• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Kawasan Taman Wisata Alam Sicike-Cike

Taman Wisata Alam Sicike-cike terletak di Kabupaten Dairi, sekitar 450 km dari Medan dan sekitar 30 menit dari kota Sidikalang. Taman Wisata Alam Sicike-cike diresmikan sebagai Hutan Wisata melalui SK Menteri Kehutanan No. 78/Kpts-II/1989 tanggal 7 Februari 1989 dengan luas kawasan 575 ha yang termasuk di Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat, Propinsi Sumatera Utara.

Letak dan Luas

Secara administratif pemerintahan TWA Sicike-cike terletak di Dusun Pansur Nauli, Desa Lae Hole II, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Secara geografis terbentang antara 98o20’-98030’ BT dan 2035’-22041’ LU. Secara administrasi pemangkuan kawasan TWA Sicike-Cike termasuk kedalam wilayah Seksi Konservasi Wilayah I Bidang KSDA Sumatera Utara dengan batas administrasi.

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Hutan Lindung Adian Tinjoan b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Hutan Lindung Adian Tinjoan c. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lae Hole 2 Pancur Nauli

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Hutan Lindung Adian Tinjoan dan Kecamatan Kerajaan

Potensi Kawasan

Hutan di TWA Sicike-cike sangat kaya akan tumbuhan semak, liana, herba dan anggrek.Kelimpahannya tinggi karena hutan masih terjaga. Pohon yang sangat tua pun masih ditemukan yaitu sampinur tali yang berdiameter lebih dari

60 cm. Hutan ini cenderung landai, kelerengannya berkisar 40%, hutan ini secara umum mudah dilalui, hanya bagian-bagian tertentu yang sulit karena curam atau bergambut.

Tipe vegetasi TWA Sicike-cike adalah hutan hujan tropis. Sebagaimana karakter hutan hujantropis pada umumnya, di TWA Sicike-cike juga terdapat keragaman tumbuhan mulai dari tumbuhan tingkat rendah hingga tumbuhan tingkat tinggi. Keragaman tumbuhannya terlihat berbeda mulai dari tepian hutan hingga ketinggian 1.400 m dpl. Pada ketinggian tertentu banyak dijumpai pohon kemenyan (Styrax paralleloneurum), Maeang (Palaquium), jenis-jenis Zingiberaceae (Hedychium, Zingiber, Alpinia), jenis-jenis Araliaceae (Arthrophyllum, Brassaiopsis, Schefflera), jenis-jenis Theaceae (Schima wallichii, Eurya nitida), dan jenis-jenis Lauraceae (Cinnamomum, Actinodaphne). Dengan bertambahnya ketinggian, populasi jenis-jenis tersebut semakin berkurang, namun ada jenis lain yang populasinya bertambah sesuai dengan ketinggian tersebut, seperti jenis dari sampinur tali (Dacrydium elatum), sampinur bunga (Dacrycarpus imbricatus), jenis-jenis Fagaceae (Lithocarpus, Quercus), ada juga dari jenis-jenis Andolok (Syzygium, Tristaniopsis), Rhododendron spp. (Rhododendron malayanum dan Rhododendron sessilifolium), Nepenthes spp. (N. rafflesiana, N.reinwardtiana), dan banyak jenis anggrek lainnya.

Tumbuhan Beracun

Indonesia tercatat mempunyai lebih dari 50 famili tumbuhan penghasil racun, sedang sekitar 250 famili lainnya belum diketahui kandungan bahan racunnya. Berdasarkan hasil penelitian sebagian tumbuhan tersebut, interaksi antara tumbuhan dan serangga yang terjadi telah menyebabkan sejumlah senyawa

kimia metabolit sekunder tumbuhan mempengaruhi perilaku, perkembangan, dan fisiologis serangga. Dengan strategi penggunaan yang tepat, metabolit sekunder ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengendali hama tertentu. Peranan tumbuhan dalam perkembangan pengobatan tradisi telah diakui selain daripada peranannya seperti sumber makanan, perhiasan, obat dan sebagainya (Hamid dan Nuryani, 1992).

Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM (2010) menyatakan bahwa banyak spesies tumbuhan di dunia tidak dapat dimakan karena kandungan racun yang dihasilkannya. Proses domestikasi atau pembudidayaan secara berangsur-angsur dapat menurunkan kadar zat racun yang dikandung oleh suatu tanaman sehingga tanaman pangan yang kita konsumsi mengandung racun dengan kadar yang jauh lebih rendah daripada kerabatnya yang bertipe liar (wild type). Penurunan kadar senyawa racun pada tanaman yang telah dibudidaya antara lain dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan tempat tumbuhnya. Racun yang dihasilkan oleh tanaman merupakan

salah satu cara untuk melawan predator maka tidak mengherankan bila tanaman pangan modern jauh lebih rentan terhadap penyakit.

Generasi saat ini lebih yakin kepada pengobatan secara tradisi walaupun akhirnya ada diantara mereka yang menerima pengobatan moden. Selain daripada tumbuhan yang digunakan sebagai obat, terdapat juga tumbuhan yang menjaga kesehatan manusia dan hewan. Tidak semua tumbuhan digunakan sebagai obat malah ada tumbuhan yang beracun. Tumbuhan beracun adalah tumbuhan-tumbuhan yang boleh menyebabkan kesakitan, mabuk atau kematian apabila kita memakan, meminum atau menyentuh bahagian-bahagian tertentu. Tumbuhan beracun sebagai tumbuhan yang menyebabkan kesehatan normal terganggu apabila bahagian-bahagian tertentu darinya digunakan oleh manusia atau hewan

yang dapat menerima dampaknya. Kingsburg (1967) pernah menelitilebih kurang 700 spesies tumbuhan yang beracun dan masih banyak lagi yang belum diketahui. Kelompok-kelompok racun yang ditemukan pada tanaman konsumtif, ada beberapa yang larut lemak dan juga dapat bersifat bioakumulatif. Hal ini berarti bila tanaman tersebut dikonsumsi maka racunnya akan tersimpan pada jaringan tubuh, misalnya solanin pada tumbuhan kentang dan lain sebagainya (Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM, 2010).

Kadar racun pada tanaman dapat sangat bervariasi. Hal itu dipengaruhi antara lain oleh perbedaan keadaan lingkungan tempat tanaman tumbuh (kelembaban, suhu atau kadar mineral) serta penyakit yang potensial. Varietas yang berbeda dari spesies tanaman yang sama juga mempengaruhi kadar racun dan nutrien yang dikandungnya (Joy, 2014).

Anti nutrisi bisa terdapat pada tanaman umumnya terjadi karena faktor dalam (faktor intrinsik), yaitu suatu keadaan pada tanaman yang secara genetik mempunyai atau mampu memproduksi anti nutrisi dalam jaringan tubuhnya. Zat-zat anti nutrisi alkaloida, asam amino toksik, dan saponin adalah beberapa contohnya. Faktor lainnya adalah faktor luar (faktor lingkungan), yaitu suatu keadaan pada tanaman yang secara genetik tidak mengandung unsur anti nutrisi tetapi diperoleh dari pengaruh luar yang berlebihan atau mendesak (zat yang tidak diinginkan mungkin masuk dalam jaringan tubuhnya). Contohnya adalah Se yang terdapat secara berlebihan pada tanaman dan mampu mengakumulasi Se dalam protein, misalnya pada jenis Astragalus sp., juga unsur radioaktif yang masuk dalam rantai metabolik unsur yang kemudian terdeposit sebagai unsur-unsur berbahaya (Sinuraya, 2014).

