• Tidak ada hasil yang ditemukan

xxiiDAFTAR ISTILAH

PERCOBAAN 4 Evaluasi toleransi terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA

Variasi Somaklonal Kacang Tanah

Pengembangan galur tanaman yang mempunyai karakter tertentu dapat dilakukan apabila di dalam plasma nutfah terdapat materi genetik yang mengendalikan mekanisme karakter yang diinginkan. Semakin besar keragaman genetik dalam plasma nutfah, semakin besar pula peluang untuk mendapatkan materi genetik yang diharapkan. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan melalui kultur jaringan. Media kultur jaringan dapat menginduksi perubahan genetik karena kondisi in vitro memungkinkan pembelahan sel terjadi sangat cepat sehingga memberi peluang terjadinya error yang tinggi. Dalam kegiatan pemuliaan perubahan ini justru memberi keuntungan karena meningkatkan keragaman sifat. Keragaman ini disebut variasi somaklonal (Larkin dan Scrowcrot 1981, Larkin et al. 1989, Bouharmont 1994, Wikipedia 2006).

Pengembangan keragaman genetik tanaman melalui induksi variasi somaklonal pada hakekatnya hampir sama dengan pengembangan dengan teknik mutasi. Tingkat mutasi yang terjadi secara alamiah, buatan maupun dalam kultur in vitro rata-rata sebesar 0,0001% (Duncan et al. 1995), namun dibandingkan mutasi alamiah dan buatan, frekuensi terjadinya mutasi pada kultur

in vitro jauh lebih tinggi (Larkin et al. 1989) karena populasi yang ditangani berjumlah sangat besar. Pada satu botol kultur terdapat jutaan sel dan setiap sel mempunyai peluang mengalami mutasi atau membentuk sel varian. Keduanya, teknik mutasi dan induksi variasi somaklonal, menghasilkan tanaman regeneran dengan perubahan sifat yang menguntungkan ataupun merugikan, namun perubahan yang merugikan pada variasi somaklonal terbukti lebih sedikit (Duncan et al. 1995).

Variasi somaklonal merupakan fenomena umum yang dapat terjadi pada semua sistem regenerasi tanaman yang melibatkan fase kalus. Sebagian besar variasi somaklonal yang tampak pada tanaman regeneran dihasilkan selama tahap kultur jaringan. Hal ini dapat dilihat melalui peningkatan frekuensi kromosom yang abnormal sejalan dengan lamanya kultur. Beberapa variasi yang terjadi pada tanaman varian mungkin dihasilkan pula dari variasi yang ada pada eksplan. Perubahan genetik seperti mutasi gen, duplikasi, aneusomatik dan khimera juga dapat terjadi pada sel atau jaringan tanaman dalam kondisi in vivo. Oleh karena itu variasi genetik pada tanaman varian merupakan akumulasi dari

10

variasi yang muncul dalam kondisi in vivo dan in vitro. Kontribusi relatif keduanya mungkin berbeda antar kasus, tergantung pada genotipe tanaman, tipe kultur, medium kultur, umur kultur dan sebagainya (Larkin dan Scowcroft 1981, Larkin et al. 1989, Wikipedia 2006).

Perubahan genetik selama pertumbuhan dan regenerasi in vitro dapat terjadi pada genom inti maupun genom organela. Perubahan-perubahan tersebut ada beberapa tipe, yaitu perubahan jumlah genom (monoploid, diploid, sampai poliploid), perubahan jumlah kromosom (monosomi, trisomi, tetrasomi atau nulisomi), perubahan struktur kromosom (translokasi, duplikasi, delesi, inversi, kromosom disentrik atau telosentrik) dan perubahan struktur DNA yang meliputi mutasi gen, pindah silang mitotik, metilasi yang mengakibatkan inaktivasi gen, dan mutasi insersi akibat transposon (Bouharmont 1994, Karp 1995) .

