bukan dilihat semata-mata sebagai sebuah tugas, tetapi didorong oleh motivasi dan rasa memiliki, dimana mereka merasa adalah bagian dari hutan atau kawasan konservasi itu sendiri (Sembiring et al. 1997).

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan bahwa penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, dengan cara meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal.

(27)

pengembangan ekonomi berbasis konservasi yang dikemas dalam bentuk kegiatan, seperti pembangunan desa konservasi. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menjelaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dengan penekanan pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan kawasan dalam zona tertentu. Beberapa poin tersebut menjelaskan bahwa porsi pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi menempati posisi sangat penting.

Pemberdayaan dimaksud merupakan proses penguatan masyarakat dengan cara memberikan motivasi dan dorongan agar masyarakat mampu menggali potensi diri dan berani bertindak untuk memperkuat kualitas hidupnya melalui pendekatan partisipasi (meningkatkan peran serta aktif masyarakat dalam kegiatan pembangunan kehutanan). Melihat artinya, maka pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi merupakan tantangan yang sangat berat karena di dalamnya terkait dengan mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat itu sendiri. Dalam rangka pemberdayaan tersebut, TNBBS telah melaksanakan berbagai kegiatan, salah satunya adalah Model Desa Konservasi (MDK). MDK merupakan bentuk program pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi dan konservasi yang merupakan upaya penting dalam meningkatkan akses timbal balik peran masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kelestarian dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan berbagai ulasan di atas, kajian penelitian diperlukan terkait bahwa memahami proses dan dampak kegiatan pemberdayaan melalui MDK terhadap masyarakat merupakan langkah dasar dan strategis dalam upaya konservasi kawasan TNBBS serta pengelolaannya terutama untuk merancang pemberdayaan yang bagaimana yang paling tepat untuk diterapkan.

Perumusan Masalah Penelitian

Penetapan wilayah sebagai taman nasional akan membatasi aktivitas maupun interaksi masyarakat terhadap hutan. Dengan kondisi demikian potensi konflik menjadi relatif tinggi. Kondisi daerah di sekitar kawasan dengan jumlah penduduk yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, keterbatasan kepemilikan lahan dan semakin meningkatnya tuntutan pemenuhan kebutuhan, menyebabkan tekanan terhadap kawasan terhadap kawasan TNBBS. Hal ini ditunjukkan oleh adanya aktivitas perambahan, penebangan liar, perburuan satwa serta eksploitasi flora fauna lainnya yang terus terjadi.

Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat sebagai pelaku utama dalam melakukan pelestarian lingkungan dan kawasan TNBBS pada umumnya masih relatif rendah. Rendahnya tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu dari faktor internal (kurangnya pengetahuan, pendidikan dan kemampuan), faktor eksternal (kurangnya penyuluhan, pelatihan, peran media massa sebagai saluran komunikasi dan sebagainya), serta faktor proses pembelajaran yang belum memadai (Suyadi 2009).

(28)

sesuai dengan tujuan tersebut. Komponen-komponen perilaku ini merujuk pada

apa yang telah diketahui atau dipahami (knowledge), bagaimana persepsi dan

sikap mereka (afektif), apa yang dapat mereka lakukan (skill) dan secara nyata

apa yang mereka kerjakan (action). Dengan adanya kesadaran positif,

masyarakat diharapkan memiliki kesamaan pandangan tentang pentingnya kawasan konservasi dan rasa tanggungjawab dalam melestarikannya.

Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi telah dilakukan sejak tahun 1993 melalui pengembangan daerah penyangga namun belum berhasil secara optimal. Pendekatan pemberdayaan yang selama ini dilakukan terbukti hanya menghasilkan perilaku sasaran yang apatis dan perubahan perilaku yang tidak permanen. Pemberdayaan dengan pendekatan kearah persuasif dan partisipatif diharapkan akan lebih efektif menghasilkan keberdayaan serta kemandirian. Untuk merealisasikannya, pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui Model Desa Konservasi (MDK). Saat ini, MDK telah dilaksanakan oleh 77 (tujuh puluh tujuh) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan baik oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) maupun Taman Nasional di kurang lebih 133 desa di dalam dan sekitar kawasan (Dephut, 2009).

