• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rezim adalah perilaku internasional yang terinstitusi (Ruggie, 1975). Rezim dalam skala internasional dapat didefinisikan sebagai perangkat norma, peraturan dan prosedur pembuatan kebijakan yang sifatnya eksplisit maupun implisit dimana terkumpulnya harapan dari para aktor dalam hubungan internasional (Krasner, 1981). Kepentingan dari rezim timbul dikarenakan adanya ketidakpuasan akan konsep yang mendominasi tata aturan institusi, kewenangan dan internasional (Haggard & Simmons, 1987). Rezim mengacu pada pengaruh dari perilaku institusi internasional terhadap aktor-aktor lainnya terutama negara yang berfokus pada ekspektasi terhadap aktor serta dampak yang diakibatkan oleh suatu institusi internasional. terdapat empat hal yang menjadi ciri dari rezim internasional yakni:

principles (kepercayaan), norms (norma), rules (peraturan) dan decision making

Universitas Pertamina - 20

process (proses pengambilan kebijakan) (Haggard & Simmon, 1987). Sebuah rezim internasional memuat kepentingan para aktor yang berisikan kumpulan dari norma, aturan, proses pengambilan keputusan. Pada AICHR di dalamnya berisikan kumpulan kepentingan dari negara-negara anggotanya terkait penegakan HAM di Asia Tenggara. AICHR juga menjadi bentuk dari terwujudnya institusionalisasi norma dan kepentingan dari negara-negara anggotanya yang bertujuan untuk mengelola konflik dan cenderung saling bergantung satu sama lain.

Berdasarkan penjelasan tersebut, AICHR dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari rezim dikarenakan pembentukan komisi ini berdasarkan pada kepercayaan untuk menegakkan HAM di kawasan Asia Tenggara yang kemudian membentuk norma serta peraturan yang juga melibatkan adanya proses dari pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan dari pembentukannya.

Sedangkan kata hak asasi manusia (HAM) sendiri menurut Abul A’la al-Mawdudi ialah hak-hak yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia tanpa memandang adanya perbedaan agama, ras, negara dan lain sebagainya serta hak tersebut tidak dapat dicabut oleh lembaga apapun dan siapapun dikarenakan hak tersebut adalah pemberian Tuhan. Sedangkan berdasarkan Universal Declaration of Human Right mengenai hak asasi manusia dicantumkan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup, memperoleh pengakuan yang sama dengan yang lainnya, kemerdekaan, mendapatkan kebangsaan, bebas berpendapat, bebas memeluk agama dan lain sebagainya. (United Nations, 2015)

Universitas Pertamina - 21 1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan sebagai sarana mengungkapkan pemikiran dan hasil penelitian yang diharapkan dapat menjadi sumber bagi ilmu pengetahuan. Selain itu dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat menjadi acuan ilmu mengenai konflik Rohingya dan Pemerintah Myanmar.

1.6.2 Jenis data

Pada penulisan ini penulis menggunakan metode pengumpulan data kualitatif. Dimana metode pengumpulan data kualitatif yang digunakan adalah dengan studi literatur. Studi literatur yang dilakukan oleh penulis adalah dengan melakukan pencarian dari berbagai jenis sumber tertulis, baik berupa buku-buku, artikel, jurnal atau dokumen-dokumen yang memiliki kesinambungan dengan permasalahan yang dikaji.

1.6.3 Batasan Penelitian

Batasan penelitian atau batasan masalah juga dibutuhkan untuk membatasi lingkup masalah yang diteliti. Hal ini dilakukan agar pembahasan yang ditulis nantinya tidak akan terlalu luas dan tidak menjauhi relevansi dari penelitian sehingga penelitian dapat menjadi lebih fokus dilakukan. Untuk itu tulisan ini membatasi penelitian pada konflik yang terjadi antara pemerintah Myanmar dan etnis Rohingya dalam kurun waktu 8 tahun terakhir berawal dari tahun 2009 sampai dengan 2017. Hal ini dikarenakan pada tahun 2009 inilah AICHR dibentuk untuk mengatasi permasalahan HAM dalam kawasan Asia tenggara dan puncak eskalasi

Universitas Pertamina - 22

konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar terjadi hingga tahun 2017 dimana terdapat eksodus besar-besaran serta jumlah korban jiwa yang mencapai ratusan ribu.