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ada tidaknya dan intensitas variasi yang dihasilkan dari kultur. Menurut Karp (1995), faktor-faktor tersebut berasal dari (1) eksplan, yang meliputi tingkat perkembangan eksplan, jenis eksplan, konstitusi genetik atau genotipe tanaman, dan dari (2) kondisi kultur, yang meliputi panjang waktu kultur, penambahan zat pengatur tumbuh dan bahan penyeleksi dalam media kultur. Tingkat perkembangan merupakan faktor kunci variasi somaklonal. Pada tingkat perkembangan yang belum terorganisasi mekanisme instabilitas genetik lebih mudah terjadi. Jadi makin awal tingkat perkembangan eksplan dan makin panjang waktu yang diperlukan dalam tahap ini, makin besar peluang untuk menghasilkan variasi somaklonal. Selain itu jenis, paduan dan konsentrasi hormon yang dipakai dalam media kultur, serta konsentrasi nutrien seperti Ca dan EDTA juga mempengaruhi terjadinya variasi somaklonal.

Melalui induksi variasi somaklonal diharapkan dapat diperoleh varian dengan sifat-sifat yang diinginkan dalam jumlah yang memadai. Sepuluh dari 100 varian somaklon pada tembakau mempunyai sifat-sifat agronomi yang positif (Larkin dan Scowcroft 1981). Pada tanaman gandum regeneran terjadi variasi somaklonal sebesar 5% untuk sifat morfologi dan biokimia. Karakter tersebut, baik yang dikendalikan secara monogenik maupun poligenik, terbukti diturunkan sampai dua generasi (Larkin et al. 1984). Frekuensi variasi somaklonal pada tanaman kedelai antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi auksin dalam media tumbuh. Pada media dengan 22,5 μM 2.4.D terbentuk varian sebesar 40%, sedangkan dengan 18 μM terbentuk 3 % dari tanaman regeneran (Shoemaker et

al. 1991). Penelitian Claxton et al. (1998) menunjukkan bahwa pada Rorippa nasturtium-aquaticum terjadi 25% variasi somaklonal dalam beberapa karakter morfologi dan ploidi. Frekuensi varian somaklonal sebesar 1,0% diketahui terjadi pada Picea mariana dan 1,6% pada P. glauca, yang dapat dikelompokkan menjadi 9 tipe sifat morfologi dan fisiologi (Tremblay et al. 1999).

Intensitas perubahan karakter yang tampak pada tanaman varian somaklonal tidak sama antar kasus. Perubahan tersebut dapat sangat besar sehingga tanaman tampak abnormal, namun mungkin pula hanya sebagian kecil sedangkan sebagian besar karakter lain tetap menyerupai induknya. Varian yang fungsional untuk perbaikan sifat tanaman adalah yang mengalami perubahan kecil (yang positif/diinginkan) yang bersifat stabil, durable, dan diwariskan secara Mendelian, dengan tetap mempertahankan sebagian besar sifat seperti induknya. Hal ini dilaporkan dapat terjadi sehingga variasi somaklonal memungkinkan untuk mengubah satu atau beberapa karakter tertentu yang diinginkan dengan tetap mempertahankan karakter unggul yang dimiliki induk (Hawbaker et al. 1993, Duncan et al. 1995).

Karakter yang berubah pada variasi somaklonal dapat merupakan karakter morfologi, biokimia, fisiologi maupun molekuler. Variasi morfologi dan fisiologi yang dihasilkan dari variasi somaklonal yang telah diteliti pada berbagai tanaman meliputi perubahan ukuran dan warna bunga, warna dan morfologi daun, tinggi tanaman, resistensi terhadap penyakit dan waktu panen (Wikipedia 2006). Variasi morfologi dan fisiologi meliputi filotaksis, jumlah anak daun, jumlah percabangan, sterilitas polen, dan kadar prolin tampak pada somaklon kedelai (Widoretno 2002). Varian yang tampak pada varian kacang tanah adalah jumlah cabang, panjang gynofor, jumlah anak daun, dan ukuran polong (Yusnita 2005).

Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Tanaman

Ditinjau dari segi agronomi kekeringan merupakan kondisi ketersediaan air yang tidak memadai baik jumlah maupun distribusinya, meliputi simpanan air bawah tanah dan kelembaban tanah, yang terjadi pada sebagian atau sepanjang siklus hidup tanaman sehingga tanaman tidak dapat mengekspesikan potensi genetiknya (Mitra 2001). Kekeringan mengakibatkan cekaman osmotik pada tanaman yaitu mengurangi aktivitas air dan menyebabkan hilangnya turgor sel. Cekaman osmotik merupakan cekaman multidimensi yang dapat mempengaruhi aktivitas fisiologi dalam berbagai tingkat organisasi sel dan tahap

12

perkembangan karena air berperan sangat vital dalam kehidupan tanaman. Air merupakan komponen penting dalam metabolisme, yaitu sebagai komponen protoplasma, bahan fotosintesis, pelarut sebagian besar senyawa, media transportasi, pengatur suhu dan faktor yang memungkinkan terjadinya reaksi kimia. Oleh karena itu pengaruh kekurangan air pada tanaman bersifat sangat kompleks (Salisbury dan Ross 1992, Blum 1996, Mundree et al. 2002).

Intensitas pengaruh cekaman kekeringan terhadap tanaman ditentukan oleh tingkat cekaman dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman. Cekaman kekeringan dapat mempengaruhi berbagai mekanisme seluler, biokimia dan fisiologi. Pada tingkat seluler kekeringan mengakibatkan kehilangan air protoplasmik sehingga konsentrasi ion meningkat, menghambat fungsi-fungsi metabolik, dan meningkatkan kemungkinan terjadinya interaksi antar molekul yang dapat menyebabkan denaturasi protein dan fusi membran (Mundree et al.

2002). Selain itu kekeringan menurunkan kandungan klorofil daun, kadar protein khlorofil dan fotosistem II pada gandum (Shimada et al. 1992; Gaspar et al.

2002), degradasi protein D1 pada pusat reaksi fotosistem II dan kerusakan membran serta dinding sel (Pieters et al. 2003).

Pengaruh kekeringan terhadap mekanisme biokimia dan fisiologi antara lain menurunkan kecepatan fiksasi dan akumulasi N (Masyudi dan Peterson 1991), transportasi fotosintat dan transpirasi (Pookpadi et al. 1990; Vieira et al. 1992), dan kecepatan fotosintesis (Loggini et al. 1999). Menurut Mundree et al (2002) cekaman kekeringan cenderung merusak sistem transport elektron sehingga mendorong terbentuknya radikal oksigen bebas (reactive oxygen species atau ROS) pada organela tempat terjadinya metabolisme yang melibatkan transport elektron atau yang melakukan oksidasi, yaitu khloroplas, mitokhondria dan mikrobodi. ROS pada umumnya merusak komponen penting dalam sel seperti DNA, protein dan lipid, serta mengakibatkan gangguan pada integritas membran, aktivitas enzim dan struktur intra seluler.

Pengaruh cekaman kekeringan pada tahap perkembangan vegetatif dan generatif tampak pada berbagai organ. Menurut Blum (1996) kekeringan berpengaruh terhadap vigor dan pemunculan kecambah di atas tanah, namun pada kecambah jagung justru meningkatkan diameter akar utama (Schmidhalter

et al. 1998). Kekeringan menurunkan pemanjangan daun (Schmidhalter et al.

1998) dan pertumbuhan primordia daun pertama pada jagung (Zhongjin dan Neumann 1999), berat kering total organ vegetatif, kecepatan pertumbuhan

relatif, dan luas daun Phaseolus vulgaris (Franca et al. 2000), luas helaian daun, jumlah daun per tanaman, luas daun total per tanaman, dan rasio akar/batang pada empat spesies Quercus (Fotelli et al. 2000). Cekaman kekeringan menurunkan bobot biji dan bobot kering polong (Pookpadi et al. 1992), kualitas biji (Franca-Neto et al. 1993), volume bunga dan nektar serta konsentrasi gula dalam nektar Epilobium angustifolium (Caroll et al. 2001). Pada jagung cekaman kekeringan menurunkan hasil karena mengurangi efisiensi penggunaan cahaya (Earl et al. 2003).