Upaya pemberdayaan masyarakat melalui MDK dilaksanakan TNBBS sejak tahun 2006. MDK bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan, meningkatkan penghidupan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan potensi yang dimiliki melalui kegiatan yang telah disepakati dengan perencanaan partisipatif untuk mendorong peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan yang ada disekitarnya. Dengan demikian diharapkan akan menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi dan sosial budaya dalam konservasi kawasan dan peningkatan kesejahteran masyarakat.

Dengan pergeseran pola pendekatan ke arah partisipatif, desentralisasi dan kemitraan dimana pelaksanaannya didukung oleh berbagai kebijakan, diharapkan MDK merupakan sebuah upaya yang tepat/efektif untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk mewujudkan partisipasi yang bersifat aktif dan kreatif serta kemandirian sebagai perilaku positif masyarakat, diperlukan upaya-upaya konkrit dalam pemberdayaan termasuk MDK sehingga masyarakat mengalami proses belajar untuk mampu memperbaiki diri sendiri (mandiri).

Upaya pemberdayaan masyarakat telah dilakukan oleh pemerintah, LSM dan Perguruan Tinggi di Indonesia. Permasalahannya adalah apakah pendekatan pemberdayaan yang telah dilakukan selama ini sudah cukup efektif. Dalam penerapannya, kegiatan pemberdayaan selama ini masih dipandang sebagai

proyek dari pemerintah kepada masyarakat bersifat top-down. Banyak bukti

menunjukkan bahwa program-program tersebut tidak mencapai hasil yang diharapkan bahkan telah membuat ketergantungan masyarakat kepada program-program pemerintah, bukan menciptakan masyarakat mandiri (Pillin 1999 diacu dalam Yumi 2002). Partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan cenderung bersifat semu dan sementara, serta sering hanya dilihat dalam konteks sempit, yaitu sekedar pelaksanaan program, masyarakat tidak dikembangkan kemampuannya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil pihak luar.

(29)

prioritas dan hal ini mengakibatkan keberlanjutan pelaksanaan terhambat. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektif atau tidaknya kegiatan pemberdayaan, baik dari segi masyarakatnya sendiri (faktor internal) maupun faktor eksternal (lingkungan).

Berdasarkan uraian tersebut, hal yang perlu mendapatkan prioritas perhatian adalah keterkaitan kegiatan pemberdayaan melalui MDK dengan masyarakat terutama dalam merespon keberadaan TNBBS sebagai sumber kehidupan yang mempengaruhinya. Bagaimanakah efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK sebagai upaya yang telah dilakukan terhadap masyarakat, faktor-faktor apa yang berhubungan dan mempengaruhinya, pendekatan yang bagaimanakah yang paling efektif berkaitan dengan upaya pengelolaan berkelanjutan TNBBS dari segi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Bagaimana kecenderungan perubahan dalam masyarakat sebagai hasil/dampak kegiatan pemberdayaan dapat menjadi dasar bagi upaya-upaya konservasi kawasan TNBBS. Masyarakat dalam kajian ini adalah masyarakat yang tinggal disekitar kawasan yang sebagian besar berbatasan langsung dan berinteraksi dengan kawasan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas dapat dirumuskan pertanyaan masalah penelitian yaitu: (1) Bagaimanakah efektifitas pemberdayaan MDK yang dilakukan di TNBBS? (2) Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan efektifitas MDK di TNBBS? dan (3) Bagaimanakah peningkatan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS berkaitan dengan pendekatan kegiatan pemberdayaan yang tepat untuk diterapkan?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

(1). Menganalisis efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS;

(2). Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS; dan

(3). Menganalisis peningkatan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS berkaitan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang paling tepat untuk diterapkan.