Beberapa ciri tumbuhan beracun sebagai berikut (Ardianto, 2013): 1. Memiliki duri yang tajam dihampir semua bagian

2. Memiliki rambut atau bulu yang sangat lebat dibagian daun atau batang 3. Memiliki getah yang berasa pahit

4. Memiliki bunga atau buah yang berwarna kuat atau gelap 5. Beraroma tidak enak atau menyengat dan berasa pahit 6. Daun terlihat utuh tidak ada bekas-bekas serangga-serangga

Sebagian besar racun atau anti nutrisi umumnya diperoleh dari hasil metabolisme sekunder tanaman. Hasil metabolisme sekunder dibagi dua berdasarkan berat molekulnya yaitu berat molekul kurang dari 100 dengan contoh pigmen pinol, antosin, alkohol, asam-asam alifatik, sterol, terpen, lilin fosfatida, inositol, asam-asam hidroksi aromatik, glikosida, fenol, alkaloid, ester, dan eter. Metabolisme sekunder lainnya adalah yang berat molekulnya tinggi yaitu selulosa, pektin, gum, resin, karet, tannin, dan lignin. Tanaman yang mengandung metabolit sekunder umumnya mengeluarkannya dengan cara pencucian air hujan (daun dan kulit), penguapan dari daun (contoh kamfer), ekskresi aksudat pada akar (contoh alang-alang) dan dekomposisi pada bagian tanaman itu sendiri (Widodo, 2005).

Klasifikasi Bahan Senyawa Beracun dalam Tumbuhan

Racun dapat diidentifikasi pada tumbuhan beracun, dan kemungkinan dapat disebabkan oleh senyawa racun yang terkandung di dalam tumbuhan tersebut. Setiap jenis tumbuhan beracun mengandung zat-zat atau senyawa kimia yang berbeda-beda, namun ada juga yang tidak. Sebagian besar dan berbagai macam jenis tumbuhan yang mengandung senyawa racun bersifat alami belum

sepenuhnya diketahui atau belum dimanfaatkan secara mekanis. Beberapa tumbuhan mengandung dua atau lebih senyawa racun yang berbeda komponen kimianya satu dengan yang lainnya. Menurut Hanenson (1980), komponen-komponen kimia yang dihasilkan tumbuhan terbagi atas alkaloid, polipeptida dan asam amino, glikosida, asam oksalat, resin, phytotoxin, tanin, saponin, dan mineral lainnya.

1. Alkaloid

Kandungan alkaloid dalam setiap tumbuhan 5-10% dan efek yang ditimbulkan hanya dalam dosis kecil. Kadar alkaloid pada tumbuhan berbeda-beda sesuai kondisi lingkungannya, dan alkaloid tersebar di seluruh bagian tumbuhan. Efek terkontaminasi alkaloid adalah pupil yang membesar, kulit terasa panas dan memerah, jantung berdenyut kencang, penglihatan menjadi gelap dan menyebabkan susah buang air.

2. Polipeptida dan asam amino

Hanya sebagian polipeptida dan asam amino yang bersifat racun. Bila terkontaminasi polipeptida, hypoglycin, akan menyebabkan reaksi hypoglycemic. 3. Glikosida

Glikosida adalah salah satu komponen yang dihasilkan melalui proses hidrolisis, yang biasa disebut aglikon. Glikosida adalah senyawa yang paling banyak terdapat pada tumbuhan daripada alkaloid. Gejala yang ditimbulkan apabila terkontaminasi glikosida adalah iritasi pada mulut dan perut, diare hingga menyebabkan overdosis.

4. Asam Oksalat

Kadar asam oksalat pada tumbuhan tergantung dari tempat tumbuh dan iklim, yang paling banyak adalah saat akhir musim panas dan musim gugur. Karena oksalat dihasilkan oleh tumbuhan pada akhir produksi, yang terakumulasi dan bertambah selama tumbuhan hidup. Gejala yang ditimbulkan adalah mulut dan kerongkongan terasa terbakar, lidah membengkak hingga menyebabkan kehilangan suara selama dua hari, dan hingga menyebabkan kematian jika terhirup.

5. Resin

Resin dan resinoid termasuk ke dalam kelompok asam polycyclic dan penol, alkohol dan zat-zat netral lainnya yang mempunyai karakteristik fisis tertentu. Efek keracunan yaitu iritasi langsung terhadap tubuh atau otot tubuh. Termasuk juga gejala muntah-muntah. Apabila terkontaminasi dengan air buahnya menyebabkan bengkak dan kulit melepuh.