Pada kacang tanah kekeringan mempengaruhi penyerapan kalsium oleh polong dan fiksasi nitrogen. Jika kekeringan terjadi pada tanaman yang telah mencapai tahap panen, ada kemungkinan biji terkontaminasi oleh aflatoksin yang mengakibatkan biji beracun dan tidak layak makan baik oleh manusia maupun

ternak (Sharma dan Lavanya 2002, Ham 2004). Vorasoot et al. (2003)

mengemukakan bahwa pada empat kultivar kacang tanah di Thailand kekeringan berpengaruh pada hasil dan beberapa karakter agronomi. Kekeringan tingkat sedang (kadar air setengah kapasitas lapang) menurunkan jumlah polong, jumlah biji per tanaman, ukuran biji dan berat biji. Pada cekaman kekeringan tingkat tinggi (kadar air ¼ kapasitas lapang) hampir semua polong gugur.

Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan terjadi melalui proses

signal transduction. Proses tersebut melibatkan reseptor sebagai penerima signal, phosphoprotein cascade sebagai penghantar signal, dan trans-acting factor sebagai pengaktif gen yang mengendalikan respon. Pada tanaman

tertentu ABA (absisic acid) berperan sebagai reseptor sekunder yang

menghubungkan reseptor utama di membran dengan phosphoprotein cascade, namun pada tanaman lain ABA tidak berperan (Mundree et al. 2002).

Menurut Mitra (2001) mekanisme respon terhadap kekeringan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu mekanisme escape (pelarian), avoidance

(ketahanan) dan tolerance (toleransi). Pelarian merupakan kemampuan tanaman untuk menyelesaikan siklus hidupnya sebelum terjadi cekaman kekeringan sehingga tidak mengalami cekaman. Ketahanan adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan potensial air jaringan yang relatif tinggi pada saat mengalami kekeringan, sedangkan toleransi adalah kemampuan tanaman untuk bertahan hidup dengan potensial air jaringan yang rendah.

14

Pada umumnya tanaman melakukan lebih dari satu mekanisme respon dalam waktu yang sama. Mekanisme ketahanan pada berbagai tanaman merupakan faktor penting dalam menghadapi cekaman kekeringan. Hasil tinggi di bawah kondisi cekaman kekeringan pada beberapa tanaman tertentu lebih disebabkan oleh mekanisme ketahanan dibandingkan mekanisme toleransi cekaman kekeringan (Ndunguru et al. 1995). Ketahanan dilakukan dengan cara mengurangi kehilangan air lewat daun dan meningkatkan kemampuan akar dalam menyerap air tanah. Faktor yang memiliki kontribusi pada ketahanan terhadap cekaman kekeringan adalah (1) pertumbuhan akar yang ekstensif dan dalam (sering kali menjadi faktor yang paling penting); (2) penutupan stomata untuk mengurangi kehilangan air; (3) penggulungan daun untuk mengurangi luas daun yang terpapar lingkungan; (4) deposit lilin pada epicuticular untuk menghambat kehilangan air (Sullivan 1983).

Mekanisme toleransi juga mempunyai kontribusi yang tinggi dalam mempertahankan hasil di bawah kondisi cekaman. Pada hakekatnya toleransi meliputi aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan, menjaga kondisi homeostatik, dan mempertahankan agar pertumbuhan dapat tetap berlangsung meskipun dengan kecepatan yang lebih rendah. Untuk mencapai tujuan tersebut, aktivitas dalam mekanisme toleransi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) detoksifikasi khususnya terhadap ROS melalui pembentukan protein stres dan osmolit yang kompatibel, (2) menjaga keseimbangan osmotik, dan (3) regulasi pertumbuhan dengan menurunkan kecepatan fotosintesis, pembelahan dan pembentangan sel (Mundree et al

2002).

Protein stres yang dibentuk dalam menghadapi cekaman kekeringan dapat dibedakan menjadi (a) protein fungsional, antara lain berupa enzim kunci biosintesis osmolit, enzim antioksidan, protein proteksi, dan (b) protein regulator, antara lain berupa trans acting factor. Osmolit selain berperan dalam detoksifikasi, juga berperan dalam keseimbangan osmotik yaitu mempertahankan tekanan turgor sel (Serraj dan Sinclair 2002, Mundree et al

2002).