Manfaat Penelitian

(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Taman Nasional

Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa Taman nasional (National

Park) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,

dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata serta rekreasi.

Saat ini terdapat 50 Taman Nasional di Indonesia, enam di antaranya ditetapkan sebagai situs warisan dunia (Natural World Heritage Sites). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu dari enam taman nasional tersebut yang ditetapkan sebagai situs warisan dunia pada tahun 2004. TNBBS ditetapkan sebagai situs warisan dunia karena tingkat keanekaragaman yang tinggi dan merupakan habitat berbagai flora fauna langka dan hampir punah.

Taman nasional merupakan salah satu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang mempunyai fungsi paling lengkap. IUCN mendefinisikan kawasan konservasi sebagai sebuah kawasan baik darat maupun perairan yang

secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan

keanekaragaman hayati (biodiversity) secara alami dan berkaitan dengan

sumberdaya kultural serta dikelola secara legal atau untuk tujuan yang efektif (Borrini-Feyerabend, Kothari dan Oviedo 2004). Sedangkan konservasi adalah suatu upaya/tindakan untuk menjaga keberadaan sesuatu secara terus menerus berkesinambungan baik mutu maupun jumlah. Dengan demikian, konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan yang menjamin pemanfaatan secara

bijaksana dengan tetap memelihara kualitas, keanekaragaman dan

kelangsungan ketersediaannya.

Titik tolak konservasi sumberdaya alam adalah strategi konservasi dunia. Strategi ini meliputi aspek perlindungan sistem penyangga kehidupan (perlindungan proses ekologis yang merupakan sistem penyangga kehidupan, karena sistem penyangga kehidupan harus dalam keadaan yang seimbang), pengawetan keanekagaman genetik dan pelestarian manfaat.

Sebagai kawasan yang sebagian besar terdiri atas hutan, taman nasional mempunyai banyak fungsi. Hutan sebagai satu kesatuan lanskap merupakan satu kesatuan fungsi bersama-sama dengan lingkungan diluar kawasan hutan. Hutan memiliki fungsi dan peran yang sangat kompleks terhadap kehidupan, dimana masing-masing harus seimbang, baik untuk aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial dan budaya. Mull (1995) diacu dalam Fandeli dan Muhammad (2005)

mengemukakan konsep pengelolaan hutan dapat dilakukan dengan

mempertimbangkan semua fungsinya dan dapat disimulasikan dengan menggunakan berbagai model.

(31)

ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya serta pariwisata dan rekreasi alam. Dengan demikian, taman nasional mempunyai fungsi memelihara keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem.

Untuk dapat merealisasikan fungsi tersebut, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi. Zonasi taman nasional terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan atau zona lainnya yang dikembangkan berdasarkan potensi dan kepentingan konservasi sumberdaya hutan dan ekosistemnya. Zona lainnya tersebut dapat berupa zona rimba rehabilitasi, pemanfaatan tradisional dan pemanfaatan khusus.

Secara konseptual, taman nasional harus mampu menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem didalamnya. Pengelolaan secara lestari harus mempertimbangkan prinsip fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya, dimana ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian pengelolaan TNBBS harus terintegrasi dengan pembangunan

masyarakat di sekitarnya baik di daerah penyangga maupun enclave.

Enclave adalah wilayah di dalam kawasan konservasi, biasanya masyarakat sudah tinggal atau menempati wilayah ini sebelum suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Sedangkan daerah penyangga, secara harfiah

merupakan terjemahan dari bahasa Inggris buffer zone yang dapat diartikan

sebagai suatu luasan areal yang dapat berfungsi sebagai suatu peredam terhadap suatu gangguan yang biasanya tidak menguntungkan terhadap sesuatu yang kita lindungi agar tidak terjadi kerusakan akibat gangguan tersebut. Secara khusus, daerah penyangga adalah wilayah (darat maupun perairan yang berada di luar dan atau berbatasan dengan kawasan konservasi (baik sebagai kawasan hutan, tanah negara bebas, maupun tanah yang dibebani hak seperti perkebunan rakyat, hak guna usaha perkebunan, perikanan, peternakan dan lain-lain, tanah bekas hak guna usaha, tanah adat/ulayat, tanah milik), yang diperuntukkan dan mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga kawasan konservasi dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar ataupun dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan fungsi kawasan (Kemenhut 2011a).