1.7 Sistematika Penulisan BAB I

Pendahuluan

Bagian ini berisikan penjelasan mengenai latar belakang dari permasalahan yang diangkat dalam tulisan, pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, pendekatan dan konsep-konsep yang digunakan dalam tulisan dan teknik pengumpulan data.

BAB II

AICHR dan konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar

Bab ini akan membahas mengenai peranan, fungsi, serta upaya yang telah dilakukan oleh AICHR dalam menangani konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar

BAB III

Analisis Hambatan AICHR dalam Konflik Rohingya-Myanmar

Bab ini akan membahas mengenai bagaimana faktor eksternal, internal dan pengidentifikasian perilaku aktor yang dapat mempengaruhi kinerja dari AICHR sehingga AICHR dapat dikatakan sebagai institusi yang tidak efektif.

BAB VI Kesimpulan

Pada bagian ini, penulis akan menarik kesimpulan dari pembahasan yang sudah dibahas.

Universitas Pertamina - 23 BAB II

ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS (AICHR) DAN KONFLIK ROHINGYA-PEMERINTAH MYANMAR 2.1 Sejarah AICHR dan Hak Asasi Manusia ASEAN

Association of South East Asian Nations (ASEAN) dibentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi Bangkok yang merupakan badan regional pertama di Asia yang menangani berbagai macam kepentingan dan isu. Awalnya ASEAN terdiri dari lima negara, yaitu Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia dan Thailand.

Kemudian jumlahnya bertambah menjadi dua kali lipat di beberapa tahun setelahnya. Di dalam Deklarasi Bangkok, dikatakan bahwa pembentukan kerjasama regional di tiap negara Asia Tenggara yang dikenal sebagai ASEAN itu bertujuan untuk membentuk suatu kerjasama regional di Asia Tenggara dan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, politik, sosial dan budaya serta meningkatkan keamanan dan kestabilan regional (Spiegel, 1995).

Berbagai perbedaan dan keragaman yang dimiliki oleh tiap-tiap negara anggota ASEAN disertai dengan kurang berpengalamannya negara-negara Asia Tenggara dalam bidang kerjasama multilateral menyebabkan pembentukan ASEAN menjadi hal yang mengejutkan bagi komunitas internasional lainnya (Stubbs, 2014). Namun setelah beberapa tahun berlalu, ASEAN nyatanya masih berdiri hanya dengan berlandaskan Deklarasi Bangkok sebagai acuan dasar konstitusinya. Padahal Deklarasi Bangkok hanyalah sebuah deklarasi yang terdiri dari lima paragraf yang berisikan prinsip, tujuan serta organ internal dari ASEAN.

Universitas Pertamina - 24

Terkait hak asasi manusia, negara-negara ASEAN sebenarnya telah meratifikasi beberapa instrumen HAM internasional dan juga ikut berpartisipasi di berbagai perjanjian mengenai HAM seperti deklarasi HAM ASEAN dan Deklarasai Cha Am Hua hin (Wisnu, 2019). Deklarasi adalah perjanjian yang berisikan prinisp-prinsip hukum dan istilah ini biasanya digunakan untuk kesepakatan dan pernyataan sikap antara para pihak yang dihasilkan dari sebuah konferensi inernasional. Sesuai dengan praktek dan hukum kebiasaan, deklarasi dalam ranah hukum internasional memiliki daya hukum seperti jenis-jenis perjanjian lainnya (Spiegel, 1995).