6. Phytotoxin

Phytotoxin adalah protein kompleks terbesar yang dihasilkan oleh ebagian kecil tumbuhan dan memiliki tingkat keracunan yang tinggi. Akibat terkontaminasi adalah iritasi hingga menyebabkan luka berdarah dan pembengkakan organ tubuh setelah terhirup.

7. Tanin

Tanin adalah senyawa polifenol yang bersifat terhidrolisa dan kental. Senyawa ini telah dikembangkan oleh tanaman sebagai bentuk pertahanan terhadap serangan eksternal dari predator yang memiliki rasa sangat pahit ataukelat. Jika terkonsumsi lebih dari 100 mg bisa menghasilkan masalah pada

saluran pencernaan seperti diare, sakit perut, urin bercampur darah, sakit kepala, kurang nafsu makan dan lain-lain.

8. Saponin

Saponin adalah glikosida tanaman yang ditandai dengan munculnya busa di permukaan air bila dicampur atau diaduk, yang telah dikenal serta diakui sebagai sabun alami dan telah menyebabkan beberapa tanaman seperti soapwort (Saponaria officinalis) umum digunakan sebagai sabun untuk waktu yang lama. Saponinketika dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar daripada yang diizinkan, senyawa ini menjadi tergolong beracun. Gejala yang ditimbulkan bagi manusia apabila saponin dikonsumsi secara berlebihanadalahdapat menyebabkan kerusakan pada mukosa pencernaan sehingga menderita muntah-muntah, sakit perut, perdarahan, pusing, maag dan begitu terkontaminasi ke sistem peredaran darah, senyawa ini dapat merusak ginjal dan hati serta mempengaruhi sistem saraf bahkan dapat menghasilkan serangan jantung.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tumbuhan beracun merupakan tumbuhan yang mengandung racun yang dapat menyebabkan kita mengalami rasa sakit ataupun kematian. Tumbuhan beracun dari hutan kurang mendapat perhatian khusus padahal memiliki potensi yang cukup besar. Pemanfaatan tanaman beracun masih sangat kurang menyebabkan tumbuhan beracun tertinggal dari pemanfaatan tanaman obat. Menurut Hamid dan Nuryani(1992)Indonesia tercatat mempunyai lebih dari 50 famili tumbuhan penghasil racun, sedang sekitar 250 famili lainnya belum diketahui kandungan bahan racunnya. Peranan tumbuhan dalam perkembangan pengobatan tradisi telah diakui selain daripada peranannya seperti sumber makanan, perhiasan, obat maupun bahan racun untuk hama.

Tumbuhan beracun dapat digunakan masyarakat sebagai bahan pengendali hama karena mengandung racun. Kandungan senyawa yang ada dalam tumbuhan beracun bermacam-macam sehingga dapat digunakan pengendali bagi berbagai macam hama. Berdasarkan hasil penelitian Hamid dan Nuryani (1992) sebagian tumbuhan tersebut, interaksi antara tumbuhan dan serangga yang terjadi telah menyebabkan sejumlah senyawa kimia metabolit sekunder tumbuhan mempengaruhi perilaku, perkembangan, dan fisiologis serangga. Dengan strategi penggunaan yang tepat, metabolit sekunder ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengendali hama tertentu.

Kebutuhan masyarakat akan obat-obatan sangat diperlukan terkhusus untuk obat tradisional, salah satunya adalah untuk digunakan mengendalikan hama. Tumbuhan beracun memiliki potensi yang besar untuk dijadikan menjadi

obat racun untuk keperluan sehari-hari. Masyarakat Indonesia bahkan dikenal dengan pengetahuan lokal yang tinggi sehingga masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan tumbuhan beracun untuk digunakan bagi kebutuhan sehari-hari. Menurut Muktiningsih (2001) masyarakat Indonesia terdiri dari ratusan suku yang masing-masing memiliki kebudayaan tersendiri. Setiap suku memiliki pengetahuan lokal serta tradisional dalam memanfaatkan tumbuhanyang ada dilingkungnnya, salah satunya adalah pemanfaatan tanaman beracun untuk digunakan sebagai pestisida. Sebagaian besar merupakan kakayaan yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan lokal ini spesifik bagi setiap suku, sesuai dengan kondisi lingkungannya.