Dengan demikian, daerah penyangga dapat dimaknai sebagai suatu areal di luar kawasan konservasi (dalam hal ini TNBBS) yang dimaksudkan untuk perlindungan atau penyangga terhadap kawasan tersebut secara keseluruhan sehingga terhindar dari tekanan-tekanan yang mengakibatkan menurunnya kondisi dan potensi kawasan atau terganggunya ekosistem termasuk habitat satwa liar sehingga menimbulkan gangguan terhadap masyarakat sekitar. Disamping itu, daerah penyangga diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi.

(32)

dan meningkatkan produktivitas lahan.

Ironisnya masyarakat desa sekitar kawasan sebagai daerah penyangga justru menjadi pelaku perambahan dan tindak ilegal lain (illegal logging, perburuan flora fauna dilindungi dan lain sebagainya). Perambahan merupakan aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh setiap orang/masyarakat yang melakukan kegiatan bermukim dan atau berusahatani di dalam kawasan hutan atau mengerjakan/ menduduki hutan negara.

Di sisi lain keberadaan kawasan konservasi harus tetap dipertahankan terkait dengan fungsi penting yang dimiliki. Salah satu konsep pengelolaan yang diterapkan dalam mempertahankan keberadaan fungsi kawasan konservasi adalah dengan meminimalisasi interaksi masyarakat dengan kawasan konservasi, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan dan lahan hutan. Konsep tersebut banyak diterapkan oleh pengelola kawasan konservasi karena dinilai memiliki dampak yang lebih kecil terhadap kerusakan ekosistem hutan. Pada kenyataannya konsep tersebut justru memiliki banyak kekurangan karena tertutupnya akses masyarakat sekitar terhadap kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Salah satu dampaknya adalah masyarakat melakukan perambahan hutan/kawasan konservasi secara illegal yang berakibat pada semakin rusaknya kawasan hutan.

Dengan berbagai konsep dan kondisi pengelolaan taman nasional tersebut, pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi menjadi dasar pijakan penting. Pergeseran paradigma tersebut diperlukan dengan salah satu pertimbangan bahwa saat ini pengelolaan kawasan pelestarian alam belum mampu mengadopsi kebutuhan masyarakat berkaitan dengan perubahan lingkungan strategis baik nasional maupun internasional (Kemenhut 2011a).

Pada dasarnya keberhasilan pelestarian kawasan konservasi sangat tergantung pada keberhasilan dalam menangani masalah sosial ekonomi masyarakat disekitarnya. Gangguan terhadap kawasan konservasi akan berkurang bila kesejahteraan masyarakat sekitar sudah dapat dipenuhi dari hasil usaha diluar pemanfaatan hutan. Untuk itu, diperlukan solusi terhadap berkurangnya/ tertutupnya akses masyarakat terhadap kawasan hutan atau kawasan konservasi, sebab masyarakat telah hidup di sekitar kawasan konservasi tersebut jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Masyarakat di Sekitar Kawasan TNBBS

Masyarakat didefinisikan secara etimologis berasal dari bahasa Arab dengan akar kata syaraka yang berarti ikut serta atau berperan serta. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti

kawan. Beberapa literatur menyebutkan bahwa community juga sering diartikan

(33)

aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga. Dari keempat ciri tersebut masyarakat dapat didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.