Deklarasi Wina yang disetujui oleh negara-negara anggota ASEAN menjadi titik awal dari komitmen negara-negara anggota ASEAN untuk menegakkan hak asasi manusia di Asia Tenggara (Wisnu, 2019).

Perkembangan pembentukan badan ini terlihat dimulai dari pertemuan tingkat menteri ASEAN, yang diadakan pada Juli 2008. Pertemuan ini kemudian menyepakati adanya pembentukan dan pelaksanaan High Level Panel on Establishment for ASEAN Human Rights Body, yang bertugas untuk menyusun ToR ASEAN Human Rights Body bersama-sama dalam waktu 1 tahun sejak dibentuk.

Kesepakatan ini ialah merupakan sikap lanjutan dari Pasal 14 Piagam ASEAN, mengenai mandat pembentukan ASEAN Human Rights Body. Pada awalnya, nama yang diusulkan beberapa Negara anggota untuk ASEAN Human Rights Body adalah ASEAN Commission on Human Rights, tanpa memakai kata Intergovernmental dikarenakan adanya keinginan agar dinilai sebagai sebuah induk yang berdiri dengan mandiri. Akan tetapi kemudian, pada kenyataannya karena adanya negosiasi politik yang lebih berperan, akhirnya disepakatilah ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR, 2009).

Universitas Pertamina - 25 Selanjutnya pada KTT ke-21 Tahun 2012 ASEAN menghasilkan Deklarasi HAM yang menjadi salah satu mandat di dalam TOR AICHR. Adapun beberapa masalah penting didalam deklarasi ini adalah (AICHR, 2014) :

a. Penegasan kembali komitmen dari Negara-negara anggota ASEAN terhadap perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia dan kebebasan dasar serta prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan yang tertuang dalam piagam ASEAN

b. Penekanan kembali komitmen Negara-negara anggota ASEAN terhadap deklarasi Wina, Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, dan instrumen internasional HAM lainnya yang di dalamnya terdapat Negara ASEAN dan merupakan pihak yang ikut serta, serta deklarasi dan instrumen lainnya yang berkaitan dengan HAM

c. Pentingnya peran dari AICHR sebagai institusi yang bertanggung jawab bagi perlindungan dan pemajuan HAM di ASEAN yang berkontribusi terhadap terbentuknya komunitas ASEAN yang berorientasi pada konsep masyarakat sebagai sarana pembangunan sosial dan menciptakan lingkungan yang adil serta pemenuhan martabat manusia dan pencapaian kualitas hidup yang lebih baik bagi negara-negara anggota ASEAN

d. Menghargai peranan dari AICHR yang telah menyusun deklarasi secara komprehensif tentang HAM melalui adanya konsultasi dengan badan-badan yang ada di dalam ASEAN dan para pemangku kepentingan lainnya

Universitas Pertamina - 26

e. Pentingnya adanya kontribusi badan-badan dalam ASEAN dan para pemangku kepentingan lainnya dalam perlindungan dan pemajuan HAM di ASEAN serta mendorong adanya keterlibatan dan dialog yang berkelenjutan dengan AICHR (AICHR, 2014)

Piagam ASEAN atau ASEAN Charter yang diratifikasi oleh 10 negara di Asia Tenggara ini menjadi landasan utama untuk membentuk AICHR. Pada Piagam ASEAN di pasal 14 berisikan perintah kepada ASEAN untuk dapat membentuk sebuah badan ASEAN yang kemudian diwujudkan pada KTT ASEAN ke 15 di Thailand Tahun 2015 dimana AICHR diresmikan. Komposisi AICHR sendiri terdiri dari perwakilan dari 10 negara anggota ASEAN yang memiliki tanggung jawab pada pemerintah yang menunjuknya. Sebagai sebuah institusi yang berada dibawah naungan ASEAN, AICHR bekerja sama dengan seluruh badan-badan dan pihak-pihak sektoral ASEAN yang terdapat didalam 3 Pilar ASEAN yaitu Pilar Ekonomi ASEAN, Pilar Politik dan Keamanan ASEAN, dan Pilar Sosial dan Budaya ASEAN. AICHR melakukan kordinasi, konsultasi, dan kolaborasi dengan tiga pilar ASEAN tersebut (AICHR, 2014).