Tumbuhan beracun jika dimanfaatkan oleh masyarakat dengan baik akan dapat menggantikan penggunaan pestisida yang berbahaya bagi lingkungan kita. Penggunaan tumbuhan beracun menjadi pestisida alami tidak akan mengganggu pertumbuhan tanaman pangan yang ditanam karena pestisida alami dari tumbuhan beracun mudah menguap dan menghilang sehingga tidak mengganggu bagi kesehatan. Kardinan (2004) menyatakan bahwa pestisida nabati bersifat “pukul dan lari” (hit and run), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh maka residunya akan cepat menghilang di alam. Dengan demikian, tanaman akan terbebas dari residu pestisida dan aman untuk dikonsumsi. Penggunaan pestisida nabati dimaksudkan bukan untuk meninggalkan dan menganggap tabu penggunaan pestisida sintesis, tetapi hanya merupakan suatu cara alternatif dengan tujuan agar pengguna tidak hanya tergantung kepada pestisida sintesis. Tujuan lainnya adalah agar penggunaan

pestisida sintesis dapat diminimalkan sehingga kerusakan lingkungan yang diakibatkannya pun diharapkan dapat dikurangi pula.

Peneliti memilih kawasan Hutan Wisata Alam Sicike-cike dengan luas kawasan hutan sebesar ± 575 ha yang terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat sebagai tempat penelitian dikarenakan kawasan hutan ini masih memikili kekayaan sumberdaya alam hayati, khususnya keanekaragaman jenis tumbuhan beracun. Perlu dilakukan berbagai penelitian untuk mengetahui potensi keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang ada di kawasan hutan ini sehingga keanekaragaman hayatinya dapat dimanfaatkan masyarakat serta dapat dilestarikan.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dilaksanakan pada Kawasan Hutan Wisata Alam Sicike-cike ini antara lain:

1. Identifikasi jenis-jenis tumbuhan beracun

2. Analisis kandungan metabolit sekunder dari jenis-jenis tumbuhan beracun 3. Potensi pengembangan tumbuhan beracun.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah observasi awal untuk menjawab kekurangan pengetahuan tentang bermacam-macam racun yang belum umum yang dapat dijadikan referensi bagi yang berkepentingan khususnya masyarakat serta dapat dijadikan petunjuk praktis untuk lebih berhati-hati dalam pemanfaatan tumbuhan beracun.

TINJAUAN PUSTAKA

Keadaan Umum Kawasan Taman Wisata Alam Sicike-Cike

Taman Wisata Alam Sicike-cike terletak di Kabupaten Dairi, sekitar 450 km dari Medan dan sekitar 30 menit dari kota Sidikalang. Taman Wisata Alam Sicike-cike diresmikan sebagai Hutan Wisata melalui SK Menteri Kehutanan No. 78/Kpts-II/1989 tanggal 7 Februari 1989 dengan luas kawasan 575 ha yang termasuk di Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat, Propinsi Sumatera Utara.

Letak dan Luas

Secara administratif pemerintahan TWA Sicike-cike terletak di Dusun Pansur Nauli, Desa Lae Hole II, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Secara geografis terbentang antara 98o20’-98030’ BT dan 2035’-22041’ LU. Secara administrasi pemangkuan kawasan TWA Sicike-Cike termasuk kedalam wilayah Seksi Konservasi Wilayah I Bidang KSDA Sumatera Utara dengan batas administrasi.

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Hutan Lindung Adian Tinjoan b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Hutan Lindung Adian Tinjoan c. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lae Hole 2 Pancur Nauli

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Hutan Lindung Adian Tinjoan dan Kecamatan Kerajaan

Potensi Kawasan

Hutan di TWA Sicike-cike sangat kaya akan tumbuhan semak, liana, herba dan anggrek.Kelimpahannya tinggi karena hutan masih terjaga. Pohon yang sangat tua pun masih ditemukan yaitu sampinur tali yang berdiameter lebih dari

60 cm. Hutan ini cenderung landai, kelerengannya berkisar 40%, hutan ini secara umum mudah dilalui, hanya bagian-bagian tertentu yang sulit karena curam atau bergambut.