Berdasarkan definisi tentang masyarakat di atas, terdapat dua faktor sebagai pengikat yang disebut sebagai masyarakat yaitu sistem adat istiadat dan rasa identitas. Sistem adat istiadat meliputi sistem nilai budaya, norma-norma dan aturan-aturan hidup yang dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat dalam bertingkah laku. Sedangkan adat istiadat merupakan pola yang sudah mantap dan telah hidup dalam waktu yang lama secara berkesinambungan, sehingga adat istiadat menjadi sesuatu yang dianggap khas. Kekhasan ini kemudian dikomunikasikan dari generasi ke generasi melalui proses belajar.

Masyarakat di sekitar kawasan adalah masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan yang memiliki kesatuan komunitas sosial dengan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan dapat berpengaruh pada kelestarian hutan (Dephut 2008). Pengertian masyarakat dengan kesatuan wilayah sebagai kategori utamanya dikenal dengan sebutan masyarakat setempat atau komunitas (Soekanto 1990 diacu dalam Patrakomala 2006).

Dengan demikian dalam konteks penelitian ini, pengertian masyarakat yang dimaksud merujuk pada masyarakat setempat/komunitas. Komunitas dalam hal ini menunjuk pada masyarakat yang tinggal di suatu wilayah (geografis) di dalam dan di sekitar kawasan hutan TNBBS dengan batas-batas tertentu dalam lokalitas yang disebut desa/pekon.

Pemberdayaan Masyarakat

Konsep dan pengertian

Luasnya konteks pemberdayaan menjadikannya dipahami bervariasi dalam berbagai perspektif. Oleh karenanya, dalam literatur pemberdayaan yang baru, arti pemberdayaan mengarah pada diasumsikan dan bukan didefinisikan. Rappoport (1984) sebagaimana dirujuk oleh Page dan Czuba (1999) mengemukakan bahwa mudah untuk mendefinisikan pemberdayaan tetapi sulit untuk menentukannya dalam tindakan karena pada konteks berbeda akan menimbulkan pengertian yang berbeda pula. Zimmerman (1984) sebagaimana dikutip oleh Page dan Czuba (1999) menyatakan bahwa mendefinisikan pemberdayaan secara tunggal dapat membuat upaya untuk mencapainya bertentangan dengan konsep pemberdayaan itu sendiri. Pemahaman mengenai pemberdayaan sangat diperlukan, bagaimana menentukan pemahaman yang tepat akan tergantung pada orang-orang tertentu dan konteks yang terlibat (Bailey, 1992 dalam Page dan Czuba 1999).

Pemberdayaan berasal dari kata dasar daya yang berarti kekuatan atau

(34)

Dengan demikian, dalam pemberdayaan terdapat tiga komponen dasar untuk memahami pemberdayaan, yaitu multi-dimensi, sosial, dan proses. Multi-dimensi berarti pemberdayaan terjadi dalam dimensi sosiologis, psikologis, ekonomi, dan sebagainya serta terjadi dalam berbagai tingkatan, seperti individu, kelompok, dan masyarakat. sedangkan dalam konteks sosial, pemberdayaan merupakan proses yang terjadi dalam hubungan dengan orang lain.

Pemberdayaan merupakan terjemahan empowerment yang secara harfiah

berarti pemberkuasaan dalam arti pemberian atau peningkatan kekuasaan kepada masyarakat (Huraerah 2008). Bertolak dari pengertian tersebut, pemberdayaan dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan (Sulistiyani 2004). Lebih lanjut, dikemukakan bahwa pengertian proses tersebut merujuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pantahapan upaya mengubah masyarakat menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk

mengubah kondisi masyarakat dalam hal pengetahuan (knowledge), sikap

(attitude) dan keterampilan (practice).

Pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan (Suharto 2009). Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan masyarakat. Sebagai tujuan, pemberdayaan merujuk pada keadaan yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial. Lebih lanjut hal tersebut tercermin dari kemampuan beraspirasi, berpartisipasi, percaya diri, dan mandiri. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.