Perkembangan dan pemajuan HAM di dalam kawasan Asia Tenggara telah memulai babak baru semenjak terbentuknya sebuah mekanisme komisi HAM, yakni AICHR. Kehadiran AICHR dilatarbelakangi oleh minimnya komitmen dari negara-negara anggota ASEAN dalam menegakkan hak asasi manusia, khususnya hak politik dan sipil yang direfleksikan pada terus meningkatnya kasus pelanggaran HAM yang terjadi dalam kawasan meliputi eksploitasi anak, diskriminasi terhadap beberapa etnis grup, perdagangan manusia, korupsi dan konflik bersenjata (Numnak, 2009). Dalam pengertiannya Hak Asasi Manusia (HAM) menurut

Universitas Pertamina - 27 definisi para ahli yaitu, hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir kedunia. Sedangkan pengertian HAM menurut perserikatan bangsa-bangsa (PBB) adalah hak yang melekat dengan kemanusiaan kita sendiri, yang mana tanpa hak tersebut kita mustahil hidup sebagai manusia (UNHCR,2017). HAM dan perwujudannya harus di selaraskan dikarenakan suatu bentuk timbal balik yang mengacu kepada konsep kesatuan mutlak HAM. HAM dapat dikatakan dilanggar seseorang, apabila seseorang tersebut telah melanggar hak dan kewajiban HAM orang lain. Contohnya seperti pembunuhan massal atau genosida, pemaksaan kehendak, hak untuk hidup, hak membentuk keluarga, hak untuk memperoleh pendidikan dan keadilan, hak memeluk agama, dll (UNHCR, 2017).

Pada dasarnya HAM dikemukakan Untuk menyadarkan manusia mengenai kebebasan dalam ketertiban, tidak bisa dikatakan HAM apabila bebas tapi tak teratur atau berantakan, tidak juga bisa dibilang tertib tapi didikte. Secara umum bidang-bidang yang termasuk kedalam HAM dan diakui oleh dunia meliputi 6 jenis yaitu;

1. Personal Right (Hak Asasi Pribadi) 2. Political Right (Hak Asasi Politik) 3. Property right (Hak Asasi Ekonomi)

4. Rights of legal equality (Hak mendapatkan perlakuan yang sama) 5. Social and culture right (Hak Asasi Social Kebudayaan)

6. Procedural right (Hak mendapatkan pembalaan hukum)

Dalam pengimplementasiannya dan menetukan batasan-batasan pada

Universitas Pertamina - 28

pelanggaran hak asasi manusia, AICHR dibawah naungan ASEAN mengadopsi kebijakan deklarasi universal terkait hak asasi manusia. Dimana pada deklarasi tersebut batasan HAM terbagi atas beberapa pembagian pasal yang tiap-tiao pasalnya menggambarkan perilaku ataupun sikap dari suatu negara atau kelompok individu terhadap sebuah negara atau kelompok individu lainnya yang dikategorikan sebagai pelanggar HAM. Diantaranya diatur dalam pasal (UNHCR, 2017):

1. Pasal 1

Semua orang yang dilahirkan merdeka serta mempunyai hak dan martabat yang sama.

2. Pasal 2

Setiap orang memiliki hak atas kebebasan tanpa adanya pengecualian apapun seperti warna kulit, ras, bangsa, jenis kelamin, agama, bahasa, politik ataupun perbedaan pendapat, kedudukan, kelahiran ataupun hak milik.

3. Pasal 3

Setiap orang memiliki hak untuk hidup, bebas dan keselamatan atas individu

4. Pasal 5

Tidak seorangpun dapat diperlakukan secara kejam, disiksa, memperoleh perlakuan atau mendapatkan hukuman secara tidak manusiawi ataupun direndahkan martabatnya.