Respon tanaman terhadap cekaman kekeringan sangat bervariasi tergantung pada spesies, tingkat cekaman, lamanya cekaman, tahap perkembangan tanaman ketika terjadi cekaman dan tingkat toleransi tanaman (Mullet dan Whitshitt 1996). Tanaman toleran mengembangkan mekanisme detoksifikasi

terhadap ROS secara efisien dengan membentuk enzim-enzim anti-oksidan (misalnya katalase, peroksidase, dismutase), membentuk senyawa penghilang radikal (misalnya karotenoid, askorbat, tokoferol-glutation tereduksi); dan mengembangkan struktur untuk meminimalkan pembentukan ROS. Pada tanaman rentan sistem penghilangan radikal cepat jenuh dan akibatnya kerusakan tidak dapat dihindari (Mundree et al. 2002).

Pada gandum yang mengalami kekeringan terjadi penurunan kandungan glutation baik pada kultivar yang rentan maupun toleran terhadap kekeringan, namun kultivar yang rentan menunjukkan peningkatan aktivitas glutation reduktase (Loggini et al. 1999). Stres kekeringan menginduksi akumulasi ABA dan meningkatkan pembentukan ROS serta aktivitas enzim-enzim antioksidan seperti SOD (superoxide dismutase), CAT (catalase), APX (ascorbate peroxidase) dan GR (gluthatione reductase) pada daun jagung (Mingyi dan Jianhua 2002).

Detoksifikasi senyawa radikal juga dilakukan dengan pembentukan osmolit yang kompatibel yang dapat berperan sebagai penghilang radikal, agen proteksi untuk stabilisasi protein selama cekaman dan pelindung DNA dari efek degradasi akibat ROS. Selain itu osmolit juga berperan dalam menjaga homeostasi osmotik agar sel tetap turgor. Oleh karena itu osmolit disebut pula osmoprotektan. Ada bermacam-macam senyawa osmolit antara lain dari kelompok polyol (sorbitol), gula (rafinose, sukrose, trehalose), asam amino (prolin), betain dan komponen lain yang terlarut dalam plasma sel. Molekul gula selain berperan sebagai osmoprotektan, juga dapat mempertahankan stabilitas membran sel dengan menjaga permukaan membran dari hidrasi dan mencegah fusi komponen-komponen membran (Munns 2002, Serraj dan Sinclair 2002).

Osmolit yang dibentuk oleh spesies bersifat spesifik, misalnya alfalfa, padi, dan canola membentuk prolin (Girousse et al. 1996, Iyer dan Caplan 1998, Gibon

et al. 2000); Populus membentuk protein sejenis dehidrin (Pelah et al. 1997), prolin dan sukrose (Watanabe et al. 2000); kedelai mengakumulasi pinitol yang merupakan senyawa inositol (Guo dan Osterhuis 1997) dan prolin (Zheng dan Li 2000; Widoretno 2002); jagung membentuk sukrose (Zinselmeier et al. 1999) dan prolin (Verslues dan Sharp 1999). Ryegrass yang mengalami kekeringan mengakumulasi fruktan pada jaringan daun, khususnya pada bagian pelepah dan dasar daun yang meristematik, tetapi tidak meningkatkan pembentukan sukrose. Pada akar terjadi sebaliknya, fruktan tidak meningkat sedangkan

16

sukrose mengalami peningkatan (Amiard 2003). Kacang tanah kultivar Jerapah dan Singa yang sebelumnya dilaporkan toleran, jika mengalami cekaman kekeringan mengakumulasi prolin jauh lebih besar dibanding kultivar yang rentan. Kultivar toleran dapat mempertahankan kandungan gula total saat tercekam kekeringan, sementara pada kultivar rentan kandungan gula total menurun (Sudarsono et al. 2004).