Moeljarto (1996) diacu dalam Yumi (2002) berpendapat bahwa pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan relasi antara subyek dengan subyek yang lain. Dengan kata lain, proses pemberdayaan mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi subyek-subyek. Konsep pemberdayaan mengacu pada kemampuan masyarakat untuk dapat mendapat akses dan kontrol sumber-sumber hidup yang penting (Riyanto 2005). Craig dan Mayo (1995) sebagaimana dikutip dalam Huraerah (2008) mengemukakan, bahwa konsep pemberdayaan berkaitan dengan kemandirian (self-help), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking) dan pemerataan (equity). Berkenaan dengan makna pemberdayaan maka inti pemberdayaan adalah

pengembangan kapasitas kemampuan (enabling), penguatan daya (empowering),

(35)

Sebagai sebuah proses terus-menerus, pemberdayaan melalui beberapa tahap (Sulistiyani 2004), meliputi: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri; (2) tahap transformasi berupa wawasan kemampuan, kecakapan-keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran didalam pembangunan; dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelekual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian.

Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan daram proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini pihak pemberdaya berusaha menciptakan prakondisi, agar dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Intervensi ditekankan pada kemampuan afektif untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan. Dengan demikian akan membuka keinginan dan kesadaran masyarakat tentang kondisinya saat itu dan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Pada tahap kedua, masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-keterampilan yang mempunyai relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini partisipasi masyarakat masih pada tingkat yang rendah.

Tahap ketiga merupakan tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan-keterampilan yang diperlukan agar masyarakat mampu mandiri. Kemandirian tersebut ditandai oleh kemampuan dalam membentuk inisiatif, menciptakan kreasi dan inovasi di lingkungannya. Pada tahap ini masyarakat seringkali diposisikan sebagai subyek dan pemberdaya menjadi fasilitator.

Sumodiningrat sebagaimana dirujuk dalam Sulistiyani (2004)

mengemukakan bahwa masyarakat yang telah mandiri tidak serta merta ditinggalkan, tetapi tetap memerlukan perlindungan agar kemandirian tetap terpelihara dengan baik dan dengannya masyarakat dapat melakukan tindakan nyata. Hal tersebut menguatkan apa yang telah dikemukakan oleh Lippit, Watson dan Westley (1958) bahwa dalam tahap akhir suatu perubahan diperlukan stabilisasi perubahan. Dalam konteks ini stabilisasi perubahan diharapkan mampu membentuk perilaku positif masyarakat secara permanen.

Dalam konteks pemberdayaan secara umum, terdapat bidang-bidang yang diperlukan (Ndraha 2003), antara lain :

(1). Pemberdayaan politik, yang bertujuan meningkatkan bargainning position

antara yang diperintah terhadap pemerintah yang dimaksudkan agar yang diperintah mendapatkan apa yang merupakan haknya dalam bentuk barang, jasa, layanan, dan kepedulian tanpa merugikan pihak lain.

(2). Pemberdayaan ekonomi, sebagai upaya meningkatkan kemampuan yang

diperintah agar dapat berfungsi dengan baik.

(3). Pemberdayaan sosial-budaya, bertujuan meningkatkan kemampuan sumber

daya manusia melalui human investment guna meningkatkan nilai manusia

(human dignity), penggunaan (human utilization), dan perlakuan yang adil.