5. Pasal 13

1. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk bergerak atau berdiam di dalam batas-batas negara

Universitas Pertamina - 29 2. Setiap orang memiliki hak untuk meninggalkan suatu negeri, termasuk

negerinya sendiri dan juga memiliki hak untuk kembali 6. Pasal 15

Setiap orang. Berhak atas sesuatu kewarganegaraan dan tidak ada satu orangpun dapat semena-mena dapat mencabut kewarganegaraannya atau ditolak hak untuk mengganti kewarganegaraan.

7. Pasal 21

1. Setiap orang berhak untuk ikut serta dalam pemerintahan dinegerinya, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas

2. Setiap orang memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk dapat diangkat menjadi pejabat dalam pemerintahan negerinya

3. Kehendak rakyat harus menjadi acuan dasar kekuasaan pemerintah

Beberapa pasal diatas mendefinisikan secara keseluruhan mengenai batasan-batasan dalam pelanggran HAM. AICHR dibawah naungan ASEAN juga mengadopsi prinsip dan penafsiran yang sama terkait batasan pelanggaran HAM.

Oleh karenanya, jika dilihat dari pasal-pasal tersebut, perilaku yang dilancarkan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya tentu sudah melewati batasan pelanggaran HAM dan dapat dikatakan sebagai pelaku pelanggar HAM.

Konflik yang terjadi di Myanmar antara agama Islam dan Budha berdampak jangka panjang bagi etnis Rohingya yang beragama Islam. Egoisme pemerintah Myanmar yang tidak mengakui adanya etnis Rohingya di Myanmar membuat adanya pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Rohingya. Sejak diterapkan sebuah kebijakan yang disebut burmanisasi, yaitu kebijakan yang hanya mengakui

Universitas Pertamina - 30

adanya agama Budha di Myanmar (Safdar,2015). Sebagian besar etnis Rohingya yang memilih untuk pergi atau kabur ke negara lain untuk mendapatkan perlindungan dan hidup yang lebih layak karena mereka tidak mendapatkan itu semua di negara mereka sendiri. Yang patut disayangkan dari ini semua ialah, sikap pemerintah Myanmar yang memilih untuk tidak mengakui Rohingnya sebagai bagian dari negaranya dan bersikeras bahwa mereka adalah pendatang baru dari subkontinen India, sehingga konstitusi negara itu tidak memasukkan mereka dalam kelompok masyarakat adat yang berhak mendapat kewarganegaraan (Rahman, 2000).

Konflik yang terjadi antara etnis Rohingya dan pemerinah Myanmar telah melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan seperti yang tercantum dalam beberapa pasal yan telah disebutkan. Pertama, kebebasan untuk menganut agama dan kepercayaan. Mayoritas masyarakat di Myanmar memeluk agama Buddha, sedangkan agama Islam sendiri menjadi agama minoritas yang diperkirakan hanya terdapat sekitar lima persen dari keseluruhan jumlah total penduduk Myanmar.

Selain terdapat delapan etnis utama, ada sekitar 130 jenis etnis lainnya yang juga merupakan masyarakat yang menduduki Myanmar namun kerap diabaikan dan mengalami diskriminasi dan salah satunya adalah etnis Rohingya (Rahman, 2000).

Kedua, pelanggaran hak asasi hukum karena sangat terlihat dimana mereka tidak mendapat perlindungan hukum. Etnis Rohingya sebagai korban penindasan tidak dapat hidup dengan adil dan damai, mereka terus mendapatkan pengusiran dari desa mereka, bahkan untuk pekerjaan pun dibatasi. Jika mereka mendapat perlindungan hukum tentunya konflik ini tidak akan terus berkepanjangan. Banyak dari etnis Rohingnya yang memilih untuk kabur ke negara lain untuk mendapatkan

Universitas Pertamina - 31 perlindungan dan hidup yang lebih layak karena mereka tidak mendapatkan itu semua di negara mereka sendiri (UNHCR, 2017).