Homeostasi atau keseimbangan ionik bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi ion di tingkat seluler, jaringan dan tanaman. Hal tersebut dilakukan dengan menambah jumlah vakuola, mengaktifkan mekanisme pompa ion, saluran ion, transporter ion dan ATP-ase vakuolar. Konsentrasi ion di sitoplasma dipertahankan pada rentang tertentu sehingga proses-proses fisiologi normal dapat dilakukan (Mundree et al. 2002). Pada tanaman yang rentan, jika terjadi cekaman kekeringan turgor sel turun sehingga menimbulkan hambatan mekanik pada dinding dan membran sel yang tidak dapat balik. Tetapi pada tanaman yang toleran, kerusakan mekanik dapat ditanggulangi antara lain dengan mengurangi volume sel secara signifikan akibat mengerutnya dinding sel, atau mempertahankan volume sel dengan pembentukan vakuola kecil dalam jumlah banyak (Mundree et al. 2002).

Regulasi pertumbuhan pada umumnya dilakukan melalui pengaturan pembukaan stomata dan aktivitas ABA untuk menurunkan intensitas fotosintesis dan perbanyakan sel. Kultivar kapas yang toleran dapat mempertahankan konduktan stomata dan fotosintesis seperti tanaman yang tidak mengalami cekaman sehingga hanya mengalami penurunan potensial osmotik sebesar 20– 25%, sedangkan potensial air tidak nyata menurun. Sebaliknya pada kultivar yang rentan potensial osmotik relatif tetap, sedangkan potensial air nyata menurun (Nepomuceno et al. 1998). Pada kultivar buncis yang rentan, stomata menutup sangat cepat dan menutup sempurna pada potensial osmotik –0,6 MPa, sedangkan pada kultivar yang toleran mekanisme tersebut terjadi pada -0,9 MPa. Akibatnya pada kondisi kekeringan, NAR (net assimilation rate) pada kultivar toleran lebih tinggi dibanding kultivar rentan (Franca et al. 2000). Jagung mempertahankan proses pemanjangan akar pada saat kekeringan melalui perubahan beberapa mekanisme penting dari homeostasi ion. Akumulasi ABA memainkan peranan penting dalam pengaturan proses transpor ion (Ober dan Sharp 2003).

Pada kacang tanah di Argentina terdapat perbedaan dalam hal kemampuan penyerapan air dan efisiensi penggunaan air antara varitas yang toleran dengan yang rentan terhadap kekeringan. Dibandingkan varitas rentan, varitas toleran menyerap lebih banyak air selama periode kekeringan karena kemampuannya ‘menghabiskan’ air tanah yang sangat tinggi. Selain itu akibat tahap perkembangan peg (calon polong) yang berlangsung lebih awal mengakibatkan polong segera dapat masuk ke lapisan tanah, sehingga meningkatkan pembagian asimilat ke polong. Akibatnya produksi polong lebih tinggi dibandingkan varitas rentan (Collino et al. 2000).

Seleksi In vitro untuk Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan Variasi somaklonal terjadi secara acak dan tidak terarah, sehingga untuk memperoleh variasi yang diinginkan perlu dilakukan seleksi. Seleksi semacam ini sangat bermanfaat untuk memperbaiki karakter toleransi terhadap cekaman lingkungan (Skirvin et al. 2001). Seleksi dilakukan secara in vitro dalam media yang mengandung bahan selektif yang efektif, yaitu bahan yang dapat mensimulasikan kondisi yang diinginkan dengan tepat, yang efektivitasnya dapat dilihat dari kemampuan bahan tersebut memisahkan varian yang diinginkan dengan yang tidak diinginkan.

Dalam mekanisme seleksi in vitro terdapat dua pendekatan utama, yaitu seleksi positif dan seleksi negatif. Seleksi positif hanya memungkinkan sel-sel varian dengan sifat yang diinginkan hidup dan berkembang, sedangkan sel-sel dengan sifat yang tidak diinginkan akan mati karena tekanan bahan selektif. Sebaliknya pada seleksi negatif, sel-sel dengan sifat yang tidak diinginkan dapat hidup dan membelah terus menerus sehingga justru akan mati akibat tekanan bahan seleksi, sedangkan sel varian dengan sifat yang diinginkan tetap hidup tetapi tidak mampu membelah sehingga terhindar dari tekanan bahan seleksi. Sel ini kemudian dipindahkan ke media penyelamatan (Wikipedia 2006).