(4). Pemberdayaan lingkungan, dimaksudkan sebagai program pelestarian

(36)

Dengan berbagai pengertian di atas maka pemberdayaan masyarakat dalam konteks penelitian ini merupakan suatu proses terus menerus, sistematis dan bertahap yang dalam jangka panjang bertujuan untuk mewujudkan perubahan perilaku masyarakat (pengetahuan, persepsi, sikap dan tindakan) dalam akses timbal balik meningkatkan kesejahteraannya dan melestarikan kawasan. Dengan demikian, konteks ini melihat bagaimana masyarakat mempunyai pengetahuan yang membuatnya tegerak ingin melakukan suatu sikap dan memiliki ketrampilan serta motivasi dalam perilaku kemandirian yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan sesuai aturan maupun norma dalam mencapai tujuan bersama untuk

kesejahteraan mereka sekaligus kelestarian kawasan. Bagi pengelola,

pemberdayaan ini merupakan upaya untuk memampukan masyarakat dalam mengembangkan daya atau potensi yang dimiliki demi perbaikan mutu hidupnya secara mandiri dan berkelanjutan.

Pendampingan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat

Membangun dan memberdayakan masyarakat melibatkan proses dan tindakan sosial dimana masyarakat mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhan sesuai dengan kemampuan atau sumberdaya yang dimilikinya (Suharto 2009). Proses tersebut tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang bersadarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial/penyuluh/pendamping.

Penyuluh/pendamping hadir sebagai agen perubahan yang membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian, pendampingan merupakan interaksi dinamis antara masyarakat dan agen perubahan untuk secara bersama-sama menghadapi tantangan, antara lain: (1) merancang program perbaikan; (2) memobilisasi sumberdaya setempat; (3) memecahkan masalah; (4) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan; dan (5) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relavan dengan konteks pemberdayaan masyarakat.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Usman sebagaimana diacu dalam

Huraerah (2008) mengemukakan sebagai upaya memperkuat community

self-reliance atau kemandirian masyarakat, pemberdayaan merupakan sebuah proses dimana didalamnya masyarakat perlu didampingi untuk memperkuat analisis masalah yang dihadapi, menemukan alternatif pemecahannya, dan meningkatkan kemampuan serta strategi untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki.

Menurut Suharto (2009) terdapat 4 (empat) bidang tugas pendampingan

yaitu pemungkinan (enabling) atau fasilitasi, penguatan (empowering),

perlindungan (protecting), dan pendukungan (supporting). Pemungkinan atau

fasilitasi berkaitan dengan pemberian motivasi dan kesempatan bagi masyarakat. berkaitan dengan fungsi ini, pendamping/penyuluh/fasilitator mempunyai tugas dengan menjadi model atau contoh, melakukan mediasi dan negosiasi, membangun konsensus bersama, serta melakukan manajemen sumber (segala sesuatu yang dapat digunakan dalam proses pemecahan masalah).

Penguatan berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat

kapasitas masyarakat (capacity building). Pendamping berperan aktif dalam

(37)

pengalamannya. Tugas tersebut berkaitan dengan memberikan informasi dan menyelenggarakan pelatihan dan berbagai tugas fungsi penguatan lainnya.

Fungsi perlindungan berkaitan dengan interaksi pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat yang didampinginya. Pendamping bertugas mencari sumber-sumber melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan dan membangun jejaring kerja. Selain itu, fungsi perlindungan juga menyangkut tugas pendamping sebagai konsultan, yaitu orang yang bisa diajak berkonsultasi dalam pemecahan masalah, bukan hanya berupa pemberian saran tetapi lebih ditujukan untuk memperoleh pemahaman masyarakat menjadi lebih baik mengenai pilihan-pilihan untuk mengidentifikasi prosedur dan tindakan yang diperlukan.

Pendukungan mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis dan aplikatif sehingga dapat mendukung terjadinya perubahan positif pada masyarakat. dalam hal ini, pendamping dituntut mampu tidak hanya menjadi manajer perubahan yang mengorganisasikan kelompok. lebih jauh, pendamping dituntut mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar seperti analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin hubungan, bernegosiasi, berkomunikasi serta mencari dan mengatur sumber dana.

Pendekatan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan (di sekitar kawasan konservasi)

Dalam perspektif lingkungan, pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumberdaya alam dan pengelolaannya secara berkelanjutan (Riyanto 2005), jadi pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam perspektif pengelolaan hutan berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi merupakan upaya yang bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat di sekitar kawasan, meningkatkan kesejahteraannya dan meningkatkan partisipasi dalam kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan (Dephut 2008). Pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat (Kemenhut 2011b).