Ketiga, anak-anak etnis Rohingnya tidak mendapatkan pendidikan yang layak atau bahkan tidak mendapatkan pendidikan sama sekali dan ini melanggar hak asasi sosial budaya. Dalam kasus ini juga ada pelanggaran hak asasi ekonomi karena rumah mereka dibakar dan mereka diusir dari rumah mereka dan juga dipaksa untuk tinggal dipenampungan, bahkan untuk mencari pekerjaanpun dibatasi oleh pemerintah. Mereka tidak diberi kebebasan untuk menyatakan pendapat mereka sehingga mereka hanya bisa menerima semua perlakuan pemerintah dan tidak dapat melakukan apa-apa (UNHCR, 2017).

Keempat adanya pembedaan jenis kewarganegaraan bagi kelompok masyarakat Myanmar yang membagikan tiap-tiap kelompok masyarakat kedalam beberapa kategori yang dimulai dari kelompok warga negara penuh, naturalisasi dan asosiasi. Dari ketiga kategori tersebut, kelompok Rohingya tidak termasuk kedalam kategori manapun. Kelompok ini bahkan sulit untuk dapat mengadopsi ataupun naturalisasi kewarganegaraan dikarenakan adanya anggapan umum dari pemerintah Myanmar bahwa kelompok etnis tersebut merupakan imigran pendatang dari Banglades yang tidak memiliki golongan ataupun bangsa tertentu dan tidak memiliki wilayah kekuasaan maupun wilayah untuk bertempat tinggal (Safdar, 2015).

Menilik beberapa fakta dan peristiwa yang telah disebutkan diatas, oerlakuan pemerintah Myanmar terhadap kelompok etnis Rohingya tentu dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM yang dilancarkan oleh negara terhadap suatu kelompok etnis. Peristiwa-peristiwa tersebut tentu telah melanggar

Universitas Pertamina - 32

setiap ketentuan pasal yang teah disebutkan dalam deklarasi HAM universal. Oleh karenanya, konflik Rohingya dan Pemerintah Myanmar merupakan sebuah peristiwa pelanggaran HAM yang menjadi tanggungjawab AICHR dibawah naungan ASEAN sebagai sebuah institusi penegakan HAM regional yang secara legal menganut pengaturan HAM berdasar deklarasi HAM universal.

2.2 Konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar

ASEAN sebagai salah satu institusi regional di kawasan Asia Tenggara merupakan bagian dari keanggotaan PBB yang juga memiliki kewajiban untuk mewujudkan perlindungan terkait perlindungan dan penegakan HAM di wilayahnya. Namun, dalam praktiknya ASEAN kurang fokus dalam mengatasi isu-isu mengenai kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang terjadi di dalam kawasannya. Berdasarkan data dari Mapelcroft tahun 2014, negara-negara di kawasan ASEAN sebagian besar menunjukkan label berwarna merah yang mengindikasikan bahwa terjadi pelanggaran HAM tingkat tinggi di negara-negara anggotanya, salah satunya Myanmar.

Republik persatuan Myanmar atau dikenal dengan sebutan Burma atau Birma oleh negara barat, merupakan negara yang merdeka dari Inggris pada tahun 1948. Bergantinya Burma menjadi Myanmar merupakan hasil dari Junta militer Myanmar tahun 1989, dengan tujuan agar etnis non-Burma tidak mengalami diskriminasi dan menjadi bagian dari kelompok masyarakat Myanmar. Namun, perubahan nama ini ternyata tidak diadopsi oleh semua negara terlebih negara persemakmuran Inggris. Hal ini dikarenakan negara persemakmuran Inggris tidak pernah mengakui kekuasaan junta militer Myanmar (Raymond, 2014).