Tipe vegetasi TWA Sicike-cike adalah hutan hujan tropis. Sebagaimana karakter hutan hujantropis pada umumnya, di TWA Sicike-cike juga terdapat keragaman tumbuhan mulai dari tumbuhan tingkat rendah hingga tumbuhan tingkat tinggi. Keragaman tumbuhannya terlihat berbeda mulai dari tepian hutan hingga ketinggian 1.400 m dpl. Pada ketinggian tertentu banyak dijumpai pohon kemenyan (Styrax paralleloneurum), Maeang (Palaquium), jenis-jenis Zingiberaceae (Hedychium, Zingiber, Alpinia), jenis-jenis Araliaceae (Arthrophyllum, Brassaiopsis, Schefflera), jenis-jenis Theaceae (Schima wallichii, Eurya nitida), dan jenis-jenis Lauraceae (Cinnamomum, Actinodaphne). Dengan bertambahnya ketinggian, populasi jenis-jenis tersebut semakin berkurang, namun ada jenis lain yang populasinya bertambah sesuai dengan ketinggian tersebut, seperti jenis dari sampinur tali (Dacrydium elatum), sampinur bunga (Dacrycarpus imbricatus), jenis-jenis Fagaceae (Lithocarpus, Quercus), ada juga dari jenis-jenis Andolok (Syzygium, Tristaniopsis), Rhododendron spp. (Rhododendron malayanum dan Rhododendron sessilifolium), Nepenthes spp. (N. rafflesiana, N.reinwardtiana), dan banyak jenis anggrek lainnya.

Tumbuhan Beracun

Indonesia tercatat mempunyai lebih dari 50 famili tumbuhan penghasil racun, sedang sekitar 250 famili lainnya belum diketahui kandungan bahan racunnya. Berdasarkan hasil penelitian sebagian tumbuhan tersebut, interaksi antara tumbuhan dan serangga yang terjadi telah menyebabkan sejumlah senyawa

kimia metabolit sekunder tumbuhan mempengaruhi perilaku, perkembangan, dan fisiologis serangga. Dengan strategi penggunaan yang tepat, metabolit sekunder ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengendali hama tertentu. Peranan tumbuhan dalam perkembangan pengobatan tradisi telah diakui selain daripada peranannya seperti sumber makanan, perhiasan, obat dan sebagainya (Hamid dan Nuryani, 1992).

Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM (2010) menyatakan bahwa banyak spesies tumbuhan di dunia tidak dapat dimakan karena kandungan racun yang dihasilkannya. Proses domestikasi atau pembudidayaan secara berangsur-angsur dapat menurunkan kadar zat racun yang dikandung oleh suatu tanaman sehingga tanaman pangan yang kita konsumsi mengandung racun dengan kadar yang jauh lebih rendah daripada kerabatnya yang bertipe liar (wild type). Penurunan kadar senyawa racun pada tanaman yang telah dibudidaya antara lain dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan tempat tumbuhnya. Racun yang dihasilkan oleh tanaman merupakan

salah satu cara untuk melawan predator maka tidak mengherankan bila tanaman pangan modern jauh lebih rentan terhadap penyakit.

Generasi saat ini lebih yakin kepada pengobatan secara tradisi walaupun akhirnya ada diantara mereka yang menerima pengobatan moden. Selain daripada tumbuhan yang digunakan sebagai obat, terdapat juga tumbuhan yang menjaga kesehatan manusia dan hewan. Tidak semua tumbuhan digunakan sebagai obat malah ada tumbuhan yang beracun. Tumbuhan beracun adalah tumbuhan-tumbuhan yang boleh menyebabkan kesakitan, mabuk atau kematian apabila kita memakan, meminum atau menyentuh bahagian-bahagian tertentu. Tumbuhan beracun sebagai tumbuhan yang menyebabkan kesehatan normal terganggu apabila bahagian-bahagian tertentu darinya digunakan oleh manusia atau hewan