Konsep penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat sektor kehutanan ke arah partisipatif didasarkan pada beberapa landasan pemikiran, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Secara filosofis sumber daya alam hayati dan ekosistemnya wajib dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemanfaatan tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan azas konservasi sehingga setiap sumber daya alam hayati dapat dipertahankan dan dimanfaatkan secara berkesinambungan. Secara sosiologis seluruh masyarakat Indonesia mempunyai hak yang sama dalam memperoleh kesejahteraan. Berdasarkan konstitusi, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakatnya.

(38)

ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 70 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan, dan pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.

Berdasarkan ketiga landasan pemikiran tersebut di atas, dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat diperlukan suatu model pengelolaan masyarakat yang komprehensif dan berbasis ekosistem berkelanjutan dalam bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat (Kemenhut 2011b). Kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan dari sektor lain melalui program PNPM Mandiri dalam bentuk kegiatan, seperti pembangunan desa konservasi pada desa di dalam dan sekitar hutan konservasi, pemberian izin hutan kemasyarakatan, kemitraan serta pengelolaan hutan desa bagi masyarakat di sekitar hutan lindung dan hutan produksi. Pemberdayaan disekitar kawasan konservasi meliputi program sektor kehutanan dan di luar sektor kehutanan berupa integrasi dengan bidang lain seperti pertanian, perkebunan, pendidikan, jasa lingkungan dan sebagainya.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat diarahkan untuk menjadikan masyarakat mempunyai aktivitas di luar kawasan konservasi dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya sehingga akan mengurangi frekuensi aktivitas mereka di dalam kawasan. Pola pemberdayaan akan berbeda di setiap kawasan konservasi. Pengelolaan zonasi yang bijaksana dan mengakomodir kebutuhan masyarakat akan dapat menjadi solusi dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya kawasan konservasi yang memiliki tingkat tekanan penduduk sangat kuat, dan tidak dimungkinkan untuk proses pengalihan aktivitas masyarakat.

Selama ini pemberdayaan dimaknai sempit oleh berbagai pihak, sehingga pendekatan pemberdayaan diterjemahkan terbatas pada bantuan yang bersifat material (Herawati 2012). Menurut Slamet (2001) sebagaimana dikutip oleh Herawati (2012), pemberdayaan bukanlah konsep pembangunan ekonomi semata, namun juga sosial budaya dan politik. Dengan demikian indikator keberhasilannya bukan hanya tergantung pada ukuran material tetapi juga berkaitan dengan harkat dan martabat kemanusiaan, kebebasan serta kemandirian untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya.

Pendekatan yang bersifat top down, sentralistik dan dengan komunikasi

searah, memposisikan sasaran menjadi sebagai obyek hanya akan menjadi alat untuk mencapai target-target tertentu yang cenderung bias dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Penerapan paradigma lama seperti ini hanya akan menghasilkan ketidakberdayaan sasaran, karena sasaran menjadi apatis, kurang inisiatif dan menunggu digerakkan oleh aparat, termasuk di dalamnya oleh penyuluh (Sumardjo 2012). Pendekatan perlu ditempuh dari yang semula dominatif menjadi alat pihak lain bergeser ke arah pendekatan yang sifatnya persuasif dan selanjutnya pendekatan pengembangan kemitraan sinergis.

Salah satu pendekatan penting dalam pemberdayaan adalah pendidikan atau proses belajar baik yang bersifat formal maupun non formal. Konsep

Gambar

Tabel  2 Klasifikasi jenjang perubahan perilaku
Gambar 1 Kerangka konseptual penelitian
Gambar 2 Kerangka operasional penelitian
Gambar 3 Proses pengambilan sampel
+7

Referensi

Dokumen terkait