Universitas Pertamina - 33 Penduduk Myanmar merupakan ras keturunan Mongol, selebihnya merupakan keturunan yang berasal dari India dan Pakistan. Hampir sebagian besar penduduk Myanmar merupakan petani dikarenakan kondisi geografis wilayah ini berada di pedesaan dan hanya sedikit yang menduduki perkotaan. Mayoritas penduduk Myanmar berisikan etnis Burma. Setidaknya terdapat 8 etnis besar yang diakui dan diberi wilayah serta otonom khusu di Myanmar, yakni (Safdar, 2015) :

1. Etnis Bamar, merupakan kelompok etnis mayoritas yang terdiri atas dua pertiga total warga Myanmar. kelompok ini beragama Buddha dan bertempat tinggal di sebagian wilayah di Myanmar kecuali di pedesaan 2. Etnis Karem, etnis ini menganut agama Buddha dan Kristen atau perpaduan

antara dua agama tersebut yang memperjuangkan hak otonom selama 60 tahun dan menghuni pegunungan yang dekat dengan perbatasan Thailand 3. Etnis Khayah, merupakan etnis yang menganut agama Buddha dan dekat

dengan etnis Thai

4. Etnis Rakhine/Arakan, etnis yang kerap disebut sebagai etnis beragama Buddha yang menduduki wilayah Arakan, Myanmar Barat.

5. Etnis Mon, merupakan kelompok etnis Buddha yang menduduki kawasan selatan Myanmar

6. Etnis Kachin, etnis beragama Kristen yang terpecah dari etnis Tiongkok dan India

7. Etnis Chin, merupakan kelompok etnis beragama Kristen yang menduduki wilayah Myanmar yang berbatasan langsung dengan India

Universitas Pertamina - 34

8. Etnis Shan, kelompok etnis yang beragama Islam dan tinggal di Utara Myanmar yang bersebelahan dengan Tiongkok dan Thailand, yang mayoritasnya beragama Buddha dan agama tradisional lainnya.

Mayoritas etnis di Myanmar merupakan etnis yang beragama Buddha, sedangkan Islam menjadi agama minoritas yang diperkirakan hanya sekitar lima persen dari total penduduk Myanmar. Selain kedelapan etnis tersebut, ada sekitar 130 ragam etnis lainnya yang juga menduduki Myanmar yang kerap diabaikan dan mengalami diskriminasi termasuk salah satunya adalah etnis Rohingya (Rahman, 2000).

Myanmar merupakan salah satu contoh negara di Asia Tenggara yang terlibat dalam pelanggaran HAM. Konflik ini melibatkan pemerintah Myanmar dengan salah satu suku di dalam negaranya yakni Rohingya. Rohingya merupakan bagian dari kelompok etnis Indo-Arya yang menetap di wilayah Arakan (sekarang Rakhine) yang juga diduduki oleh kelompok etnis Rakhine. Rohingya dan Rakhine merupakan dua kelompok yang suku yang berbeda. Rohingya merupakan etnis yang mayoritasnya beragama Islam sedangkan Rakhine beragama Buddha.

Pemerintah Myanmar memperkirakan jumlah total populasi di Arakan mencapai 3,33 juta jiwa, dimana 2,2 juta jiwa diantaranya adalah umat Buddha Rakhine dan sekitar 1,8 juta jiwa lainnya merupakan etnis Rohingya. (Safdar, 2015).

Rohingya merupakan penduduk muslim keturunan Pashu dan Bengali atau Moken yang dikenal sebagai Orang Laut dalam bahasa Melayu. Penduduk Rohingya tinggal di Arakan bagian barat laut antara sekitar abad ke-9 sampai dengan abad ke-10 Masehi (Human Rights Watch, 1996). Secara estimologis etnis Rohingya adalah penduduk asli Arakan yang sejak dahulu telah menjadi area masuk

Universitas Pertamina - 35 dan berkembangnya agama Islam sekitar tahun 100 Hijriyah yang disebarkan oleh

Universitas Pertamina - 35 dan berkembangnya agama Islam sekitar tahun 100 Hijriyah yang disebarkan oleh

Dokumen terkait