yang dapat menerima dampaknya. Kingsburg (1967) pernah menelitilebih kurang 700 spesies tumbuhan yang beracun dan masih banyak lagi yang belum diketahui. Kelompok-kelompok racun yang ditemukan pada tanaman konsumtif, ada beberapa yang larut lemak dan juga dapat bersifat bioakumulatif. Hal ini berarti bila tanaman tersebut dikonsumsi maka racunnya akan tersimpan pada jaringan tubuh, misalnya solanin pada tumbuhan kentang dan lain sebagainya (Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM, 2010).

Kadar racun pada tanaman dapat sangat bervariasi. Hal itu dipengaruhi antara lain oleh perbedaan keadaan lingkungan tempat tanaman tumbuh (kelembaban, suhu atau kadar mineral) serta penyakit yang potensial. Varietas yang berbeda dari spesies tanaman yang sama juga mempengaruhi kadar racun dan nutrien yang dikandungnya (Joy, 2014).

Anti nutrisi bisa terdapat pada tanaman umumnya terjadi karena faktor dalam (faktor intrinsik), yaitu suatu keadaan pada tanaman yang secara genetik mempunyai atau mampu memproduksi anti nutrisi dalam jaringan tubuhnya. Zat-zat anti nutrisi alkaloida, asam amino toksik, dan saponin adalah beberapa contohnya. Faktor lainnya adalah faktor luar (faktor lingkungan), yaitu suatu keadaan pada tanaman yang secara genetik tidak mengandung unsur anti nutrisi tetapi diperoleh dari pengaruh luar yang berlebihan atau mendesak (zat yang tidak diinginkan mungkin masuk dalam jaringan tubuhnya). Contohnya adalah Se yang terdapat secara berlebihan pada tanaman dan mampu mengakumulasi Se dalam protein, misalnya pada jenis Astragalus sp., juga unsur radioaktif yang masuk dalam rantai metabolik unsur yang kemudian terdeposit sebagai unsur-unsur berbahaya (Sinuraya, 2014).

Beberapa ciri tumbuhan beracun sebagai berikut (Ardianto, 2013): 1. Memiliki duri yang tajam dihampir semua bagian

2. Memiliki rambut atau bulu yang sangat lebat dibagian daun atau batang 3. Memiliki getah yang berasa pahit

4. Memiliki bunga atau buah yang berwarna kuat atau gelap 5. Beraroma tidak enak atau menyengat dan berasa pahit 6. Daun terlihat utuh tidak ada bekas-bekas serangga-serangga

Sebagian besar racun atau anti nutrisi umumnya diperoleh dari hasil metabolisme sekunder tanaman. Hasil metabolisme sekunder dibagi dua berdasarkan berat molekulnya yaitu berat molekul kurang dari 100 dengan contoh pigmen pinol, antosin, alkohol, asam-asam alifatik, sterol, terpen, lilin fosfatida, inositol, asam-asam hidroksi aromatik, glikosida, fenol, alkaloid, ester, dan eter. Metabolisme sekunder lainnya adalah yang berat molekulnya tinggi yaitu selulosa, pektin, gum, resin, karet, tannin, dan lignin. Tanaman yang mengandung metabolit sekunder umumnya mengeluarkannya dengan cara pencucian air hujan (daun dan kulit), penguapan dari daun (contoh kamfer), ekskresi aksudat pada akar (contoh alang-alang) dan dekomposisi pada bagian tanaman itu sendiri (Widodo, 2005).

Klasifikasi Bahan Senyawa Beracun dalam Tumbuhan

Racun dapat diidentifikasi pada tumbuhan beracun, dan kemungkinan dapat disebabkan oleh senyawa racun yang terkandung di dalam tumbuhan tersebut. Setiap jenis tumbuhan beracun mengandung zat-zat atau senyawa kimia yang berbeda-beda, namun ada juga yang tidak. Sebagian besar dan berbagai

Dokumen terkait