Pendekatan seleksi positif dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu seleksi langsung, seleksi dengan penyelamatan, seleksi ganda dan seleksi bertahap. Dalam seleksi langsung, sel varian dengan sifat yang diinginkan dapat hidup dan berkembang membentuk koloni, sebaliknya sel yang tidak diinginkan mati akibat tekanan bahan selektif. Seleksi dengan penyelamatan hampir sama dengan seleksi langsung. Meskipun sel dengan sifat yang diinginkan hidup tetapi tidak mampu membelah akibat tekanan media selektif sehingga harus

18

dipindahkan ke media non selektif dalam rangka recovery. Seleksi ganda pada prinsipnya juga hampir sama dengan seleksi langsung. Sel-sel yang diinginkan tidak hanya sel yang mampu hidup dan membelah saja, melainkan juga yang mempunyai karakter visual tertentu. Dalam seleksi bertahap, konsentrasi bahan selektif dinaikkan secara gradual dari konsentrasi yang relatif rendah hingga konsentrasi yang bersifat sub-letal. Sel yang tahan pada media dengan tekanan seleksi tertentu, diseleksi lagi dalam media dengan tekanan seleksi yang lebih tinggi sampai diperoleh sel yang hidup dan mampu membelah dalam media selektif dengan konsentrasi tinggi (Wikipedia 2006).

Seleksi in vitro menuntut penggunaan bahan selektif yang dapat

mensimulasi kondisi ex vitro secara tepat. Senyawa PEG (polyethylene glycol) diketahui merupakan senyawa yang dapat mensimulasi kondisi kekeringan dengan tepat karena merupakan senyawa yang terlarut sempurna dalam air. PEG merupakan polimer etilen oksida (-CH2-O-CH2-). Dalam rantai polimer PEG kekuatan matriks monomer etilen oksida merupakan faktor penting yang mengontrol potensial air. Atom oksigen pada monomer tersebut dapat mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen, sehingga energi bebas H2O secara

proporsional menurun sesuai panjangnya rantai polimer PEG (Steuter et al. 1981). Akibatnya penurunan potensial air dapat terjadi secara homogen. Meskipun kekuatan osmotik juga muncul, kekuatan matriks merupakan komponen utama potensial air dalam larutan PEG. Oleh karena itu PEG lebih berperan sebagai matrikum daripada sebagai osmotikum sehingga penurunan potensial air dalam media yang mengandung PEG sesuai dengan penurunan potensial air dalam tanah yang mengalami cekaman kekeringan.

PEG tersedia dalam kisaran berat molekul (BM) yang cukup luas sampai dengan BM 20.000. Michel dan Kaufmann (1973) menyatakan bahwa PEG 6000 paling tepat digunakan untuk penelitian dengan tanaman jika dibandingkan PEG dengan BM yang lebih rendah. Penggunaan PEG dengan BM sama atau lebih dari 6000 dalam jangka panjang tidak menyebabkan terserapnya PEG ke jaringan tanaman. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian Chazen dan Neumann (1994) yang memperlihatkan bahwa PEG 6000 tidak dapat masuk ke jaringan, karena menurut Hardegree dan Emmerich (1992) dinding selulosa hanya dapat mengeksklusi atau menginklusi molekul maksimal dengan BM 3500. Berdasarkan hal tersebut penambahan PEG 6000 dalam media kultur dapat merupakan agen seleksi kekeringan yang efektif. Besarnya penurunan potensial

air tergantung pada konsentrasi dan BM PEG, makin tinggi konsentrasi dan BM makin besar penurunan yang terjadi (Michel dan Kaufmann 1973; Steuter et al.

1981).

Efektivitas penggunaan PEG untuk mensimulasikan kondisi kekeringan secara in vitro dapat dievaluasi dengan mengamati pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi larutan PEG berpengaruh nyata terhadap peubah perkecambahan benih (Verslues et al. 1998; Zhongjin dan Neumann 1999; Widoretno et al. 2002). Penyiraman PEG secara in vivo juga telah terbukti dapat digunakan untuk menapis respon kacang tanah terhadap cekaman kekeringan (Nursusilawati 2003). Penggunaan PEG dalam media in vitro

Dokumen terkait